Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sakura paham betul jika dirinya tengah dilanda ketakutan. Terbelesit rasa menyesal jika mengingat ia menolak tawaran Sasuke, yang dengan sukarela akan mengantarnya pulang tadi. Tapi dirinya masih belum bisa jika harus menghabiskan sedikit waktu lebih lama dengan Sasuke, meski itu sebatas perjalanan dari rumah pria itu menuju rumahnya. Akan aneh pastinya.

Saat pria itu tidak berniat untuk memaksakan diri mengantarnya, Sakura sedikit lega—ia tidak perlu repot-repot memutar kepala untuk mencari alasan logis sebagai penolakan yang berujung pada penyesalan. Jika dipikir sekali lagi, Sakura tidak akan mati jika memang harus menerima tawaran Sasuke. Ia cukup sedikit mengabaikan keberadaan pria yang benar-benar ada itu dan semuanya akan baik-baik saja.

Tapi serius, Sakura tidak memiliki kulit setebal badak yang akan bisa baik-baik saja setelah melewati kenyataan menggelikan itu.

Jadilah Sakura berjalan sendirian di jalanan yang mulai sepi menuju rumahnya. Tidak benar-benar sepi karena kenyataannya masih ada beberapa orang yang tengah menjalani aktivitas malam dan kebanyakan dari mereka membuat Sakura melirik penuh kewaspadaan. Tolonglah, walaupun ia memahami teknik bela diri, tapi Sakura belum pernah sekalipun mempraktikannya kepada seorang penjahat dan sekarang hampir pukul setengah duabelas malam!

Saat tangannya mencapai pagar kayu yang tingginya sama rata dengan pinggangnya itu, Sakura menghembuskan napas lega—sedikit kasar kedengarannya. Membuka pagar rumahnya itu dan terkejut saat berbalik untuk menutupnya kembali. Seperti ada di film romans yang sering ditontonnya saat masih duduk di bangku sekolah menengah, seorang pria tengah berdiri beberapa meter dari keberadaannya. Menghadapnya dan menatapnya dengan senyum samar yang cukup terbaca, menjadi satu-satunya hal yang membuatnya terpaku seperti orang bodoh.

Sasuke berdiri di seberang sana, dengan kedua tangannya yang tersembunyi di dalam saku celana—yang sangat kentara bila dirinya tengah menahan dinginnya angin malam.

Sakura tidak tahu harus melakukan apa, tepatnya setelah dirinya menyadari keberadaan pria itu. Sangat tidak mungkin jika dirinya langsung berbalik dan masuk ke rumahnya seolah sama sekali tidak melihat apa yang jelas disadarinya itu. Dan kalimat yang pria itu ucapkan waktu itu benar-benar kembali berputar di kepalanya.

Benar, mungkin Sasuke melakukan ini hanya untuk memperbaiki apa yang salah. Seolah dirinya ingin dipandang lain selain sebagai seorang fanatik—oke, memang belum dapat dipastikan jika Sasuke seorang fanatik atau bukan, tapi hanya sebagai sebutan spontan yang nyaman Sakura pakai.

Saat Sakura kembali mendongak untuk menatap Sasuke, tempat itu telah kosong. Sasuke sudah tidak lagi berdiri di sana dan tersenyum. Dan yang ia takuti detik ini adalah jika dirinya hanya sedang berhalusinasi tentang pria itu, membuatnya seolah menjadi fanatik yang sebenarnya.

Maka Sakura segera mengamati jalanan yang dilewatinya tadi dari balik pagar, hingga menemukan punggung sosok jangkung tengah berjalan dengan santai menjauhinya.

.

.

.

"Jadi, kau masih marah kepadanya?"

Sakura melirik malas Karui yang menatapnya penuh selidik namun hati-hati. Sepertinya Sakura melakukan hal yang cukup ampuh hingga mengubah Karui sedemikian rupa. "Aku tidak pernah bilang marah padanya, 'kan?"

Karui menaikkan sebelah alisnya tidak percaya mendengar jawaban yang nyaris bertolak belakang dengan sikap Sakura akhir-akhir ini, tentu saja kepada Sasuke. "Kau tidak terlihat 'tidak marah', kau jelas menghindarinya, meski itu kontak mata sekalipun."

Mungkin Sakura sedang sangat sensitif di luar periode bulanannya. Argumen Karui cukup membuat telinganya memanas dan kepalanya mendidih, apalagi ini menyangkut seseorang yang memang akhir-akhir ini dihindarinya setelah mereka sama sekali tidak pernah membahas itu. Sakura tidak merasa sikapnya keterlaluan karena ia rasa ia perlu melakukan ini. "Dia memintamu untuk bertanya seperti ini?"

"Dengar, Sakura." Karui seperti bukan Karui, dia justru menjamah titik serius dalam dirinya kali ini. "Setelah apa yang terjadi waktu lalu, dia tidak pernah lagi—sekalipun—bertanya apapun padaku. Seolah itu tidak pernah terjadi sebelumnya dan sikapmu .. benar-benar terlihat tanpa perlu tahu apa penyebabnya. Kau jelas menghindarinya."

Sakura menghela napas, memijat pelipisnya saat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Dijelaskan sedemikianrupapun, Karui tidak akan pernah mendukungnya. Dia akan selalu mendikte apa yang perlu Sakura lakukan untuk melewati ini dan menuding telak bahwa sikap Sakura keterlaluan.

Seperti remaja labil, katanya.

"Aku tidak ingin membuatnya membuang waktu," balas Sakura pada akhirnya. "Dia memiliki hal yang lebih penting dalam hidupnya."

"Sakura," Karui menatapnya, suaranya lebih terdengar kecil ketimbang sebelumnya dan tatapannya menajam. "Kau pernah bilang kalau kau tidak pernah menjalin hubungan serius apapun dengan seorang pria. Boleh aku bertanya kenapa? Kau memiliki trauma? Atau kau sebenarnya membenci mereka?"

Sakura memejamkan matanya, sudah lama dirinya ingin memberi tahu hal ini kepada Karui, tapi dirinya tidak pernah tahu harus benar-benar mengatakannya atau tidak. Jika ini adalah kesempatannya untuk membuat orang terdekatnya mengerti, maka tidak ada yang perlu ia khawatirkan.

"Ibuku melarangku untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun," suaranya terdengar kecil, tapi tidak bergetar. "Dia bilang kalau aku tidak akan pernah mengerti kemana jalan pikiran mereka. Apakah mereka benar-benar serius? atau hanya menjadikan perempuan sebagai pelampiasan status menyedihkannya? Aku tidak pernah mencari tahu apapun setelah mendengarnya dan memilih untuk berinteraksi seadanya dengan mereka."

"Kau bodoh?"

"Ya." Sakura mengusap permukaan map dengan telunjuknya, sama sekali tidak menatap Karui yang sepertinya siap menelannya bila ia tidak menjelaskan alasan paling logis atas masalah ini. "Ayahku juga memintaku untuk fokus pada pendidikan. Aku sudah pernah bilang bukan, kalau ayahku selalu menginginkanku untuk menjadi dokter? Setelah aku mengecewakannya dengan memilih jalanku sendiri, aku seolah jatuh terlalu dalam dan mendedikasikan hidupku untuk ini."

Sakura menghela napas, lelah juga menjelaskan banyak hal kepada Karui yang hanya diam memelototinya. "Dari situ, aku tidak pernah memprioritaskan masalah hubungan seperti itu dalam hidupku. Dan aku benar-benar telah membuktikan jika aku tidak akan mati meski aku tidak memiliki pacar sekalipun."

"Kau idiot, bodoh, sinting, tolol, kuno, dan sangat-sangat aneh!" kalimat itu keluar dari mulut Karui setelah beberapa detik dihabiskan wanita itu untuk menghembuskan napas tidak percayanya. "Chouji, tetanggamu."

Sakura mengernyit mendengar nama itu baru saja disebut oleh Karui. "Apa? Kau mengenalnya?"

"Dia adalah pacarku."

"Apa?! Kau bercanda?" Sakura seolah lupa dengan suasana percakapan mereka barusan, ia tertawa garing yang menunjukkan bahwa dirinya terlarut dalam guyonan receh Karui. Jika memang sahabatnya ini berpacaran dengan Chouji, sudah pasti ia mengetahuinya.

"Aku dan Chouji berteman lama dengan Sasuke." Karui mengabaikan pertanyaan Sakura. "Sasuke adalah pria yang baik, dirinya hampir bisa melakukan apapun dan mengatasi masalah apapun dengan begitu mudahnya. Kecuali pengkhianatan."

Sakura menggeleng pelan, "Aku tidak mengerti."

"Dia pernah patah hati, hingga membuatnya depresi. Sampai dirinya bertemu dengan seorang wanita yang seolah mampu membuat Sasuke kembali menjalani harinya dengan lebih baik." Sakura mengernyit mendengar ungkapan Karui. "Dia adalah Shion. Mereka berkenalan di sebuah cafe karena insiden yang bahkan tidak pernah kuketahui. Dan entah kebetulan dari mana, Shion bekerja di sini."

"Kejadiannya sedikit lebih berbeda darimu. Sasuke mendengar curhatan Shion tentang keluarganya yang mengalami kebangkrutan saat itu dan Shion mengaku dikeluarkan dari tempatnya bekerja di negara sebelah. Dan karena alasan ketertarikannya, Sasuke mengizinkan Shion untuk melakukan wawancara di sini. Wanita itu adalah wanita cerdas."

"Hubungan mereka terjalin cukup lama, sampai hal yang buruk benar-benar terjadi. Sasuke harus merasakan hal yang sama setelah bertahun-tahun rasa itu terobati. Shion mengkhianatinya, bahkan aku, yang berusaha untuk dekat dengannyapun tidak pernah tahu kalau dirinya telah berkeluarga."

.

"Bisa dibilang aku adalah sekretaris pribadinya."

Mulut Sakura terbuka lebar mendengar pengakuan Karui. Bahkan matcha ice cream di tangan kanannya terabaikan hingga meleleh sebagian. "Jadi kau mendekatiku hanya untuk menguak informasi tentangku?"

"Maaf. Tadinya, iya, tapi sekarang aku benar-benar menganggapmu sebagai sahabat. Kau luar biasa, Sakura."

"Aku sangat .. tidak tahu harus bagaimana. Dalam sekejap semuanya berubah. Kau berbohong padaku dan—"

"Aku tidak pernah berbohong padamu, Sakura. Aku hanya menyembunyikan identitasku sebagai pelayan keluarga Uchiha. Sasuke sebenarnya sangat tidak suka saat tahu keberadaanku, jadi untuk menghindari itu semua, dirinya menjadikanku pekerjanya dan dirinya berhasil menyibukkanku dengan proyek yang diberikannya."

Sakura menghembuskan napas kasar, membuang ice creamnya ke tempat sampah dan membersihkan tangannya dengan tisu yang disodorkan Karui. "Jadi kau tahu alasan Sasuke menyukaiku?"

"Tentu saja."

"Apa?"

"Apa?" Karui mengulangi pertanyaannya dengan sebelah alisnya yang terangkat, wajahnya tiba-tiba berubah menyebalkan. "Bukankah tidak sopan mendiskusikan hal pribadi orang lain seperti ini?"

Sial, dia membalikkan perkataan Sakura saat itu. Dia benar-benar bekerja di ketiak Sasuke.

"Ini berbeda, Karui."

Karui tertawa geli mendengarnya, terlihat puas. "Intinya, dia sudah tertarik padamu saat kami datang ke rumah Chouji, Chouji bilang kalau hari itu adalah harimu diwisuda sebagai sarjana, dan mungkin kalian memang berjodoh karena ternyata kau mengirim surat lamaran ke perusahaan, aku bisa melihat ekspresi tidak percaya—nyaris bodoh—Sasuke saat itu."

Sakura terkejut, tentu saja, tidak tahu harus menimpalinya dengan apa, karena bagaimanapun kenyataan ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarinya. Sasuke tertarik denganya bahkan saat Sakura belum mengenal pria itu? Kenapa juga Sakura harus melamar pekerjaan di perusahaannya?

"Kita harus kembali, jam makan siang akan berakhir."

.

.

.

Ini hari ke lima sejak Sakura mengabaikan Sasuke, yang artinya baru kemarin ia mendengar semua penjelasan Karui. Sakura tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa. Ini semua telah berjalan begitu jauh. Ingin marah karena selama ini Karui menyembunyikan hal sebesar itupun tidak ada gunanya, terlebih saat wanita itu mengaku melakukan ini karena Sasuke tertarik padanya. Dan Sakura masih teringat dengan jelas pengakuan pria itu.

Rasanya Sakura ingin menghilang dari permukaan bumi.

"Ayo, cepat telepon Sasuke!" Samui, yang mengaku mengetahui ini semua tetapi tetap memilih untuk bungkam mendesak Sakura yang masih ragu untuk meminta maaf kepada Sasuke.

Sakura tahu kalau Samui tidak sedang menyamar, yang artinya wanita itu memang benar-benar seorang pekerja di perusahaan—dan bukan sekretaris pribadi Sasuke, seperti Karui. Dan yang paling Sakura benci adalah kebohongan kedua temannya ini tentang ketertarikan berlebih mereka terhadap tubuh Sasuke. Katanya, mereka hanya menguji seberapa kotor pikiran Sakura tentang Sasuke—dan Karui bersumpah tidak pernah menceritakan apapun kepada Sasuke tentang pengujian ini.

Ia tidak mau Sasuke merasa tersinggung.

"Aku tidak mau!" Sakura melempar ponselnya ke atas ranjangnya. Kemudian bangkit dari karpet untuk berdiri di depan jendela kamarnya, menjadikan ibunya yang sedang menyirami tanaman di bawah sana sebagai objek terbaiknya.

Karui memerhatikan dengan helaan napas. "Kau harus mengatakan sesuatu kepadanya, Sakura."

"Ya! Kau seharusnya bersyukur karena manusia dengan standart tinggi seperti Sasuke mau menyukaimu." Samui bertolak pinggang, seolah sedang memarahi keponakannya yang menolak hadiah bagus dari nenek.

Sakura menghela napas, tidak bisa menghilangkan nama Sasuke dari dalam kepalanya dan apa yang diucapkan Samui barusan benar-benar menohok hatinya. Jika memang ia tidak suka, maka seharusnya ia mengatakan hal itu langsung kepada Sasuke. Sakura bisa dicap sebagai pengecut karena memilih kabur tanpa memberi penjelasan berarti kepada Sasuke.

Tapi yang Sakura paling takutkan di sini adalah berhadapan langsung untuk menjelaskannya kepada pria itu. Menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa membiarkan Sasuke menyukainya. Aneh, sangat-sangat aneh. Sakura akui, setelah ia merenung, ia tahu ia senang karena Sasuke menyukainya. Tapi di sisi lain, Sakura tidak bisa membiarkan pria itu menyukainya karena Sakura juga tidak ingin menyukai bosnya sendiri—tidak, bukan itu alasan utamanya, tapi ia takut mencintai.

"Apa kau yakin Sasuke benar-benar menyukaiku?"

Karui berdecak mendengar pertanyaan Sakura, "Aku bisa saja mendorongmu dari jendela, Sakura."

"Setelah ini semua, kau masih tidak percaya kalau Sasuke benar-benar menyukaimu?" timpal Samui.

"Lalu aku harus apa?"

"Katakan perasaanmu padanya. Jika kau tidak suka, maka jujurlah, dan jika kau suka maka katakan jika kau memiliki perasaan yang sama." Karui menatap Sakura, serius dengan irisnya yang memaku langsung pada mata Sakura.

Membuat Sakura tidak bisa berkutik selain memutar kepala untuk mencari pertanyaan lain yang mengganjal dalam dirinya. Setidaknya Sakura menghindari sebuah penyesalan. "Bagaimana kalau dia hanya sekadar tertarik? Bukan menyukai seperti yang kau kira."

Menjelaskan masalah ini kepada Sakura benar-benar seperti menjelaskan sebuah soal ujian masuk perguruan tinggi kepada seorang anak berusia sepuluh tahun. Tidak, Sakura hanya mengulur-ulur waktu. "Aku tahu ini terlalu cepat, tapi tidak ada yang tahu kapan perasaan seseorang bisa berkembang."

"Menurutmu mengapa aku harus melakukan ini? Aku perempuan, aku tidak bisa melakukan ini semua," ucap Sakura telak, seolah benar-benar enggan untuk berbicara apapun dengan Sasuke.

Karui mendesah pelan, berusaha memaklumi apa yang sedang Sakura pikirkan saat ini. "Melakukan ini tidak akan menjadikanmu tidak berharga, justru perempuan seperti ini yang pria cari. Jika kau salah, maka kau akan minta maaf. Jika kau benar maka kau tidak perlu menuntut permohonan maaf agar semuanya baik-baik saja. Hidup ini sangat mudah, Sakura."

"Katakan sebuah kejujuran!" pekik Samui setelah dirinya hanya diam saja mendengar setiap pertanyaan bodoh dari Sakura. Ia terlampau gemas dengan permasalahan kecil yang Sakura alami saat ini. Ya, ini seharusnya menjadi masalah kecil.

Sakura menerima sodoran paksa ponselnya oleh Samui, ragu untuk menyentuh simbol hijau pada layar yang menunjukkan nomor Sasuke. Ia bergabung dengan Samui dan Karui menduduki ranjangnya, berusaha menenangkan jantungnya yang sibuk berdetak brutal di dalam dadanya. Kemudian sebelum Sakura menelepon nomor Sasuke, jari Samui sudah lebih dulu menekan simbol telepon di layar ponselnya.

Sakura melotot, tapi tidak mungkin bergerak untuk mematikan sambungannya yang mulai terdengar. Membiarkan Karui mengganti modenya menjadi loud speaker hingga mereka bertiga dapat mendengar dengan jelas suara pria itu.

"Sakura?"

Sakura melirik Karui dan Samui, "Sasuke."

Dari suara hembusan napasnya, Sasuke sepertinya tengah tersenyum. "Ada apa?"

Karui mengintrupsi Sakura untuk segera menjawabnya dengan gerakan tangan. Wajahnya terlihat gemas. "Kau sedang apa?" kemudian keduanya menepuk dahi bersamaan membuat Sakura meringis.

"Di perjalanan. Ada apa?"

Karui kembali menggerakkan tangannya, meminta Sakura untuk melanjutkan percakapan mereka tanpa memberi Sasuke kesempatan untuk mengulang pertanyaannya. Yang artinya, Sakura harus segera mengatakan tujuannya menelepon Sasuke tanpa perlu mengulur waktu. "Ini—uh—tentang waktu itu."

"Waktu itu?"

Sakura menggigit bibir bawahnya, semakin berdebar jika kenyataan dari pertanyaan Sasuke membuat pria itu terdengar telah melupakan kejadian luar biasa itu. Baiklah, yang perlu Sakura lakukan adalah meneruskan kalimatnya, "Apa kau sungguh-sungguh?"

Sasuke memberi jeda cukup lama setelah pertanyaan Sakura terlontar. Tidak tahu pasti apa yang sedang pria itu pikirkan, yang jelas jeda ini membuat Sakura semakin gugup. "Ya."

Sakura menarik napasnya, memejamkan matanya. "Sejak kapan?"

"Kenapa kau harus tahu?"

Karui sepertinya belum memberi tahu Sasuke kalau dirinya telah membeberkan identitas dirinya kepada Sakura. "Aku .. harus tahu untuk memutuskan sesuatu."

"Aku ingin melihatmu."

.

Mereka bertemu di sebuah taman. Sasuke yang datang sedikit terlambat membawakannya minuman hangat. Benar-benar canggung rasanya sejak Sasuke memosisikan diri untuk duduk di sampingnya. Perasaan antara berdebar dan kesal benar-benar menggerogoti tubuh Sakura dan satu-satunya yang bisa ia ucapkan di hadapan pria itu adalah berterima kasih untuk minuman yang dibawakan. Ini sangat payah.

"Apa yang ingin kau putuskan?"

Sakura menoleh, mendapati Sasuke tengah menatapnya dengan serius—tetapi serius kali ini benar-benar berbeda dari wajah seriusnya saat meeting. Sasuke terlihat baik-baik saja, tidak ada guratan lelah ataupun sakit hati jika mengingat Sakura menghindari pria itu selama hampir satu minggu penuh. Membuat Sakura seolah meragukan pernyataan suka Sasuke kala itu.

Oh yang benar saja, Sasuke bukan lagi remaja—jika Sakura sama sekali tidak menyadarinya. Pria ini sangat profesional dalam hal apapun jadi mengapa dia harus uring-uringan hanya karena diabaikan oleh seorang gadis semacam Sakura? jika mau, Sasuke bisa mendapat ribuan perhatian dari gadis lain.

"Aku butuh penjelasanmu." Sakura memutar tubuhnya menghadap Sasuke, menatap pria itu dengan tatapan sungguh-sungguhnya.

Pria itu mengernyit tipis. "Apa yang ingin kau ketahui?"

"Perasaanmu." Sasuke tidak tahu, seberapa besar keberanian yang Sakura kumpulkan untuk ini semua dan gadis itu berhasil. "Katakan jika apa yang kudengar itu salah."

"Tidak ada yang salah, Sakura, tidak ada," Sasuke tersenyum kecil, seolah tanda keprihatinannya atas dirinya sendiri. "Cukup lama bagiku memiliki perasaan ini. Aku tahu aku bukanlah pria baik-baik. Tapi hanya karena memiliki sebuah perasaan padamu, aku merasa berbeda. Tanpa mengetahui apapun, kau seolah dapat merubah hal kecil dalam hidupku dan itu juga membuatku seolah .. selalu membutuhkanmu."

Tanpa Sasuke ketahui, Sakura mencubit pahanya sendiri, membuatnya mengernyit kesakitan tanpa terbangun dari mimpi. Ini adalah kenyataan, dan pria yang sedang menatapnya ini adalah awan yang sangat sulit untuk dijangkau—hampir mustahil untuk bisa diraih, tapi awan itu bergerak mendekati sosok tak kasat mata seperti Sakura tanpa diperintah. " .. huh?"

"Aku tahu kau tidak pernah mengharapkan ini, tapi aku ingin menunjukkan seberapa besar perasaanku padamu." Sasuke menghembuskan napasnya pelan, menatap lamat-lamat Sakura yang masih berusaha menghindari kontak mata dengannya, seperti hanya itu satu-satunya cara untuk meyakinkan gadis di hadapannya ini.

Seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perut Sakura, sudut bibirnya seolah bergetar karena menahan ledakan tawa yang rasanya sangat tidak sopan meski itu untuk menertawai pengakuan sungguh-sungguh Sasuke. Sakura baru merasa kalau hal seperti ini benar-benar aneh.

Sakura berdeham, "Bagaimana kau bisa semudah itu menyimpulkan perasaanmu terhadapku?"

Mungkin sampai sepuluh detik lamanya Sasuke tidak kunjung membuka suara untuk pertanyaan itu. Sakura menyimpulkan bahwa pria itu membutuhkan waktu untuk menyusun kalimatnya. Sakura tidak ingin sombong dengan apa yang justru tidak pernah diharapkannya terjadi dalam hidupnya, sekalipun kenyataan bahwa pria sekelas Sasuke Uchiha mengaku menyukainya.

Pria itu menatapnya setelah—sepertinya—memikirkan sesuatu. "Saat kau ada di bar, akupun telah berada di sana saat kau keluar, aku meneleponmu untuk memastikan jika di Konoha tidak ada yang memiliki rambut sepertimu—selain dirimu. Karui meneleponku, katanya kau sedang ke kamar mandi, dia juga berkata bahwa Idate merencanakan sesuatu."

"Idate memang merencanakan pesta. Kenapa?"

"Ya, aku tahu itu. Hanya saja Karui tahu kau tidak akan bisa pulang terlalu larut."

Sakura mengernyit, curiga dengan perkataan Sasuke yang berbeda dari alasan Karui waktu itu. "Jadi?"

Kedua alis Sasuke terangkat, "Tentu saja karena itu dia menghubungiku untuk menjemputmu, tapi kami sama-sama tidak tahu kalau kejadiannya akan serumit ini."

Sakura menghembuskan napasnya kemudian. Ia merasa aneh, tentu saja. Kedua orang ini memiliki alasan yang berbeda, membuat Sakura tidak bisa meyakini alibi keduanya. Jika salah satu dari mereka berbohong, maka siapa yang bisa Sakura percayai? Tapi ini bukan saatnya untuk memikirkan alasan keduanya, Sakura merasa Sasuke dan Karui menolongnya—terutama Sasuke yang tidak keberatan membawa Sakura ke rumahnya dan mengobati luka yang tercipta di wajah Sakura, juga menghindarkan Sakura dari amukan ibunya.

"Terima kasih, kurasa aku lupa mengucapkan itu padamu."

Sasuke mendengus, senang bisa mengalihkan percakapan. "Aku bersedia menolongmu jadi jangan berterima kasih."

Setelah sekitar satu menit mereka sama-sama terdiam dan Sakura yang sedang menyesap minumannya dalam diam harus menjauhkan cupnya begitu suara Sasuke mengintrupsi. "Aku hanya memiliki satu perasaan padamu, Sakura. Bagaimana bisa? Seberapa besar? Seserius apa? Aku juga tidak tahu."

.

.

.

"Jadi, apa jawabanmu?"

"Apa jawabanku?" Sakura mengulang pertanyaan yang Samui lontarkan dengan mulut penuh dengan daging. "Apa yang perlu kujawab begitu mendengar pernyataan perasaannya kepadaku?"

Karui bergumam, mencoba mengingat setiap detail apa yang baru saja Sakura ceritakan tentang kejadia bersejarah itu. "Jadi dia tidak mengajakmu berpacaran?"

"Tidak."

Samui tersedak, nyaris memuntahkan kunyahannya jika ia tidak langsung menyesap setengah minuman dinginnya. Jawaban singkat yang langsung Sakura ucapkan benar-benar membuatnya terkejut. "Tidak mungkin, Sakura."

"Yang lebih tidak mungkin adalah jika aku berpacaran dengan bosku sendiri," balas Sakura menatap malas Samui yang memang selalu bersemangat jika mereka membahas ini, terlebih di saat dia membayangkan jika Sasuke menjadi kekasih sahabat merah jambunya ini.

"Oh, astaga," Samui berseru pelan, matanya melotot dan kunyahan dagingnya telah lenyap dari mulutnya. "Setidaknya katakan padaku jika dirinya mengajak bersenang-senang. Sekarang begitu cara mainnya, tidak ada status mengikat dan tidak ada drama apapun, hanya ada kesenangan dan seks."

Karui menjitak Samui dengan napsu hingga suaranya terdengar begitu ngilu di telinga Sakura. "Kau menyindirku?!"

"Kau merasa tersindir? Memangnya drama apa yang bisa dibuat oleh kekasih dua tonmu?"

Hampir Karui memberi double head shoot kepada Samui yang kemudian ditahannya begitu menyadari Samui bisa saja gegar otak karena itu. Gertakkan gigi menjadi penahannya. "Tanyakan pada Sakura, Chouji tidak segemuk gajah bunting!"

Sakura tersedak mendengar ucapan Karui, seolah-olah baru teringat akan hal sebesar bahwa Karui berpacaran dengan tetangganya. "Benar juga, aku masih penasaran bagaimana kalian bisa menjalin hubungan?"

"Kenapa harus sepenasaran itu? Chouji seorang fotografer terkenal dan beberapa kali memotret Sasuke, kemudian entah bagaimana mereka berdua bisa berteman dan Chouji menyatakan cinta padaku, Sasuke bilang Chouji adalah pria yang baik dan aku bisa menjamin itu setelah hubungan kami yang sudah berjalan lama." Karui mencomot makanan Sakura begitu selesai dengan penjelasan kilatnya, membiarkan Sakura bengong di tempat duduknya.

"Yang membuatku penasaran adalah bagaimana rasanya seks dengan pria gempal?" pikiran Samui memang sangat kotor.

Sakura melotot mendengarnya, menimpali ucapan Samui dengan kalimat tidak senonoh dalam kepalanya. "Bagaimana mereka bisa melakukan seks jika penisnya tertutup lemak paha?"

Karui hampir menjitak Sakura jika saja tidak mengingat kalau gadis itu sedang berada dalam masalah cinta, atau tengah bimbang karena cinta. Yang jelas Karui tidak ingin merenggut hidup Sakura dengan jitakan mautnya.

Samui berdecak terlihat menyesali apa yang diutarakan, "Kita salah karena membahas Chouji, Sakura, aku lebih tertarik untuk membahas Sasuke."

Sakura merotasikan bola matanya. "Kau mengejekku?"

Karui menyimpan tinjuannya dan menimpali, "Bisa jadi sebenarnya kau menyukai Sasuke tapi selalu berbohong kepada dirimu sendiri."

"Bisakah kita mengganti topiknya?" Inilah hal yang paling sensitif

"Ya, Sasuke memiliki bokong yang sangat seksi."

Sakura menatap malas Samui, wanita pirang itu menggigit kentang gorengnya dengan wajah gemas yang nyaris membuat Karui dan Sakura memuntahkan isi perut mereka.

Samui mengangguk pasti, "Ayolah, Mama, tidak bisakah kau membayangkan seberapa kencang bokongnya? Kemudian tubuh proporsionalnya saat telanjang bulat, pinggulnya yang bergerak liar, dan wajah terangsangnya—baiklah, aku diam." Samui tersenyum geli melihat reaksi keduanya.

"Aku hanya ingin kami berteman dan kurasa dia tidak keberatan dengan itu."

Karui tersenyum mendengarnya, menggenggam tangan Sakura membuat gadis merah jambu itu menoleh dan menatapnya. "Bukankah kalian memang sudah berteman sejak awal?" desisnya masih memertahankan senyuman yang terlihat ngeri, seperti ada asap angker dari balik tubuhnya.

"Hanya peresmian."

Samui tertawa menanggapinya dan beranjak, mengajak keduanya untuk meninggalkan cafe begitu menyadari mereka telah selesai. Bukan rutinitas yang akan mereka lakukan setiap minggunya, ini adalah kesempatan emas bagi mereka untuk bisa menghabiskan akhir pekan bersama-sama.

Sakura merasa sangat lega, setidaknya setelah mendengar hal baik yang Sasuke ucapkan. Mustahil jika Sakura memilih untuk menjauh dari 'hidup' Sasuke dan bersikap seperti tidak pernah mendengar apapun dari bibir Sasuke, karena pria ini yang selalu menghantui pikirannya dan seolah selalu memiliki bangku tetap di kehidupannya. Sangat aneh.

Mereka selesai saat hari masih sore, Samui meminta untuk langsung pulang ke rumahnya karena tiba-tiba ada seseorang yang menghubunginya dan mengatakan jika dirinya akan datang ke tempatnya. Cukup aneh karena Samui sama sekali tidak mengatakan apapun tentang si penelepon selain meminta agar Karui menginjak pedal gas.

Setelah itu baru mereka melesat menuju rumah Sakura. Sakura melepas seat beltnya dan menatap Karui yang hanya menatap depan, seolah memikirkan sesuatu.

"Kau ingin mampir?" tawarnya membuat Karui menoleh dengan ekspresi sedih. Entah itu sedih atau bukan, tapi tatapannya tidak sama seperti beberapa menit lalu. Sakura rasa apa yang akan Karui katakan nanti adalah hal yang sangat serius.

"Kau tahu mengapa aku sangat ingin kalian dekat?" tanyanya masih dengan ekspresi sama. Dan gelengan pelan dari Sakura membuatnya melanjutkan, "Aku berhasil mengenalmu dengan baik dan aku yakin kau adalah orangnya. Jika kau juga mempermasalahkan masa lalu Sasuke, percayalah kalau kau adalah masa depan untuknya."

Sakura mengernyit mendengarnya, "Aku tidak tahu—"

"Sakura," Karui terlihat frustasi, tentu saja, Sasuke bukan hanya atasannya tapi Sasuke juga keluarganya dan Sakura adalah sahabatnya. "Jika kau mau, kau bisa menunjukkan pada ibumu kalau Sasuke adalah pria yang berbeda."

"Karui, aku takut mencintainya, itu permasalahan sesungguhnya."

Karui menaikkan kedua alisnya, terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya dari Sakura. Tapi kemudian ia berdeham, berusaha mengalihkan pikiran buruknya tentang ini. "Kau akan tahu kalau Sasuke adalah manusia paling setia di muka bumi ini. Dia sudah mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya."

Sakura bisa tahu itu dari segala sikap yang Sasuke tunjukkan. Dia adalah pria yang baik, sangat-sangat baik. "Aku bisa menjadi teman yang baik untuknya."

Karui tersenyum mendengar itu, merasa kalau hubungan baik keduanya bisa saja membuahkan hal baru, tidak ada yang tahu itu. "Aku akan merencanakan kejutan untuk Sasuke di rumah Chouji, kau mau ikut? Kami belum sempat memberinya kejutan ulang tahun dan ini memang sangat telat."

"Kau dan Chouji?"

"Tidak, ada teman-teman Sasuke semasa kuliah dulu. Bagaimana?"

"Tidak, kurasa aku hanya akan mengganggu." Setelah itu Sakura segera keluar, membiarkan mobil Karui melaju beberapa meter dan berhenti di depan rumah Chouji. Wanita itu sempat menyeringai jenaka begitu menatap Sakura yang dibalas usiran oleh gadis itu dengan lambaian tangannya.

Kamudian tiba-tiba ponsel dalam tas selempangnya bergetar, menunjukkan nomor tak dikenal di sana, membuat Sakura sedikit ragu untuk mengangkatnya. "Halo?"

"Apa ini, Sakura?"

Itu suara seorang wanita yang cukup familiar di telinga Sakura tapi ia tidak terlalu yakin. "Ya, siapa ini?"

"Syukurlah jika ini kau. Apa Sasuke ada bersamamu?"

Sakura mengernyit, merasa ada yang ganjal dari kelegaan itu—tidak tahu pasti, hanya saja, wanita itu sengaja mengabaikan pertanyaan tunggal yang Sakura lontarkan dengan jelas, tapi justru menanyai keberadaan Sasuke kepadanya, ini aneh. "Aku tidak bersamanya."

"Apa kau sungguh-sungguh?"

"Kenapa aku harus berbohong padamu?" Baiklah, ini sangat menyebalkan. "Aku harus tahu siapa kau? Dan dari mana kau mendapat nomor ponselku?"

"Dari ponsel Sasuke. Tapi tenang saja, aku tidak akan berbuat jahat kepadamu, setidaknya hanya untuk menanyakan hal serupa."

Sakura mengernyit mendengarnya, "Dari ponsel Sasuke? Siapa kau?"

"Baiklah jika Sasuke tidak bersamamu."

Sambungan telah diputuskan. Sakura menatap nomor asing itu dengan khawatir, tidak bisa begitu saja berpikir kalau orang ini orang yang jahat, tapi caranya mengabaikan pertanyaan Sakura tentang identitasnya benar-benar perlu dicurigai. Maka Sakura segera mencari nama Sasuke dalam daftar kontak ponselnya dan menghubunginya. Kemungkinan yang terpikirkan tentang nomor Sasuke sedang sibuk sirna saat nada sambung terdengar, kemudian tidak lama Sakura bisa mendengar suara bahwa si pemilik nomor mengangkat sambungannya.

"Sakura?"

"Kukira ponselmu sedang sibuk—begini, tadi seorang wanita menghubungiku, dia menanyai keberadaanmu dan katanya dia mendapat nomorku dari ponselmu."

"Kau mengenalnya?"

"Itulah masalahnya, dia tidak menjawab saat kutanyai. Aku tidak tahu kenapa dia menghubungiku."

Sasuke terdengar menghembuskan napas kencang di seberang sana. "Jika dia menghubungimu lagi, jangan jawab apapun, atau blokir saja nomornya."

"Akan kublokir. Tapi kau tahu siapa itu?" Sakura yakin Sasuke tahu siapa yang menghubunginya, atau paling tidak pria itu bisa memperkirakan wanita mana yang sering membuka ponselnya dan menyalin nomor Sakura dari sana.

"Tidak," itu seperti bukan jawaban yang akan Sasuke beri, dari jeda yang terlalu panjang dan hanya 'tidak'? aneh. "Aku harus pergi."

"Oke, sampai jumpa."

"Hn. Sampai nanti."

.

.

.

Sakura memijat pelipisnya pelan begitu memasuki perusahaan, menjawab sapaan dari Matsuri saat gadis itu berlari ke arah yang berlawanan, gadis itu sepertinya sangat terburu-buru. Tapi terserahlah, Sakura hanya memikirkan kepalanya yang rasanya hampir pecah karena terlalu banyak menonton drama percintaan hingga pukul dua pagi dan sengaja memasang alarm di pukul lima. Ia hanya sedang mengikuti pola tidur seseorang, yang membuatnya merasa semakin aneh di saat sarapan.

Tentu saja ia masih mengingat pengakuan Sasuke yang selalu tidur lebih dari pukul duabelas malam dan akan selalu bangun di pukul lima pagi. Pria itu tentu saja melakukan hal penting hingga rela tidur terlalu larut, tidak sama seperti Sakura tentunya.

Lift hampir tertutup saat Ino berlari dan masuk. Wanita itu juga sama terburu-burunya dengan Matsuri, tapi yang berbeda, wanita itu tidak menyapanya lebih dulu, membuat Sakura malas untuk menyapa Ino. Jika Ino menganggap jabatannya lebih tinggi dan kewajiban bawahannya untuk menyapa lebih dulu, maka Sakura tidak akan melakukan itu meski hanya untuk berbasa-basi. Wanita pirang itu tidak pantas dielu-elukan.

Saat lift berhenti di lantai dua, Ino beranjak lebih dulu, meninggalkan Sakura yang menggeleng maklum hingga ia menyadari sesuatu tercetak manis di bokong bulat Ino. "Ino!"

Ino menoleh, sedikit tidak sabar, "Apa?"

"Ada saus di bokongmu," gumam Sakura sembari menunjuk samar bagian tubuh yang disebutnya.

Membuat Ino membelalakkan matanya dan segera mengintip susah payah. Matanya semakin melotot begitu melihat kebenaran yang Sakura katakan. Dia menoleh ke sana ke mari mencari sesuatu dengan kebingungan, kemudian menatap Sakura, "Berikan blazermu."

Kedua alis Sakura naik, tahu tujuan peminjaman blazer ini. "Kenapa harus aku?" bukannya Sakura tega dengan Ino, hanya saja, ini blazer kesayangannya—yang ia beli pertama kali menggunakan gaji pertamanya.

Ino mendekatinya, kemudian mendesis, "Aku tidak mungkin meminjam blazer orang lain."

"Gunakan saja blazermu—"

"Kau tahu aku tidak pernah mengenakan blazer, jadi jangan tunda bantuanmu, Sakura." Ini seperti deja vu, tapi dengan noda permasalahan yang berbeda.

Sakura berdecak, melepaskan blazer abu-abunya dan memberikannya kepada Ino dengan sebal. Wanita itu menerimanya tanpa berpikir dua kali, mengikatkan lengan blazer pada pinggang rampingnya hingga noda di bokongnya tidak lagi terlihat. Oh astaga, blazer kesayangan Sakura harus ternodai.

"Berikan aku pembalut juga."

"Banyak sekali maumu—"

"Kau pasti tidak mau melihat blazermu terkena rembesan saus, 'kan?"

Sakura menghembuskan napasnya kasar, bejalan mendahului Ino menuju mejanya untuk membuka tas kerjanya dan mengambil sebuah benda segi empat dari sana. "Pastikan saus itu tidak menodai blazerku."

"Ya, ya, jangan khawatirkan itu," jawab Ino, wanita itu tidak segera beranjak, tapi malah memerhatikan penampilan Sakura dari ujung kaki hingga kepala. Sakura hanya memakai kemeja dan celana bahan yang sewarna dengan blazernya tapi entah mengapa Ino merasa gadis di depannya ini terlihat bagus. "Kau cocok dengan itu."

Sakura menaikkan kedua alisnya, melihat Ino yang beranjak begitu saja. "Dia menghinaku?" gumamnya pada diri sendiri.

Sakura kemudian memilih untuk segera duduk, menatap jam tangannya yang menunjukkan dua jam sebelum jam pulang. Rasanya sangat lama, dirinya hanya ingin segera pulang dan tidur. Matanya tidak lagi bisa diajak kompromi untuk terjaga lebih lama setidaknya ia sangat mengantuk untuk menunggu jam pulang sembari mengerjakan desain mansion seseorang. Ia akan menjadikan pekerjaannya ini untuk bekal besok.

Tapi kemudian tiba-tiba ia terbangun di pukul delapan, dalam keadaan lantai kerja telah sepi, hanya ada dua orang. Lampu ruangan telah mati dan yang menjadi satu-satunya penerangan adalah lampu meja di meja dua orang itu, yang artinya, Sakura sukses terkurung dalam gelap. Bagaimana bisa Karui membiarkannya menjadikan meja kerja sebagai ranjang dadakan? Meja sahabat merahnya itu sudah kosong begitu juga dengan Samui.

Sakura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku seketika, memasukkan barang-barangnya yang akan dibawanya pulang ke dalam tas sebelum merapikan kemejanya dan pergi dari sana. Saat keluar dari lift, ia membuka ponsel pintarnya yang mendapat beberapa pesan dan salah satunya dari nomor tidak dikenal.

XXX
[Photo]
Blazermu baik-baik saja, jadi akan kukembalikan besok dan tetap akan kucuci, sekaligus satu popok yang kau berikan, kuanggap itu hutang. Jangan khawatir.

Sakura tahu siapa orang itu, yang mengirim foto blazernya—yaitu orang yang meminjam blazernya, siapa lagi kalau bukan Ino? Bagaimana orang itu bisa bersikap menyebalkan meski Sakura telah menyelamatkan reputasinya yang bisa saja jatuh akibat noda itu?! Benar juga, kebaikan seseorang tidak bisa didapatkan secara instan, terutama untuk orang seperti Ino. bahkan Sakura tidak melihat adanya terima kasih di sana!

Sakura
Oke

Saat Sakura menggapai pintu lobby, Sakura harus mundur kembali begitu melihat Sasuke tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri, pria itu sedang berbicara serius dengan seorang wanita berambut pirang panjang, tadinya Sakura kira itu adalah Ino. Tapi saat wanita itu berbicara, Sakura memilih untuk menyembunyikan dirinya dan mendengarkan apa yang sedang terjadi di antara kedua orang di sana.

"Aku membutuhkanmu, Sasuke."

Siapa wanita itu? Sangat tidak asing.

Sasuke terlihat menggelengkan kepalanya pelan, meski Sakura tidak bisa melihat ekspresi seperti apa yang saat ini ditunjukkan pria itu tapi Sakura yakin pria itu sedang tidak baik-baik saja. "Sejak awal ini semua sudah salah. Kau tidak boleh seperti ini, Shion."

Shion?! Wanita pemilik club? Mantan kekasih Sasuke? Apa yang dia inginkan?

"Hanya kau yang bisa membantuku, Sasuke. Aku tahu kau tidak bisa mengabaikanku."

"Kau tidak seharusnya mendatangiku. Pulanglah, aku sibuk."

Sakura membelalak, terkejut saat Sasuke berbalik dan berjalan menuju lobby. Kemudian Sakura berlari dengan cepat menuju depan lift sebelum berbalik dan berjalan santai seolah dirinya baru saja keluar dari balok bergerak itu, tangannya dalam diam mengusap pelipisnya yang berkeringat.

Sasuke terkejut saat melihatnya, kemudian pria itu menerbitkan senyum kecilnya. "Kau sudah bangun?"

Ini kali kedua Sasuke memergokinya tengah tertidur di jam kerja, tapi sensasi kali ini berbeda, entah mengapa. "Aku tidak bermaksud tidur, sungguh."

"Santai saja, Sakura." Pria itu masih mempertahankan senyumannya. "Lagi pula—"

"Sasuke?"

Sakura menoleh, begitupun dengan Sasuke yang terlihat terkejut karena tiba-tiba Shion telah berdiri di sampingnya. "Sasuke, apa dia Sakura?" wanita itu bertanya begitu melihat Sakura, dan wajahnya memperlihatkan seolah dirinya sangat mengenal Sakura.

Sakura melirik Sasuke yang juga meliriknya, seolah memintanya untuk menggantikan Sasuke menjawab pertanyaan Shion. "Dari mana kau tahu namaku?" Sakura tersenyum lebar menanggapi Shion.

Wanita cantik itu tersenyum mendengarnya, "Aku yang meneleponmu waktu lalu."

"Oh, jadi kau," Sakura tertawa renyah, meski dibuat-buat tapi setidaknya itu membuat Shion menanggapinya dengan—seolah-olah wanita itu tidak tahu tawa palsu Sakura. Sakura jelas tidak menyukai cara Shion meneleponnya.

"Sakura, ayo, kita harus menemui klienmu. Aku harus pergi, Shion, sampai jumpa."

Sasuke langsung mengamit tangan Sakura, menggandeng gadis itu keluar tanpa membiarkan Sakura untuk berpamitan sebentar dengan Shion yang memerhatikan hingga keduanya tidak lagi terlihat. Saat mereka sampai di depan mobil Sasuke, Sasuke baru melepaskan tangannya.

"Apa itu tadi?" tanya Sakura mencoba memastikan jika pria itu sengaja menghindari Shion.

"Aku tidak bisa di dekatnya," ucap Sasuke sembari membuka pintu mobilnya, tapi sebelum ia masuk, ia menatap Sakura yang masih berdiri di depan mobilnya dengan mengernyit. "Karena kita sudah sampai di sini, jadi kuantar."

Sakura memutar bola matanya mendengar itu, "Kau menggunakan kesempatan yang bagus untuk ini."

Sasuke tertawa, "Masuklah, Nyonya."

"Aku harus mengirim pesan untuk ayahku dulu," gumam Sakura sembari masuk ke mobil. Mengetikkan pesan pada ayahnya untuk tidak menunggunya malam ini dan selesai itu memasang seat beltnya.

Limabelas menit sama sekali tidak terasa selama itu, Sasuke banyak bicara dan tertawa, membuat Sakura tidak perlu khawatir saat akan melemparkan candaannya kepada pria berusia tigapuluh tahun itu. Dan saat mobil berhenti di depan rumahnya, Sakura tahu harus berterima kasih sebelum keluar.

"Sama-sama. Sampai bertemu besok."

Sakura mengangguk, "Hati-hati di jalan."

Sasuke melempar senyum kecil sebelum melajukan mobilnya meninggalkan Sakura yang masih berdiri di depan pagar hingga mobil Sasuke menghilang. Setelah masuk, Sakura mendapati ayahnya tengah menyantap sup di ruang utama dan ibunya tengah sibuk dengan majalah.

"Kau pulang dengan siapa?" tanya Kizashi begitu Sakura ikut duduk di sampingnya.

Sakura belum menjawab karena mengambil sendok dari tangan ayahnya untuk mencicipi sup itu. Sup yang bisa Sakura tebak bukan buatan Mebuki. "Dengan teman."

Mebuki langsung memincingkan mata menatapnya, penuh dengan rasa kecurigaan tinggi. "Apa dia Sasuke?"

"Dia Sasuke," jawab Sakura bersiap kabur jika memang ibunya berniat mengomel panjang lebar tentang ini.

Mebuki berdecak membuat suaminya melirik keheranan. "Kau yakin dia bukan pacarmu?" tanyanya penuh selidik.

"Memangnya kenapa kalau mereka berpacaran? Kau seharusnya mendukung anakmu, 'kan?" Kizashi memang tidak pernah melarang Sakura untuk menjalin hubungan dengan seorang pria, asalkan Sakura tidak mengabaikan hal lain hanya semata-mata untuk pacarnya saja, apalagi begitu mendengar kalau anaknya dekat dengan pria terhormat.

Sakura ingin berterima kasih karena ayahnya ada di pihaknya, tapi justru pembelaan Kizashi membuat Sakura merasa aneh. "Tidak, aku tidak berpacaran dengan siapapun."

"Selalu saja mengelak." Setelah itu Mebuki beranjak, pergi ke kamar tanpa mengucapkan apapun lagi.

Meninggalkan Kizashi yang masih menatap Sakura dengan lembut, "Ayah hanya ingin kau berhasil, Nak, dalam aspek apapun; karir, cinta, .. dan segalanya."

Sakura tersenyum mendengar itu, masih ada rasa bersalah besar yang mengganjal di hatinya kepada sang ayah. Tapi melihat segala dukungan dan dorongan yang Kizashi berikan benar-benar membuat Sakura merasa kalau ayahnya ini telah menerima apa yang menjadi pilihannya sejak awal, Kizashi memang sebenarnya tidak pernah memaksakan keinginannya kepada putri semata wayahnya—jika saja Sakura menyadari itu.

"Sana, pergilah tidur, kantung matamu sedikit menghitam."

Sakura mengangguk dan berlari ke lantai atas menuju kamarnya. Segera membersihkan diri dan memakai piyama tidurnya. Rasanya sudah lama Sakura tidak merasakan hal ini, begitu pulang ia langsung menguasai ranjangnya. Dan ini adalah kenikmatan duniawi, walaupun ia tidak terlalu mengantuk.

Sakura membuka ponselnya, membalas beberapa pesan dari Karui yang mendapat amukannya karena bisa setega itu meninggalkannya dalam keadaan tidur. Sampai ia mendapat pesan baru dari Sasuke. Pria itu mengirim foto sebuah ruangan yang minim penerangan.

Sasuke
[Photo]
Baru kali ini aku menempati ranjang di pukul delapan :')

Oh, itu foto kamarnya. Sakura kemudian membuka kamera depan ponselnya, menyembunyikan bagian hidung mancungnya hingga ke bawah menggunakan selimut dan mengirimnya pada Sasuke sebagai balasan.

Sakura
[Photo]
Halo, Tuan sibuk

Sakura sendiri tidak tahu mengapa ia mengirimkan potret sebagian dari wajahnya, apalagi ia tidak sedang berpose anggun di sana, dan sedikit menyindir pria itu. Tapi biarlah, lagipula Sasuke sudah melihat foto yang dikirimkannya itu. Pria itu tidak membalas pesannya hingga tiga menit lamanya, tapi justru meneleponnya, membuat Sakura terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya di atas wajahnya sendiri. Dengan sekali gerakan, Sakura mengangkat sambungan itu.

"Sakura?"

"Kau terdengar buruk," ucap Sakura begitu mendengar suara kecil Sasuke, tidak seperti beberapa menit lalu.

Sakura mendengar debaman keras kemudian teriakan seseorang. "Ini memang sangat buruk."

Barulah saat itu Sakura mengernyit, suara orang berbicara terdengar memenuhi ruangan dimana Sasuke saat ini berada dan yang paling aneh terselip suara pukulan yang cukup membuat Sakura merasa ngilu. "Kau sendirian?"

[TBC]

Jadi gini rasanya keramas gak pake sampo, kyk mandi gak pake air. Gak ngefek gitu, basah doang. Oke, ini gak penting, sekadar sharing aja tapi. huh.

Oke, jadi di bagian ini emang Karui-Samui byk keluarnya, dan pembahasan mereka satu. Kalo ada yang ngerasa aneh sama sikap Karui ke Sakura, kita samaan—saya juga ngerasa aneh sama pacarnya si Chouji itu. Dan di sini identitas si Karui kebongkar :v

Oiya, tahu sendiri kan si Saku kyk gimana, jadi masalah selfie, itu juga bawaan authornya yang doyan ngirim selfie dekil ke temen-temen sampe internal mereka full ;(

Btw, saya mau tanya serius, soal karakter Sasuke di sini. Dia kan lebih uwu gitu, kyk cool tapi masih friendly, nah menurut kalian aneh gak sih?
Soalnyacoretmakincoretkecoretsinicoretsayacoretngerasacoretaneh. hahaha-,-

ok gitu aja,

Makasih udah baca!

Mg_