"Bagaimana? Bisa tidak?"

Chanyeol menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa izin besok untuk pergi nonton bersamamu. Aku ada kelas tambahan sampai jam empat."

Baekhyun hanya bisa berdiri di tempatnya, tangan menggenggam dua tiket bioskop. Sudah capek-capek mengantri untuk mendapatkan tiket, yang diajak malah tidak bisa nonton, batinnya.

"Ya sudah," bahu Baekhyun melorot, "aku akan menonton sendirian kalau begitu."

Chanyeol menjadi tidak tega, tapi apa boleh buat, dia tidak bisa meninggalkan kelasnya begitu saja demi pergi ke bioskop dengan laki-laki itu. Dia menyentuh lengan Baekhyun dan menepuknya. "Hei, minggu depan, bagaimana? Aku tidak ada kelas hari selasa."

Mata Baekhyun berbinar-binar excited, namun detik berikutnya senyuman di wajahnya hilang. "Lalu tiket ini bagaimana?"

"Berikan pada pada temanmu saja."

Untuk beberapa detik Baekhyun terdiam mendengar saran Chanyeol. Sayang sekali pikirnya, dia mengantri tiket ini dengan susah payah, masa harus diberikan begitu saja pada orang lain. Baekhyun sudah akan membalas perkataan laki-laki itu, namun tangannya keburu ditarik.

"Ayo pulang." Chanyeol melirik jam tangannya. "Sebelum terlalu sore."

Perjalanan mereka menuju hall kampus menjadi sedikit sunyi. Baik keduanya tidak ada yang mengobrol satu sama lain, biasanya mereka akan membicarakan hal-hal konyol seperti dosen Chanyeol yang suka mengupil, lalu Baekhyun juga akan bercerita tentang guru matematikanya yang mulutnya bau seperti bangkai ikan.

Lalu terlintas di pikiran Baekhyun, kalau berteman seperti ini nyaman, buat apa pacaran?

Oke, itu anggapan beberapa menit yang lalu sebelum seorang remaja laki-laki menghampiri Chanyeol dengan sepedanya.

"Chanyeol!" Panggil laki-laki itu.

Siapa dia? Tanya Baekhyun dalam hati.

"Hei, Kyungsoo. Kau mau pulang?" Chanyeol memperlambat langkahnya.

Remaja bernama Kyungsoo itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Kenapa dia tersenyum seperti itu pada Chanyeol?

"Err, Chan, boleh bicara sebentar denganmu?" Kyungsoo berujar seraya turun dari sepedanya. Tanpa berpikir lagi Chanyeol mengiyakan ajakan itu, namun Kyungsoo melirik ke arah Baekhyun. "Berdua saja tapi. Boleh?"

"Oh tentu," Chanyeol menepuk bahu Baekhyun sebelum pergi mengikuti Kyungsoo ke bawah pohon dekat taman—tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Tunggu di sini ya, jangan pulang duluan. Aku akan segera kembali."

Baekhyun sungguh tidak masalah dengan apa yang ingin dibicarakan mereka berdua, tapi dia tidak suka melihat Chanyeol jalan berdampingan dengan Kyungsoo. Rasanya ada yang berulah di dadanya.

Cemburu ya?

"Tidak!" Baekhyun berbicara pada angin dan dia jadi malu sendiri.

Dari tempatnya, Baekhyun dapat mendengar apa yang Chanyeol dan Kyungsoo bicarakan. Perasaannya mulai tidak enak saat melihat laki-laki bernama Kyungsoo itu memandangi Chanyeol dengan cara yang berbeda. Dia juga dapat melihat Chanyeol terkejut saat Kyungsoo memegang tangannya.

Baekhyun mulai panik, tidak! Siapapun tidak ada yang boleh memegang Chanyeol seperti itu. Samar-samar, Baekhyun mendengar kalimat dari Kyungsoo untuk Chanyeol, yang membuat jantungnya berhenti berdetak sekitar 0,5 detik.

"…I love you, Chanyeol."

APA?

Tanpa sadar, kaki Baekhyun telah melangkah dengan sendirinya. Melangkah bahkan lebih cepat dari sebelas tahun yang lalu saat dia hendak bertanya pada ibunya apakah dia boleh berpacaran.

Baekhyun segera mengisi kekosongan di antara kedua orang itu, memblokir pandangan Kyungsoo terhadap Chanyeol. "Apa kau bilang? I love you, Chanyeol?" Protes Baekhyun dengan nada tinggi. Dia berkacak pinggang di depan laki-laki asing itu.

"Apa kau tidak tahu kalau…"

Hei, kau bukan pacarnya Chanyeol, Baek.

"…k-kalau…"

"…kalau…Chanyeol…"

Baekhyun melirik ke arah Chanyeol yang nampak kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan, namun ada dorongan untuk lidahnya bergerak.

"C-Chanyeol itu pacarku!"

Kyungsoo melongo.

Chanyeol juga.

Rahang mereka terjatuh beberapa senti setelah Baekhyun mengatakannya penuh percaya diri untuk kedua kalinya. "Chanyeol itu pacarku. Jangan ganggu dia! Seenaknya saja bilang I love you ke pacar orang." Baekhyun menepuk pohon di sampingnya. "Nih, katakan I love you pada pohon!"

Dua detik selanjutnya, tangan Baekhyun telah menggenggam tangan Chanyeol. Berjalan menjauh dari Kyungsoo yang masih terkena shock, berjalan menjauh darinya dan tidak pernah melihat ke belakang.

"Baekhyun, berhenti!" Chanyeol tiba-tiba menghempaskan tangannya. "Apa yang kau katakan tadi? Aku pacarmu?" Laki-laki tinggi itu menatapnya tidak percaya.

"K-Kau tidak dengar apa yang kuucapkan tadi, hah?" Baekhyun mengambil tangan Chanyeol lagi, hendak melanjutkan langkahnya, namun laki-laki itu menahannya.

"Tapi kau belum boleh pacaran, bukannya kau yang bilang Ibumu melarangmu pacaran."

Dia berbalik menghadap Chanyeol, berusaha mengumpulkan kata-kata dalam kepalanya. "Itu kan dulu! Mulai sekarang aku ini pacarmu dan kau adalah pacarku. Katakan itu pada Kyungsoo, atau Kyoongsu entahlah siapa namanya, aku tidak peduli. Kalau dia berani bilang I Love You padamu, dia akan berurusan denganku."

Baekhyun menarik tangan Chanyeol, dan laki-laki itu masih menahannya.

"Apa lagi, sih, Chanyeol?"

"Memangnya ibumu mengizinkanmu pacaran denganku?" Chanyeol bertanya hati-hati.

"Tentu saja boleh. Umurku sudah sembilan belas tahun, aku bisa membuat roti lapis isi keju sendiri, aku bisa mengerjakan soal perpangkatan lebih cepat dari siapapun. Ibu…ibu tidak bisa melarangku." Wow, Baekhyun begitu gentle saat mengatakan hal itu pada Chanyeol, padahal…

Baekhyun, kau tidak boleh pacaran dengan siapapun sebelum kau wisuda. Ibu tidak mau kau nanti jadi tidak fokus belajar.

Maaf ya, bu, tapi peraturan Ibu terlalu kuno untuk anakmu yang kekinian ini, Baekhyun membatin dalam hati.

Baekhyun menarik tangan Chanyeol untuk ketiga kalinya, dan laki-laki itu masih menahannya. "Astaga, for Neptunus sake! Apa lagi?"

"Kau mau ke mana, Baek?"

"Pulang, apalagi?"

"Jalannya 'kan disebelah sana."

.

.

.

.

Baekhyun takut menyeberang jalan.

Mungkin terdengar seperti pecundang—seseorang yang payah. Menyeberang jalan saja masa tidak bisa?

Tapi tetap saja, menurut Baekhyun, hal itu begitu mengerikan sekarang. Begitu banyak kemungkinan yang dapat terjadi saat dia menyeberang jalan. Layaknya di film-film pembunuhan atau Final Destination, apa kau tidak takut jika itu benar-benar terjadi? Begitu pikirnya.

"Ayo!" Chanyeol menarik tangannya.

Langit mulai berulah dari setengah jam yang lalu—menurunkan butir-butir air ke atas kepala mereka. Keduanya hanya bisa membiarkan rintik hujan menghampiri mereka.

Kini di tengah hiruk pikuk orang yang berlari lalu lalang mencari tempat berteduh, Baekhyun malah berdiri di tepi jalan bersama Chanyeol, hendak menyeberang, tapi kautahu kan Baekhyun takut melangkahkan kakinya.

"Ayo menyeberang jalan!" Ajak Chanyeol untuk kesekian kalinya.

"Tidak mau." Baekhyun menyahut dengan pelan.

"Apa? Tapi halte busnya ada di sana" Chanyeol menunjuk ke seberang jalan.

"Yeah, Park Chanyeol, aku tahu dan aku bisa melihatnya."

"Lalu, apa masalahnya?"

Baekhyun menggelengkan kepalanya dan berjongkok. "Tidak mau. Aku tidak mau menyeberang!"

Chanyeol pun bingung. "Kenapa?"

"Aku takut, tahu!"

Laki-laki itu melepaskan tangan Baekhyun untuk berkacak pinggang. "Hei, apa yang kau takutkan? Lampu untuk pejalan kaki sudah berwarna hijau."

"Bagaimana kalau tiba-tiba berubah jadi merah?"

"Mana mungkin! Ada peringatannya jika lampu akan berubah. Ayo—"

Chanyeol mencoba meraih tangan Baekhyun, namun laki-laki itu tidak menggubrisnya. Malah memeluk kedua lututnya erat tanpa melihat ke arah Chanyeol. "Bagaimana jika lampunya rusak dan para mobil itu berjalan ke arah kita?"

Chanyeol menghela napas dengan lelah. "Jangan mengada-ada."

"Aku tidak mengada-ada! Aku sedang menjabarkan beberapa kemungkinan mengerikan kalau kita menyeberang jalan," Baekhyun berujar hampir menjerit. "Tidakkah kau mengerti aku takut setengah mati? Aku bisa mengalami serangan jantung saat ini juga! Bagaimana jika nanti ada mobil yang tidak mematuhi peraturan, menerobos lampu lalu lintas dan menabrak kita?"

Sekali lagi Chanyeol menghela napas dan Baekhyun yakin sebentar lagi dia akan ditinggalkan sendirian, lalu dia akan membusuk di sini karena tidak bisa berjalan menyeberangi jalan. Oh yeah, dia akan menjadi bangkai.

"Kalau itu terjadi…" Chanyeol berkata sambil mendekati wajah Baekhyun. "…berarti itu adalah takdir kita. Kita mati dengan cara seperti itu, kau mengerti?"

"Yah!" Baekhyun berteriak sebal padanya, Chanyeol hanya terkekeh seolah mati dengan cara tertabrak adalah hal paling wajar di dunia. "Kau menyebalkan, Park Chanyeol! Kalau kau mau mati, mati saja sana sendirian. Jangan ajak-ajak aku! Aku masih punya tugas untuk kelas bahasa inggris, latihan drama dan aku ingin wisuda, lalu menikah!"

Chanyeol berdecak, akhirnya berjongkok bersama Baekhyun. Baekhyun merasa seperti anak berumur tujuh tahun diperlakukan seperti ini oleh Chanyeol.

"Hei, Chicken Baby," Chanyeol berbisik lembut seraya menyelipkan rambut basah Baekhyun ke belakang telinganya, "kenapa kau harus takut menyeberang jalan? Kau tidak akan menyeberanginya sendirian, ada aku bersamamu. Jika semua kemungkinan mengerikan itu terjadi, aku akan melindungimu. Aku akan menahan semua mobil itu untuk tidak menyentuh satu senti tubuhmu seperti…eumm…Edward Cullen di film Twilight."

Haha, itu adalah kalimat motivasi terkonyol yang pernah Baekhyun dengar. Chanyeol ingin seperti Edward Cullen yang melindungi Bella Swan dari mobil van? Dia pikir Baekhyun akan percaya?

"Tapi, Chanyeol, lihat apa yang kupakai!"

Uhm, Oke, jawaban macam apa itu? Lantas apa hubungannya dengan dia tidak mau menyeberang jalan?

Tapi Chanyeol, di tengah kebingungannya, tetap memperhatikan penampilan Baekhyun. Laki-laki itu mengenakan kets setinggi gunung, mini pants, clutch bag, dan rambut yang basah. Lalu apa hubungannya semua itu dengan tidak mau menyeberang?

"Oke, aku melihatnya. Kau menggemaskan."

"Pakaian ini–apa kau bilang?"

Apa Chanyeol baru saja memuji Baekhyun, di tengah hujan dan di tepi jalan?!

Chanyeol mengangguk. "Iya, kau menggemaskan pakai celana warna pink." Dia mengacungkan kedua jempolnya.

Tidak, Chanyeol. Kau tidak memperbaiki keadaan.

"Ini warna ungu. Lupakan. Aku tetap tidak mau menyeberang."

Baekhyun membalikkan tubuhnya dan memeluk lututnya semakin kencang.

"Oke, lupakan. Lupakan kau ingin menyeberang jalan atau tidak. Lupakan bahwa sekarang sedang hujan. Lupakan semuanya. Aku pergi."

Setelah beberapa detik, pria itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Baekhyun masih menunggu kelanjutan dari drama anehnya ini, namun tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada Chanyeol yang membujuknya lagi. Tidak ada Chanyeol yang menarik tangannya untuk menyeberangi jalan lagi. Samar-samar, Baekhyun bisa mendengar suara Bus yang berjalan menjauh meninggalkan halte.

Apa Chanyeol sudah pergi? Jadi, Baekhyun menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat Chanyeol tidak berada di sana.

Oh, jadi dia menyerah begitu saja? Oke. Fine.

"Dasar…" Baekhyun tidak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri, karena jika dia melakukannya, mungkin neraka akan menunggu kedatangannya.

Baekhyun memutuskan untuk berdiri dan berjalan pergi, namun tidak menyeberang. Dia akan berjalan kemana pun, mungkin kesasar di tengah hujan kedengaran cukup keren.

Baekhyun terus berjalan bersama egonya yang melangit, langkahnya semakin jauh membawanya dari tempat yang ditinggalkannya tadi. Kakinya mulai terasa sakit luar biasa. Dia tidak mau menangis di tengah hujan. Percayalah, hal itu tidak ada di dalam kepalanya. Well, mungkin ada di dalam kepala Chanyeol. Mungkin membuat kekasih dadakannya menangis di tengah hujan, menurut Chanyeol, keren.

Persetan. Baekhyun bukan manusia yang lemah. Dia bahkan pernah berteriak keras di kelas drama bahwa dia seperti Elsa di film Frozen, dia kuat, mandiri, bebas dan tidak membutuhkan siapapun di dalam hidupnya.

Tapi…nampaknya itu mustahil.

Seolah Chanyeol jatuh dari langit, tiba-tiba saja pria itu muncul di depan Baekhyun dengan sebuah skuter. Ada rasa kaget yang menggetarkan jantungnya, namun rasa marah lebih mendominasi.

"Minggir! Aku mau pulang! Kau tidak bisa memaksaku menyeberang lagi, kau–yha, apa yang kau lakukan?!"

Chanyeol berlutut. Baekhyun pikir pemuda itu ingin meminta maaf dengan cara seperti itu. Baekhyun bersumpah itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Nasi telah menjadi bubur.

Tapi, Baekhyun salah.

Park Chanyeol berlutut untuk membuka sepatu converse hitam kesayangannya itu. Lalu dia mendongak ke arah Baekhyun. "Lepaskan kets-mu."

"Apa?"

Chanyeol menghela napas, lantas tanpa bicara, tangannya meraih kaki Baekhyun dengan lembut. Melihat hal itu, Baekhyun tidak punya ide apa-apa.

"Chanyeol, apa yang kau lakukan?"

Orang-orang yang melihat mereka pasti menyangka mereka orang aneh. Mereka membuka sepatu di tepi jalan dan orang-orang itu harus tahu siapa pemilik ide tersebut.

"Kau kelihatan tidak nyaman memakai sepatu tinggi ini. Kau jadi sulit berjalan dan meringis setiap melangkah."

Kemudian sesuatu yang hanya Baekhyun baca di novel roman picisan tiba-tiba saja terjadi padanya.

Chanyeol memakaikan sepasang sepatunya di kaki Baekhyun. Dia mengikat talinya dan menatap Baekhyun yang tidak tahu harus berkata apa.

"Kau pakai sepatuku saja, ya."

"Cha-Chanyeol…"

Pemuda itu melompat berdiri, memperhatikan kaki Baekhyun sejenak dan tersenyum. "Hei, kau keren juga pakai converse."

Park Chanyeol, apa yang kau lakukan pada hati dan akal sehat Baekhyun? Lima belas menit yang lalu kau memporak porandakan keadaan seakan-akan tidak akan pernah memperbaikinya lagi, lalu sekarang, kau mengembalikan semuanya seperti sedia kala dan menatanya terlalu baik. Baekhyun yang menolak menangis di tengah hujan saja, hampir menangis dibuatnya.

"Kau menyebalkan." Pukulan-setengah-hati mendarat di dadanya.

"Jadi," Chanyeol berkata dengan mantap, "Kita pulang sekarang?"

Setelah Baekhyun duduk di bangku penumpang, dia menyandarkan dagunya di bahu Chanyeol dan memeluk pinggang pria itu dengan kedua tangannya. Rasanya nyaman walaupun tubuhnya menggigil terkena angin. Chanyeol mengantarnya dengan menggunakan skuter. Dan kau tahu apa, Baekhyun menyukainya. Sangat.

"Wohoooo! Lihat ini!" Chanyeol berseru selagi menggoyang-goyangkan kakinya. "Aku menjadi orang pertama yang mengendarai skuter tanpa alas kaki. Aku keren kan?"

Baekhyun tertawa. Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan di masa lalu sampai harus menerima ini semua?

"Maaf."

"Untuk?"

"Menyuruhmu mati sendirian."

Chanyeol tertawa kecil. "Ada-ada saja."

"Kau boleh saja tertawa, tapi aku serius. Aku tidak mau kau tinggalkan sendiri. Aku mau selalu bersamamu, Chanyeol Cullen."

Chanyeol mengambil salah satu tangan Baekhyun yang memeluk perutnya dengan erat lalu mengecup punggung tangan itu dengan semangat. "Baiklah, permintaan diterima, Baekhyun Swan."

.

.

.

-TOBECONTINUED-

.

.

.

.

Author's Note:

Halooo, how? how?