Malam hari dikediaman Hyuuga, tidak biasanya seramai ini. Dikunjungi oleh keluarga Namikaze dan Uchiha, sudah tentu bukan pertama kalinya terjadi. Namun, yang menjadi titik pusatnya, ialah cara berpakaian mereka yang terkesan rapi sembari membawa buah tangan berupa 7 kotak hadiah, serta beberapa parcel buah dan bunga.

Hinata yang saat itu baru memasuki pintu rumahnya, mengernyit heran mendapati pemandangan tak biasa. Sasuke dan Naruto yang mengekor dibelakangnya, tak kalah kaget menemukan keberadaan orang tua mereka di rumah Hyuuga.

"Mami dan Papi, kenapa bisa disini?" Naruto, anak semata wayang kesayangan Mami Kushina, adalah yang pertama menghentikan aksi tatap menatap itu. Sedikit berlari mendekati maminya, Naruto menerjang tubuh Kushina dengan sebuah pelukan bermakna.

"Aku kangen~" rengek Naruto, mengeratkan pelukannya. Safir miliknya berkaca-kaca memandang Kushina. Naruto, diterpa rindu yang mendalam.

"Ya ampun, anak kesayangan mami. Kan baru tadi pagi mami ketemu Naru. Hayoo... Lupa ya? Duh, lucunya anak mami." Kushina terkekeh geli mendengar ungkapan rindu sang anak. Dicubitnya pucuk hidung Naruto gemas, dan kembali terkekeh saat mendapat rengekan.

"Sakit~..." Protes Naruto, sembari menghentak kakinya beberapa kali.

"Kau menjijikkan, Bodoh. Dasar manja," Sasuke mengernyit jijik melihat tingkah Naruto. Dengan gaya sok cool khas Uchiha, ia melangkah mendekati ibunya. "Bunda... I miss you~" ujar Sasuke, juga memeluk ibunya erat.

Tidak ada komentar apapun untuk menanggapi aksi menggemaskan Sasuke, selain tawa dan senyum sinis Naruto. Wajah boleh gahar, tapi hatinya ternyata selembut sutra. Dua lelaki itu memanglah gagah tampilannya di depan publik, tetapi lembek jika disekitar keluarga, terutama bersama ibu dan pujaannya.

"Bagaimana malam kalian, menyenangkan?" Mikoto, wanita yang mem-brojol-kan Sasuke dan Itachi, mengelus kepala putranya sayang. Memandang wajah sang anak yang asyik menyandarkan kepala di dadanya, ia bertanya keberhasilan acara yang baru mereka—Naruto, Sasuke, dan Hinata— lakukan.

"Seperti biasa, Tante. Naru dan Sasu berebut makanan. Padahal mereka sudah Hinata pesankan jatah masing-masing..." Bukan Sasuke yang menjawab, tapi malah Hinata yang angkat bicara.

Melenggang masuk sambil menenteng kantong plastik berwarna merah, gadis itu terlihat sangat kelelahan. Ia mendaratkan bokongnya disebuah sofa panjang berukuran tiga orang, lalu menyamankan pundaknya di sandaran kursi. Kepalanya menengadah, dan tangan kirinya menutupi kedua mata.

"Apa ini?" Hikari bertanya, sementara memperhatikan kresek merah yang Hinata sisipkan diantara tumpukan parcel.

Tanpa mengubah posisi nyamannya, Hinata menjawab acuh. "Makanan sisa, Bu. Sayang kalau tidak dibawa pulang. Harganya cukup mahal... makanya aku minta dibungkus," jelas Hinata.

Semua yang mendengar, dibuat melongo oleh penjelasan Hinata—terkecuali Naruto dan Sasuke yang sudah mengenal kebiasaan gadis itu, dan keluarga Hyuuga yang menerapkan sistem 'dibuang sayang'.

Ternyata bukan cuma Hiashi, tapi semua Hyuuga memang sangat kikir. Terbukti, dari Hinata yang memboyong makanan sisanya pulang. Dan yang menjadi pertanyaannya sekarang, siapakah yang akan memakan makanan sisa itu?

Hikari kah? Atau mungkin Hiashi?

Sampai sekarang hal itu masih menjadi misteri.

"Kalau begitu aku ke kamar dulu. Aku lelah menghabiskan separuh hari bersama mereka."

"Tunggu!"

Niat Hinata untuk segera tidur, sepertinya harus tertunda saat sang ayah mengucap kata tunggu. Kembali menduduki sofa, kantuk Hinata langsung menguap begitu kedua manik Hiashi, memancarkan keseriusan.

Apa lagi sekarang? Batin Hinata, lelah.

"Naruto, Sasuke, duduklah di samping Hinata. Ada hal serius yang ingin aku bicarakan dengan kalian." Perintah Hiashi, tegas.

Dengan wajah kebingungan, Naruto dan Sasuke melepas pelukannya, selanjutnya bergerak menuruti keinginan si tua Hiashi. Sempat berebut tempat duduk di sisi kanan Hinata, namun Sasuke akhirnya mengalah saat mendapat pelototan dari bunda-nya.

Menunduk untuk menyembunyikan bibirnya yang mengerucut, si raven ogah-ogahan mendaratkan bokong di sisi kiri Hinata yang sedikit sempit—karena keberadaan sebuah parcel bunga.

"Menyebalkan," gumam Sasuke pelan, dan ditanggapi dengusan bosan oleh Hinata.

"Jadi begini..." Hiashi merubah posisi duduknya semi tegap. Ditatapnya wajah Hinata, Sasuke, dan Naruto bergantian, terkecuali Itachi yang asyik bermain COC.

"Dengar anak-anak. Ada yang ingin kami sampaikan pada kalian." Menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, entah mengapa Hiashi mendadak terserang gugup.

"Setelah melalui perdebatan alot yang memakan waktu berjam-jam," dustanya, "kami, selaku orang tua, memutuskan untuk menikahkan kalian bertiga sesegera mungkin."

"Ap-"

"Dan tidak ada bantahan!"

"Hah?" Hinata tepekur. Ditatapnya wajah keriput sang ayah lamat-lamat, dan kembali berucap tegas, "aku menolak pernikahan ini, Ayah. Bukankah keterlaluan jika aku harus menikahi dua lelaki? Aku bukan Drupadi, yang harus menikahi kelima Pandawa," bentak Hinata, memandang ayahnya marah.

"Ja-jangan bicara begitu, Hinata. Kau menakuti ayah..." Hiashi berkata lirih, dengan wajah sendu dan gestur tubuh ketakutan. Wajah dingin dan sikap tegasnya yang paling ditakuti oleh Minato pun Fugaku, kini pias berganti ekspresi menahan tangis.

Putrinya, putri kesayangannya yang ia besarkan penuh cinta dan kasih sayang, kini berani membentak dirinya. Hiashi merasa kecewa, dan sangat terluka.

"Jangan membentak ayahmu, Hinata. Kau seperti tidak beretika. Cepat minta maaf pada ayahmu!" Tegur Hikari, yang kini sedang memeluk Hiashi.

Diusapnya punggung bergetar Hiashi, dan mengecup dahinya berkali-kali. "Ssttt... Tenanglah, Sayang. Istrimu ada disini," katanya, mencoba menenangkan sang suami.

Amarah Hinata yang tadinya memuncak, kini mereda kala melihat wajah sedih ayahnya, sedang menggigit bibir atasnya yang gemetar.

Menarik napas dalam, Hinata menatap sang ayah lembut. "Maafkan Hinata, Ayah. Hinata tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja sedikit terkejut mendengar keputusan sepihak kalian. Tidak bisakah kita membicarakannya lagi? Hinata merasa ini tidak benar."

"Tapi ini keputusan yang paling tepat, Hinata. Baik untukmu, baik untuk Naruto, dan baik untuk Sasuke. Kalau kau masih keberatan, anggaplah ini permintaan terakhir ayah."

"AYAH!" Hinata kembali membentak, sementara Hiashi segera menyembunyikan wajah di pundak Hikari.

"Hiks... Putri kecilku membentak ayahnya lagi, Hikari... Hiks... Aku, terluka..." Berbicara tanpa mengangkat wajahnya, Hiashi mulai terdengar sesegukan.

Hal itu tentu menjadi senjata ampuh untuk melemehkan putrinya. Tampak begitu jelas jika Hinata telah dikalahkan. Gadis itu hanya mengacak-acak surai indigo lebatnya, dan menghentak-hentak kakinya kesal.

"Baiklah, terserah ayah saja. Kalau nanti aku mendapat cemoohan orang, kalian juga akan merasakan malunya. Aku permisi!"

Pasrah, Hinata menuruti keinginan Hiashi, dan berlalu menuju kamarnya di lantai dua. Biarlah, ia menikahi dua lelaki yang sedikit berotak miring. Toh saat ini Hinata tidak ada kekasih. Dan kalau nanti prahara datang menghancurkan perahu rumah tangganya, Hyuuga Hiashi, menjadi orang pertama yang Hinata cari untuk menuntut balas.

Awas saja.

.

.

.

.

.

"Kau hebat, Suamiku."

Ucapan Hyuuga Hikari, berhasil mengembalikan kesadaran para Uchiha dan Namikaze—yang sejak tadi menjadi penonton drama dadakan. Terpatah-patah menoleh kearah si tua Hiashi, rahang mereka nyaris copot ketika mendapati gaya paruh baya itu kembali cool.

Mengabaikan raut terkejut semua tamunya, Hiashi menyibak rambut hitam kecokelatannya yang sedikit berantakan. "Apa?" Ketusnya, mulai jengah diperhatikan bak makhluk planet lain.

"Ja... jangan-jangan kau, tadi..." Telunjuk Minato sedikit bergetar mengarah kepada Hiashi. Tidak ia duga jika semua kesedihan dan air mata itu, sekadar akting untuk memperdaya putri sendiri.

Hiashi, adalah momok menakutkan yang patut dicontoh. Mungkin kedepannya, Minato akan mencoba jurus itu pada Kushina.

"Sasuke, Naruto..."

"I-iya, Tua Hiashi!"

Seluruh pasang mata memandang serius Naruto dan Sasuke yang sejak tadi memperhatikan kepergian Hinata. Namun saat mendengar sahutan kedua lelaki itu, mereka segera membungkam mulut yang hampir mengeluarkan suara tawa.

"Apa maksudnya kalian memanggilku tua?" Tanya Hiashi, dengan aura kelamnya.

Sasuke gelagapan. Buru-buru ia meralat ucapannya, membiarkan Naruto yang wajahnya sudah membiru. "Tu-tuan... Maksud kami Tuan... Tuan Hiashi." Koreksi Sasuke.

"Berbicara yang jelas!" Bentak Hiashi.

"Ma-maafkan aku..." Balas Sasuke, merasa tertekan intimidasi calon mertuanya.

"Ya sudah..." Hiashi mengalah. Agak kasihan melihat wajah lesu Sasuke dan Naruto, yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

Mengatur posisi duduknya, Hiashi kembali berbicara. "Sebagaimana yang kukatakan sebelumya, apa kalian bersedia menikahi Hinata? Tidak berdua, tetapi bertiga. Threesome... ma-maksudku three in one... Ehem..."

Hiashi salah tingkah, dan Sasuke angkat bahu tak peduli. Sikap acuh tak acuhnya, kembali muncul saat Hiashi bersikap semestinya.

"Aku sih terserah. Yang penting malam pertama nanti, aku yang duluan melubangi Hinata." Ucap Sasuke, tanpa disaring.

"Hahahaha..." Hiashi terbahak mendengar ucapan calon menantunya, sementara keluarga Uchiha ketar-ketir memelototi Sasuke.

"Ma-"

"TIDAK BISA!" Satu lagi si biang onar buka suara. Permohonan maaf Fugaku, dengan tidak sopan dipotong teriakan Naruto.

Tanpa peduli wajah kesal Fugaku, Naruto malah mencengkram kerah kemeja Sasuke. Mendekatkan wajahnya pada muka datar Sasuke, Naruto berubah sikap 180 derajat.

"Dengarkan aku, Ayam," katanya. "Hinata milikku. Mi.lik.ku. Bila kau tuli. Jangan coba-coba menikung ku, Sasuke. Kalau kau mau mendapatkan keperawanan Hinata, setidaknya kita lubangi bersama-sama." Tegas Naruto, tanpa melepas cengkeramannya.

Mendengar penuturan sahabatnya, pikiran Sasuke mulai bekerja mencari solusi. Setelah berdiam diri tanpa melakukan perlawanan, Sasuke akhirnya menghentak kasar tangan Naruto darinya.

"Perlu aku tekankan bahwa Hinata bukan milikmu, Kuning. Dan ya, apa yang kau katakan memang benar. Aku setuju." Merapikan kemeja dan rambutnya yang sedikit berantakan, Sasuke membenarkan ucapan Naruto.

Seisi ruangan mendadak ricuh mendengar keputusan Sasuke dan Naruto. Pasangan suami-istri FugaMiko dan MinaKushi, serentak memohon ampunan atas kelancangan putra-putranya, namun hanya dianggap angin lalu oleh Hiashi juga Hikari yang sibuk tertawa.

Sementara Sasuke dan Naruto menyatukan tinju mereka di udara, Itachi yang sedari tadi adem ayam dikursinya, malah menjambak rambutnya kesal karena gagal memenangkan war.

Mereka membuat keributan, tanpa tahu bahwa ada sepasang netra amethis yang menatap menyipit dari lantai dua.

"Keterlaluan!" Serunya mengepalkan tangan, sebelum kemudian berbalik badan menuju pintu kamar bertuliskan nama 'Hinata', dan menutup pintunya dengan satu bantingan kuat.

.

.

.

.

.

...Beberapa menit setelah kepergian Hinata, keadaan masih diramaikan gelak tawa...

"Hikari, tolong siapkan makanan yang dibawa Hinata. Aku akan memakannya sebentar lagi."

Krakkk...

Suruh Hiashi, yang membuat keadaan sepi seketika.

Sekarang kita tahu, kemana makanan-makanan itu berakhir. Hiashi, benar-benar memiliki alasan, kenapa ia menerapkan sistem 'dibuang sayang'.

Dan suara 'krak' barusan, adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan tangan Itachi, yang tanpa sengaja mematahkan iPhone-nya menjadi dua—akibat syok berlebihan mendengar penuturan Hyuuga Hiashi.

Bersambung...

Nb: makasih untuk review-nya :) maaf gk bisa balas. Jawaban pertanyaan kalian bisa didapat dalam cerita. Pisss :v