Terima kasih untuk reviewnya.
Kuroko no Basuke and all identifiable characters and situations are created and owned by Fujimaki Tadatoshi. The author of the fan fiction does not, in any way, earn profit from the story and no copyright infringement is intended.
"Furihata-cchi habis manikur, ya?"
Akashi Seijuurou menyesap tehnya perlahan, melirik sesaat ketika mendengar pertanyaan tersebut dilontarkan. Ia tahu apa sebabnya, lelaki bernama Furihata itu termenung menatap jemari bagai terhipnotis. Agaknya apa yang mereka lihat beberapa hari lalu—Kise dan Aomine bergandengan tangan—masih mengusik pikiran sang pemuda dengan manik karamel. Mungkin di saat mereka hanya berdua nanti, ia akan membicarakan hal ini dengan pemuda itu.
"Ah, aku tahu! Furihata-cchi mau gandengan, kan?"
Ia bahkan tidak perlu menatap Furihata untuk tahu bahwa wajah pemuda itu kini merona. Ia juga tidak perlu menatap rekan-rekannya untuk tahu bahwa benak mereka dipenuhi pertanyaan: Jadi selama ini kau dan Akashi tidak pernah gandengan?
"T-Tidak kok!"
Didengarnya Midorima meledak saat Kise mulai heboh sendiri menggoda Furihata. Sesekali Aomine, Kagami, dan Kuroko menimpali pembicaraan mereka yang luar biasa heboh dan menyakitkan telinga. Murasakibara masih bertahan dengan sikap acuh-tak-acuh, lebih memilih untuk fokus dengan cemilan-cemilan limited edition.
Ia meletakkan tehnya dan menatap rekan-rekannya. Mereka semua sepertinya langsung sadar sedang diperhatikan dan balas menatap Akashi penuh tanya. Tapi Akashi sedang tidak punya waktu—atau tidak mau?—meladeni mereka. Manik merahnya mematri manik karamel yang hangat.
Ia mengulurkan tangan, telapak menghadap langit. "Ingin coba?"
Pemuda dengan manik karamel itu tampak terkejut. Samar-samar didengarnya Kise fanboying ria.
Waktu yang digunakan Furihata untuk berpikir terasa lama dan Akashi diam-diam berharap kepanikannya tidak terlihat di wajah. Seharusnya seorang Akashi penuh percaya diri, namun entah kenapa jika berhadapan dengan Furihata, ia selalu merasakan adanya kemungkinan ia akan ditolak mentah-mentah. Karena jelas-jelas Furihata tidak memujanya seperti orang lain. Yah, bukannya ia ingin pemuda itu bertingkah seperti penggemarnya atau apa.
Pada akhirnya toh Furihata meletakkan tangan di atas telapak tangan Akashi, mengisi sela-sela jemari Akashi dengan jemari pemuda itu. Manik merah Akashi menatap Furihata lekat-lekat, mencari… apa tepatnya yang ia cari? Entah apa. Mungkin sebuah reaksi yang menunjukkan bahwa degup jantung Furihata sama cepatnya dengan dirinya? Apa pemuda itu dapat mendengar suara debar jantung yang kelewat cepat?
"Jadi?" Akashi mendengar dirinya bertanya dalam suara tenang.
Pemuda itu mengerjap, lagi-lagi tampak berpikir keras. Debar jantung Akashi semakin tidak karuan. Diremasnya jemari Furihata erat, sedikit mengejutkan pemuda itu.
Ah, rasanya bukan hanya sedikit. Pemuda itu langsung menarik jemarinya menjauh, melepas tautan jemari mereka. Manik merah Akashi berkilat.
"Rasanya… bagaimana ya? Terasa biasa saja," gumam Furihata.
"Oi, Midorima! Furihata! Pendaftaran seminar sudah dibuka tuh. Semua sedang buru-buru mendaftar, kalau kalian tidak pergi sekarang nanti penuh."
Dua orang yang terpanggil menoleh ke arah mahasiswa kedokteran yang kebetulan lewat itu dan cepat-cepat membereskan barang-barang mereka. Midorima tentunya sambil menggerutu tidak senang.
"Kenapa baru diberitahu sekarang-nodayo?"
"Cepat, cepat. Tak ada waktu untuk mengomel."
Secepat kilat kedua pemuda itu pergi menuju gedung fakultas kedokteran. Bahkan berpamitan pada rekan-rekan yang masih di meja kantin pun tidak dilakukan. Sepertinya seminar itu benar-benar penting.
"Hei, Akashi-cchi."
Ia menoleh pada pemuda cantik berambut pirang yang sedang tersenyum lebar. Rasanya ia sudah bisa menebak apa yang mau diucapkan Kise. "Ya?"
Pemuda itu tertawa geli. "Kau juga melihatnya kan-ssu?"
Akashi tersenyum tipis, tidak menjawab pertanyaan Kise.
Aomine mengangkat alis bingung. "Apa? Lihat apa?"
"Wajah Furihata memerah-ssu." Kise sepertinya sudah nyaris berguling di lantai. "Perjuangan Akashi-cchi sudah mulai kelihatan hasilnya. Ah, imut sekali."
Imut, ya? Yah, ada benarnya juga ucapan Kise. Siapa sangka Furihata akan merona hanya dengan bergandengan tangan? Tapi toh Akashi sendiri tidak berhak menghakimi karena debar jantungnya belum juga kembali normal sejak jemari Furihata menyentuh jemarinya tadi.
Aaaaaah, Furihata ingin berteriak kencang-kencang rasanya.
Apa-apaan tadi itu? Apa yang terjadi? Ia memang sempat terkejut karena Akashi menawarkan diri untuk bergandengan tangan dengannya tapi bukan itu yang membuat pikirannya kusut. Seharusnya ia tidak sekalut ini. Seharusnya sentuhan itu tidak memiliki arti. Seharusnya jantungnya tidak berdebar dua kali lebih cepat saat Akashi meremas jemarinya erat.
Astaga, ia ingin melompat ke dalam lubang dan tidak keluar lagi.
"Berhenti bertingkah menjijikan begitu-nodayo."
Ia terperanjat. Rupanya ia sudah lupa sedang berjalan bersisian dengan Midorima. Ia menoleh takut-takut, masih berusaha menenangkan debar jantungnya yang tak karuan. "Menjijikan? Jahat sekali, Midorima."
Pemuda berkacamata itu mendelik. "Kalau bukan menjijikan, apa namanya? Wajahmu bahkan lebih merah dari rambut Akashi."
Cepat-cepat Furihata memalingkan wajah, sedikit menunduk. Ia tahu Midorima hanya melebih-lebihkan ucapannya, namun ia juga tahu bahwa itu tidak sepenuhnya salah. Ia bisa merasakan panas di wajahnya. Tanpa bercermin pun ia tahu wajahnya merona.
Furihata menangkup wajahnya salah tingkah. Ya Tuhan, apa-apaan ini? Kenapa ia seperti ini?
"Kubilang berhenti bertingkah menjijikan!"
Furihata berjengit. Ia sendiri juga mau tahu bagaimana cara menghentikannya! Rasanya ia tidak akan mau lagi menggandeng tangan siapapun. Tidak lagi.
Seharian Furihata sengaja mengurung diri dalam gedung fakultasnya, tidak ingin bertemu dengan Akashi.
Ia tahu ia bersikap aneh dan mungkin sedikit egois karena menghindari Akashi yang tak bersalah, tapi ia tak punya keberanian untuk menemui lelaki itu setelah apa yang terjadi. Bahkan hanya memikirkan kejadian itu saja sudah cukup untuk membuat jantungnya kembali berdebar, membuatnya tersipu. Ia tidak mau teman-temannya melihat dirinya yang seperti… gadis yang sedang jatuh cinta?
Furihata menggeleng kuat-kuat. Apanya gadis yang sedang jatuh cinta? Ia kan tidak jatuh cinta pada Akashi. Tidak mungkin. Yang benar saja. Itu terlalu tidak tahu diri, kan? Mana berani ia berpikiran seperti itu tentang si penerus keluarga konglomerat yang terkenal? Ia kan juga masih sayang nyawa.
Tapi toh Akashi menghancurkan segala usaha Furihata agar tidak bertemu pemuda itu dengan tiba-tiba muncul di hadapannya dalam perjalanan pulang.
"Menghindariku?"
Furihata terkesiap, nyaris melompat menjauh. Saat sadar siapa pemuda yang mengagetkannya, ia mundur beberapa langkah, menunduk, menolak berdiri terlalu dekat dengan Akashi dan juga menolak menatap pemuda itu.
Alis Akashi terangkat, kemudian mengambil langkah mendekati Furihata yang reflek mundur. "Kenapa? Kau marah?"
Ia menggeleng. Ah, kenapa Akashi tidak mau pergi? Didengarnya Akashi diam sejenak sebelum menghela napas panjang.
"Maaf. Sepertinya aku mengganggumu."
Matanya melebar. Ia sedikit mendongak dan hatinya mencelos melihat ekspresi wajah Akashi yang terluka. Ia tidak tahu kenapa ia merasa demikian nyeri.
"B-Bukan begitu—"
"Tidak apa. Aku mengerti."
Ia menggigit bibir, perlahan melangkah maju hingga ia berdiri di hadapan Akashi. "Kau tidak mengganggu. Hanya saja… rasanya sedikit aneh."
Sepasang manik merah menatapnya lekat. "Apa yang aneh?"
Wajahnya berubah merah muda. "S-Saat kau m-meng—ya Tuhan, malunya—menggandeng tanganku tadi."
Ia melirik Akashi, mengira pemuda itu akan menertawakan kekonyolannya. Namun yang dilihatnya pada mata Akashi membuat napasnya tercekat. Ia tidak bisa melukiskan dengan sempurna tapi ada sesuatu yang tampak seperti sebuah tekad, keyakinan, dan—Furihata tidak percaya—ketertarikan.
Akashi meraih kedua tangan Furihata, menyelipkan jemari di antara sela-sela yang kosong. Mengaitkan tangan mereka. Dan hanya satu gerakan kecil itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat jantung Furihata jumpalitan. Matanya bergerak liar, menatap ke segala arah kecuali Akashi. Genggaman Akashi semakin erat, seolah memanggil Furihata untuk menatap pemuda itu. Malu-malu ditatapnya sepasang iris merah memukau, tenggorokannya mendadak kering.
"A-Akashi—"
Pemuda itu mengangkat tangan Furihata dan rasanya mata Furihata sudah nyaris melompat keluar saat sadar apa yang hendak Akashi lakukan.
Matanya reflek terpejam erat bertepatan dengan bibir Akashi yang menyentuh punggung tangannya. Seumur hidup tidak pernah ia membayangkan akan ada hari di mana Akashi menciumnya—mencium tangannya, sama saja lah.
"Apa kau mengerti, Furihata?"
"E-Eh?"
"Tidakkah kau mengerti?"
Furihata ingin menjawab bahwa ia mengerti, terutama setelah melihat sorot mata Akashi yang jelas-jelas ingin Furihata mengerti. Tapi sungguh ia tidak paham apa yang terjadi, apa pula maksud pertanyaan Akashi. Pemuda itu pastilah melihat keraguannya, menghela napas dan melepaskan ikatan jemari mereka sebelum mundur selangkah untuk memberi jarak.
Senyum Akashi tipis dan terlihat dipaksakan. "Lupakan saja. Sampai jumpa besok."
Furihata tidak tahu apa yang Akashi ingin ia mengerti. Tapi diam-diam ia juga menyimpan pertanyaan untuk Akashi.
Apakah pemuda itu juga merasakan kehilangan yang Furihata rasakan ketika tautan jemari mereka terlepas?
TBC.
Fiuh, akhirnya selesai tepat pada waktunya dan jadi update. Sampai jumpa Selasa depan. Semoga (lol)
Terima kasih telah membaca ^^ *bows*