"Anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru!"

Seorang bocah berkulit sedikit kehitaman menoleh pada bibi Nam—ibu pemilik panti asuhan tempatnya berada. Mata hitam kelamnya mendapati sesosok bocah lain yang bersembunyi di belakang wanita itu.

Kulitnya putih, matanya sipit, wajahnya agak datar—

'Siapa?'

"Kenalkan, namanya Jeon Wonwoo. Umurnya 8 tahun jadi bagi yang lebih muda, tolong panggil dia Hyung ya? Ah.. Wonwoo juga tidak banyak bicara. Eomma harap kalian mengerti," ucapnya. Para anak-anak itu mengangguk, sementara Wonwoo—si bocah berkulit putih—masih bersembunyi di belakang kaki sang pemilik panti.

"Wonwoo, ayo bermain dengan teman-temanmu."

"U.. Ung.. iya."

Wonwoo pun dengan ragu berjalan mendekati anak anak lainnya. Namun tiba-tiba ia menangis, membuat bibi Nam sontak mendekat dan berjongkok di hadapannya.

"Kenapa? Ada yang menyakitimu?" tanyanya. Wonwoo masih menangis—

"Ini."

Keduanya menoleh pada bocah lelaki berkulit hitam yang sedaritadi memperhatikan Wonwoo. Ia menyodorkan sebuah tisu, bermaksud menyuruh Wonwoo menghapus air matanya.

"Namaku Kim Mingyu." ucapnya. "Wonwoo Hyung jangan menangis lagi, disini Hyung akan aman dan bahagia." lanjutnya sembari mengusap pipi Wonwoo dengan tisu yang dipegangnya. Wonwoo terpaku untuk beberapa saat, sementara bibi Nam tersenyum melihat interaksi diantara keduanya.

Dan tanpa sadar, Wonwoo merasakan ada sesuatu yang menghangat di dadanya.


"Waktunya makan siang~"

Para anak anak yang semula sibuk bermain sontak berlari menuju ruang makan sesaat setelah bibi Nam berteriak. Tak terkecuali Wonwoo. Bocah yang memakai baju kebesaran berwarna biru itu berjalan pelan, berbeda dengan teman-temannya yang berlari.

"Eomma, menu hari ini apa?" tanya salah satu anak. Bibi Nam tersenyum sembari menyiapkan nampan makanan untuk dibagikan, "nasi goreng dengan udang goreng."

"Yeayy~"

Wonwoo hanya terdiam setelah mendengar ucapan bibi Nam. Tanpa sadar ia menggerakkan tangannya gelisah—

Wonwoo tidak bisa makan seafood.

"U.. Um.. Eomma?" panggilnya pelan. Bibi Nam menoleh, "ya? Kenapa Wonwoo-ya?"

"A.. Aku tidak bisa makan udang.."

Bibi Nam terdiam. Ia menatap nampan-nampan yang sudah disediakan—ada satu nampan berisi nasi goreng dan ayam.

Itu adalah milik Mingyu, karena Mingyu alergi udang.

"Ah.. tapi sayang, tidak ada makanan lagi." jawab bibi Nam. Wonwoo mengusap perutnya yang berbunyi kelaparan. Hingga—

"Berikan saja makananku pada Wonwoo Hyung, Eomma!"

Wonwoo menoleh pada Mingyu yang tiba tiba saja datang. Bocah itu mengambil nampannya, menyerahkannya pada Wonwoo lalu tersenyum—memperlihatkan gigi taringnya yang begitu lucu.

"Ini, Hyung makan saja. Aku tidak lapar kok."

"Te.. Terimakasih."

Wonwoo pun menerima nampan itu, memakan makan siangnya sementara Mingyu melanjutkan kegiatan bermainnya tanpa memperdulikan apapun.

Meski malamnya, bisa Wonwoo dengar Mingyu terus merintih kelaparan.


"Mi.. Mingyu..?"

"Eh? Wonwoo Hyung?"

Wonwoo mendudukan tubuhnya di sisi Mingyu yang sedang melukis pada kanvas sembari memandang langit melalui taman belakang panti yang memang sengaja dibuat untuk tempat bermain anak-anak. Bocah yang bertinggi di atas rata-rata itu meletakkan alat lukisnya, mencuci tangannya sebentar sebelum menatap Wonwoo.

"Kenapa? Ada yang mengganggumu lagi?" tanya Mingyu. Selama di panti, Wonwoo memang selalu diganggu karena ia anak yang pendiam. Dan selama itulah Mingyu selalu berusaha melindungi Wonwoo meski berakhir dengan dirinya yang dihukum karena sudah melukai anak yang mengganggu Wonwoo.

"Tidak." jawab Wonwoo singkat. Matanya menangkap objek lukisan Mingyu, "kau melukis apa?"

"Oh," Mingyu mengalihkan pandangannya. Ia tersenyum lebar lalu mengambil kanvasnya, "aku melukis langit. Indah bukan?"

"Tapi kenapa langit itu berwarna keunguan? Kenapa juga hanya ada dua burung disana?"

Mingyu tersenyum mendengar pertanyaan Wonwoo, "hmm.. entahlah. Bukankah langit sore terkadang selalu berwarna keunguan? Dan.. dua burung? Ini adalah kita."

Wonwoo mengerutkan keningnya tak paham.

"Aku selalu berharap kita bisa pergi dari sini lalu menatap langit bersamaan seperti dua burung ini." jelas Mingyu. Ia menatap Wonwoo, "aku selalu ingin berada di sampingmu, Hyung. Terbang bersamamu, menggenggam tanganmu, menatap langit sore bersamamu."

Tanpa sadar pipi Wonwoo memerah mendengar ucapan Mingyu. Ia memukul bahu bocah itu pelan, "ya! Apa yang kau katakan?!"

"Aku suka Wonwoo Hyung."

Wonwoo menatap Mingyu tak percaya. Mingyu melanjutkan ucapannya, "aku suka Wonwoo Hyung. Aku ingin melindungimu dan terus bersamamu."

Jantung Wonwoo berdebar kencang mendengar ucapan Mingyu. Dadanya pun menghangat diiringi sensasi panas yang menghampiri pipinya.

Apa ini?

"Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi polisi." ucap Mingyu. Digenggamnya tangan Wonwoo dengan erat, "lalu, aku akan menikahi Wonwoo Hyung. Aku akan menjaga Wonwoo Hyung dari orang-orang jahat."

Wonwoo masih terdiam, mencerna kata kata Mingyu. Matanya menatap kanvas yang kembali Mingyu letakkan di tempatnya.

"Aku mau."

"Apa?"

"Jika sudah besar nanti, aku mau menikah denganmu."

Dan sore itu, 'lamaran' Mingyu telah diterima. Menandakan bahwa Wonwoo adalah 'miliknya'.


"Diadopsi?"

Wonwoo menatap kosong ranjang Mingyu yang telah kosong sejak pagi tadi. Bibi Nam yang berada di sampingnya tersenyum, menyadari bahwa ekspresi Wonwoo telah berubah.

Ia tahu persis bahwa Wonwoo dan Mingyu sangatlah dekat.

"Mingyu sudah dibawa oleh lelaki berseragam polisi tadi pagi." ucap bibi Nam. "Sebenarnya sebelum pergi, Mingyu ingin memelukmu. Tapi dia tidak ingin membangunkanmu, jadi dia meninggalkan kanvas ini untukmu."

Wonwoo menatap kanvas yang berlukiskan langit berwarna keunguan dan dua ekor burung—lukisan Mingyu dulu—yang ada di genggamannya. Matanya mendapati tulisan 'Wonwoo Hyung, Saranghae!' yang ditulis Mingyu di sudut kanvas.

Setitik air mata mengalir di pipi putihnya.

"Aku juga mencintaimu, Mingyu."


"Aku ingin membawa anak itu."

Bibi Nam menolehkan pandangannya pada Wonwoo yang tengah melamun di ruang tengah saat lelaki tua yang datang ke panti asuhannya berkata bahwa dia ingin mengadopsi salah satu anak. Sebenarnya ia agak sangsi—

Karena penampilan lelaki itu terlihat begitu menyeramkan.

"Wonwoo?" tanya bibi Nam memastikan. Lelaki tua itu menyeringai, "oh, jadi namanya Wonwoo?"

Bibi Nam sontak terkejut ketika lelaki itu menyeringai. Disaat ia hendak mengatakan sesuatu—

Sebuah pistol mengarah padanya.

"Berikan anak itu sekarang atau kau akan mati."


"Nah, ini adalah rumahmu."

Wonwoo mengadahkan kepalanya, menatap rumah besar milik lelaki yang barusan telah mengadopsinya. Sesekali matanya menatap para penjaga yang berada di sekitar rumah—

'Kenapa banyak sekali penjaga?'

"U.. Um.. Ahjussi—"

"No. Call me Daddy, Wonwoo. Okay?"

"A.. Ah.. iya. Daddy." Wonwoo agak berdehem. Dengan ragu, ia mendongak menatap lelaki tua itu sembari mencengkram tali ransel hijaunya, "k.. kenapa disini banyak penjaga? Kenapa juga mereka memegang senjata?"

"Kemarilah, akan Daddy beritahu."

Wonwoo berjalan mengikuti sang lelaki. Ia membuka pintu kamarnya, mengisyaratkan Wonwoo untuk masuk lalu ia menutupnya—

Dan menguncinya.

"Kemari." ucapnya saat ia sudah duduk di sisi ranjang. Wonwoo menurut dengan patuh, tak terlintas apapun di pikirannya saat itu.

Tapi tiba-tiba—

Lelaki itu membuka celananya di hadapan Wonwoo.

"D.. Daddy.. apa yang kau lakukan?" tanya Wonwoo. Jujur saja, ia mulai takut. Apalagi saat lelaki itu menarik lengannya dan menghadapkan wajah Wonwoo pada penisnya yang sudah menegang.

Tubuhnya mulai bergetar tanpa ia sadari.

"Kenapa banyak penjaga dan pistol?" tanyanya. Ia mengangkat dagu Wonwoo agak kasar—tanpa peduli dengan air mata yang mulai mengalir di pipi Wonwoo, "karena mereka adalah orang yang akan membunuhmu jika kau tidak menuruti perintahku. Paham baby?"

Air mata Wonwoo mengalir semakin deras. Lelaki itu melanjutkannya, "dan perintahku sekarang adalah menyuruhmu untuk memuaskanku. Jadi, jangan menangis atau kau akan mati sekarang juga."

Dan setelahnya, Wonwoo tahu bahwa hidupnya sudah benar benar hancur.


Dor! Dor! Dor!

"Jangan sampai mereka lolos!"

Mingyu menembakkan pistolnya pada para penjahat yang terus berlarian kesana kemari begitu timnya tiba di gedung tempat tersangka dari kasus yang sedang dikerjakannya berada. Teman-temannya yang lain pun melakukan hal yang sama—

Dia adalah seorang polisi.

Setelah hampir beberapa tahun berjuang demi meraih cita-citanya—dengan sedikit bantuan ayahnya yang juga seorang kepala polisi—Mingyu telah berhasil menjadi polisi. Gelarnya memang belum terlalu tinggi, tapi bukan berarti Mingyu tidak disegani.

Justru Mingyu paling disegani karena kemampuannya.

Seperti sekarang ini.

"Tersangka ada di lantai dua!"

"Aku akan kesana. Seungcheol Hyung, tolong selesaikan ini!"

Mingyu bangkit dari tempat persembunyiannya dan bergegas pergi menuju lantai dua tempat tersangka yang dicarinya. Begitu tiba—

Ia dihadang oleh 5 orang yang bertubuh lebih besar dan tinggi darinya.

"Mau kemana kau?" tanya salah satu dari orang itu. Senjata tajam dan tumpul nampak berada di genggaman mereka.

Tapi Mingyu sama sekali tidak takut.

"Aku ingin menangkap Choi Minsuk!" jawab Mingyu. Orang tadi tertawa remeh, "kalau begitu, hadapi kami dulu."

Mingyu berdecih pelan dan berjalan mendekat. Kelima orang itupun bersiap menyerang Mingyu—

Dan tidak sampai 5 menit, mereka semua sudah ambruk di tangan Mingyu.

"J.. Jangan tangkap aku!" teriak Minsuk begitu ia melihat Mingyu membuka pintu ruangan tempatnya bersembunyi. Mingyu mendekat dan meraih borgolnya, "sayangnya hukum adalah hukum. Tuan Choi Minsuk, anda ditangkap atas kasus pembunuhan terhadap nyonya Han Yejin. Kasus selesai."

Kedua tangan Minsuk pun telah diborgol oleh Mingyu. Ia meraih microphone yang ada di lehernya, "Hyung, tersangka sudah kutangkap. Cepat datang kesini bersama Soonyoung Hyung."

Mingyu mengalihkan pandangannya pada jendela yang menampilkan latar langit sore hari yang berwarna keunguan. Dua ekor burung terbang disana—

Mengingatkannya pada lukisannya dulu.

Dan juga orang yang selalu ia cari selama ini.


"Akhh!"

Seorang pemuda bertubuh kurus ambruk di atas ranjangnya tepat setelah seorang lelaki lain telah selesai melampiaskan 'nafsunya'. Bercak kemerahan memenuhi tubuhnya diikuti jejak keringat—

Dan juga cairan sperma yang mengaliri paha serta lubangnya.

"Matthew benar, kau nikmat." ucapnya sesaat setelah ia selesai memakai pakaiannya. Ia melemparkan beberapa lembar uang pada tubuh polos itu sebelum pergi, "ini untukmu, sampai jumpa lain kali sayang."

Lelaki itu terdiam beberapa saat, hingga akhirnya ia pun menutupi tubuhnya dengan selimut—

Lalu menangis disana.

'Jika sudah besar nanti, aku ingin menjadi polisi. Lalu, aku akan menikahi Wonwoo Hyung.'

Kata-kata itu kembali melintas di kepalanya, membuat dadanya nyeri diikuti air mata yang mengalir semakin deras. Hingga, matanya yang berair menangkap sebuah kanvas yang tergantung di dinding kamarnya.

Lukisan'nya'.

Brak!

"Jeon Wonwoo!"

Ia sontak mengalihkan pandangannya, mendapati 3 orang lelaki yang masuk ke kamarnya dalam keadaan mabuk.

Ya.

Wonwoo tahu bahwa malam ini dia tidak akan bernasib baik.

Kecuali jika 'dia' datang padanya.

Tapi ia tahu itu tidak akan pernah terjadi dan ia pun sudah tidak pantas lagi untuk Mingyu.

TBC.


Halo(?)

Kangen saya ga? Ga? Yaudah gapapa:'3

Maaf saya baru nongol ㅠㅠsaya mendadak kehilangan mood nulis. Mate juga kayanya bakal saya hapus, saya mendadak kehilangan ide untuk itu. Tapi gantinya saya bawain ini, hehe gatau kenapa. Terinspirasi dari part Wonwoo di MV Trauma(?)

Semoga kalian suka, maaf absurd:'3 saya akan lanjut ini minggu depan. Mau kasih kritik? Saran? Boleh banget:'3

Sekian cuap cuapnya.

kaxo.