Fiction. Vkook. AU.

.

Chapter 7

.

.

.

Hal pertama yang Jungkook lakukan begitu sampai di rumahnya di Busan adalah memeluk erat ibu yang sudah melahirkannya. Wanita yang tengah berkutat di dapur itu sampai terkejut ketika mendengar namanya dipanggil lalu seseorang menghambur begitu saja dalam pelukan.

Jungkook memang remaja laki-laki dengan masa pertumbuhan yang lebih cepat dibanding anak seusianya. Itulah kenapa bongsor menjadi nama tengahnya. Dia juga punya stamina berlebih hingga kadang kakaknya kalah kuat darinya. Tapi di mata ibunya, Jungkook hanyalah Jungkook. Putra bungsunya yang manja, cengeng, pemalu, dan suka merengek. Tapi sekali punya keinginan, Jungkook akan selalu semangat berjuang. Karena di mata ibunya, Jungkook hanya remaja puber yang sedang mencari jati diri. Mudah senang juga mudah marah. Mudah tersenyum juga mudah merengut.

Jungkook senaif itu memang. Mudah terjerat dan sulit mengenal kata menyerah.

Di dunia ini semua ibu selalu sama. Sepandai apapun anaknya bersilat lidah. Semahir apapun anaknya bersembunyi dalam tawa. Ibu selalu tahu saat ada hal yang terjadi hingga mengacaukan akal anak-anaknya. Selayaknya ibu Jungkook yang mengerti, bahwa Jungkook memendam hal yang terus mengganggu kepalanya.

Jadi siang itu, ketika Jungkook tak juga melepas pelukannya. Nyonya Jeon hanya diam menggiring Jungkook untuk duduk bersamanya di sofa ruang keluarga.

Ibunya mengusap sisi wajah Jungkook perlahan. Tangannya bergerak pelan mengisyaratkan Jungkook untuk melepas jaket yang dipakainya. Itu bukan milik Jungkook, omong-omong. Taehyung memaksa agar dia mau memakainya pagi tadi. Syarat untuk bisa meninggalkan kediaman Kim, katanya.

Jungkook tersenyum bersama ibunya. Sebisa mungkin untuk terlihat ceria. Sayangnya dia punya ibu yang teramat peka. Tanpa basa-basi wanita itu langsung minta Jungkook bercerita. Jungkook menggeleng dan seolah tak mengerti maksud sang ibu. Jungkook terus mengelak hingga akhirnya dia tak dapat berkata kala mendengar ucapan ibunya.

"Sejak kecil Jungkook-nya Eomma adalah yang paling suka bercerita. Berbagi apapun hal yang dilaluinya dalam untaian kata. Semenjengkelkan apapun dan semembahagiakan apapun itu, Jungkook tetap cerita".

Jungkook tidak berani menyela.

"Tapi sepertinya, sekarang Eomma tidak punya lagi Jungkook yang ceria. Kini anak itu sudah pandai berpura-pura".

Jungkook merengut melihat ibunya memasang wajah kecewa. Tangan wanita itu tak lagi mengusap kepala putranya. Helaan napas darinya membuat Jungkook malah merana. Masing-masing dari mereka hanya diam. Reaksi ibunya membuat Jungkook merasa jahat.

"Eomma...".

Jungkook menggenggam tangan ibunya dan mencoba menyelingak ke depan wajah ibunya agar wanita itu mau menatapnya lagi. Tapi justru penolakan yang Jungkook terima. Ibunya hampir saja beranjak jika Jungkook tidak menahan tangannya. Ibunya mencoba melepas genggaman Jungkook dan mengatakan bahwa percuma dia duduk di sini menyambut anaknya yang ternyata tak lagi menganggapnya. Jungkook, kan tidak begitu; dia hanya belum siap untuk cerita.

"Sebentar Eomma...".

Wanita itu kembali menghadap anaknya dan menatapnya seolah berkata; kenapa?.

Jungkook meminta ibunya untuk duduk dulu. Wanita itu menurut. Menunggu anaknya yang tak kunjung bersuara. Jadi sedikit pancingan kembali dia umpankan.

"Masih belum mau cerita?".

Jungkook menatap ibunya ragu. Bibirnya mencembik dan matanya sudah panas. Merasakan remasan pada jari-jari tangannya yang digenggam oleh ibunya. Jungkook menunduk untuk menghindar dari tatapan ibunya yang terlalu hangat. Jungkook tidak sanggup. Dia menangis begitu rangkaian kata berhasil lolos dari bibirnya.

"Aku mencintainya, Ma. Eomma, Aku mencintainya".

Jungkook terus menyengguk dan membalas remasan dari jemari ibunya, semakin kuat ketika sengguknya tak juga berhenti. Jungkook merasakan lagi pelukan ibunya. Jauh lebih hangat dari yang dia ingat dari sebelumnya. Jungkook terus mengucap bahwa dia mencintainya. Tidak peduli pada ibunya yang bahkan belum tahu siapa yang telah mencuri hati anaknya.

Cukup lama Jungkook terus terisak dalam hangatnya dekapan juga elusan tangan sang ibu. Ketika sedikit rasa lega menyentuh tepi hatinya, Jungkook mulai bergerak mengurai uluran tangan ibunya dan mengusap pipinya dengan cepat. Malu sekali ketika matanya bertemu tatap dengan netra milik wanita yang kini tengah tersenyum penuh makna. Ditambah sedikit kekehan dari wanita itu hingga Jungkook merona begitu nyata.

"Biar Eomma tebak".

Jungkook sudah menduga bahwa jawaban ibunya akan tepat. Jadi Jungkook tak terkejut ketika mendengar nama dari salah satu sunbae-nya di sekolah. Taehyung, kan? Terdengar begitu jenaka dari mulut ibunya. Jungkook tambah merona. Matanya melirik benda di sekitar. Bibirnya juga menyebut lirih; eomma, dengan nada ratap.

"Eomma siap mendengar, sayang. Apapun yang kau ungkapkan".

Jungkook mengangguk ketika kepalanya diusap dengan segenap kasih sayang.

Dengan ragu Jungkook memulai.

Bahwa ibunya benar, Taehyunglah orangnya. Awal pertemuan mereka adalah masa orientasi. Seharusnya hanya sampai di sana tapi karena sebuah tugas klub dia harus kembali berurusan dengan pemuda Kim. Jungkook tidak terlalu ingat detail bagaimana mereka menjadi dekat, saling tukar pesan, juga berbagi malam melalui telepon. Yang baru Jungkook sadari kini, dia hanya merespon apa yang Taehyung lakukan dan dia menikmati itu. Hingga akhirnya dia terbiasa. Taehyung yang bilang ingin dekat dengannya. Jungkook bisa apa? Menolak pesonanya? Mana bisa.

Kenyataannya memang mereka menjadi dekat. Awalnya dia ragu, kenapa rasa senang saat bersama dengan Bambam berbeda dengan rasa senangnya ketika bersama Taehyung. Dan ragu itu berubah menjadi rasa ingin tahu begitu melihat interaksi Taehyung bersama kakak sepupunya; awal dari rasa cemburu. Dia iri, mengingat perbedaan dari bagaimana perlakuan Taehyung pada Jimin begitu beda padanya. Dan rasa itu berubah lagi; menjadi benci ketika mendengar kalau Kim Jennie resmi menjadi kekasih pemuda Kim.

Jungkook tidak mengatakan pada ibunya bahwa dia tahu Jimin suka Taehyung. Tidak, dia sudah berjanji.

"Taehyung masih bersama gadis itu?".

Jungkook menggeleng. Anak-anak di sekolah belum tahu, sepertinya. Tentu saja! Karena bahkan dua penyandang marga Kim itu masih sering terlihat bersama. Dan Jungkook jadi benar-benar ragu apa mereka sungguh putus.

Jungkook kembali melanjutkan ceritanya setelah ibunya mengatakan bahwa artinya Jungkook masih punya kesempatan mengingat Taehyung tak lagi taken. Yah, ibunya kan belum dengar semuanya. Tapi Jungkook cukup bersyukur ibunya terlihat tidak keberatan pada pilihan hatinya.

Mereka sempat bertengkar, saling diam layaknya orang asing nyaris tiga bulan. Uh, Jungkook tak ingin mengingat ini sebenarnya, tapi dia juga tak bisa lupa begitu saja. Bagaimana mungkin dia lupa rasa sakit, rasa rindu, rasa marah, dan rasa kehilangan yang melandanya ketika itu. Maka kini Jungkook tak mau itu terjadi lagi. Semarah apapun dia pada Taehyung rasanya dia tak ingin mengabaikan pemuda itu lagi.

Selayaknya hal sepele yang menyulut emosi keduanya. Mereka berbaikan dengan cara yang begitu sederhana. Hingga tanpa kata mereka tahu pertengkaran mereka tak ada gunanya. Itu hanya membuat keduanya saling menyiksa.

Jungkook pikir ibunya sudah tahu bahwa dia kesal pada Taehyung pagi di mana pemuda itu menjemputnya. Tapi sepertinya ibunya lupa jadi dia mengingatkan dan menambahi bahwa karena hal itu pula kehidupan sekolahnya terasa berbeda. Jungkook tak suka perhatian berlebih dari hampir seluruh anak di sekolahnya. Dia hanya ingin datang dan pulang dengan cara yang biasa. Tapi seakan kedekatannya dengan Taehyung adalah malapetaka. Jungkook sadar bahwa kebencian terus datang menghampirinya.

"Dia sepopuler itu?".

Kali ini Jungkook mengangguk. Sedikit kesal mengingat beberapa cibiran yang pernah sampai di telinga. Beruntung dia punya Yuju, Bambam, dan Lisa. Meski terkadang mulut mereka juga ikut menggoda tapi dia tahu maksud mereka hanya untuk bercanda.

Jungkook mulai bicara lagi.

Taehyung masih sering mengantar Jennie pulang. Itulah kenapa dia meminta Taehyung terus mengantarnya ke rumah sakit untuk menjenguk Jimin. Entahlah, dia hanya tak suka. Dan Taehyung justru terus datang menjemputnya tiap pagi hanya untuk berangkat bersama. Membuat Jungkook ingin terus menikmati perhatian dari Taehyung.

Jungkook berhenti untuk melihat reaksi ibunya. Wanita itu hanya terus tersenyum. Begitu teduh hingga Jungkook hanya merasa malu pada semua yang baru saja dia katakan. Padahal ada hal yang masih dia sembunyikan.

"Dan urusanmu menguntit Hyungie-mu hingga ke Daegu?".

Jungkook mendelik mendengar tanya dari ibunya. Bukan karena dia terkejut atau tak tahu harus menjawab apa. Tapi karena ibunya itu menggoda dengan menyebut Taehyung dengan Hyungie, persis seperti cara yang terus Jungkook pakai dalam menamai Taehyung ketika mencurahan isi hati sejak tadi. Jungkook sudah cukup malu dengan semua yang dia ungkap. Kenapa ibunya ini masih harus menambah kadar malu, sih? Terlebih dengan imbuhan -mu. Taehyung, kan bukan milik siapa-siapa.

"Ku bilang ada tugaskan, Ma".

"Ho, pikirmu Eomma percaya? Kau bahkan mengatakannya sambil menangis".

"Aku tidak".

Jungkook menggeleng keras berusaha meyakinkan, untuk ibunya juga diri sendiri. Bahwa dia tidak menangis dan yang dikatakannya semalam itu benar.

"Iya, sayang. Kau menangis, dan tugas apa yang di kerjakan anak kelas satu bersama senior kelas tiga?".

Jungkook berpikir sejenak. Menggigit bibirnya dan bergumam kecil.

"Tugas klub?".

Jungkook merengut begitu ibunya mengatakan bahwa Jungkook tidak satu klub dengan Taehyung. Juga Taehyung sudah kelas tiga, mustahil untuknya tetap ikut klub karena mereka sudah melewati semester pertama. Huh, darimana ibunya tahu? Ah, tentu dari ceritanya barusan. Jungkook menyerah untuk mengelak.

"Aku tidak tahu, aku hanya- begitu saja ikut dengannya karena Hyungie melarangku ikut".

Jungkook terhenyak begitu mendengar simpulan ibunya yang mengungkapkan bahwa apa yang Jungkook lakukan hanya karena dia tak ingin jauh dari Taehyung meskipun Jungkook sudah di suruh menjauh. Benarkah? Sebegitu inginnya dia tetap di dekat Taehyung?

"Tapi, Ma. Apa aku tidak pantas untuk diperjuangkan?".

Nyonya Jeon terlihat agak terkejut mendengar pertanyaan dari bibir mungil putranya. Sedang Jungkook hanya diam menunggu.

"Kenapa tanya itu?".

Jungkook terlihat ragu. Kalau dia jujur, bagaimana jika ibunya justru membenci Taehyung lalu menyuruhnya menjauh dari pemuda Kim. Jungkook tidak akan mau. Haruskah dia menceritakan juga yang Taehyung katakan padanya semalam. Jungkook sungguh ragu. Tapi ini sudah diluar batasnya untuk tetap merahasiakan. Tatapan Ibunya yang khawatir membuat Jungkook kembali bersuara.

"Hyungie bilang, dia tidak mampu. Katanya, di sudah terikat dengan...".

Jungkook ingin menangis lagi, sungguh. Tapi itu akan membuatnya terlihat cengeng sekali. Semalam dia sudah menangis. Tadi juga menangis. Kenapa sekarang juga ingin menangis?

"Terikat apa?".

Jungkook mengendikkan bahunya. Diikuti lirihan ketidaktahuan.

"Hyungie tidak mau bilang".

Jungkook diam menerima lagi usapan sayang dari tangan ibunya. Sedikit memberinya kekuatan untuk kembali melanjutkan.

"Tapi, katanya tidak mau aku sakit hati lagi. Jadi, apa artinya dia juga mau bersamaku? Karena jika dia menjauhiku, aku justu merasa sakit, Ma".

Nyonya Jeon tersenyum mendengar penuturan anaknya yang begitu lugu. Sangat manis dan membuatnya gemas. Ah, mengetahui bayi kecilnya ini jatuh cinta menjadikannya ikut berbunga. Meski dia tahu dari semua cerita yang Jungkook beberkan, banyak hal membuat bayi kecilnya merasakan lara dalam memendam rasa.

Tapi bagaimana Jungkook dengan binar matanya kala menyebut Tae-hyung, Tae-hyungie, juga Hyungie membuat Nyonya Jeon hanya terus ikut bahagia.

Ingatannya terus berputar pada pemuda bermarga Kim yang kala itu membawa Jungkook-nya kerumah sakit. Pemuda yang ikut menenangkan Jungkook saat putranya itu meraung mengetahui kondisi Jimin. Mengantar bungsunya ini hingga menungguinya pulang di luar rumah Jimin.

Dia tidak pernah tahu bahwa Jungkook bisa sebahagia ini hanya dengan menyebut nama seseorang.

"Jawabannya ada pada Taehyung, sayang. Kau hanya perlu bertanya dan memberitahukan rasamu padanya".

"Itu memalukan, Eomma!".

"Kau tidak malu saat mengatakan bahwa kau membenci salah satu temanmu. Justru malu mengutarakan rasa sukamu. Apa menurutmu hal buruk lebih pantas diungkapkan daripada hal baik?".

Jungkook bungkam. Perkataan ibunya begitu telak hingga dia tidak tahu harus menyanggah dengan apa.

"Jika Taehyung memang tidak sanggup memerjuangkanmu disaat kau masih ingin terus bersamanya dan tahu bahwa dia juga memiliki rasa yang sama. Tanya pada dirimu sendiri, sayang. Apa kau juga tidak sanggup memerjuangkannya?".

Jungkook terdiam mencerna semua kata-kata ibunya. Membiarkan wanita itu beranjak kembali ke dapur setelah mengusap juga mengecup puncak kepalanya.

( ^^ )

.

.

.

2011, Agustus 1

Senin

Tiga minggu sudah Jungkook berada di Busan. Selama di sana Jungkook tidak melakukan kominikasi apapun pada Taehyung. Barulah kemarin dia berani mengirim pesan pada kakak kelasnya itu bahwa dia akan kembali ke Seoul hari ini. Taehyung tidak bertanya memang, ini hanya maunya saja untuk memberi tahu. Dia tidak tahu kabar pemuda itu. Apa masih di Daegu atau sudah kembali ke Ibukota. Tapi jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Apa pemuda itu meninggalkan ponselnya lagi? Memangnya dia pergi ke mana kali ini?

Jungkook jadi sebal. Taehyung selalu mengabaikannya. Padahal sekalinya memberi perhatian, pemua Kim itu selalu membuatnya melayang; terbang ke awan. Rasanya begitu dihargai dan dicintai. Menjadikannya begitu bimbang. Jungkook tidak suka jika harus mencinta juga membenci. Dua hal itu melelahkan. Mencintai saja sudah begitu menyebalkan bagaimana dia sanggup membenci? Jungkook tidak bisa.

Selama perjalanannya ke Seoul Jungkook hanya terus memainkan asal game dalam ponselnya. Dia bosan dan tidak ada teman ngobrol. Seseorang di sebelahnya adalah seorang bapak-bapak dengan perut gendut yang tertutupi oleh jas rapi. Parfumnya menyengat hingga Jungkook penat menghirupnya. Ditengah rasa bosannya Jungkook menerima sebuah notifikasi pesan.

Dia harap itu Taehyung tapi ternyata Bambam. Kapan kau ke Seoul? Jungkook membaca dalam hati. Jigeum, jawab Jungkook singkat. Obrolan itu berlanjut selama beberapa menit.

Jungkook terkikik sesekali ketika membaca apa yang Bambam tulis. Temannya yang satu itu agak ajaib memang. Beberapa foto berisi tulisan yang dikirim olehnya juga mengundang Jungkook untuk tertawa. Tanpa sadar seseorang di sebelahnya merasa terganggu. Beberapa kali pria tua itu melirik Jungkook lalu berdehem dengan agak keras. Jungkook terlalu asyik dengan dunianya untuk sadar situasi.

Barulah ketika Bambam mengatakan bahwa dia harus mulai shift kerja part time-nya Jungkook kembali pada alam nyata. Jungkook meringis saat tangan kirinya terdorong oleh bapak yang bergerak dalam duduknya. Badannya begitu besar hingga Jungkook merasa terhimpit.

"Hei, nak. Apa kau dari desa?".

Jungkook melirik pria itu. Mengulas senyum kemudian menjawab tidak. Pria itu menatapnya bolak-balik ke atas ke bawah. Jungkook risih.

"Kau ini laki-laki atau perempuan?".

Mata Jungkook membesar sesaat. Terkejut juga terhina. Memangnya dia memakai rok apa?

"Tentu saja laki-laki, Ahjushi".

Jungkook agak menekan ucapannya. Pria itu diam sesaat kemudian berdehem sebelum kembali menyahut.

"Tertawamu seperti perawan".

Jungkook mendelik mendengar bagaimana pria itu mengungkapkan pemikirannya teramat gamblang. Juga caranya mendengus yang menjengkelkan. Membuat Jungkook semakin risih. Belum lagi ketika tiba-tiba tangan pria tua itu menyentuh wajahnya. Kurang ajar. Jungkook menampik dengan cepat dan menatap pria itu dengan nyalang. Terdengar kekehan senang yang membuat Jungkook semakin berang. Apa-apaan, sih.

Pria tua itu menggumamkan sesuatu yang tidak Jungkook mengerti. Jungkook merasa jantungnya bergerak lebih cepat oleh rasa takut. Jungkook melirik takut pada pria yang kini tengah celingukan; seperti menilai keadaan sekitar. Menjadikan Jungkook begitu waspada hingga pria gendut itu kembali menatapnya kemudian tersenyum padanya. Terlihat menjijikan.

Di tengah rasa was-wasnya Jungkook mendapat panggilan alam. Rasanya dia ingin menahannya saja ketika dia pikir akan sulit keluar melewati pria gendut itu. Tapi setelah beberapa menit menahan, dia tak sanggup lagi. Kakinya bergerak gelisah jadi dia bangkit kemudian mengatakan permisi. Seperti dugaannya, Jungkook harus memiringkan tubuhnya disela tubuh juga kursi di depannya untuk bisa keluar. Jungkook memekik dan tubuhnya tersentak begitu sebuah tangan meremas bokongnya. Pria tua sialan!

Jungkook ingin berteriak marah tapi urung ketika dilihatnya pria itu mengangkat kedua tangannya seakan dia di tangkap polisi, lagipula dia sadar situasi. Jungkook hanya merengut dan menatap pria itu tajam lalu melenggang untuk memenuhi panggilannya.

Tanpa tahu bahwa ada sepasang mata yang mengawasinya dalam diam.

Ketika kemudian dia selesai dengan urusannya. Jungkook terkejut mendapati pria gendut itu berada di depan pintu toilet seakan menunggunya. Lebih lagi dia di dorong paksa untuk kembali masuk ke dalam bilik toilet. Tentu bersama dengan pria tak tau umur yang begitu kurang ajar. Belum sempat Jungkook meronta tubuhnya sudah dihimpit di dinding. Hei, manis, katanya ketika sebelah tangan merogoh sesuatu dari dalam jas lalu menyodorkan begitu dekat hingga menekan sisi pinggang Jungkook.

Jungkook hanya mampu memekik kecil karena kemudian mulutnya di bekap dengan tangan oleh pria tersebut. Jungkook pikir dia akan menangis. Juga mati. Karena pria itu membawa pisau lipat. Ya tuhan, bagaimana bisa dia di dalam kereta dengan pisau lipat yang Jungkook lihat begitu mengkilap; tajam. Jungkook menggeleng ragu ketika pria itu meminta untuk menyerahkan dompet juga handphone. Tidak. Apa Jungkook akan dirampok?

Seseorang, tolong Aku! Jungkook hanya bisa mengatakan itu dalam hati. Matanya terasa panas. Seingatnya dia punya kekuatan yang cukup untuk membanting seseorang tapi kenapa kini dia tak bisa apa-apa selain meronta. Eomma, tolong! Tolong aku Appa!

Tubuhnya kembali tersentak begitu merasakan tangan pria tua itu begitu kelewatan; sungguh kurang ajar. Air matanya sudah menetes ketika sadar bahwa sebuah tangan berada tepat di atas hal yang tak seharusnya boleh disentuh orang asing. Jungkook berusaha terus meronta merasakan tekanan di bagian bawah tubuhnya; tempat sesitif bagi semua manusia. Pria itu melakukan hal yang begitu memalukan juga menyakitkan hingga Jungkook mengerang ketakukan.

Tolong! Eomma, Appa. Hiks. Taehyungie, tolong! Jebal, jebal Hyungie. Hiks. Hyungie. Hyungie. Hyungie.

Pria itu terus mendesaknya untuk menyerahkan apa yang diminta dengan terus menekan pusat tubuh Jungkook.

Kemudian sebuah gebrakan di pintu mengagetkan Jungkook juga pria yang memojokannya. Sebuah suara dari luar yang bertanya, apakah ada orang di dalam atau tidak, membuat Jungkook sedikit lega. Meski begitu isakannya tak juga mereda. Dia melihat pria di hadapannya ini panik dan lengah. Jadi Jungkook menggigit tangan yang masih setia di depan mulutnya hingga pria itu berteriak kesakitan. Jungkook ikut teriak dengan meminta pertolongan dan berusaha merangsek mendekati pintu lalu membuka slot kunci.

Jungkook berhasil membuka pintu bilik itu dan mendapati seorang petugas menyambutnya. Bertanya apa dia baik-baik saja. Tapi mata Jungkook yang berlinang juga tubuhnya yang gemetar sudah cukup menjelaskan; membuat petugas itu tahu bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Terlebih ketika Jungkook tak menjawab ataupun balik menatapnya.

Jadi petugas itu memeriksa ke dalam bilik dan mendapati seorang pria gendut mengacungkan sebilah pisau. Dia berteriak meminta bantuan pada petugas lain yang langsung datang untuk mengamankan pria berlemak itu.

Jungkook tak lagi tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dia hanya menatap pada seseorang yang sejak tadi juga menyambutnya bersama si petugas. Seakan tak percaya Jungkook hanya diam dengan air mata yang masih terus mengaliri pipinya. Tubuhnya justru semakin gemetar ketika orang itu mendekatinya kemudian mengatakan tidak apa-apa. Membisikkan kata-kata yang Jungkook yakin adalah kalimat penenang untuknya. Tapi dia terlalu takut untuk percaya bahwa yang dilihatnya kini adalah nyata.

"Hyu-ngie...".

Jungkook masih terus gemetar bahkan ketika tangannya digenggam dengan begitu tenang seolah menguatkan. Jungkook harap ini bukan ilusi. Jungkook harap pemuda yang kini mengusap pipinya bukan sekedar semu di tengah ketakutan. Dan dia bersyukur bahwa harapannya nyata karena begitu dia menghambur memeluk pemuda itu, tubuhnya benar-benar merasakan kehangatan yang menjalar dari dalam hatinya. Suara pemuda itu juga terasa begitu nyata memasuki indera pendengarnya.

Jungkook bersyukur. Mendapati Taehyung dalam dekapannya. Dia tak peduli ini terlihat memalukan atau apa yang akan orang pikirkan sekarang. Dia hanya mau terus memeluk pemuda itu. Meyakinkan diri juga mencari ketenangan. Dia merasa berada begitu dekat dengan bahaya mungkin juga kematian dan bayang-bayang himpitan tadi masih berputar dalam kepalanya.

"Sudah, Kau aman sekarang".

Taehyung mencoba melepas tangan Jungkook yang melingkar erat di tubuhnya. Tapi Jungkook masih-butuh-ingin pelukan.

Seorang petugas datang menghampiri mereka dengan sebotol air mineral. Taehyung menerima itu dan mengucapkan terima kasih. Sedikit meringis mendapati kekangan lebih kuat dari Jungkook. Sebelah tangannya menahan Jungkook untuk tetap berusaha berdiri.

"Tuan, silakan tenangkan diri Anda di kursi. Kami sudah mengamankan pria tadi jadi silakan nikmati kembali perjalan ini".

Taehyung menggantikan Jungkook untuk mengangguk dan tersenyum sopan pada petugas itu. Kemudian memberinya isyarat untuk meninggalkan mereka.

Taehyung terus membujuk Jungkook untuk tenang dan mengajaknya kembali duduk tapi Jungkook terus menggeleng disela isakan. Barulah ketika Taehyung mengatakan fakta bahwa kaki Jungkook lemas dan masih sekitar empat puluh menit lagi kereta mereka berhenti. Tidak mungkin Jungkook kuat untuk terus berdiri.

Jadi Jungkook mengangguk dan melepaskan Taehyung perlahan. Taehyung menggenggam tangannya begitu erat dalam sela jari. Membiarkan kakak kelasnya itu menuntunnya sampai di kursi tempat dia duduk. Menyuruhnya duduk dengan begitu lembut. Taehyung ikut duduk di sampingnya. Jungkook menggeleng dan menahan Taehyung saat berpikir pemuda itu akan meninggalkannya sendiri ketika pemuda itu hendak melepas genggaman mereka. Tidak apa-apa. Aku tetap di sini. Hanya membuka ini, katanya dengan menyodorkan sebotol air. Jungkook meminumnya dengan membiarkan tangan Taehyung mengusap pipi basahnya.

Jungkook kembali menautkan kedua tangan mereka. Mengeratkan jalinan jari mereka setelah Taehyung menutup dan menaruh botol airnya di belakang kursi yang ada di hadapan mereka. Taehyung tersenyum menenangkan dan membawa kepala Jungkook untuk bersandar. Mendengar lirihan Jungkook yang menyatakan bahwa pemuda itu takut. Lalu menitahkan Jungkook untuk tidur saja selama sisa perjalanan.

( ^^ )

.

.

.

Jungkook menolak untuk diantar pulang ke rumah bibinya. Taehyung hanya mengiyakan dan membawa pemuda itu ikut pulang ke apartemennya. Sejak turun dari kereta, menaiki taksi hingga sampai di ruang tamu, Jungkook hanya diam dan terus menunduk. Tanpa mau melepas genggaman tangan keduanya. Taehyung pikir Jungkook hanya terlalu terguncang dengan apa yang baru dia alami.

"Mau makan siang apa?".

Taehyung berjongkok di hadapan Jungkook yang duduk di sofa. Dia menawarkan, ayam atau pizza pada Jungkook, tapi pemuda Jeon hanya diam. Sesabar mungkin Taehyung mengajak Jungkook bicara namun pemuda itu sama sekali tak mau bersuara. Hanya gelengan yang Taehyung dapat dari semua tanya yang dia ungkap. Membuat Taehyung mengambil tindakan untuk segera menyambar ponsel dan memesan apa saja yang bisa membuat mereka kenyang. Jungkook menolak makan saat Taehyung menawarinya berhenti di salah satu restoran cepat saji tadi. Jadi kini dia kelaparan. Dan Taehyung yakin Jungkook juga merasa lapar. Taehyung terus berjongkok di depan Jungkook, kali ini dia ikut diam.

.

Sebenarnya Jungkook mendengar semua kalimat yang Taehyung ucapkan. Kalimat penenang, kalimat ajakan, kalimat tanya, hingga kalimat keluhan. Penenang agar dia tak lagi memikirkan kejadian di kereta. Ajakan untuk makan. Tanya tentang apa yang sebenarnya Jungkook pikirkan sekarang. Juga keluhan untuknya yang terus bungkam.

"Jungkook, makan ini, ya?".

Taehyung terus membujuknya untuk makan.

"Kusuapi?".

Jungkook menggeleng lagi hingga membuat Taehyung menghembuskan napas lelah bercampur kesal.

"Oke! Sekarang apa maumu? Aku tidak peduli. Kau mati kelaparan juga aku tidak peduli".

Taehyung berdiri dan berbalik membelakangi Jungkook dengan tangannya yang menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. Dia sudah berusaha tidak membentak Jungkook sejak tadi. Pemuda itu sekuat mungkin untuk bersabar tapi Jungkook sama sekali tak mengerti. Taehyung dan sabar bukanlah perpaduan yang mudah.

"Aku mau pulang".

Jungkook hanya bergumam tanpa melihat Taehyung yang kini kembali menghadapnya dengan alis bertaut.

"Pulang?".

Taehyung terkekeh menyedihkan sebelum berujar kepada Jungkook untuk melakukan apa yang dia mau. Dia tahu jalan keluar juga jalan pulang. Taehyung tak perlu repot mengantarkan. Perkataannya membuat Jungkook beranjak dari duduk dan berjalan ke pintu. Taehyung menghela napasnya begitu melihat bahwa Jungkook serius keluar dari apartemennya.

.

Jungkook berbelok menuju jalur tangga alih-alih menunggu pintu lift untuk terbuka. Kakinya terus melangkah selangkah demi selangkah dengan tempo teramat lamban. Tidak peduli pada ratusan anak tangga yang dilaluinya mungkin bisa membuatnya bertambah lelah; kakinya masih lemas padahal. Jungkook hanya ingin berjalan, terus berjalan, menuruni tangga dari lantai 13-mengagumkan-, melewati lobi hingga parkiran. Seakan pikirannya kosong Jungkook hanya terus menatap ke depan. Abai pada keadaan sekitar hingga tak sadar ada seseorang yang terus meniti jalannya di belakang.

Taehyung tak habis pikir dengan apa yang Jungkook lakukan sekarang. Tubuh pemuda itu begitu lunglai dalam tapaknya. Tapi seakan tak sadar diri, bukannya berhenti menunggu bus di halte dekat apartemennya atau mungkin menyetop taksi. Taehyung justru mendapati Jungkook terus berjalan tanpa henti meski dua halte sudah di lewati oleh pemuda itu.

"Apasih yang kau pikirkan?!".

Kecam Taehyung begitu dia meraih tangan Jungkook dan membuat tubuh Jungkook menghadapnya untuk berhenti menjejaki trotoar. Jungkook cukup terkejut tapi kemudian dia kembali menunduk. Menghindar dari sorot mata Taehyung yang menajam. Jungkook diam mendengar suara Taehyung yang terdengar keras ditelinganya. Pemuda Kim itu bertanya -apa Jungkook mau mati- hingga rela hampir menabrakkan diri pada sebuah sedan hitam yang sudah melaju bebas melewati mereka. Beruntung Taehyung sempat berlari mendekat dan menarik Jungkook kembali ke trotoar.

"Aku tahu perasaanmu, Jungkook".

Tidak. Kau sama sekali tidak tahu, Hyung!

"Aku mengerti ketakutanmu".

Bohong! Kau tidak mengerti.

Taehyung kembali bicara dengan suaranya yang tak lagi tinggi. Lalu tangannya menarik Jungkook mendekat dan memeluknya erat. Tak acuh pada beberapa orang yang memandang mereka heran. Taehyung merasakan bahu Jungkook bergetar sedang bahunya sendiri agak basah. Tangannya bergerak mengusap punggung Jungkook dengan mulutnya yang mengatakan lagi kalimat penenang.

Saat dia merasa Jungkook sudah lebih tenang dia melepaskan dekapannya. Menyetop taksi dan membawa Jungkook masuk bersamanya. Mengatakan pada sopir tempat tujuan mereka.

( ^^ )

.

.

.

2011, Agustus 4

Kamis

"Lama tidak jumpa, Jimin-hyung".

Jungkook tersenyum pada Jimin yang masih saja memejamkan mata. Tidak ada sedikitpun kata sambutan untuknya. Padahal ini hari pertama Jungkook kembali berkunjung setelah tiga minggu absen di tambah dua hari mengurung diri di kamar. Yah, meski tidak menolak makan dan selalu berusaha tidak terlihat mengkhawatirkan di depan paman dan bibinya, Jungkook memang terus menghabiskan waktunya dalam kamar.

Menangis di kamar mandi, di malam hari, juga dini hari saat bangun dari mimpi buruk. Tapi hari ini Jungkook tidak ingin lagi terpuruk. Sudah cukup waktu yang dia buang untuk menyesali peristiwa senin kemarin yang buruk. Menyesal karena dia begitu payah untuk sekedar menyelamatkan diri. Menyesal untuk tidak bisa lupa pada bayangan pria yang melecehkannya. Juga menyesal karena merasa dirinya tak lagi berharga. Jadi hari ini dia ingin lebih kuat berusaha untuk tidak lagi terpedaya oleh ingatan juga ketakutannya.

"Hei, aku memanggilmu hyung, sekarang".

Jungkook yang duduk di kursi sebelah ranjang Jimin mengambil jemari kakaknya perlahan untuk digenggam.

"Bukankah seharusnya kau senang hingga meloncat kegirangan?".

Meski tak ada respon apapun dari Jimin karena bahkan mesin elektrokardiografi di sisi ranjang pun tak menunjukkan tanda-tanda kemajuan apapun. Jungkook hanya tersenyum maklum kemudian kembali berceloteh. Mengungkapkan bahkan melempar pertanyaan yang tentu tak akan mendapat jawaban. Tidak masalah karena dia yakin Jimin masih mampu mendengarnya dengan baik.

.

Jungkook keluar dari ruang Jimin sekitar pukul lima sore. Menawarkan diri untuk membeli makan malam dan meminta bibinya untuk menunggu. Tapi belum sempat dia beranjak seseorang sudah datang dengan sekantung makan malam ditangan. Jungkook tidak berpikir bahwa dia akan bertemu dengan Taehyung di sini.

Melihat senyum pemuda itu yang begitu menyejukkan hati.

Jungkook tidak menolak saat bibinya memaksanya untuk memakan apa yang dibawa oleh kakak kelasnya. Lagipula dia memang sudah lapar. Tapi ketika mendengar bibinya meminta Taehyung untuk mengantar Jungkook selesai menyantap makan malam, Jungkook bersikeras menolak. Mengatakan bahwa dia akan pulang bersama dengan paman dan bibi saja nanti. Meski artinya dia harus menunggu pamannya yang menjemput mereka sekitar dua jam lagi.

Taehyung hanya tersenyum dan mengatakan tidak masalah ketika mendengar permintaan maaf dari ibu Jimin karena sikap Jungkook yang sejak kedatangan Taehyung jadi tidak bersahabat. Pemuda itu pamit setelah menjenguk Jimin. Jungkook berusaha untuk tidak menatapnya bahkan sampai berpura-pura tidak menganggap Taehyung ada.

.

Sampai di rumah, Jungkook mengecek ponselnya yang memang sengaja dia tinggal di atas meja kamar. Dia baru men-charge handphone-nya pagi tadi memang; setelah dua hari dibiarkan mati. Ada beberapa pesan juga panggilan terlewat.

Missed Call Bammie 8

19.37 today

Missed Call Taehyungie 5

15.18 today

Missed Call Park-Imo 4

23.01 July 9

Jungkook tersenyum membayangkan wajah sebal Bambam yang tak berhasil menghubunginya sejak dua hari kemarin. Jungkook mencoba untuk tidak menerka kenapa Taehyung menelponnya hari ini, bahkan sampai lima kali. Melihat keterangan waktunya, berarti pemuda itu menghubunginya sebelum mereka bertemu di rumah sakit. Tapi kenapa dia tak mengatakan apapun tadi? Jungkook menutup daftar panggilan dan beralih pada pesan di Katalk-nya.


From : Bammie

Agust 1

Hei, Kook, sudah di Seoul? 18.27

Sudah sampai belum? 18.30

Balas, Kook! 19.00

Aku meneleponmu. Tidak terhubung? 19.16

Agust 2

Jungkook? Tidak jadi melihatku bekerja? 12.30

Ya! Kelinci gendut. 17.03

Jawab pesanku! Sialan. 17.03


From : Lisa

Agust 2

Buddy? 19.10

Where are you? 19.10

Mulut Bam2, berisik! 19.20

Angkat teleponnya! kay? 19.21

Jungkookie? 19. 30


From : Yuju

Agust 2

Angkat teleponmu, Kook! 10.29

Jangan buat khawatir! 10.36

Agust 3

Jeon Jungkook! 10.40


.

Jungkook hanya membukanya sambil terus mengulum tersenyum. Merasa beruntung memiliki kawan seperti mereka. Yang terlihat begitu menyebalkan dengan ketidakpedulian mereka terhadap hal-hal remeh terlebih jika berhubungan dengan roman. Tapi begitu jujur akan rasa sayang dalam pertemanan. Menjadikannya berpikir, mungkin besok waktunya untuk menemui mereka. Dan menjalankan beberapa dari rencana liburan mereka yang sempat tertunda.

.

From : Taehyungie. Delapan belas pesan dari kakak kelasnya.

Haruskah dia buka juga? Jungkook begitu penasaran apa saja isi dalam ruang obrolan mereka, tapi dia juga takut. Untuk alasan yang tidak dia mengerti. Ingatannya kembali pada pertemuan mereka di kereta. Jungkook begitu takut saat itu hingga dia hanya ingin seseorang ada di sampingnya; menjaganya. Beruntungnya Taehyung di sana, bahkan menyelamatkannya, kan? Seolah begitulah takdir mereka.

Tapi kemudian, ketika dia sepenuhnya sadar pada apa yang baru saja dia alami. Jungkook hanya mampu bersembunyi. Menelan rasa takut dan malunya seorang diri. Himpitan, ancaman, pelecehan; semua itu terus berputar dalam kepalanya, membuat Jungkook merasa dirinya tak lagi percaya diri. Tak lagi pantas disandingi.

Lagipula, Taehyung sudah menolak untuk berjuang.

Jadi bolehkan? Jungkook hilang niat untuk bertahan.

Lama Jungkook larut dalam pikirannya. Masih dengan handphone dalam kepalan tangan yang hanya dia tatap dengan awang. Tidak sadar bahwa ruang obrolannya bersama Taehyung sudah tertera dalam layar. Tanpa bisa dicegah rasionalnya mulai membaca.


From : Taehyungie

Agust 1

Aku juga ke Seoul. 13.11

Hari ini. 13.11

Tidur! 21.30

Lupakan kejadian hari ini! 21.30

Agust 2

Sudah baik? 08.20

Morning :D 08.25

Have Good Day, Kookie :D 08.30

Jangan lupa makan siang! 12.07

Lakukan sesuatu! 13.00

Yang menyenangkan :D 13.00

Agust 3

Matahari bersinar! 08.12

Jangan lewatkan makan malam! 18.13

today

Cepat sarapan! 08.11

Makan siang! 12.00

Aku bawakan makan malam. 16.53

Setidaknya, aku sudah melihatmu hari ini. 19.22

Meski tanpa senyuman. 19.23

Selamat tidur. Zzz~ 19.23


.

Setetes air jatuh menimpa layar ponsel. Jungkook menarik napasnya tercekat. Dua hari dia melalaikan ponsel beserta dengan kecemasan kawan-kawannya. Juga kakak kelasnya. Jungkook memang tegar di depan paman dan bibinya. Serapat mungkin menjaga pengalaman kelamnya. Tapi saat di kamar, dia tak bisa terus menyokong tameng senyuman. Semua luruh seketika. Terlebih kini dia tahu bahwa Taehyung begitu mengkhawatirkannya. Pemuda itu terus menyemangatinya saat Jungkook justru berpikir untuk mengakhiri perjalanan cinta yang bahkan belum dimulai.

Dia tahu, malam kemarin Taehyung datang, mungkin berniat melihatnya. Tapi Jungkook terlalu enggan untuk menyapa dan bertatap muka, jadi ketika Taehyung mengetuk pintu kamar, bertanya apa Jungkook membolehkannya untuk masuk, dia hanya berbaring selayaknya orang tidur. Tentu Jungkook hanya pura-pura. Syukur bahwa Taehyung tak mencoba membuka pintu dan hanya berdiri di luar kamar. Kemudian beranjak karena tak ada lagi ketukan. Tapi yang Jungkook tidak tahu, faktanya, pemuda Kim masih berada di sana; di dekat pintu kamarnya, bersanda pada dinding di sisi pintu. Mendengar dengan khidmat bagaimana lirihnya tangis Jungkook. Hampir tengah malam tiba, Taehyung tetap di sana.

( ^^ )

.

.

.

2011, Agustus 22

Senin

Jungkook mendapati Taehyung menunggunya di luar pagar rumah Jimin, ketika dia keluar hendak berangkat ke sekolah di hari pertama semester kedua. Dia tidak mengira akan terjebak dalam situasi ini, karena dia pikir Taehyung mungkin sudah tak lagi mau menjemputnya. Padahal sebisa mungkin Jungkook menghindar selama sisa liburan dengan menghabiskan waktu bersama teman-komplotannya. Tapi justru Taehyung menjadikan semua itu sia-sia karena kini Jungkook harus duduk begitu dekat dengan pemuda yang masih terus dan selalu bisa mencuri hatinya. Bahkan hanya dengan penampilan.

Jungkook diam ketika Taehyung menahan pergelangan tangannya saat dia berjalan cepat hendak melewati pemuda itu. Taehyung mengulurkan helm padanya tapi Jungkook hanya diam tanpa menatap balik pada Taehyung. Jungkook merasakan Taehyung melepaskan tangannya tapi belum sempat dia beranjak, helm itu sudah terpasang melingkupi kepala.

"Naik".

Kata Taehyung ketika tak juga mendapati Jungkook mengikutinya untuk duduk di motor.

"Naik! Atau kau mau aku memaksamu?".

Biarlah kini Jungkook menurut. Lagipula tak ada salahnya menerima tumpangan dari seorang senior. Jungkook hanya beruntung memiliki sunbae yang perhatian layaknya pacar. Meski nyatanya Jungkook tak lagi tahu apa dia masih mau untuk terus jadi pihak yang mengejar. Jungkook duduk dengan berusaha menjaga celah dari punggung Taehyung. Menjadikan duduknya sangat kaku. Tangannya hanya menggenggam sisi seragam Taehyung.

Sampai di sekolah, Jungkook langsung beranjak setelah mengucapkan terima kasih. Meninggalkan Taehyung yang sudah dihampiri oleh seorang siswa yang juga baru saja tiba. Jungkook tidak menoleh, tidak menyapa bahkan tidak tersenyum selama berjalan di koridor. Ketika sampai di kelas dia hanya menatap ketiga kawannya yang menatapnya seolah menyemangati. Jungkook mengangguk kecil lalu tersenyum dan mengatakan dia baik-baik saja.

Tentu temannya mengerti bahwa duduk satu motor dengan orang yang Jungkook cintai juga hindari, pastilah membuat pemuda itu merasa sangat keki. Tapi untuk menjaga perasaan kawannya itu mereka diam mengiyakan pemikiran Jungkook bahwa dia memang baik-baik saja.

Minggu lalu, Jungkook berhasil mereka buat bicara dengan yang sebenar-benarnya. Hingga pemuda bergigi kelinci itu akhirnya mau berbagi cerita. Jungkook hanya cerita sebatas Taehyung menyatakan tidak sanggup karena kejadian di kereta terlalu hina untuk diumbar. Membuat ketiga kawannya ikut menangis terluka-berlebihan, tapi memang itu yang mereka lakukan- atas apa yang Jungkook rasakan dari kebingungan. Untuk melanjutkan keinginan hati; berada di sisi Taehyung dan meyakinkan pemuda itu bahwa Jungkook sungguh mencinta. Atau justru untuk pertama kalinya dia menyerah mengikuti kemauan hati; membiarkan cinta pertamanya berada jauh dalam jangkauan.

Dasar pikiran Jungkook memiliki pilihan untuk berhenti berjuang mungkin sepele. Bukan karena penolakan Taehyung; itu bukan masalah baginya. Jungkook mampu memeperjuangkannya, tapi kejadian dalam bilik itu mengubah pikirannya, membuat Jungkook berpikir; Taehyung memang tak pantas memiliki dia. Lebih tepatnya, pemuda itu bisa memiliki siapa saja yang jauh lebih pantas dari Jungkook.

Hanya kerena Jungkook merasa pelecehan itu membuatnya tak lagi layak dihargai.

Tapi apa sungguh Jungkook sanggup menyerah? Di mana Taehyung yang justru tanpa rasa bersalah masih terus memberinya perlakuan layaknya pemuda itu ingin Jungkook merasa nyaman dalam ketidakjelasan rasa yang Taehyung berikan.

( ^^ )

.

.

.

Pulang sekolah Jungkook mendapati Kim Jennie menunggunya di luar kelas. Gadis itu bilang ada yang ingin dia bicarakan. Jungkook dipaksa duduk kembali disalah satu kursi dengan gadis kelas dua itu mulai bicara sesuatu yang awalnya tak Jungkook mengerti.

"Aku tidak tahan lagi, Jungkook. Aku tidak bisa lagi menahan ini".

Jungkook menatapnya bingung. Kenapa sunbae-nya ini terlihat begitu gusar dan kesal. Terlebih ketika sang gadis kembali bersuara dengan nada memerintah. Bahwa Jungkook tidak boleh membantah dan harus dengar semua omongannya.

.

.

.


( TBC )

Terima Kasih.

Kolom review terbuka lebar, guys :D

Untuk siapapun kalian yang mau jadi readers budiman :)

...


Special Thanks for you who gimme review:

dianaindriani [uh,, semoga bingungnya gk menganggumu buat nikmatin alurnya ya/hehe/tunangan atau bukan, biar nanti tae aja yg jawab ya, pankapan tapi/plak/XD]

Ly379 [alasan tae belum di bahas, sih. memang belum waktunya kali/XD/tapikan tae suka liat Jungkook menderita,, maksudnya biar bisa sayang2ang a.k.a modusin kuki /maklum kerduskan dianya]

[Wah,, Welcome untukmu/tebarbunga/terima kasih,, :D sudah meluangkan waktu untuk ff absudr ini (sampai baca maraton dan kasih review di 4 ch sekaligus, dan 1 lagi di ch kemarin) hiks-huhuhu terharu akutuh/dan selamat bergabung yay!/ehehe/ semangat juga bacanya XD] _ [taenya terikat sama aku :puahaha/jk nya unyusih kan tae jadi mau modus nih O.0 ciehhh baper hahaha yg ngetik aja jg baper nyusun alurnya]

chuaaakid [Nah, Welcome juga untukmu/tebarbungalagiii/selamat bergabung juga di ff absudr ini, makasih untuk baca maratonnya/capeya?nih,kukasihair/hehe/ nah, ku juga gaham ama otaknya /ada alasan kok di balik plinplannya dia. Dan Jungkook... entah dia masih kuat berjuang apa enggak/huhu/]

itsathenazi [akan diusahakan happy end,, tapi gk janji/lol/ Iya! emang sakit kalo di jutekin, eh tapi ko tau sih? Pengalaman juga ya? Upss! Maafkan mulutku yg lancang!/plak/ kita tunggu aja gimana jawaban tae ya, dia itu diiket sama apa XD/uh. cupcupcup sini2 peluk dulu biar gak jadi nangis XD]

Homin lover [Tentu tae sayang kuki,, tapi sayangnya terlalu takut untuk berperang? Eh, berjuang maksudnya/piss/ Tae itu terikat sama aku sih /]

Wonhaemanhimanhi [Inilah lanjutannyaaa~~~/tararampampampam/Tau nih si tae, main cium-cium aja padahal belum jelas maunya dia /yah, kalau emg itu Jimin. Tae harus sanggup terus ngeliat Jk terluka.../T.T/uhh, apa kata perawan sesensitif itu? sampai kamu mikir yg gak2,,, iyakan?! Ngaku! Daaan... maafkan jika di luar pemikiranmu? karena tae gk ngapa-ngapain di sini, serius :D]

Hanami96 [terima kasih, uh, kalimat awalmu bikin aku tersipu/:D/ semoga kedepannya masih bisa dinikmati ya. Nah, silakan berimajinasi~~~/XD/ maafkan udah nyakitin malaikat imut itu/t-t/ emg kejam bgt sih tae, pake sok2an gk mau, eh tiba2 malah nyosor duluan/issh/ ho,oh kelinci gendut itu emg cute kalo marah... kan jadi pengen bikin banyak scene dia marah2/utututu/ kiss nya bikin melayang? pasang muka mesum ala tae/kalo aku sih taenya yg bikin melayang/:D/ fighting juga bacanya~~]

Jika ada rasa kurang puas dg jawaban aku di sini, boleh ko kalo mau pm, tapi gk janji fast respon ya... hehe /wuuuhh/;


Special Thanks juga yang udah Fav and follow :

Buzlague, KukisEnaHALAL, TaeJung1, dianaindriani, CaratARMYmonbebe, JeonXXX, Taekooks'cream, obatnyamukbakar, Ly379, bibble-ie, jvodka-ssi, solideo62, idiotqueen, kelincitembem, reepetra, jeykeyy, Nichola Arisue, World fanfiction, 7, Adilaarang, HilmaKins, itsna dhea, cookiesbaby97, taeramisu, Springtae-sama, SwaggxrBang, TaeBaby10, Yuth girsang, aliceus, lailannur00, Ewin Karoyani, Tipo, 99, itsathenazi, taemochii, Haodong, noonim, , kukukuki, Hanami96; Ingatkan aku kalo ada yg merasa udah fav or follow tapi belum aku cantumkan :D kalian berhak marah, kok.

And keep waiting and also red this fic, please.

...


Disclaimer : The ownership I have is just Storyline. Any Name, Brand, or Anything else is not mine.


.

Coming Soon Chapter 8

.

"Aku anggap Kau tidak tahu, Jungkook. Jadi biar aku memberitahumu".

.

Gadis itu menggeleng pelan. Menunduk seakan menyadari sebuah kesalahan.

.

"Apa yang kau inginkan darinya?".

.

Menyerah bukanlah gayanya tapi bertahan hanya menghancurkan dirinya; hati juga akal.

.

"Pagi, Hyungie".

Taehyung melongo, sungguhan.

.