A Walk To Remember

Kan Kukenang Selalu

Chapter 13


Disclaimer: Cerita ini milik Nicholas Sparks, penulis asli novel "A Walk To Remember". Semua karakter Inuyasha milik Rumiko Takahashi, saya hanya meminjam nama mereka. Saya tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini, tulisan ini hanya sebagai hiburan semata.

Warn! Typo(s) OOC AU diksi tidak tepat dll.

Remake! : Emma Griselda ‖ Rating : T


SEWAKTU aku berusia 17 tahun, hidupku berubah untuk selamanya.

Saat aku menyusuri jalan-jalan kota Beaufort sekitar empat puluh tahun kemudian, sambil mengenang kembali tahun itu dalam kehidupanku, aku mengingat segalanya dengan jelas. Seakan semua itu baru saja terjadi di hadapanku.

Aku ingat Kagome menjawab "ya" menanggapi pertanyaanku yang emosional dan bagaimana kami berdua mulai menangis bersama. Aku ingat saat berbicara dengan Akihiro-sama dan kedua orang tuaku, menjelaskan pada mereka apa yang perlu kulakukan. Mereka mengira aku melakukannya semata-mata hanya untuk Kagome, dan mereka bertiga berusaha mempengaruhiku agar mau mengubah pikiranku, terutama setelah mereka menyadari bahwa Kagome telah menerima lamaranku. Mereka tidak menyadari, dan aku terpaksa menjelaskan pada mereka, bahwa aku harus melakukannya demi diriku sendiri.

Aku sedang jatuh cinta pada Kagome, cintaku begitu dalam baginya sehingga aku tidak peduli apakah ia sedang dalam keadaan sakit. Aku tidak peduli jika kami tidak punya waktu lama. Semua itu tidak penting bagiku. Saat ini aku hanya ingin melakukan apa menurut hatiku merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Seingatku pada saat itulah Tuhan untuk pertama kalinya berbicara secara langsung kepadaku, dan aku yakin bahwa aku harus mematuhi-Nya.

Aku tahu ada di antara kalian yang mungkin bertanya-tanya apakah aku melakukannya karena rasa iba. Mereka yang lebih sinis mungkin bahkan bertanya-tanya apakah aku melakukannya karena Kagome sebentar lagi akan meninggal sehingga aku tidak perlu terlalu lama berkomitmen. Jawaban untuk kedua pertanyaan itu adalah tidak. Aku akan tetap menikahi Kagome Higurashi apa pun yang akan terjadi. Aku tetap akan menikahi Kagome Higurashi seandainya doaku untuk meminta mukjizat ternyata tiba-tiba dikabulkan. Aku yakin saat aku meminangnya, dan aku masih yakin hingga hari ini.

Kagome memang lebih daripada sekadar gadis yang kucintai. Tahun itu, Kagome membantuku menjadi diriku yang sekarang. Dengan bimbingannya ia menunjukkan padaku betapa pentingnya membantu orang lain. Dengan kesabaran dan kelembutannya, ia menunjukkan padaku apa arti hidup ini sebenarnya. Sikap gembira dan optimisnya bahkan di saat-saat sakitnya, merupakan hal yang paling menakjubkan yang pernah kusaksikan.

Kami dinikahkan oleh Akihiro di gereja Baptis, ayahku berdiri di sampingku sebagai pendamping mempelai pria. Itu satu hal lagi yang telah dilakukan Kagome. Di daerah Selatan berlaku tradisi bahwa ayah mempelai pria yang akan menjadi pendamping dalam pernikahan, tapi bagiku tradisi itu tidak banyak berarti sebelum Kagome memasuki hidupku. Kagome telah mempersatukanku dan ayahku kembali, dan entah bagaimana caranya ia juga telah berhasil mengobati sebagian luka di antara keluarga kami. Setelah apa yang dilakukan ayahku untuk aku dan untuk Kagome, aku tahu pada akhirnya bahwa ayahku adalah seseorang yang selalu dapat kuandalkan. Hubunganku dan ayahku semakin membaik seiring dengan berlalunya waktu sampai ayahku akhirnya meninggal dunia.

Kagome juga mengajarkanku makna pemberian maaf dan kekuatan perubahan dari maaf itu.

Aku menyadari hal ini ketika Naraku dan Kikyō datang berkunjung ke rumahnya. Kagome tidak menaruh dendam. Kagome menjalankan hidupnya sesuai dengan ajaran Alkitab.

Kagome memang bukan hanya malaikat yang pernah menyelamatkan Katsuo Matsuda, tapi ia juga malaikat yang telah menyelamatkan kami semua.

o0o—

Persis seperti yang pernah ia angankan, gereja penuh sesak. Lebih dari dua ratus tamu duduk di dalam, dan lebih banyak dari itu menunggu di luar pintu gereja saat kami menikah pada tanggal 12 Maret 1959. Karena kami menikah terburu-buru, tidak ada cukup waktu untuk melakukan berbagai persiapan, dan orang-orang berdatangan dari berbagai tempat untuk menjadikan hari itu seistimewa mungkin, meskipun mereka cuma datang untuk memberikan dukungan pada kami.

Aku melihat semua orang yang kukenal—Tanaka-sensei, Naraku, Kikyō, Jaken, Rin, Inuyasha, Kagura, bahkan Byakuya dan neneknya—dan tidak ada mata yang tetap kering di dalam gereja itu saat musik mulai dilantunkan. Meskipun Kagome amat lemah dan sudah dua minggu tidak turun dari tempat tidur, ia bersikeras untuk berjalan dari pintu gereja menuju altar agar ayahnya dapat menyerahkannya kepadaku. "Ini sangat berarti bagiku, Sesshōmaru," ujarnya ketika itu. "Ini bagian dari mimpiku, kau ingat?" Meskipun aku merasa khawatir bahwa itu tidak mungkin, aku hanya dapat mengangguk. Mau tidak mau aku mengagumi keyakinannya.

Aku tahu ia berencana untuk memakai gaun yang ia kenakan di Playhouse pada malam pementasan itu. Memang hanya gaun putih itulah yang ada dalam waktu sesingkat itu, meskipun aku tahu bahwa gaun itu akan lebih longgar daripada sebelumnya. Sementara aku bertanya-tanya bagaimana penampilan Kagome dalam gaun itu, ayahku meletakkan tangannya di atas pundakku saat kami berdiri di hadapan banyak orang.

"Aku bangga padamu, Nak."

Aku mengangguk. "Aku juga bangga padamu, Chichi-ue."

Baru pertama kali itulah aku mengucapkan kata-kata itu padanya.

Ibuku duduk di bangku baris depan, mengusap matanya dengan sapu tangan ketika lagu Wedding March mulai dilantunkan. Pintu-pintu dibuka dan aku melihat Kagome, duduk di kursi rodanya, seorang perawat di sampingnya. Dengan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya, Kagome berdiri dengan goyah sementara Akihiro menyangga tubuhnya. Kemudian Kagome dan Akihiro perlahan-lahan melangkah menuju altar, sementara semua orang di dalam gereja itu duduk diam dengan perasaan takjub. Di tengah jalan, Kagome tiba-tiba tampak kelelahan, dan mereka berhenti sebentar sementara ia mengatur napasnya. Matanya terpejam, dan untuk sesaat aku mengira Kagome tidak dapat melanjutkan langkahnya. Aku tahu tidak lebih dari sepuluh sampai dua belas detik berlalu, tapi rasanya jauh lebih lama, dan akhirnya Kagome mengangguk. Setelah itu, Kagome dan Akihiro mulai bergerak lagi, dan aku merasa hatiku dipenuhi rasa bangga.

Aku ingat yang terlintas dalam benakku saat itu adalah langkah paling sulit yang pernah dilakukan oleh seseorang.

Langkah yang akan kukenang selalu.

Si perawat telah mendorong kursi rodanya ke depan sementara Kagome dan ayahnya melangkah ke arahku. Ketika Kagome akhirnya sampai di sampingku, terdengar suara orang-orang menghela napas lega dan semua secara spontan mulai bertepuk tangan. Si perawat mendorong kursi rodanya ke tempat semestinya, dan Kagome duduk kembali, kehabisan tenaga. Sambil tersenyum aku berlutut agar aku bisa sejajar dengannya. Ayahku kemudian melakukan hal yang sama.

Akihiro, setelah mencium pipi Kagome, meraih Alkitab untuk memulai upacara itu. Siap untuk melakukan tugasnya sekarang, ia tampak seperti telah menanggalkan perannya sebagai ayah Kagome untuk menjadi orang lain, di mana ia dapat lebih menguasai emosinya. Namun, aku bisa melihat bahwa Akihiro berjuang keras saat berdiri di hadapan kami. Ia mengenakan kaca matanya dan membuka Alkitab, kemudian ia menatap aku dan Kagome. Ternyata Akihiro menjadi jauh lebih tinggi daripada kami, dan aku bisa melihat bahwa ia tidak menyangka bahwa kami berada dalam posisi serendah itu. Untuk sesaat ia berdiri di hadapan kami, nyaris kehabisan akal, kemudian tiba-tiba ia memutuskan untuk ikut berlutut. Kagome tersenyum dan meraih tangan ayahnya, setelah itu ia meraih tanganku, untuk dipersatukan.

Akihiro memulai upacara itu secara tradisional, setelah itu ia membaca ayat di dalam Alkitab yang pernah ditunjukkan Kagome kepadaku. Mengetahui bahwa Kagome sangat lemah, aku mengira Akihiro akan menyuruh kami untuk langsung mengucapkan janji pernikahan, namun, sekali lagi Akihiro memberikan kejutan padaku. Ia menatapku dan Kagome, lalu melayangkan pandangannya ke arah jemaatnya, lalu kembali kepada kami, seakan sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat.

Ia menelan ludahnya, dan volume suaranya naik sehingga semua bisa mendengarnya. Inilah yang ia katakan:

"Sebagai seorang ayah, aku diharapkan untuk menyerahkan putriku pada saat pernikahan, namun, aku tidak yakin aku bisa melakukannya."

Semua terdiam, dan Akihiro mengangguk ke arahku, seakan memohon agar aku bersabar. Kagome meremas tanganku.

"Aku tidak bisa menyerahkan Kagome, sama seperti aku tidak bisa menyerahkan hatiku. Tapi, yang dapat kulakukan adalah membiarkan seseorang ikut menikmati kebahagiaan yang selalu diberikan Kagome kepadaku. Semoga berkat Tuhan bersama kalian berdua."

Baru pada saat itulah Akihiro menyisihkan Alkitab-nya. Ia mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku menyambutnya, untuk melengkapi lingkaran itu.

Setelah ia membimbing kami untuk mengucapkan janji pernikahan. Ayahku menyerahkan cincin yang kupilih dengan bantuan ibuku, dan Kagome juga memberikan cincin kepadaku. Kami menyelipkan cincin-cincin itu di jari-jari kami. Akihiro mengawasi saat kami melakukannya, dan setelah kami selesai, ia menyatakan kami sebagai pasangan suami-istri. Aku mencium Kagome dengan lembut sementara ibuku mulai menangis, kemudian aku menggenggam tangan Kagome. Di hadapan Tuhan dan semua orang aku menjanjikan cinta dan kesetiaanku padanya, dalam sakit dan dalam keadaan sehat. Aku belum pernah merasa begitu yakin dan benar mengenai apa pun kecuali pada saat itu.

Sepanjang ingatanku, saat itu merupakan saat yang terindah dalam hidupku.

o0o—

Kini sudah empat puluh tahun berlalu, dan aku masih bisa mengingat semua tentang hari itu. Aku mungkin lebih tua dan lebih bijaksana, aku mungkin telah menjalani kehidupan yang lain sejak saat itu, namun aku tahu bila waktuku akhirnya tiba, kenangan akan hari itu merupakan bayangan terakhir yang akan terlintas dalam ingatanku. Aku masih mencintainya, dan aku tidak pernah melepaskan cincinku. Selama sekian tahu aku tidak pernah punya keinginan untuk melakukannya.

Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara musim semi yang segar. Meskipun kota Beaufort sudah berubah dan aku sudah berubah, udaranya masih tetap sama. Masih udara yang sama dari masa kecilku, masih udara yang sama seperti ketika aku berusia tujuh belas tahun, dan ketika aku akhirnya mengembuskan napas, aku berusia lima puluh tujuh tahun kembali. Tapi, tidak apa-apa. Aku tersenyum, sambil menatap langit, karena masih ada satu hal yang belum kuberitahukan. Sekarang aku percaya bahwa mukjizat itu bisa saja terjadi.


THE END—


Reviewers' Corner : ini adalah tempat atau sebut saja rubrik untuk berdiskusi dengan para pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan jejak di kolom review tulisan ini, baik yang log-in maupun tidak. Baik, kini saatnya membalas review sambil berdiskusi sesuai janji saya di awal saya posting cerita ini (?)

KanonAiko: lah kenapa sedih denger lagu Only Hope? Padahal bagus lagunya. Kalau film, aku belum pernah nonton sih, hahaha. Dulu sempet lihat di youtube pas Mandy Moore nyanyiin Only Hope, tapi untuk lihat keseluruhan filmnya sih belum. Ngomongin ini lagu, emang dalam artinya apalagi kalau dianalisis pakai semiotika lebih dalam, ntar bisa nangis saat tahu makna yang tersembunyi. Kalau memaknai lagunya secara 'permukaan' saja ya gak dapat apa-apa, tapi kalau dilihat lebih dalam lagi, ini lagu cinta yang religius banget.

Taisho No Miko: Ngomongin gaya kepenulisannya Nicholas Sparks itu emang patut diacungi jempol. Gimana ya? Gaya bahasanya tuh bagus menurutku kak, detail tapi tetep ngalir dan enak dipahami gitu, engga beda jauh sama gaya tulisannya Eyang Sapardi Djoko Damono. Mungkin itulah yang bikin aku suka tulisannya, J.K. Rowling pun juga begitu, bagus gayanya. Sebenarnya, dari awal aku juga cengeng banget baca novel ini pas SMA dulu kak, bentar-bentar mewek hahaha aku juga seneng bisa remake ini novel walaupun masih banyak typo di sana-sini, tapi nanti bakalan aku edit ulang kok, tenang. Aku bener-bener dapat feelnya pas baca novelnya, jadi inget pas SMA ke perpus, buat baca alkitab 1 Korintus Pasal 13 mengenai Kasih, ayat 4-7. Aku belum pernah nonton full sih untuk versi filmnya kak, tapi kemaren pas dapat filmnya dari adek tingkat, aku sempet skip skip gitu, menurutku benar-benar beda banget sama novelnya, atau mungkin efek aku belum lihat full kali ya?

Vryheid: Ya. Semua penggambaran tokoh sesuai dengan yang tertulis. Hahaha bukan hanya chapter 11 yang bikin nangis, aku nangis untuk semua chapter T.T

AuronWu39: hehe makasih, tapi ini hanya remake kok ^^ ini sudah di update kok, selamat membaca.


A/N: Nicholas Sparks —penulis asli novel A Walk To Remember— mengatakan bahwa penulisan novel ini terinspirasi dari kisah nyata, kisah ini merupakan kisah adiknya yang bernama Danielle Sparks Lewis. Danielle meinggal pada bulan Juni tahun 2000 akibat penyakit kanker yang dideritanya. Alur ceritanya terinspirasi dari kehidupan adiknya—Danielle—yang bertemu dengan seorang pria yang ingin menikahinya, bahkan ketika pria itu tahu bahwa adiknya sakit. Buku maupun film "A Walk To Remember" ia didekasikan penuh untuk adiknya, Danielle Sparks Lewis.

A Walk To Remember adalah novel kesukaannya yang pernah ia tulis selama ini, karena novel ini adalah novel satu-satunya yang membuatnya menangis saat menulisnya. Sebenarnya, bukan hanya dia saja, bahkan saya sendiri juga menangis saat pertama kali membaca ini.

Sampai berjumpa di tulisan yang lain, ya!

Salam hangat,

Emma Griselda

Surakarta, 31 Oktober 2017