Lima menit kemudian Taeyong sudah berdiri di depan wastafel marmer dengan keran mengkilap yang mewah. Air menetes dari wajah yang baru dibasuhnya berkali-kali.

Taeyong tidak benar-benar sakit. tidak benar-benar tidak enak badan, hanya perutnya terasa bergolak aneh setelah mengetahui fakta itu. Siapa yang tidak akan terkejut saat mengetahui jika- pria yang making out denganmu dan orang yang baru saja memberikan blowjob padamu adalah bos laki-laki dari kekasihmu sendiri?

Untungnya tadi dia sempat melihat tanda kamar mandi di seberang lorong -jadi tidak terlalu menarik perhatian karyawan lain saat berlari pergi dari ruangan Jaehyun untuk menyelamatkan rasa malunya.

Ada apa denganku?

Pintu terbuka dan Taeyong seketika tegang -begitu melihat dari cermin jika orang yang sedang coba dia hindari -Jaehyun- tengah menutup pintu itu di belakangnya. Menguncinya.

"Hey," kata pria itu, agak ragu-ragu.

Taeyong tidak merasa bisa membalas, jadi hanya terus menatapnya.

"Dengar, aku tidak bermaksud apapun. Aku kesini hanya untuk memastikan apa kau baik-baik saja. Kekasihmu, Bona, bilang padaku dia akan menunggu di restoran dekat sini dan memintamu langsung menyusulnya jika sudah merasa baikan."

Sekali lagi, tidak ada tanggapan berarti dari Taeyong -yang kini mencengkeram erat tepi wastafel seakan membutuhkan pegangan.

"Tapi aku sudah memberitahunya lewat pesan barusan."

Jeda sebentar.

"Aku bilang jika kau benar-benar sakit dan Lucas akan mengantarmu pulang -yang mana hanya kebohonganku karena aku ingin meminta waktumu sebentar. Untuk bicara," tambahnya saat melihat kepala Taeyong berbalik.

"Berbicara tentang apa?"

Pertanyaannya keluar begitu saja dari mulut Taeyong tanpa sempat berpikir.

"Maaf. Harusnya semuanya tidak seperti ini," kata Jaehyun akhirnya. Raut wajahnya terlihat sangat menyesal.

Taeyong –yang masih memunggunginya- benar-benar berbalik sekarang untuk menghadap Jaehyun. Gejolak dalam perutnya terasa semakin buruk saat pria itu mendekatinya.

"A-apa maksudmu?"

Jaehyun mendesah berat dan dengan sengaja mengusap rambut berwarna cokelatnya ke belakang -membuat itu kusut dengan cara yang terlampau seksi. Buku-buku jari Taeyong memutih karena memegang wastafel terlalu erat.

"Aku sudah tahu siapa dirimu saat kita bertemu minggu lalu di acara Gala," jujurnya.

Taeyong hanya terus menatapnya -kini dengan mulut sedikit terbuka.

"Aku mengenalimu dari foto yang ada di meja kerja Bona."

Taeyong mencoba memproses informasi itu. Dia tahu foto yang Jaehyun maksud. Fotonya dan Bona. Berlatarkan pantai yang diambil saat liburan bersama terakhir mereka -dua tahun lalu.

Jaehyun memandang Taeyong hati-hati.

"Sebenarnya, Taeyong, aku yang memaksa Bona mengundangmu datang. Aku ingin berbicara secara pribadi denganmu tapi apa yang terjadi berikutnya- sama sekali di luar rencana karena aku tidak bisa menahan diri. Maaf-"

"Kau sudah merencanakannya?" Mata Taeyong menyipit dipenuhi kebingungan yang luar biasa. "Apa yang ingin seorang sajangnim sebuah perusahaan asuransi bicarakan denganku? Kita tidak saling kenal dan tidak punya urusan apapun."

"Ceritanya panjang. Kamar mandi bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakannya. Sebenarnya aku ingin membahas ini saat membawamu ke kantorku tadi tapi aku malah- well, intinya, aku butuh bantuanmu, Taeyong-"

"Bantuan macam apa?"

"Untuk itulah, bisa kita pergi ke suatu tempat untuk memberbicarakan ini? Aku tidak akan berbuat macam-macam lagi." Dia mengangkat tangannya dihadapan Taeyong. "Aku janji," tambahnya.

Melihat campuran putus asa sekaligus pengharapan di wajahnya -terlebih caranya menatap seakan Taeyong adalah hal paling penting di dunia ini- hampir membuat Taeyong luluh. Tapi Taeyong tahu, jika dia setuju, maka dia tidak ada bedanya seperti anak kecil yang sedang coba bermain api -api yang kemudian akan membakarnya.

"Tidak. Aku tidak mau."

Taeyong tiba-tiba marah.

"Kau sudah merencanakan pertemuan aneh kita kemudian melakukan pelecahan seksual padaku di mobil mewahmu waktu itu. Sekarang, kau menghalangiku menemui pacarku -yang juga karwayanmu- dan berkata butuh bantuanku? Lelucon macam apa itu? Kau hanya ingin mempermainkanku!"

Jaehyun menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu permainanan apa yang sedang kau mainkan, Jung Jaehyun shi. Jangan bilang jika kau mau menggunakanku untuk melakukan hal buruk pada Bona-"

"Ini tidak seperti itu!"

Suara Jaehyun pecah, dan Taeyong bisa melihat kilatan-kilatan kemarahan di matanya sekarang.

"Aku sudah bilang jika semua itu bukan bagian dari rencana! Ini semua salahmu! Kenapa kau harus terlihat begitu menggoda dan- ahrg!"

Dia memotong ucapannya sendiri dengan erangan keras.

"Terserah," kata Taeyong, "Intinya aku tidak mau ikut campur. Aku tidak mau pergi kemanapun denganmu untuk bicara atau untuk alasan apapun."

Jaehyun tampak berusaha keras mengatakan sesuatu. Taeyong menunggu sesaat untuk mendengar ucapannya, tapi dia hanya diam. Taeyong melewatinya dan membuka pintu.

Jaehyun tidak bergerak.

"Urusan kita sudah selesai. Aku harap kita tidak perlu bertemu lagi, Jung Jaehyun shi," katanya tegas.

Inilah yang terbaik.

Pria itu jelas berbahaya.

Kekayaan dan kekuasaannya bisa membuat Jaehyun melakukan apapun yang dia mau

Tapi Taeyong cukup bangga karena bisa menolak ajakan Jaehyun saat menekan tombol lift, mengingat di pertemuan terakhir mereka, otaknya seakan kosong dan dia hanya menurut seperti orang tolol saat dilecehkan. Kali ini dia akan kukuh pada pendiriannya menolak ajakan Jaehyun.

Ini sudah benar. Tindakan yang kuambil sudah benar.

Tapi kenapa Taeyong merasa- seperti baru membuat kesalahan besar?

"-Jadi aku bilang padanya, untuk segera mengemasi barang-barang dan pindah dari ruangan itu. Bisa kau bayangkan, sayang? Aku cukup kasihan pada wanita malang itu, tapi itu salahnya juga yang bodoh-"

Taeyong tidak tahu apa yang salah dengan dirinya.

Dia hampir tidak mengetahui apapun tentang Jung Jaehyun. Selain namanya, statusnya sebagai bos Bona, wajahnya yang tampan, tatapan matanya yang intens, lekukan bibirnya saat menyeringai, suaranya yang husky dan seksi, juga setiap sentuhannya yang lembut tapi membakar.

Dia hampir tidak mengetahui apapun tentang Jaehyun, maka dari itu, harusnya dia tidak membayangan ini.

Jaehyun, dalam setelan jas mahalnya. Jaehyun, yang melepas setelan jas mahalnya. Jaehyun, di tempat tidurnya. Jaehyun, berada di atasnya. Jaehyun, menyentuhnya-

"Bona," kata Taeyong tiba-tiba. Mereka sedang makan malam di apartemennya, menyantap hidangan lezat sesuai standar wanita itu. "Aku rasa- aku tidak bisa melajutkan hubungan ini."

Shit. Meski Taeyong bermaksud memutuskan Bona karena merasa tidak bisa bersama wanita itu lagi -tidak, setelah apa yang Jaehyun lakukan padanya- tapi dia tidak berniat mengatakannya dengan to the point dan tanpa basa-basi begitu.

Suah tiga hari sejak kejadian di kantor Jaehyun waktu itu. Bona masih sangat kesal -tanpa henti mencecarnya jika perbuatannya yang langsung pergi dari ruangan sangat tidak sopan.

Untungnya alasan sakit Taeyong mampu membuatnya selamat untuk sementara, meski dengan bayaran berupa rasa bersalah.

Sampai hari Minggu Taeyong masih bisa beralasan. Berkata jika dia kelelahan, masih belum pulih, dan hanya ingin tidur. Tapi keesokan harinya, dia benar-benar tak bisa menghindar. Bona datang ke apartemennya setelah sengaja pulang lebih cepat dari kantor hari itu karena, katanya, merindukan Taeyong.

Sudah lama sejak terakhir kali Bona menuntut seks. Taeyong harusnya menantikan saat-saat dimana kekasihnya itu mau bermanja lagi padanya -seperti diawal hubungan mereka. Tapi dia terpaksa menolak kali ini. Lagi-lagi mengarang alasan aku belum mandi sejak pagi.

Bona yang hendak menciumnya langsung menjauh jijik begitu mendengarnya, menyuruhnya mandi.

Kekasihnya itu mencurigainya, Taeyong tahu. Tapi wanita itu tidak banyak bicara lagi dan memutuskan menonton tv sambil menunggu Taeyong mandi.

Setelah mandi, Taeyong tak memberi sedikitpun kesempatan pada Bona untuk melanjutkan yang tadi -langsung menyibukkan diri di dapur. Semua makanan yang sedang mereka nikmati ini, Taeyonglah yang memasak.

Bona? Dia hanya melanjutkan menonton tv. Tidak mengherankan karena dia adalah jenis wanita yang lebih memilih mengeluarkan uang untuk membeli makanan atau membayar orang memasak untuknya dibanding membuat jari-jari tangan terawatnya sekedar memegang pisau dapur.

"Kau pasti bercanda, sayang," kata Bona dengan benar-benar tenang, membuat Taeyong cukup terkejut.

"Aku tidak bercanda, Bona. Aku hanya- kau tahu, ada beberapa hal yang berubah sekarang dan-"

"Jangan menguji kesabaranku." Bona masih menguyah makanan dengan tenangnya. "Apa yang merasukimu, sayang? Kau sudah janji untuk datang bersamaku ke resepsi pernikahan temanku –Eunhye- minggu depan."

"I-ini bukan tentang itu! Aku-"

"Tetap saja kau sudah berjanji," potongnya.

"Kau tidak mengerti, Bona! Aku tidak bisa- aku tidak bisa bersamamu lagi."

"Baik, terserah padamu. Tapi kau masih harus datang ke pernikahan itu denganku."

"Tapi-"

Bona menatapnya tajam, sukses membuat Taeyong menutup mulut.

"Baiklah." Dia akan mengalah. "Aku akan menemanimu pergi minggu depan meski kita sudah-"

"Putus? Tidak ada hubungan apapun? Ya, ya, aku mengerti," katanya, dia berdiri cepat. "Terima kasih untuk makan malamnya, Taeyong."

Taeyong menduga -mantan- kekasihnya itu marah sekarang, terlihat di wajahnya. Indikasi lain adalah panggilan 'Taeyong' darinya. Karena biasanya Bona lebih senang memanggilnya dengan panggilan 'sayang'.

Bona berjalan mengelilingi meja dan memberi Taeyong ciuman selamat tinggal, tepat di bibir, seolah-olah makan malam bersama mereka malam itu benar-benar normal –tanpa ada kejadian Taeyong meminta putus.

"Makanannya enak tapi sedikit terlalu asin, sayang."

Atau sepertinya- tidak terlalu marah juga?

Taeyong tidak pernah bisa mengerti wanita seperti Bona.

.

.

.

Itu satu minggu kemudian, saat Taeyong meninggalkan kantor penerbitan tempatnya bekerja dan melihat sebuah mobil hitam mewah terparkir tepat di depan gedung. Hampir terkesan seolah menunggu seseorang. Menunggunya.

Pemandangan itu membuatnya was-was.

Untuk memastikan, Taeyong berjalan langsung ke mobil itu dan mengetuk jendela gelap bagian belakang -yang langsung bergerak turun memperlihatkan sosok familiar paling tak ingin dia temui. Jung Jaehyun.

Taeyong ingin marah, sekaligus mengumpat karena masih sempat-sempatnya terpesona pada sosok itu setelah apa yang terjadi.

"Maafkan aku," kata Jaehyun menyesal, sebelum Taeyong bisa berkata-kata. "Aku tahu kau sudah menyuruhku untuk tak mengganggumu lagi, tapi aku benar-benar harus bicara denganmu, Taeyong. Ini penting. Aku janji aku tidak-"

"Aku mengerti," kata Taeyong, sukses membuat Jaehyun bingung. "Kau tidak akan menyerah sampai aku mau mendengarkanmu, kan?"

Taeyong kesal, tapi mencoba menahannya.

"Ya, benar sekali," kata pria itu sambil tersenyum manis menunjukkan dimplenya.

Senyumnya itu membuat bibir Taeyong berkedut meskipun dia masih bersikeras mempertahankan wajah datarnya.

"Masuklah."

"Untuk apa?!" Kata-kata itu keluar begitu saja. Dia tersipu begitu menyadari senyum geli Jaehyun. Kepanikannya pasti sangat kentara. "Maksudku, tidak bisakah kita membicarakan ini melalui telepon, atau-"

"Ini terlalu rumit. Aku punya alasan kenapa ingin berbicara langsung denganmu secara pribadi. Ayo, masuklah. Jika kau masih takut dan tidak percaya padaku, kau bisa duduk di depan dengan Lucas."

Taeyong tahu dia tidak ingin duduk di samping Lucas. Dia ingin yang lain. Yang seperti waktu itu-

"Aku memang tidak percaya padamu, tapi aku tidak pernah takut," katanya. "Aku juga tidak janji akan membantumu setelah mendengar semua hal yang ingin kau jelaskan. Aku melakukan ini hanya agar kau berhenti mengganguku, Jaehyun shi."

Namun, meskipun dia membuka pintu belakang, Taeyong tidak punya keberanian melihat Jaehyun sampai dia duduk. Ketika akhirnya dia melirik sekilas, rupanya Jaehyun sudah memandanginya lekat.

"Jadi," kata Jaehyun setelah beberapa saat. "Kau lebih memilih duduk bersamaku di sini? Lagi?"

Wajah Taeyong kembali memerah mengingat pengalaman terakhir kalinya saat dia berada di mobil ini. Jaehyun benar-benar bermaksud menggodanya. Sialan.

"Kemana kita akan pergi?" Taeyong bertanya, saat mobil menjauh dari tepi jalan dan bergerak ke jalan raya.

"Yang jelas ke tempat umum," jawab Jaehyun. "Aku pikir itu akan membuatmu merasa lebih aman supaya aku tidak punya kesempatan -bagaimana mengatakannya?- melecehkanmu lagi?"

Taeyong semakin memerah. Sementara Jaehyun menyeringai.

"Jangan khawatir," kata pria itu, senyumnya memudar. "Aku tidak akan coba macam-macam."

Taeyong melihat Jaehyun, memandang setelan gelap yang sesuai dengan kemeja biru dan dasinya. Rambut cokelat rapi itu, Taeyong ingin mengacaknya. Belum lagi bibir penuh yang sempat mencium dan memanjakannya.

Bagaimana jika aku, justru ingin kau mencoba melakukan sesuatu yang macam-macam?

Taeyong menggigit bibir bawah, cukup yakin pikiran kotornya itu bisa terbaca jelas di wajahnya.

"Tapi kumohon, jangan menggodaku," gumam pria itu sambil menghela napas dan mengalihkan pandangan keluar jendela.

Taeyong semakin keras menggigit bibir bawahnya, dalam upaya untuk tidak tersenyum. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Pria aneh ini -pria yang sama yang melecehkannya itu- entah bagaimana bisa membuatnya nyaman. Seakan mereka sudah saling mengenal sejak lama. Rasanya sangat asing dan ganjil.

"Aku tidak merasa pernah menggodamu, Jaehyun shi."

"Selalu. Kau hanya tidak menyadarinya, Taeyong shi."

Mereka tidak berbicara lagi untuk sisa perjalanan singkat itu. Hanya ada keheningan nyaman -yang sama sekali tak Taeyong harapkan- hingga akhirnya mobil menepi dan mereka sampai di tempat tujuan.

Sebuah kedai kopi.

.

.

.

TBC

.

.

.

Mind to Review? :)