Bel baru saja berbunyi. Seluruh murid, termasuk kelas sepuluh IPA 1 masuk ke kelasnya. Sarada dan Chocho baru kembali dari toilet. Ketika Sarada masuk melewati pintu, matanya langsung tertuju ke arah Boruto duduk. Pemuda itu tersenyum lembut padanya. Sejenak, Sarada terdiam kemudian balas tersenyum.

Sarada duduk ke mejanya di sebelah Sumire. Tak lama seorang guru masuk, Pak Kakashi si guru Matematika. Yang aneh, Kakashi tidak hadir sendirian. Tiga orang di belakang yang mengekor membuat murid-murid terdiam dan sedikit gugup dengan wajah keheranan.

"Selamat pagi!" sapa Kakashi di depan kelas.

"Pagi, Pak!"

"Maaf, sebelumnya. Sebelum kita mulai belajar, ada yang ingin disampaikan oleh Ibu Kepala Sekolah, Bu Tsunade." Kakashi mengisyaratkan agar Tsunade mengambil alih. "Dipersilahkan, Bu."

Tsunade mengangguk. Lalu ia membaca sebuah catatan kecil di tangannya. Dua pria bertubuh tegap dengan pakaian cokelat berdiri dengan gagah di belakang Tsunade. Wajahnya agak garang, membuat para murid sedikit gugup.

Di bangku, Shikadai mulai berkeringat.

Tsunade berkata, "Yang saya panggil namanya, maju ke depan kelas. Nara Shikadai!"

Begitu namanya dipanggil, wajah Shikadai menjadi pucat. Semua teman-temannya memandang ke arahnya dengan tatapan bingung. Saat Shikadai menoleh ke arah Boruto di sampingnya, pemuda dengan rambut kuning itu masih terlihat tenang. Boruto melirik Shikadai sekilas lalu fokus ke depan lagi.

"Ayo, maju!" lanjut Tsunade memerintah.

"B-baik, Bu."

Shikadi berjalan lambat kemudian berdiri di depan kelas. Kemeja sekolahnya pun sampai lupa ia rapikan, membuat Tsunade harus menegurnya.

"Itu bajunya dimasukan!" Tsunade berkata ketus, Shikadai dengan gugup merapikan pakaiannya. "Itu kenapa muka kamu babak belur begitu?"

Shikadai tersentak. Ia tertunduk-tunduk khawatir. "Anu, Bu. Saya habis... jatuh dari motor."

Tidak ada tanggapan dari Tsunade. Ia hanya bungkam setelah memperhatikan wajah Shikadai yang penuh memar dan plester. Tsunade melihat ke catatannya lagi. "Uzumaki Boruto maju ke depan kelas!"

Yang paling terkejut saat nama Boruto dipanggil adalah Sarada. Dengan cepat, Sarada langsung menoleh ke belakang.Tanpa basa-basi, Boruto segera melakukan apa yang diperintahkan Tsunade. Ia berjalan santai sampai melewati tempat duduk Sarada dan akhirnya berdiri di depan kelas. Sarada menatapnya dengan cemas saat mata Boruto menumbuk matanya. Pemuda itu memasang wajah acuh.

Sementara murid-murid mulai berbisik dan membicarakan Shikadai dan Boruto.

Tsunade berkata lantang, "Harap tenang dulu!"

Dalam sekejab, kelas menjadi hening.

Tsunade berdiri di depan Shikadai dan Boruto; menatap mereka dengan garang terutama kepada Boruto.

"Masukan baju kamu!" kata Tsunade sembari menunjuk kemeja Boruto yang tidak dimasukan ke dalam celana dengan dagu.

Boruto memasukan bajunya malas-malasan. "Ya, Bu!"

"Kalian tahu apa alasan kenapa saya suruh berdiri di depan kelas?"

Boruto dan Shikadai menggeleng, mungkin pura-pura tidak tahu.

"Saya tanya sama kalian, kemarin waktu ada tawuran pelajar di dekat gunung belakang sekolah kita itu, kalian berdua ikut-ikutan?"

Dengan cepat, Shikadai menyangkal. "Nggak, Bu! Saya nggak tahu malah kalo ada tawuran."

"Terus kemarin pas mata pelajaran ketiga, kalian ke mana? Kenapa menurut laporan, kalian tidak mengikuti pelajaran Bu Kurenai?"

"Itu...," Shikadai melirik ke kiri, berpikir.

"Jangan bohong! Saya tahu kemarin kalian berdua membolos. Teman-teman kalian yang kemarin ikut dalam tawuran, sebagian sudah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Kalian masih mau menyangkal?"

Seluruh murid semakin membuat kebisingan karena kasus itu. Boruto bisa melihat kecemasan Sarada dari mata birunya saat menangkap sang pacar membuat raut sedih. Boruto memilih berpaling wajah. Ia tidak ingin melihat gadis baik itu semakin gelisah karena dirinya.

"Semua diam!" tegas Kakashi saat murid-murid semakin bising.

Shikadai mulai membuat alasan. "Kemarin saya sudah izin kok, Bu. Ada keperluan keluarga bareng Boruto juga, ada acara makan siang bersama keluarga perusahaan ayah Boruto. Kebetulan ayah saya bekerja di perusahaan ayah Boruto. Jadi, kami nggak—"

"Iya, Bu. Kemarin saya memang terlibat dalam tawuran itu." Dengan entengnya, Boruto memotong alasan Shikadai yang sudah ia siapkan dengan susah payah. Shikadai menyumpah serapah Boruto dalam hati. Setelah terpojok begini, Boruto masih saja bersikap santai dan segampang itu mengaku.

"Dan kalau Ibu mau tahu lagi, saya pemimpin pelajar dari SMA ini yang kemarin ikut tawuran. Jadi, kalo Ibu mau bawa kasus ini ke kantor polisi, bawa saya aja, jangan temen-temen saya."

"Lagi-lagi kamu, Boruto? Apa kamu nggak bosan dihukum terus?" Ucapan santai Boruto justru membuat Tsunade jengah.

Ia sudah terlalu bosan menghadapi kenakalan Boruto selama ini. Namun, untuk kasus yang satu ini Tsunade akui, Boruto sudah keterlaluan.

Seorang polisi yang sejak tadi berdiri di dekat pintu mendekat. Ia ikut bicara. Suaranya berat dan lantang. Ia berdiri di depan Boruto dengan wajah yang garang, tetapi pemuda itu tidak gentar sedikit pun.

"Sebenarnya tujuan kamu sekolah itu apa? Berkelahi, main kekerasan seperti itu dan hampir bunuh anak orang! Kamu habis lulus mau jadi preman?" Polisi itu menyorot sangat tajam pada Boruto. Bagaikan hunusan pedang yang begitu tajam. Namun, mata Boruto bagaikan tameng baja yang anti tertembus apa pun.

"Tujuan saya sekolah itu belajar, Pak! Menimba ilmu, supaya bisa lulus dan jadi masyarakat yang berguna di dunia sosial." Lantang Boruto berucap.

"Terus kenapa kamu tawuran-tawuran seperti itu? Kamu pemimpinnya, 'kan? Berarti kamu yang mengajak semua teman-teman kamu untuk terlibat tindak anarkis seperti itu."

"Mereka duluan, Pak! Anak-anak SMK sebelah memang suka cari masalah sama anak SMA sini."

"Alasan saja kamu! Nggak ada gunanya kamu sok hebat seperti itu."

Entah mengapa ucapan polisi barusan membuat Boruto panas. Tanpa sadar, Boruto mencengkram kerah baju polisi itu dengan tidak sopannya. Sampai membuat Tsunade dan satu rekan polisi lainnya bersiaga.

Boruto berkata dalam penuh penekanan, "Tindakan saya memang nggak guna, Pak! Tapi Bapak harus tahu, saya nggak akan biarin temen-temen saya dihajar tanpa alasan yang jelas dan hampir mati kayak kemarin."

Semua murid mulai khawatir. Mata Boruto menyala-nyala seperti ingin mengamuk. Cengkramannya di kerah baju polisi itu pun semakin erat. Jika dibiarkan, mungkin Boruto bisa berkelahi dengan polisi itu sekarang juga. Shikadai di samping Boruto mencoba untuk memisahkan mereka.

"Bor, udah! Jangan berantem sama polisi," gumam Shikadai.

Rupanya polisi itu juga tidak mau kalah, ia memelototi Boruto sama bengisnya.

Kakashi pun ikut maju, tapi Boruto masih saja memegangi polisi itu.

Melihat Boruto seperti itu, rasa cemas Sarada semakin bertambah. Apa Boruto sudah gila? Pikirnya. Jika berkelahi dengan polisi, tentu akan menambah masalah baru untuk pacarnya itu. Sarada tidak ingin Boruto terus-terusan bergelut di dalam masalah. Sudah cukup selama ini Boruto bermasalah dengan ayahnya, jangan lagi dengan sekolahnya.

Tanpa diduga, Sarada berteriak keras, memanggil nama pacarnya itu.

"Boruto, cukup!!!"

Teriakan Sarada membuat semuanya terdiam. Cengkraman Boruto akhirnya lepas. Dengan cepat polisi itu merapikan pakaiannya lalu mulai menggeret Boruto ke luar kelas.

"Jelaskan itu semua di kantor polisi," kata si polisi yang tadi Boruto cengkram, kemudian ia menoleh ke rekannya, "bawa yang satunya lagi."

Yang dimaksud adalah Shikadai. Pemuda Nara itu diam saja saat lengannya digenggam polisi. Jika Boruto saja ingin melindungi teman-temannya, mengapa Shikadai tidak? Walaupun sangat merepotkan baginya berurusan dengan polisi, terlebih akan menjadi masalah jika orangtuanya sampai tahu, paling tidak ia berada di sisi Boruto untuk mendampingi temannya itu.

Boruto sudah menunjukan loyalitas dengan mengaku sebagai pemimpin dan meminta agar teman-teman yang lain tidak ditangkap, meskipun usaha itu percuma. Jadi, Shikadai merasa tidak perlu melarikan diri lagi. Ia akhirnya tahu bahwa Boruto tipe setia kawan dan Shikadai pun akan melakukan hal yang sama.

Di satu sisi, Sarada terlihat sedih. Saat Boruto melewatinya, pemuda itu menatap Sarada sekilas—dengan senyum tipis. Sarada bisa melihat bibir Boruto bergerak seperti sedang mengucapkan sesuatu.

"Maaf."

Kemudian pemuda itu benar-benar digiring oleh polisi.

Yang paling menyakitkan adalah Sarada tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu kekasihnya itu.

"Boruto."

..o0o..

Duduk seharian di depan komputer di meja kebanggaannya. Uzumaki Naruto dengan kacamata bekerja tanpa kenal lelah. Hari itu masih sama, Naruto dengan setumpuk pekerjaan.

Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk seseorang.

"Masuk!" kata Naruto.

Shikamaru datang dengan wajah bingung. Di tangannya menggenggam sebuah ponsel hitam. Dan Naruto mencium bau masalah setelah melihat raut wajah Shikamaru.

"Ada apa?" tanya Naruto.

"Ada kabar buruk untukmu, sebenarnya untukku juga."

Nah.

"Ada apa, Shikamaru?"

"Pihak sekolah Shikadai menelpon, bahwa Shikadai dan Boruto terlibat tawuran."

Wajah Naruto berubah kaku.

Shikamaru melanjutkan, "Dan kabar buruknya lagi, mereka sekarang dibawa ke kantor polisi."

Naruto menghela napas lelah. Ia melepaskan kacamata dan memijat keningnya yang terasa semakin pusing. Boruto dan masalah. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Naruto akui, semua itu karena salahnya di masa lalu.

"Boruto semakin liar."

"Jadi, kita ke sana, Naruto?"

"Ya, kita ke kantor polisi sekarang. Boruto harus tahu—"

Naruto menutup laptop, wajahnya tampak dingin.

"—aku masihlah ayahnya walaupun dia sangat membenciku."

TBC