"Saya mencintai kamu ..."

"A-apa?"

Kata-kata Sasuke tidak begitu terdengar. Suaranya melebur, bercampur bising letupan bunga api di langit.

Ia pun baru sadar semenjak tadi wajahnya terlalu dekat dengan wajah perempuan itu. Sasuke bergas menarik satu langkah ke belakang, "Nyaris saja."

"Sasuke-kun, tadi kau berkata apa? Aku tidak jelas mendengarnya."

"A-aah, lupakan. Bukan hal yang penting. Sa-saya hanya bilang di sini pemandangannya cantik."

Hinata lalu berbalik. Dengan wajah menatap ke langit, pantulan bunga api bermekaran tergambar di bola matanya.

"Kau benar. Di sini sangat cantik."

.

.

.

Duduk ditemani secangkir kopi dan dua tumpuk berkas. Samar, lagu The End Of the World yang dibawakan Skeeter Davis mengalun lembut dari piringan hitam yang diputar pada gramofon dalam ruangannya.

Secangkir kopi arabika bercampur susu ia sesap. Flat White, merupakan varian kopi susu yang cukup populer di New Zealand. Komposisi foam yang sangat sedikit menjadikan varian ini sebagai kopi susu paling milky. Kandungan kafein yang lebih rendah, cita rasa, serta aroma yang lebih nikmat membuat kopi arabika begitu digemari.

Sasuke tampak mulai membuka dokumen-dokumen di hadapannya. Membubuhkan tanda tangan di bagian paling bawah setelah ia tuntas membacanya satu per satu.

Setidaknya, ada dua tumpuk yang masing-masing setinggi 40 centimeter.

"Ini?" kerut di kening Sasuke mengembang kala ia menemukan hal ganjil dalam salah satu laporan produksi.

Mata sehitam arangnya lantas kembali dengan jeli membaca lembaran demi lembaran itu sebelum gaduh-gaduh di luar merusak konsentrasinya.

"Kau tidak tahu siapa aku?! Biarkan aku masuk atau kau akan menyesal."

"Maaf, Bu. Tapi saya tidak bisa membiarkan Ibu masuk. Bapak bilang tidak ingin diganggu. Jadi tolong tunggu di depan, dan saya akan menghubunginya."

"Kau berani memerintahku?!"

"Akh ..."

Perempuan berambut merah jambu di gelung itu kesakitan lantaran rambutnya ditarik secara brutal oleh wanita yang menjadi lawan bicaranya.

Wanita berhelai berma dengan iris ruby di balik bingkai kacamata. Sedari lobi, ia terus memaksa masuk hingga Sakura bingung harus bagaimana. Tentu, semua pegawai lama tahu pemilik nama Uzumaki Karin tersebut adalah mantan istri bos mereka.

"Maaf, Bu. Tapi Anda tidak boleh masuk-"

Cleck

Terdengar suara pintu dibuka,

Sejurus kemudian, Sasuke terlihat terkesiap mendapati Sakura dengan rambut yang sedikit acak-acakan sedang bersama mantan istrinya.

"Karin?"

Karin melepas tarikan tangannya dari blouse Sakura dan berlari mendekati Sasuke.

"Sas, kau harus memecatnya. Dia bertindak kasar padaku," gelayutnya manja di lengan mantan suaminya.

Bukan nyaman dengan hal itu, yang ada Sasuke justru menepis kasar tangan Karin dari lengannya. "Lepas! Mau apa kamu ke sini?"

"Mau apa? Jelas karena aku merindukanmu dan anak kita, Sas."

"..." Sasuke tampak tak menanggapi.

"Bagaimana? Bagaimana keadaan putra kita, Sas? Apa Sanada baik-baik saja? Aku benar-benar merindukannya." Karin menunduk seolah benar-benar sedih. Wajahnya mengisyaratkan kegundahan. Namun Sasuke bukan pria bodoh yang gampang saja percaya.

"Sanada baik-baik saja. Dia sudah bisa mengambil makanannya sendiri, mandi sendiri, dan melakukan hal-hal yang menurutmu merepotkan."

"Sas, maafkan aku. Hari itu pikiranku sedang kacau. Aku terus dihantui rasa bersalah setelah meninggalkan kalian. Sas, izinkan aku kembali, aku janji akan berubah."

Sasuke sungguh tak benar-benar bisa melupakan kejadian hari itu. Apalagi beberapa bulan setelahnya, ia mendapat kabar bila mantan istrinya ini menikah lagi selang beberapa hari surat cerai mereka terbit.

Sejujurnya yang membuat Sasuke tak habis pikir adalah, bagaimana bisa seorang ibu menelantarkan anak kandungnya sendiri? Bagaimana bisa seorang ibu dengan tega meminta anaknya dibuang ke panti asuhan? Kelahiran Sanada bukanlah aib. Lantas, mengapa dahulu Karin berkata malu?

"Pergilah. Sanada sudah cukup bahagia bersama saya. Kamu tak perlu mengusiknya lagi."

"Sas, bagaimanapun aku ibunya. Aku ingin bertemu Sanada. Sas, kumohon. Aku ingin bertemu-"

"Apa?!" Sasuke mendorong tubuh Karin agar menyingkir dari depan ruang kerjanya. "bukankah hal ini juga yang kamu lakukan kepada kami dulu?!"

"Sas?"

"Sekuriti!"

"Sas, izinkan aku bertemu Sanada. Aku minta maaf. Aku minta maaf dulu sempat meninggalkan kalian! Sas, beri aku kesempatan sekali lagi. Izinkan aku memperbaiki semua-"

"SEKURITI!" panggil Sasuke sekali lagi. Kali ini nadanya terdengar lebih tinggi.

Seorang laki-laki berbadan tambun mengenakan seragam khas petugas keamanan, tak lama menghampiri Sasuke. "Iya Pak?"

"Usir wanita ini. Jangan biarkan dia mendekati kantor ini lagi!"

"Sas?!"

"Ayo." Sekuriti tersebut menarik lengan Karin untuk membawanya keluar.

"Bangsat. Lepas! Kau tak tahu siapa aku? Lepas! Sas, aku mau bicara! Kau tak bisa mengusirku begini. Kau tak bisa memisahkan aku dari Sanada, Sas!"

Baru ketika suara Karin menghilang di ujung lorong, Sasuke kembali ke ruangannya. Wajahnya merah padam. Rasanya emosinya naik ke ubun-ubun. Untuk apa wanita itu kembali menunjukkan wajahnya?

.

Jalanan lenggang sepi pengguna. Pertokoan di sepanjang jalan tampak tak begitu ramai di hari kerja ini.

Tinggal dua persimpangan lagi Setagaya Special Needs Education berada. Pukul 13.25, Sasuke rasa di sana sudah mulai sepi.

.

Di hadapannya kini terlihat jelas bangunan tempat sang putra bersekolah. Sasuke berjalan keluar dengan cepat. Hatinya merasa tenang ketika melihat seorang perempuan berambut ungu tua duduk bersama putranya di taman sekolah itu. Dengan masih dalam balutan seragam kerja, Hinata menemani Sanada bermain.

"Sanada,"

Si pemilik nama langsung menoleh ke arah sumber suara.

Sasuke merengkuh tubuh mungil Sanada begitu anak itu berlari ke arahnya.

"Maaf ayah terlambat." Kemudian, Sasuke tampak sejenak memandang Hinata. "Hinata-sensei, terima kasih telah menemani Sanada."

Kata-katanya dibalas dengan senyum yang membuat perasaan Sasuke berdesir aneh. Mendadak jadi teringat kejadian semalam. Pernyataan cintanya yang tiba-tiba, untung Hinata tidak jelas mendengarnya.

Hinata terlihat menunduk untuk mengusap puncak kepala Sanada, "Nah, Ayahmu sudah datang, Sanada-chan."

"Hinata-sensei, mau saya antar pulang?" Sasuke segera berujar. Sanada pasti merasa senang bila perempuan itu berada satu mobil dengannya.

"Sanada-chan?" Hinata dibuat terkejut, ketika tangan mungil Sanada menariknya.

"Ayo."

Mereka bak satu keluarga yang utuh. Sasuke berperan sebagai ayah, Hinata sebagai ibu, dan Sanada adalah putra mereka.

Perempuan bermata bulat itu mengangguk sebagai jawaban atas tawaran Sasuke. Lalu, ketiganya berjalan beriringan menuju mobil, tanpa sadar sepasang iris ruby sejak tadi mengamati mereka dari depan gerbang sekolah.

Senyum di bibir Sasuke mengembang. Lelaki itu terlihat sangat bahagia.

Perempuan berambut berma dalam balutan dress one piece sewarna rambutnya telah mengikuti pria berparas tampan tersebut semenjak keluar kantor.

Senyum miring Karin terpatri di wajah. Meski tadi diusir, bukan wanita itu bila ia cepat menyerah.

Karin segera memasuki mobil merah tepat ketika kendaraan milik mantan suaminya melaju meninggalkan sekolah.

.

Semburat oranye membubuhi langit senja. Masa transisi siang dan malam tengah berlangsung. Jalanan di depan sebuah rumah besar terlihat sepi. Namun, tampak mobil berwarna merah terparkir tak jauh dari pagar rumah tersebut.

Seorang wanita berpakaian seksi duduk di atas kap mobil itu. Senyumannya mengembang kala mobil sang pemilik rumah berhenti di depan gerbang.

Usai mobil itu melewati gerbang, seorang pria tampak segera keluar dari mobil, kemudian membimbing seorang anak masuk ke dalam rumah.

"Sas!" lantang Karin segera memanggil pria yang tengah menggandeng sosok mungil di sana.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Karin?" jengkel bercampur kesal. Masih berani-beraninya wanita ini muncul setelah tadi diusir.

Karin tak menghiraukan pertanyaan Sasuke. Segera ia hendak menyentuh bahu putranya, tetapi telapak tangan yang lebih besar dari miliknya terlebih dulu menahan.

"Apa maumu?!"

"Apa sih, Sas? Aku hanya ingin memeluk putraku. Salah?"

"Jangan sentuh anak saya, Karin!" Sasuke bersuara dengan nada mengancam.

Tak takut, Karin memilih tak acuh dengan itu. Ia melepaskan genggaman tangan Sasuke pada pergelangan tangannya dengan keras, kemudian mendekap anak kecil berambut hitam tersebut.

"Ini mama, Sanada. Ini mama." Karin membisik pada putra semata wayangnya.

Sepasang obsidian Sasuke memandang putranya. Perlu pendekatan persuasif guna dapat memikat sosok kecil itu. Apakah Karin benar telah berubah? Pertanyaan yang sempat hinggap dalam kalbu Sasuke.

Hari sudah mulai gelap. Putranya tampak kebingungan dengan ini.

"Masuklah." Sasuke membuang napas, usai menghirupnya dalam-dalam.

"... Sas? K-kau sungguh-sungguh?"

"Ya, tapi saya tidak segan mengusir kamu jika kamu macam-macam."

Karin terlihat langsung memeluk Sanada dengan erat. "Terimakasih Tuhan. Sayang, akhirnya mama bisa menemanimu tidur malam ini."

Sasuke hanya mempertimbangkan Sanada. Jika Karin benar berubah, maka Sanada berhak mendapat kasih sayang seorang ibu yang sedari dulu urung didapatnya.

Ia harus menekan segala ego dalam dirinya. Mengubur dasar-dasar perasaan marah sama seperti hari di mana Karin meninggalkannya. Ia harus bisa menekan emosinya sama seperti ketika ia tahu Karin menikah lagi. Toh rasa cintanya pada wanita itu kini telah terhapus. Pudar seiring waktu berjalan, lenyap kala semi-semi bunga mawar kembali bermekaran di hatinya.

Untuk Sanada, Sasuke rela melakukan apapun. Tak terkecuali mengizinkan mantan istrinya masuk ke rumahnya lagi.

Hanya rumah.

Tidak dengan hati.

.

"Sanada suka masakan mama?"

Anggukan Sanada cukup menjadi afirmasi,

"Baiklah satu lagi ya? Aaa ..."

Sisi lebih Karin adalah pandai memasak. Terlihat wanita itu menyuapi Sanada dengan donburi; semangkuk nasi putih yang dicampur lauk ikan, potongan daging, juga sayur-mayur.

Dulu faktor ini yang menarik atensi Sasuke pada wanita penganut kebebasan tersebut. Sasuke pikir dengan mereka menikah dan menjamin hidupnya, Karin bakal berubah. Nyatanya tidak demikian.

Di meja makan, untuk Sasuke, Karin menyiapkan shabu-shabu. Hidangan hot pot tradisional di mana terdapat irisan daging sapi, sayuran, jamur, tahu, serta beberapa saus untuk bumbu. Sasuke memakannya saja. Rasanya tidak jauh beda dari beberapa tahun lalu kala mereka masih bersama.

Hari ini, pertama baginya melihat Karin berperilaku selayak seorang ibu. Rasa curiga yang sebelumnya singgah dalam pikirannya entah mengapa menguap. Ia melihat Sanada begitu nyaman dengan perlakuan Karin kepadanya. Ia jadi tak tega meminta Karin keluar sekarang.

"Ehem," Sasuke berdeham. "waktunya Sanada tidur." Sepasang netranya memandang lurus iris Karin.

"Aku mengerti kok. Aku akan membawanya ke kamar. Aku akan tidur dengan Sanada." Karin berujar.

Ia lalu menggendong putranya mengikuti Sasuke yang melangkah lebih dulu, menuntunnya menuju kamar anak itu.

Sasuke membuka pintu di depannya kemudian memasuki kamar tersebut diikuti oleh Karin dan Sanada dalam gendongannya.

Sejauh ini ia belum melihat hal ganjil dari apa yang dilakukan Karin.

Sasuke terlihat mengecup kening putra semata wayangnya.

Melihat ini, seringai di bibir Karin mengembang lagi. Dari keterbukaan Sasuke, Karin semakin yakin pria itu bakal kembali menerimanya.

"Saya turun dulu," ucap Sasuke.

"A-yah, oyasumi."

.

"Ih, sialan." Karin mengibas-ibaskan lengannya. Di sampingnya Sanada tidur sembari mengisap ibu jari. Air liurnya tanpa sengaja mengenai lengan Karin. "Tahu gini mending tidur di luar."

.

Di bawah kucuran air, ia mencuci lengannya. Tak lupa memakai sabun seolah air liur putranya adalah bisa yang menyebarkan racun.

"Menjijikkan," batin Karin menggosok lengannya kuat-kuat.

.

"Aaah, harus sampai kapan aku bersikap manis begini?"

Ia menuangkan anggur pada gelas yang sudah berisi beberapa bongkah es batu, kemudian mengambil tas miliknya yang tergeletak di meja makan, lalu mengeluarkan sebungkus rokok berserta pemantiknya.

Karin berjalan menuju dapur usai ia membersihkan lengannya. Kebiasaan Sasuke yang ia tahu adalah menyimpan beberapa botol minuman beralkohol di almari kaca dapurnya.

Kepulan asap menguar dari hembusan napas Karin. Wanita itu menyesap minumannya, kemudian menggoyangkan gelas tersebut. Iris ruby-nya memandang sebingkai foto Sasuke bersama Sanada terpajang di dinding.

"Tch. Aku akan membuatmu kembali padaku, Sas. Bagaimanapun caranya." Ia bermonolog sambil memandang wajah tampan Sasuke.

.

.

Pagi ini Sasuke begitu buru-buru. Ia sudah siap dengan setelan jas rapi dan tas kantor tergenggam tangan kirinya. Tiga puluh menit lagi, jadwal bertemu seorang klien di sebuah restoran.

Sepasang matanya memandang Karin sebentar yang sedang menyuapi Sanada sarapan. Sasuke dapat merasakan aura keibuan dari perlakuan wanita itu terhadap putranya, mungkin jika ia membiarkan Karin dengan Sanada saat ini, semua akan baik-baik saja. Rapat yang akan ia lakukan adalah rapat penting menyangkut ekspor akhir bulan ini. Tidak mungkin ia harus mengajak Sanada, meski hal tersebut memang tak jarang ia lakukan. Melakukan pembahasan ekspor-impor membutuhkan waktu yang lumayan lama. Takutnya Sanada tidak betah menunggu.

"Karin, kamu bisa kan menjaga Sanada sebentar? Saya ada janji dengan klien, tidak lama." Sasuke berujar, tak salah bila ia sedikit percaya pada perempuan itu sekarang.

Karin memberikan senyum hangatnya. Dalam benaknya ia merasa bahagia. Bila ia bisa menjerat Sanda, maka bukan perkara sulit untuk memiliki mantan suaminya kembali.

"Kau tak perlu memintanya, Sas. Sanada kan juga anakku. Jadi aku tak mungkin menyakiti putraku sendiri. Berangkatlah, urusan Sanada serahkan saja padaku." Karin berusaha meyakinkan Sasuke. Sebelah tangannya terulur pada sisi bibir anak kecil berambut hitam itu kala sebutir nasi tertinggal di sana.

Pria itu mengangguk, kemudian berjalan mendekati putranya, "Ayah tinggal sebentar," ujar Sasuke sambil mengusap puncak kepala Sanada, "Jangan nakal, oke?" senyum lembut menghiasi wajah.

Sanada mengacungkan ibu jarinya, tapi fokus iris anak lelaki itu masih tertuju pada sarapannya yang tengah ia mainkan dengan garpu plastik.

Sasuke menatap Karin yang juga menatapnya, memberikan senyum formal kemudian ia pun beranjak pergi meninggalkan mantan istri dan putranya di rumah.

.

Karin mendengar suara mobil keluar dari garasi. Wajahnya yang awalnya masam langsung berbinar cerah.

Sepertinya Sasuke telah pergi. Karin pun menarik kasar pergelangan tangan Sanda untuk mengikutinya berjalan menuju tepi kolam renang. Setelah sampai, ia segera duduk di bawah payung tepat di tepi kolam.

"Selesaikan makanmu sendiri!" wanita berambut merah itu berujar, kemudian beranjak ke dalam untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Namun belum lama ia melangkah ...

Prang

Piring makanan itu terjatuh ketika Sanada memainkan sarapannya hingga semua makanannya bercecer di lantai.

Betapa kesalnya Karin saat itu. Seharusnya ia sudah bisa beristirahat mumpung Sasuke pergi.

"Anak bodoh." Emosi Karin seketika membuncah. "apa yang kau lakukan?!" Karin menarik bahu Sanada. "pegang piring saja tidak becus! Bisamu apa, hah? Cepat bereskan semua ini!" Karin membentak. Namun yang ada Sanada hanya diam sambil memainkan sarapannya yang terjatuh di lantai. "Kenapa kau diam saja?!"

"Ayah! Ayah!" Sanada berteriak ketika Karin menjewer telinganya dengan keras. Seumur hidup, Sanada tidak pernah mengalami perlakuan yang seperti ini.

"Kenapa kau hanya diam saja? Cepat bereskan itu!" teriakan Karin kian menggema.

Di belakang Sasuke, Karin menunjukkan perangai aslinya. Ia bukan wanita yang pantas mendapat panggilan ibu dari anak laki-laki yang tengah menangis di sana.

.

Di depan rumah, seorang perempuan berhelai ungu panjang berdiri di depan pintu. Ia membenarkan posisi lengan kemeja panjangnya usai memandang arloji sesaat. Lima menit sudah ia menunggu sambil mengucap salam, tetapi lantaran urung mendapat sahutan, Hinata enggan melangkah masuk meski pintunya tak dikunci.

"Cepat bereskan!"

Suara feminin dari dalam rumah melengking tajam. Hinata merasakan hal buruk di sana.

Keraguannya untuk segera masuk tertepis rasa penasaran dari mana suara itu berasal. Mengabaikan segala enggan yang menguasai diri, Hinata lantas bergegas masuk.

.

Pupil matanya membelalak tak percaya. Hinata melihat seorang wanita berambut merah mendorong-dorong bahu Sanada. Hal yang tak pernah Hinata bayangkan bahwa ada seorang wanita berani melakukan hal tersebut terhadap anak kecil, apalagi anak itu berkebutuhan khusus.

Tangisan anak laki-laki berambut hitam di sana membuat hati Hinata terketuk untuk segera menghampiri mereka.

Langkah cepat perempuan berkemeja biru muda itu segera membawanya lebih dekat.

"Apa yang kau lakukan?!" Hinata pun merasa emosinya memanas melihat Sanada diperlakukan tidak baik.

"Siapa kau?" lontar Karin melihat seseorang menghampirinya.

"Aku guru Sanada di sekolah. Tidak seharusnya kau melakukan ini!" Hinata berjongkok menarik Sanada ke dalam pelukannya. Tubuh anak itu terasa bergetar. Bulir bening tak henti menyusuri pipinya dengan ingus menetes pelan dari hidung.

"Aku ibunya! Terserah aku mau memperlakukan anakku seperti apa!" Karin berujar dengan penuh penekanan. Yah, ia ingat, wanita di depannya ini adalah guru yang bersama Sanada dan Sasuke kemarin.

Hinata sama sekaki tak menghiraukan pernyataan Karin, ia segera mengangkat Sanada yang masih terus menangis dalam dekapannya.

"Sanada-chan, jangan menangis. Ibu di sini. Ayo kita pergi." Lanjut Hinata membisik.

"Akh!" jerit Hinata ketika rambut panjangnya ditarik oleh Karin. Ia segera menurunkan Sanada dari gendongannya dengan cepat.

"Kau mau ke mana, huh? Perbincangan kita belum selesai."

"Lepaskan aku!" Hinata berusaha melepas tarikan tangan Karin dari rambut panjangnya.

"Tch. Jadi ini wajah wanita jalang yang berusaha merebut suamiku. Hei kau, jangan bermimpi bisa menikah dengan suamiku ya? Kau berpura-pura baik pada anakku karena ingin dinikahi pria kaya kan?"

"Lepaskan. Kau tak tahu apa pun tentangku!"

"Benarkah? Hei, tidak ada manusia di dunia ini yang tak tergoda dengan uang. Berapa bayaranmu di sana? Pasti tidak cukup kan-"

"Sudah kubilang lepaskan aku!" Hinata dengan keras menghempas tangan Karin.

Rupanya hal itu menyebabkan pertengkaran di antara mereka kian tak terbendung. Saling dorong terjadi, seolah lupa dengan keberadaan Sanada di dekat mereka yang tengah menangis histeris.

Sanada tetaplah manusia kecil dengan kemurnian dan hatinya yang masih suci. Ia sudah pasti ia tidak suka melihat orang yang disayanginya disakiti. Hinata adalah hal yang penting bagi Sanada. Anak kecil itu begitu menyayanginya. Begitu saja Sanada mendekat, abai pada Hinata dan Karin yang sedang bertengkar. Jemari mungilnya terkepal, kemudian memukulkannya pada wanita berambut merah di sana.

Bugh! Bugh!

"Lepaskan Hinata-sensei. Lepaskan Hinata-sensei." Sanada memukul-mukul Karin sebisanya.

"Apa yang kau lakukan, sialan!"

Dugh!

"Sanada?!" Hinata berteriak melihat anak laki-laki itu justru mendapat tendangan dari ibu kandungnya sendiri.

Belum keterkejutannya selesai, tiba-tiba Hinata merasakan dorongan yang sangat keras pada punggungnya. Tubuhnya dipaksa mendekati kolam renang. Ia merasakan tubuhnya melayang ... terlempar ...

Byurrr

Karin mendorongnya.

"Hahahaha ... rasakan itu jalang!" Karin kontan tertawa, berbeda dengan Sanada yang justru berteriak, memanggil sang ayah seraya menangis.

"AYAH! AYAH!" tangis Sanada pun kian pecah.

"DIAM! AKU YANG MELAHIRKANMU! UNTUK APA KAU MENGURUSI WANITA ITU!" lengkingan suara Karin kian menggema. Sebelah tangan wanita itu terangkat bersiap tuk menampar Sanada.

Hal yang paling membuat Karin senang dalam hal ini adalah tubuh rivalnya yang tak kunjung muncul kepermukaan. "Jadi dia tidak bisa berenang? Hahaha ... mati kau!"

"AYAH! AYAH! AYAAAH!"

"SUDAH KUBILANG DIAM! DASAR IDIOT-!"

Tap!

Ia merasakan pergerakan tangannya terhenti kala hendak menampar anak itu. Karin merasakan genggaman telapak tangan yang kian menguat menyakiti pergelangannya.

Tubuhnya seketika terempas ke arah kursi dan meja di belakang.

Brak!

"Seharusnya saya memang tak mengizinkanmu masuk!"

"Sa-sas? Ke-kenapa bisa? Bu-bukankah tadi kamu sudah berangkat-?"

"Cepat pergi atau saya menelepon polisi sekarang juga!" ujar Sasuke dengan nada bergetar menahan emosinya.

"Sa-Sas ..."

"Cepat pergi!"

Fokus Sasuke kini beralih pada putranya yang tengah menangis histeris. Namun sebuah objek di dasar kolam renang membuat pria itu terperanjat. Ia segera menceburkan diri ke dalam kolam, tak peduli ponsel, jam tangan, atau apa pun yang masih melekat pada tubuhnya.

Ketika ia berhasil mengeluarkan tubuh Hinata dari sana, wanita itu sudah tak sadarkan diri.

"Hinata? Hinata?!"

Sasuke segera membaringkan Hinata di tepi kolam. Tak ada napas yang terembus dari hidung wanita itu. Ia memosisikan kedua tangannya pada dagu dan hidung wanita tersebut untuk memberinya napas buatan.

Bibir Hinata terasa dingin, tetapi Sasuke sepenuhnya sadar, ia tak boleh berpikiran aneh-aneh di saat seperti ini.

"Uhuk!" Hinata terbatuk dengan air yang keluar dari mulutnya.

"Hinata-sensei?!"

Rasa pusing menjalar di kepala ia abaikan. Begitu sadar, pikiran Hinata langsung tertuju pada Sanada.

Akhirnya ia dapat bernapas lega sekarang. Melalui irisnya, ia melihat Sanda baik-baik saja. Sanada tampak pula berbalik memandangnya dengan pipi yang memerah dan mata yang sembab. Wanita berambut merah yang mendorongnya tadi sudah tak terlihat di sana.

"Maafkan saya," Sasuke berujar, "seharusnya sejak awal saya tidak yakin Karin berubah. Maafkan saya. Maafkan saya Hinata-sensei. "

Hinata hanya menggelengkan kepalanya. Sasuke tak bersalah, ia yakin itu.

Hinata kemudian memperhatikan wajah Sanada. Anak itu masih tampak sekali sesenggukan. Ia pun menjulurkan tangannya pada kening anak itu.

"Sanada, aku baik-baik saja."

Bukan berhenti menangis, kata-kata Hinata justru kian memancing tangis anak itu. Hal di luar dugaannya, Sanada terlihat berlari dan memeluknya.

"Hinata-sensei ... Hinata-sensei ..."

Hinata membalas pelukan Sanada dengan senyum. Tak disangka, anak lelaki kecil tersebut begitu sayang kepadanya.

"Hei, aku baik-baik saja. Jangan bersedih ..."

.

Malam harinya,

Di sebuah kamar berisikan banyak mainan yang begitu remang dan sunyi, Hinata terlihat menemani Sanada tidur dengan tangannya terus mengusap kepala anak itu dengan penuh kasih sayang. Sebelumnya Hinata sempat pulang untuk mengganti pakaiannya, kemudian ia balik lagi lantaran rasa cemas yang mendera kalbunya. Hinata takut Sanada masih trauma dengan kejadian pagi tadi.

Hatinya begitu teriris mengingat kejadian itu. Andai ia dapat menjaga Sanada setiap hari, pasti hal tersebut tak perlu terjadi.

Pintu kamar itu terbuka dengan pelan. Cahaya lampu dari luar kamar masuk begitu saja. Di sana, Sasuke berbalut kaus dan sweater tak ber-zip memandang Sanada penuh kasih.

Langkah pelannya membawa figur ayah sempurna itu mendekat. Memandang Sanada dengan hati yang juga teriris, kemudian menatap Hinata.

Wanita ini begitu sempurna. Sasuke tak mampu memungkiri hal tersebut.

"Sekali lagi saya minta maaf." Ia berujar ketika sebesit rasa bersalah atas kelakuan mantan istrinya menghinggapi. Ia merasa telah dibodohi dengan telak oleh Karin. Ia bersumpah akan memasukkan wanita itu ke penjara jika hal ini terulang lagi.

Respons yang didapat Sasuke adalah sama; senyum dan gelengan kecil dari Hinata.

Sasuke kemudian beranjak dari kamar, diikuti wanita berkemeja putih itu di belakangnya.

Tak ada obrolan yang tercipta, hanya suara langkah kaki menemani mereka menuju balkon rumah itu.

Purnama tampak benderang memantulkan sinar keemasan. Gugusan eksistensi pendar di langit memperindah malam ini, meski dingin terasa menusuk-nusuk kulit.

Sasuke pun melepas sweaternya, kemudian menyelimutkannya pada bahu mungil Hinata.

Mereka berdiri bersebelahan memandang cerahnya langit malam bertabur bintang.

"Saya sebenarnya tak ingin menyesal telah menikah dengan wanita itu dahulu. Tanpa dia, Sanada tak kan pernah ada. Tapi saya tidak habis pikir bila dia mampu melakukan tindakan semacam itu. Kemarin, Karin datang lalu menampilkan sikap keibuan yang sungguh membuat Saya percaya dia telah berubah." Sasuke berujar pelan, "saya begitu bodoh hingga bisa termakan oleh dusta yang ditampilkannya," lanjut kembali Sasuke, iris kelam miliknya menerawang jauh ke langis malam.

Hinata hanya diam mendengarkan. Wanita itu tentu mengerti bahwa di dunia ini ada banyak sekali karakter manusia dengan sikap yang berbeda-beda. Orang baik tidak selamanya baik, pun sebaliknya.

Dalam permasalahan ini, memang Hinata tak mengerti sepenuhnya, tetapi hatinya terus meronta dan memaksa untuk turut andil menjaga Sanada.

"..." Hinata terkejut kala telapak tangannya tiba-tiba digenggam. Desiran aneh pun menjalar melalui sentuhan yang seketika memacu debaran dalam dadanya.

"Hinata-sensei, jika saya mengatakan jatuh cinta padamu, apa kamu mau menikah dengan saya?" Sasuke menatapnya penuh keseriusan. Tak ada sedikit pun pandang bercanda tersirat di wajah tampan itu.

Bukan tanpa alasan ia jatuh hati pada Hinata. Sosok perempuan ini merupakan figur yang tempat guna menjadi ibu Sanada, di lain hal Hinata pula memicu perasaan aneh yang dulu pernah ia rasakan pada Karin.

Rasa ini bertahap tentu kentara Sasuke rasakan. Pertemuan awal terasa seperti takdir, dan kehadiran Hinata pun mengisi kekosongan Sanada di sekolah. Itukah skenario Tuhan untuk mendekatkan mereka?

Hinata masih terdiam. Semua pikirannya terpaku pada apa yang baru Sasuke ujar.

Pria ini adalah sosok lelaki yang sangat baik. Sebesit pikiran tentang pantaskah ia bersanding dengan Sasuke hinggap dalam benaknya. Pantaskah mantan pembunuh sepertinya berdiri di samping pria yang begitu sempurna? Jelas Hianta tak boleh merasa ragu dengan semua itu.

Perempuan beriris ametis cantik di sana meyakinkan dirinya. Ia menarik napas, kemudian memandang wajah tampan Sasuke.

Seulas senyum manis Hinata berikan pada pria tersebut, seiring anggukan kecil ia tunjukkan sebagai jawaban.

"Jika aku mengangguk, artinya pernyataanmu berikutnya tak perlu aku jawab."

Rasa bahagia begitu saja merasuki benak pria Uchiha itu. Iris obsidiannya semakin lembut memandang Hinata ...

"Saya mencintai kamu."

Sasuke mendekatkan bibir tipisnya pada dahi Hinata, akan tetapi rasa lembut belaian telapak tangan Hinata sukses menghentikan gerakan Sasuke.

Pria itu mengerti, Hinata memiliki trauma ketika bersama seorang laki-laki. Ia tak ingin memaksakan kehendaknya untuk segera mengecup dahi wanita cantik yang amat ia cintai.

Namun sebuah gerakan yang Hinata lakukan selanjutnya justru berbalik membuat Sasuke hanya mampu terdiam dengan netra membelalak.

Hinta menarik tengkuknya, kemudian menyentuhkan bibirnya dengan bibir Sasuke.

Wanita itu memberikan senyuman terbaiknya untuk pria itu. Setitik air mata merembah atas harunya hati pada rasa bahagia yang menerpa.

"Terima kasih telah menunjukkan pelangi padaku. Kehadiranmu mengikis segala takutku, cemasku, memberikan warna dalam hidupku yang dahulu muram. Tanpa bertemu denganmu, aku tak kan pernah merasakan indahnya jatuh cinta." Hinata berujar dengan air mata bahagianya yang tak kunjung henti.

Sasuke tak ingin menghapus rembah air dari sepasang iris cantik itu. Tak ada suara yang ia berikan, melainkan sebuah anggukan mantap serta jarak yang kian ia kikis.

Sentuhan itu menjalarkan rasa hangat dalam dinginnya udara malam. Cinta kasih bak balutan selimut tebal

Terus berlanjut kecupan hangat tersebut, saling mengutarakan rasa cinta mendalam melalui pagutan menggairahkan penuh hasrat. Desir, dan debar menggelitik perut tentu mereka rasakan saat ini.

Kisah baru siap terukir dalam lembar hidup yang akan menuliskan kenangan esok. Seiring waktu, menjadikan pahit lalu tuk menjadi acu demi merangkai manisnya masa yang menunggu.

Sasuke tahu Hinata yang terbaik untuknya, dan Hinata tahu, Sasuke sosok yang ia damba selama ini.

.

.

.

FIN