Saya selalu memandangmu di balik pagar. Kamu yang senantiasa mengulas senyum, menyambut kedatangan pelita-pelita kecil dengan raut berbinar.

Saya senang, Sanada mendapat guru yang tepat seperti kamu. Tanpa rasa, dua tahun berlalu cepat, dan Sanada tampak lebih baik dari sebelum dua warsa lewat.

Entahlah apa yang membuat kamu begitu menarik dalam benak saya. Mungkin kelembutan yang senantiasa terpancar dari aura keibuanmu, atau boleh jadi kesabaranmu yang saya pikir lebih dari siapa pun yang pernah saya jumpai.

Saya selalu memandang kamu dari sini. Melalui celah pagar besi kecokelatan, terkelupas, lapuk tergerus cuaca siang-malam. Kamu penuh kasih menuntun mereka satu demi satu masuk ke dalam kelas. Rasanya, dunia yang saya lihat selama ini seketika berubah selepas kekurangan Sanada mempertemukan saya dengan kamu.

Anak-anak itu memanggilmu sebagai Ibu Hinata, meski kutahu usiamu jauh lebih belia. Kamu enam tahun di bawah saya. Kamu berusia dua puluh tiga, saya paham dari daftar guru yang diperlihatkan Kepala Sekolah saat saya mendaftarkan Sanada.

Kamu mengajarkan saya lebih banyak bersyukur. Kamu menyadarkan semua orang bahwa anak-anak terlahir dengan tanpa pilihan. Mereka adalah anak-anak spesial. Karenanya Tuhan menitipkan mereka pada orang yang terpilih dan spesial pula.

Saya selalu memandang kamu dari sini. Melihat helai ungu panjangmu ditiup angin, memperhatikan dalam-dalam teduh iris ametismu yang menenangkan. Hingga kamu menutup pintu itu. Membiarkan kesadaran balik menyapa saya, dan ... saya harus pergi ke kantor sekarang juga

.

.

"Rapat hari ini pukul 14.00, Pak."

"Saya kemungkinan hadir terlambat. Sanada pulang lebih awal hari ini. Jadi sementara itu, tolong urus semuanya sampai saya kembali."

"Baik Pak."

Saya berlalu usai sekretaris saya minta untuk menggantikan posisi saya sebentar. Keluar dari Ruang Direktur, saya berjalan menuju lobi kantor. Selama itu sejumlah pegawai yang melewati saya, satu demi satu menunduk. Saya sebenarnya tidak mau diperlakukan sehormat ini. Kadang ketika kita minum sake bersama, saya menyempatkan diri untuk bertanya mengapa harus membungkuk kala berpapasan dengan saya? Mereka bilang, karena Pak Direktur adalah atasan kami. Jika Pak Direktur tidak mau, tidak masalah. Tinggal anggap ini bentuk dari formalitas.

Ya ... bagi saya penghormatan tertinggi adalah ketika pencapaian saya dinikmati banyak orang, tanpa satu pun mereka canggung, sebab menganggap saya sebagai keluarga.

Blam

Selepas menutup pintu mobil, saya pun menghidupkan mesin dan segera menuju Sekolah Luar Biasa tempat Sanada menimba ilmu.

.

Putra saya, Uchiha Sanada didiagnosis dokter sebagai penyandang tuna grahita. Diagnosa ini diberikan pada usia Sanada yang keempat tahun. Waktu itu Sanada belum mampu berbicara, serta perkembangan motoriknya cenderung lebih lambat dari usia putri kemenakan saya yang sebaya. Semakin hari, semakin saya berwalanghati. Hari itu akhirnya saya memutuskan pergi ke dokter anak, yang kebetulan adalah kawan saya di Sekolah Menengah Atas, Yamanaka Ino. Dia agak terkejut selepas mendengar penuturan saya. Ino pun memeriksa kondisi Sanada, dan ia mengatakan bahwa putra semata wayang saya ini mengalami sebuah keadaaan retardasi mental. Di mana ditandai dengan lemahnya kecerdasan, sulitnya beradaptasi, serta kurang dalam fungsi intelektual. Intelegensi yang rendah membuat anak-anak penyandang tuna grahita sulit menyesuaikan diri pada lingkungan, apalagi mengembangkan apa yang ada pada diri mereka. Anak tuna grahita memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal.

Sampai di sekolah, banyak wali siswa yang telah menunggu kepulangan putra-putrinya di luar kelas. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Lelaki hanya saya dan seorang lagi. Sanada tidak mungkin dijemput ibunya. Tak apa, mantan istri saya itu mungkin sedikit terkejut, sebab buah hati yang ia kandung selama sembilan bulan lebih sepuluh hari besar tak sesuai angan-angannya. Dia meminta saya merawat Sanada seorang diri, lalu entah ke mana dia berpindah ke luar negeri. Kudengar mantan istri saya menikah lagi dengan pengusaha asal Turki. Tak apa. Toh relasi antara saya dan dia sebelumnya memang kurang baik. Saya dua kali memergoki istri saya di klub dengan banyak pria. Kata Ino, Sanada mengalami retardasi mental, kemungkinan lantaran ibunya yang kurang menjaga diri di masa kehamilan. Perempuan itu memang perokok aktif dan gemar mabuk sampai pagi di klub malam.

Dari jendela saya melihat Hinata mengajari anak-anak itu. Konsep pembelajaran bagi anak-anak unik ini memiliki metode berbeda dari sekolah umumnya. Anak tuna grahita dibedakan berdasar tingkat IQ mereka. Anak dengan retardasi mental ringan memiliki IQ antara 55-70. Dalam keadaan ini, si anak masih dapat mengembangkan kemampuan akademiknya hingga kelas 5 atau 6 sekolah dasar. Anak dengan retardasi mental moderat (IQ 40-54) merupakan anak yang dapat mengembangan keahlian seperti merawat diri, pertahanan diri, dan sebagainya hingga kurang lebih usia tujuh tahun untuk anak normal. Sedang anak dengan retardasi mental berat, mereka memiliki IQ 25-39. Mereka sangat membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupan sehari-hari, dan terakhir adalah retardasi mental parah. Anak-anak ini IQ-nya di bawah 25.

Sanada masuk dalam kelas kategori SLB-C1. Kategori Trainable. Kelas yang diberikan pada anak tuna grahita moderat, guna melatih mereka agar bisa merawat dirinya sendiri, melakukan pertahanan diri, cara makan dan minum, serta bagaimana cara mandi. Metode yang dilakukan yaitu dengan ceramah efektif. Menggunakan kontak mata yang baik, bahasa isyarat, juga suara yang jelas. Seorang guru SLB harus dapat membangun komunikasi persuasif, sehingga murid merasa nyaman ketika belajar. Untuk itulah dibutuhkan kesabaran ekstra demi mengajari anak-anak ini.

"Ga-jah."

"Ga-jah."

Meskipun anak tunagrahita menunjukkan keterlambatan dalam belajar dan perlu pengulangan, tetapi mereka harus tetap diberi kesempatan. Pelajaran akan diulang terlebih dahulu, dan apabila anak-anak itu menunjukkan kemajuan maka segera diberi bahan berikutnya.

Sembari berucap, sang guru juga akan membawa alat peraga. Hal ini digunakan mengingat keterbatasan anak tuna grahita dalam berpikir. Melalui media alat peraga, anak tuna grahita tidak verbalisme atau memiliki tanggapan mengenai apa yang dipelajarinya. Alat peraganya pun berupa tulisan kata "gajah" yang tebal, sementara gambar gajahnya tipis saja. Hal ini bertujuan membantu sang anak dalam mengartikan objek.

.

"Terimakasih sudah membantu Sanada hari ini,"

Perempuan itu menunduk lalu mengusap puncak kepala Sanada. Tak ada kata keluar dari bibirnya. Hal yang sedikit berbeda kala saya jumpai ia berbicara dengan sesama wanita.

Sedikit tersirat aneh dari sorot teduh itu. Tatapan dingin nan beku. Namun saya tidak mau meraba-raba, menilai dia anti pada lelaki. Saya bahkan belum sempat berbicara empat mata. Dulu pernah sekali. Hanya bukan bentuk afirmasi dari afeksi yang entah mulai kapan bergejolak di hati saya.

"Apa hari ini Sanada merepotkan?" saya bertanya untuk kesekian.

"Tidak, Pak. Sanada belajar dengan pintar seperti biasa."

Ah, lega. Kali ini Hinata membalas pertanyaan saya.

"Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu."

Seiring berbaliknya Hinata, saya melihat punggung kecilnya bergerak selaras kakinya yang melangkah menuju pintu gerbang. Wanita itu agak dingin. Namun hal tersebut justru membuat saya kian penasaran.

.

.

Tomorrow's Rainbow

Disclaimer: Naruto adalah serial manga yang dibuat oleh Masashi Kishimoto, dan dianimasikan oleh studio Pierot.

Tidak ada keuntungan dalam segi materiel yang didapat penulis dari pembuatan fanfiksi ini.

Ditulis untuk SasuHina Days Love 2017

Plot: Hanya Angin

.

.

Selamat membaca

.

.

.

Bekas kemerahan. Surih tamparan di pipinya urung melesap. Kulit putih pucatnya tak mampu cepat memeram rona lain yang bersemu. Seakan berbicara hal baru terjadi, padu bila dipandang kondisi perabot berjatuhan di ruang itu.

"Berdandan lah yang cantik. Percuma wajahmu itu bila kau diam di rumah saja!" ucap si pria paruh baya lantas tertawa.

Ia terlihat mengisap rokok yang terselip di antara dua jemari kanannya. Kemudian, mengembusnya tepat di depan wajah Hinata.

Seketika gadis berusia 15 tahun itu terbatuk-batuk. Dari dekat, sudut bibirnya tampak koyak. Dua, tiga tetes darah luruh menyentuh dagu. Matanya pun berair. Gadis itu pasti sedang menahan sakit yang amat sangat. Bindam bekas pecutan di sekujur tangannya tidak benar-benar bisu. Lelaki itu pasti baru memukulinya.

.

Puntung rokok ini adalah puntung ketiga yang ia buang ke lantai.

Matanya melirik arah tangga menanti suara langkah kaki. Diliriknya jarum pendek jam dinding di ruang tamu menunjuk angka sembilan, sedang jarum panjangnya menyentuh digit dua belas.

Kakinya mulai resah, mengetuk-etuk lantai. Tangannya sama gelisah, tak jenak menunggu gadis itu turun.

"Dasar dungu!" batinnya mulai kesal.

.

Plak!

"A-ampun, Paman-aah!"

Rambut Hinata tertarik.

"Kau coba bermain-main denganku? Gadis sialan, seharusnya kau mati bersama orang tuamu! Kenapa aku harus merawatmu?!"

Bugh ...

Tubuh Hinata tersungkur. Biru lengannya membentur tepian meja.

Pakaiannya yang belum ganti dengan gaun yang lebih baik membuat amarah sang paman memuncak, dan kembali melampiaskan kekesalannya melalui serangan fisik. Tamparan dan tinjuan di kepala. Mungkin jika orang tuanya masih hidup ia tidak perlu mengalami nasib pilu seperti ini.

Kedua orang tua Hinata adalah aktivis yang vokal menyuarakan Hak Asasi Manusia di negara yang beberapa tahun lalu menjadi medan tempur, kawasan Timur Tengah. Ibunya seorang perawat dan sang ayah adalah dokter bedah. Lebih dari menegakkan keadilan, tanpa sadar keduanya justru mengantar nyawa. Saat itu umur Hinata masih sepuluh tahun. Diawali oleh sang ibu yang diculik sekelompok militan pada malam hari, sampai hari ketiga, wanita 34 tahun itu tidak ditemukan. Namun ayah Hinata bersama penduduk setempat tak menyerah tentang ini. Mereka terus melakukan pencarian, hingga sang ayah turut terculik dan Kedutaan Jepang mendapat kabar mayat keduanya ditemukan.

Sedari hari itu, kehidupan Hinata jadi tak pasti. Terkatung-katung. Nomaden. Hidup menumpang dari rumah ke rumah.

Namun seperti pelangi setelah hujan, bibinya dengan baik hati menawarkan tempat tinggal. Bibinya menawari Hinata hidup bersama dan membawanya ke ibu kota. Sebelumnya, mereka tinggal di kawasan Saitama.

Akan tetapi, Asuma Sarutobi, sang paman ialah orang yang cukup temperamen. Tidak dengan Hinata saja, bahkan pada istrinya sendiri.

Kurenai divonis mandul, sedang Asuma sangat menginginkan keturunan. Pria itu kerap menghamburkan uangnya demi hal tidak jelas guna pelampiasan diri. Berjudi, mabuk sampai tak kuat jalan dan tidur di emperan seperti gelandangan. Dia berkali-kali membawa perempuan pulang ke rumah. Wanita mana yang berbesar hati, tahan melihat semua itu? Tanpa membawa Hinata, sang bibi pun pergi.

"Cepat ganti pakaianmu! Aku sudah menelepon temanku untuk memasukanmu ke sana!"

"Aku tidak mau Paman, aku tidak ma-"

Plak!

Asuma berniat menjual Hinata ke sebuah klub malam di Ronpoggi. Dengan usia belia (di bawah 17 tahun) dan belum terjamah oleh siapa pun, Hinata pasti laku mahal. Ia akan memperoleh banyak uang dari sana. Khayalan Asuma bahkan sampai pada ia duduk di sebuah kolam air panas bersama sejumlah wanita tanpa busana. Indahnya ...

"Aaah, lama! Biar madam yang nanti mengganti bajumu!"

Asuma menyeret tangan Hinata dengan kasar. Gadis itu menolak, mempertahankan diri dengan berpegangan erat pada kursi, meski akhirnya terjungkal saking kuat tarikan dari pria berambut hitam itu.

Hinata tidak mau diperlakukan sebagai budak, apalagi untuk menuruti hasrat lelaki bejat.

"Ayo cepat ikut aku!"

"Aku tidak mau, Paman!"

"Cepat atau aku bertindak lebih kasar!"

Dugh ...

Asuma menendang perut Hinata.

Hinata yang kesakitan kembali tersungkur sambil memegangi perutnya. "... Pa-Paman,"

"Dasar keras kepala! Cepat ikut aku!"

"AKU TIDAK MAU, PAMAN-!"

Jeb ...

Netra Asuma membola.

Terasa perih kala runcing ujung gunting itu menembus dadanya, merobek dagingnya, dan menancap di jantungnya.

Entahlah Hinata mendadak mendapat benda itu dari mana. Sepertinya berasal dari meja rias.

Keseimbangan Asuma perlahan mulai goyah. Sebelum benar-benar terjatuh, badannya sedikit goyang lalu ambruk membentur lantai dengan posisi tertelungkup.

Darah segar keluar dari luka robek di dadanya.

Tubuh Hinata bergetar hebat. Tampak bercak kemerahan di tangan kanannya.

"... a-aku membunuh Paman?"

.

"Waktu besuk, delapan menit."

Setahun berlalu semenjak ia dijebloskan ke penjara. Negara menuntutnya enam tahun dengan masa percobaan tiga bulan. Hinata ditempatkan pada ruang tahanan berukura meter untuk tujuh penghuni.

Ruang jenguk sendiri ialah ruangan sempit, yang mana penjenguk dan tahanan-meski dapat berbicara langsung-mereka dibatasi oleh sebuah jeruji. Seorang sipir bersenjata lengkap berjaga di ambang pintu.

"Kamu Hyuuga Hinata, kan?" tanya si perempuan dengan pelan dan penuh kehati-hatian.

Gadis berambut panjang tersebut sebatas menjawab dengan anggukan tanpa suara.

Dari luar, kentara Hinata sangat depresi. Otaknya pasti tertekan oleh rasa bersalah, pembelaan diri, harga diri, rasa sakit yang selama ini ia alami, serta segala kemuakannya. Shizune tahu alasan mengapa Hinata sampai di penjara. Namun bukankah terdengar kurang adil, seorang yang berusaha melindungi diri justru masuk bui? Bila terus dibiarkan, bisa-bisa gadis itu kehilangan sisi waras dari dirinya.

"Hinata-chan, namaku Shizune. Aku teman ibu dan ayahmu ketika kami masih sama-sama berjuang di perbatasan dulu. Kamu sudah makan? Aku membawa bento loh untuk makan siang kita,"

"Tidak perlu." Hinata mendorong bento di meja yang telah disodorkan kepadanya pada Shizune.

Shizune mengerti Hinata belum mau lagi berinteraksi dengan orang lain. Namun Shizune tidak mau menyerah. Ia akan membantu putri tunggal seniornya itu bangkit dari kubangan yang menutupnya dari dunia luar.

"Ayo, silakan. Bukankah kamu sangat suka salmon bakar?"

Sang sipir terus memperhatikan mereka. Setiap geriknya tak luput dari sepasang iris obsidian yang terus mengatensi tajam.

Shizune butuh berulang kali datang demi mendekati Hinata. Mengajaknya berbicara pelan-pelan, berbicara dari hati ke hati, meyakinkan Hinata bila ia tak sendiri. Tak semua orang jahat, tapi tak semua orang bisa dianggap baik. Ia harus berkomunikasi untuk mengetahui semua itu. Memfiltrasi melalui cara bicara seseorang, tingkah lakunya, dan bagaimana ia melakukan konversasi.

Hinata dibebaskan usai Shizune menjaminnya. Dengan segala bukti pendukung, dan rekam psikologi dari seorang psikolog yang Shizune datangkan, Hinata bebas enam bulan dari pertama kali Shizune datang menjenguk. Hinata bebas bersyarat. Ia menjadi tahanan kota dan wajib lapor setiap hari.

Sebelum bekerja di Sekolah Luar Biasa yang sekarang, yang mana Shizune merupakan kepala sekolah di sana, Hinata terlebih dahulu melalui serangkaian proses panjang demi menghilangkan depresi, serta traumanya, terutama kepada laki-laki. Setidaknya butuh waktu setahun hingga ia putus dari obat penenang.

Hinata yang notabene mewarisi darah dua orang tuanya yang begitu peduli pada sekitar-apalagi Hinata sangat menyukai anak-anak-selepas mengejar ujian paket, Hinata menempuh program studi S1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Universitas Tokyo.

.

.

.

Malam begitu larut. Kakinya sudah tidak nyaman menapaki jalanan sepi itu seorang diri. Ia menambah ritme langkah kakinya.

Hal yang biasa ia lakukan adalah memberi tambahan jam pelajaran. Ya, dengan kata lain Hinata membuka panggilan les privat untuk menambah pundi-pundi penghasilannya. Hasilnya lumayan. Hinata bisa menabung guna membeli apartemen baru. Ia tak enak hati jika terus menumpang di rumah wanita yang telah menolongnya dari keputusasaan. Meski sebenarnya perempuan beriris ametis itu yakin, wanita yang ia panggil Shizune-san tersebut akan sangat senang bila mereka terus hidup bersama, selamanya. Akan tetapi, Hinata ingin mencoba hidup mandiri. Dia ingin semuanya ia tanggung sendiri.

Setahun ini Hinata sudah menabung. Semoga saja uangnya lekas terkumpul, meski hanya bisa digunakan untuk membeli sebuah apartemen kecil.

"Oi, oi, lihat siapa yang lewat?"

Empat pemuda mabuk mengganggu perjalanan Hinata.

Salah seorang di antara mereka, yaitu lelaki berambut merah bahkan tampak masih memegang botol bir di tangannya.

"Mau ke mana, Nona? Ayo ikut bersama kami,"

Hinata ingin muntah. Bau napas pria yang menarik tangannya dan mendekatkan wajah ke arahnya, pekat akan aroma alkohol. Hinata tidak terbiasa dengan bau cairan memabukkan itu.

"Le-lepaskan aku!" gertak Hinata saat salah satu di antaranya memegang pergelangan tangannya.

"Heeh? Apa? Ayo bersenang-senang dulu," seorang pria lagi mendekati Hinata. Tangannya menarik pergelangan kiri perempuan itu.

"Le-pas!"

"Hahahaha ... malam ini kita bakal ditemani gadis cantik!"

"Ayo ikut kami!" si pria menarik tubuh Hinata masuk ke dalam gang yang lebih gelap.

Hinata berontak. Ia berusaha sekencang mungkin menghempas tangan dua orang yang memegangi lengannya. Berusaha membebaskan diri, akan tetapi dua lelaki sialan itu mencengkeram pergelangannya dengan kuat.

Rasanya seperti kiamat. Hidupnya akan berakhir sebentar lagi.

Brum ...

Ciiiiiiiittttt ...

Sebuah mobil berputar 90 derajat dengan kecepatan tinggi hendak menabrak mereka. Dua orang yang memegang tangan Hinata kontan kaget dan langsung melepas pegangan tangannya pada gadis itu.

"SIALAN! Apa yang kau lakukan!"

Seorang laki-laki berambut hitam keluar dari mobil, lantas berjalan ke arah Hinata dan keempat preman tersebut.

"Berengsek! Kau menantang kami huh-"

Bugh!

Pukulan di wajah pria itu membungkam mulutnya, serta seketika membuatnya ambruk ke jalanan.

"Saya akan membunuh kalian jika gadis itu lecet sedikit saja!"

Ketiga orang lainnya terang tidak terima temannya diperlakukan demikian. Pemuda tadi terlihat bangkit, pun langsung membalas pukulan sang 'oniks'.

"Berani-beraninya kau!"

Bugh

Sayangnya, pukulan itu berhasil Sasuke tangkis. Yang ada justru pemuda itu kembali menerima pukulan dari Sasuke.

Melihat itu, tiga orang lain bersama berlari ke arah Sasuke. Mereka mengeroyoknya.

Hinata tidak tahu apa yang terjadi pada pemuda itu, sebab tubuhnya terhalang empat orang yang menyerangnya secara bersamaan. Hinata menarik beberapa langkah mundur. Tremor di tangan dan kakinya, membuatnya sulit bergerak. Ia benar-benar shock.

Entah bagaimana pengeroyokan tersebut berlangsung, yang jelas empat orang tadi dengan memar di wajah berlari melarikan diri.

Terlihat kemeja Sasuke yang berantakan; kancing atasnya terbuka, dasinya terlihat kendur, serta tampak bekas membiru di sudut bibir. Pasti lebam sebab pukulan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Sasuke selepas mendekati Hinata.

Namun, yang ada gadis tersebut justru tak menjawabnya.

Dan rupanya Sasuke adalah pria yang cukup peka pada hal ini. Melihat tangan Hinata yang bergetar, ia berinisiatif menuntun gadis itu masuk ke dalam mobil.

"Saya akan mengantar kamu pulang," ucapnya dengan lembut

.

Di sepanjang perjalanan, tatapan Hinata seolah takut terhadap sesuatu. Guru muda itu menggigit tetunjuk kanannya, dengan tremor yang sama sekali belum berkurang sedari awal.

Untuk orang biasa seharusnya ia sudah mampu mengendalikan perasaannya, sehingga dapat bersikap lebih tenang. Namun sepertinya ada sesuatu dalam diri Hinata yang membuat rasa takut itu tetap bersarang. Mungkinkah Hinata memiliki trauma di masa lalu?

"Kamu baik-baik saja kan, Sensei?" ucap Sasuke setelah sampai di depan rumah Hinata.

Hinata kembali diam saja. Ia tampak melepaskan sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya.

"Hinata-sensei?"

"Diam!"

Sasuke terkejut melihat Hinata justru membentaknya.

"Jangan berpura-pura baik padaku!" ucapnya ketus.

Sasuke masih bingung dengan semua ini. Mungkinkah ia berbuat salah di sepanjang perjalanan tadi? Namun bukankah mereka hanya diam saja?

Hinata keluar dari mobil dan membanting pintunya.

Blam

"... Hinata-sensei?"

Gadis itu lagi-lagi mengabaikan panggilan Sasuke. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah.

"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"

.

.

Setiap pagi, selepas menyuapi Sanada, Sasuke merapikan kembali seragam jagoan kecilnya itu. Dengan telaten dan penuh rasa sabar Sasuke merawat Sanada hingga sebesar sekarang. Sisa nasi di sudut bibirnya Sasuke seka menggunakan tisu. Setelah menalikan sepatu Sanada, Sasuke kemudian mengusap pelan pipi kanan putranya.

"Sudah siap untuk petualangan hari ini?"

Sang anak mengangguk semangat.

"Yosh! Kapten Uchiha Sasuke siap berlayar hari ini bersama Wakil Kapten Uchiha Sanada!" Sasuke berjongkok di depan Sanada. Secara spontan, Sanada naik ke punggungnya.

"Deng ... deng ... Kapal Uchiha siap berlayar ..."

Tawa renyah keluar dari mulut bocah tampan itu. Sanada terlihat begitu bahagia. Selain sabar, Sasuke harus pintar-pintar bertindak lebih aktif. Guru terbaik dari seorang anak adalah orang tua. Anak akan melakukan apa pun yang ia lihat dari tindakan orang tuanya.

Selama ini, orang tua anak berkebutuhan khusus tak jarang salah langkah dalam mendidik buah hatinya yang spesial. Membiarkan anaknya menonton televisi terlalu lama, mendengarkan radio seharian, dan tak aktif mengajaknya berkomunikasi. Hal ini sesungguhnya dapat menyebabkan sang anak semakin menutup diri dari lingkungan, atau anak jadi tak peduli lagi pada sekitarnya.

Turun dari punggungnya, Sasuke membiarkan Sanada sendiri yang membuka pintu mobilnya. Tak semua hal perlu ia bantu. Ia bukanlah tipikal orang tua yang memiliki pemikiran, "anakku berkebutuhan khusus, jadi setiap waktu aku harus membantunya". Pemikiran Sasuke lebih jauh dari itu. Ia telah sampai pada masa depan Sanada. Dengan melakukan sejumlah kebutuhannya secara mandiri, hal itu akan melatih kemandirian Sanada dalam hidup kedepannya nanti.

.

Setagaya Special Needs Education,

"Belajar yang rajin, oke? Nanti nilainya tunjukkan pada ayah."

Sanada mengangguk.

Tiap mengantar Sanada ke sekolah, Sasuke pasti mengantarnya sampai depan pintu kelas. Sasuke benar-benar memastikan apakah sang putra duduk pada tempatnya.

Kala ia sampai di sana, beberapa anak berkebutuhan khusus lain tampak sudah tiba lebih dulu. Ada yang masih ditunggu ibunya, sibuk pada dunianya sendiri, ada pula yang memilih diam menatap papan tulis.

Sasuke tersenyum. Sanada memiliki banyak teman di sini.

Sekolah ini terdiri dari tiga lantai. Bangunannya tak beda dari sekolah-sekolah pada umumnya. Di sini juga disediakan taman bermain. Pada halaman belakang, pula terdapat kolam ikan yang tentu didesain khusus bagi untuk anak-anak ini.

"Apakah Hinata sudah datang?"

Pikirannya tiba-tiba melambung pada pertanyaan itu. Ia masih kurang mengerti mengapa Hinata semalam justru seolah marah kepadanya.

Ia tak menuntut gadis itu berterimakasih, atau mengharap perempuan tersebut bakal menawarinya mampir.

Namun, rasanya tetap saja hampa jika ini semua belum benar-benar lurus.

"Uchiha-san?"

Terdengar suara seorang perempuan memanggilnya dari belakang.

Sasuke berbalik. Terlihat wanita paruh baya yang baru ia jumpai hari ini berjalan ke arahnya.

"Anda Uchiha-san?"

Sasuke mengangguk.

"Saya Shizune. Kepala sekolah ini. Terimakasih semalam sudah mengantar Hinata pulang."

Deg ...

"Hinata? Hinata-sensei?"

"Iya. Saya orang tua angkatnya. Terimakasih sudah menolong Hinata semalam. Omong-omong, apa kita bisa berbicara sebentar?"

.

.

.

Bersambung