.

Cursed Princess

.

Naruko disclaimer by Masashi Kishimoto

Based on Otome Game by Dicesuki

Warnings:

AU, OOC, dan mungkin Typo sedikit bertebaran.

-Probably, Sakura Centric-

.

Enjoy it~

.

Sakura merebahkan diri dengan lengan kanan yang menutupi matanya. Hebusan napas lelahnya terdengar kasar. Seharian mengitari kota demi mencari sang putri pengganti, Temari, yang kabur setelah mendengar keputusan Sang Ayah yang ingin menjodohkan dirinya benar-benar melelahkan dan... merepotkan.

Ayolah... dia datang kemari demi sebuah misi, bukan sebagai baby sitter sang Tuan Puteri. Tapi nampaknya, hari-harinya akan benar-benar merepotkan dan menyusahkan mengingat statusnya saat ini, pelayan pribadi.

"Nee ... Sakura-chan, Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisiku? Apa yang akan kau lakukan jika tiba-tiba harus menikahi seseorang yang bakal kau tidak kenal? Aku ... sama sekali tidak berharap untuk menjadi seorang Putri mahkota."

Emerald yang tadi tersembunyi dibalik lengan itu perlahan menampakan diri. Sakura menatap kosong langit-langit kamarnya. Ucapan Temari pagi tadi kembali melintasi benaknya.

"Apa yang akan aku lakukan?" gumamnya lirih.

Sakura kembali memejamkan matanya. Pikiran kini terisi dengan pertanyaannya tadi.

Apa yang akan dia lakukan?

Apa yang ingin dia lakukan?

Entahlah. Sakura sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan karena, Ayahnya tidak pernah membahas perihal pesta dansa guna mencari calon mempelai pria selama dia masih menjadi anak Ayahnya.

Anak Ayah, kah?

Senyuman miring tercetak di wajah Sakura. Bahkan, selama tujuh belas tahun masa hidupnya, ayahnya tidak pernah memberikan perhatian lebih kepadanya.

"Mebuki, Ibumu, adalah seorang penyihir ...

Dia membunuh kakekmu ...

Memaksa Sang raja untuk menikah dengannya dan memisahkan Sang Raja dari wanita yang ia cintai ...

Wanita itu adalah ..."

"CUKUP!" Jerit frustasi Sakura ketika bayang-bayang ucapan Tsunade dan Shizune menghantui pikirannya.

Gadis itu beringsut bangun dari posisinya dan kini tengah terduduk di sudut ruangan dengan wajah yang dibenamkan pada kedua lututnya, sebuah kebiasaan ketika dirinya tengah bersedih.

Sakura tidak pernah mengerti. Apa salah dirinya? Kenapa semua orang membencinya? Kenapa harus dia? Dia sama sekali tidak pernah mengharapkan untuk terlahir seperti ini.

Seandainya dia bisa memilih, Sakura tidak pernah berharap terlahir di dunia yang membencinya.

"Aku peduli ... aku ... aku menyanyangimu, Sakura."

Tubuh Sakura tersentak kaget ketika sebuah suara masuk ke dalam benaknya.

"Sa ... Sasuke?" lirihnya seraya mencari-cari sosok tersebut di sekitar ruangannya.

Namun, nihil.

Seketika, senyum Sakura terukir tipis. Mood-nya yang semula buruk kini perlahan membaik ketika mendengar suara Sasuke yang ia yakini berasal dari dalam ingatannya. Dan berkat suara itu, Sakura kini kembali mengingat tujuannya datang ke Istana ini.

"Sekarang bukan waktunya untuk bermalas-malasan ... Sakura." Ucapnya menyemati diri.

.

.

.

Sakura berjalan mengendap-ngendap dengan langkah sepelan mungkin di koridor Istana. Satu tujuannya saat ini, Perpustakaan. Gadis musim semi itu ingat jika ibunya dulu memiliki meja pribadi di pojok kirinya. Jika meja tersebut belum dipindahkan atau dibuang, mungkin saja Ibunya menyimpan Tinkebell dan Neverland di sana.

Langkah kaki Sakura terhenti ketika melihat dua orang pengawal di kejauhan yang berjalan menuju dirinya. Gadis itu mendadak panik.

Sakura baru akan menyembunyikan dirinya ketika lengannya ditarik seseorang dibalik kegelepan. Dia hendak berteriak saat sosok itu dengan cepat mendekap mulutnya.

"Ssttt." Bisik orang tersebut yang tidak dipedulikan oleh Sakura yang kini berusaha memberontak saat sosok itu menggenggam erat pergelangan tangannya.

"Jangan berisik atau mereka akan menemukan kita." Bisiknya pelan.

Tubuh Sakura seketika menegang. Suara berat nan dingin di belakangnya saat ini diliputi aura dingin yang menusuk, Sakura hanya mengingat satu orang yang memilikinya.

"Gaara?" bisiknya pelan.

"Hn."

Keduanya terdiam ketika mendengar langkah kaki yang semakin keras. Dan ketika kedua pengawal tersebut telah melewati tempat persembunyian mereka, Gaara melepaskan dekapannya.

Sakura segera menghembuskan napas lega sebelum maniknya menatap sosok pemuda bersurai merah di belakangnya.

"Apa yang kau-."

Ucapan Sakura terputus ketika Gaara kembali menarik lengannya dalam diam. Pemuda itu segera menyeret Sakura untuk mengikutinya dan tidak mengindahkan segala ucapan dan pertanyaan dari gadis musim semi yang tengah memberontak di belakangnya.

Pemuda bertato 'Ai' itu membawa Sakura menuju sebuah terowongan rahasia dan pergi keluar dari Istana melalui jalan rahasia yang tersembunyi di belakang Istana.

.

.

.

Gaara membuka kasar pintu kedai tersebut dan segera menuju ruang resepsionis guna mencari Lady Tsunade. Genggaman tangannya semakin mengerat seiring dengan Sakura yang terus memberontak sedari tadi. Dan begitu mereka masuk ke dalam ruangan tersebut, Gaara langsung menghepaskan tubuh Sakura kasar ke atas sofa.

"Aduh!" Sakura meringis pelan.

Manik emerald itu menatap tajam jade yang kini juga tengah memandangnya dingin.

"Apa-Apaan kau!" protesnya kesal bercampur marah.

Gaara tetap acuh. Sebaliknya, pemuda itu balik bertanya, "Apa maumu?"

"Hah?"

"Apa yang kau inginkan dari kami? Sudah kubilang, bukan? Menjauhlah dari kehidupan keluargaku yang baru." Lanjutnya datar nan menusuk.

Sakura terdiam sejenak. Kedua tangan gadis itu mengepal kuat hingga kuku-kukunya memutih. Jadi, sedari tadi pemuda itu menyeretnya kemari dan menatapnya penuh kebencian sedari pagi karena hal ini?

Dalam hati, gadis musim semi itu berdecih.

"Apa yang aku lakukan di sana semua bukan urusanmu!" jawabnya sengit.

Cukup. Sakura sudah cukup bersabar hari ini. Dia benci ketika pemuda yang notabenenya adalah saudara tirinya tersebut bersikap seakan penguasa ketika dirinya yang asli adalah Putri Mahkota yang sesungguhnya.

"Kau-."

Ucapan sengit Gaara terpotong ketika Sakura kembali berbicara.

"Jika, kau memang takut aku menghancurkan kebahagiaan kalian, sebaiknya kau tenang saja. Aku kembali bukan untuk menemui kalian. Aku kembali ke sana untuk Sasuke. Aku akan menyelamatkan Sasuke dari kutukannya!" tegas gadis itu.

Gaara tersentak kaget ketika melihat kilat ketegasan di kedua manik gadis tersebut. Tidak ada kebohongan di dalamnya. Dan yang terpenting, sinar tegas itu bukanlah sinar mata lama yang gadis itu miliki.

Sakura ... telah berubah.

Kriiet ...

Sakura dan Gaara tersentak kaget ketika melihat Shizune yang muncul dari balik pintu.

"Ara ... Apa aku datang di waktu yang tidak tepat atau malah sebaliknya?" sindir sang penyihir dengan senyuman miringnya.

"Dimana Lady Tsunade?" Gaara balik bertanya seraya mengacuhkan sindiran dari Sang penyihir.

Senyuman Shizune memudar dan kini menatap Gaara datar.

"Lady Tsunade tengah pergi kepertemuan para peri." Jawabnya.

"Lagi!"

Sakura sontak berdiri dari duduknya dan menghampiri Shizune.

"Kau tahu Hime, Kondisi kedua kristal semakin memburuk saat ini. Lady Tsunade sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan keduanya." Jelas Shizune.

"Tapi ...," tangan kanan Shizune terangkat menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Sakura yang kini terlihat sangat khawatir. "Kau tenang saja, Sakura. Aku yakin semua akan baik-baik saja.' Hiburnya.

Sakura mengangguk paham.

Semenjak rahasia tentang Ibunya terungkap, Sakura dan Tsunade menjadi semakin dekat. Tsunade adalah orang kedua yang Sakura percayai setelah Sasuke. Karena itulah, setiap melihat kondisi Tsunade yang semakin memburuk membuat Sakura merasa dirinya tidak berguna untuk membantu mereka.

"Nah, Apa yang kau butuhkan saat ini, Pangeran Gaara?" manik Shizune kini bergulir menatap Gaara yang diam di belakang mereka.

Gaara menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu kepada Lady Tsunade." Dustanya.

Shizune menaikan sebelah alisnya. Senyuman miring kembali tercetak di wajahnya. Pangeran muda kerajaan Emerlys tersebut tidak pandai berbohong.

"Baiklah ... Aku akan mengatakan pada Lady Tsunade bahwa anda mencarinya ketika beliau pulang nanti." Ucapnya.

Gaara membungkuk pelan seraya kembali menarik kembali pergelangan tangan Sakura.

"Kita pulang." Titahnya tanpa mengindahkan protesan gadis itu.

"Tunggu!" cegah Shizune hingga membuat keduanya menatap aneh.

"Aku akan ikut kalian ke Istana." Lanjutnya yang dihadiahi pelototan tajam dari Gaara.

.

.

.

Paginya, Sakura berjalan mengendap-endap menuju kamar lamanya. Gadis itu berdiri kaku di depan sebuah pintu besar, tepatnya ruangan yang dulu pernah menjadi kamar pribadinya. Kebimbangan melingkupi dirinya. Rasa berat untuk membuka pintu itu kian nyata. Kira-kira, siapakah yang menempati ruangan itu sekarang? Apakahnya Ayahnya menjadi kamar miliknya sebagai kamar Temari? Atau mungkin kamar itu telah beralih fungsi?

Entahlah, Sakura sendiri enggan memikirkannya lebih jauh.

"Kenapa, Kau takut?"

Suara Shizune dari balik saku pakaian pelayannya memecahkan lamunan Sakura. Dengan pelan, tangan gadis itu terulur menuju kenop pintu. Perasaan gadis itu kian memberat.

"Ayolah, Sakura! Kau hanya perlu mengintip sebentar, meninggalkan Shizune di dalam lalu, pergi secepat mungkin dari sini." Gumamnya pada diri sendiri.

Dalam satu tarikan napas dengan manik yang terpejam, dia membuka pintu tersebut dan mengintip sedikit ke dalam.

Kosong.

Dengan cepat dia melangkah masuk dan menutup pintunya secara perlahan. Manik gadis itu berkaca-kaca.

Kamar pribadinya ... tidak berubah!

"Apa ini?" gumamnya tidak percaya.

Tatanan kamar tersebut sama sekali tidak berubah. Boneka-boneka miliknya tetap tersusun rapi di tempatnya namun, ada satu yang menarik perhatian Sakura. Sebuah boneka beruang kecil berwarna biru cerah yang turut terpajang di rak bonekanya.

"Aku tidak ingat kalau aku memiliki boneka ini?" tanyanya.

Tangan kecilnya tergerak dengan mata yang menelisik boneka tersebut.

"Mungkin kau melupakannya, Sakura?" balas Shizune yang kini telah kembali ke wujud manusianya.

"Tidak mungkin!" sanggah cepat gadis itu.

"Aku sangat yakin ini bukan milikku, sebab aku selalu menamai boneka-bonekaku." Terangnya.

"Eh ... tipikal gadis yang kesepian." Canda Shizune dengan kekehan kecilnya.

Sakura mendelik tajam. Baru saja gadis itu hendak kembali protes, bunyi kenop pintu yang terbuka membuat keduanya tersentak kaget. Sakura segera mengembalikan boneka tersebut ke tempatnya, dan Shizune kembali ke wujud bonekanya.

"Sakura? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Temari yang muncul dari balik pintu.

"Temari-hime? Maaf, saya tadi salah masuk ruangan." Dustanya dengan harapan Temari akan mempercayai alasannya.

"Hehehe ...," Temari terkekeh pelan, "Sudah kuduga! Kau tahu, Istana ini sangat luas. Aku bahkan masih sering tersesat di sini." Lanjutnya masih dengan senyuman lebar.

Sakura mengangguk kikuk. Syukurlah, Temari mempercayai alasannya.

"Kau menyukai boneka, Sakura?" tanya Temari.

Gadis itu melangkah menuju rak boneka itu dan mengambil boneka beruang yang baru saja Sakura kembalikan tadi.

"Saya menyukai mereka. Mereka tidak pernah mengkhianati manusia." Jawab Sakura datar.

"Kau juga berpikir begitu?" balas Temari tak percaya dan dijawab dengan anggukan singkat gadis merah muda tersebut.

"Aku juga sama. Tapi, aku juga tidak terlalu menyukai mereka." Jelasnya.

Keduanya terdiam sejenak. Temari masih sibuk dengan pikirannya dan Sakura yang nampak enggan memulai percakapan dengan gadis pirang itu mengingat ucapan Gaara semalam.

"Kau tahu, aku dulu pernah ingin memberikan hadiah kepada seseorang. Tetapi, saat aku ingin memberikannya, aku lupa siapa orang yang ingin kuberi hadiah itu. Yang kuingat adalah wajah dingin dan datarnya. Namun, aku tahu kalau dia adalah orang yang baik."

Temari menatap Sakura dengan senyuman lembutnya.

"Aku ingin sekali menjadi temannya. Tapi ... aku sama sekali tidak ingat siapa orang tersebut. Apakah aku orang yang jahat, Sakura?" tanyanya tiba-tiba.

Sakura yang tersentak kaget sontak menggelengkan kepalanya cepat.

"Saya rasa tidak, Hime-sama. Melupakan seseorang yang baru pertama kali anda temui terlebih lagi dia memiliki sifat yang dingin itu wajar." Jawabnya sendu.

Ya, orang sepertinya memang harus dilupakan.

'Akan lebih baik jika aku tidak pernah terlahir.'

Sisi terkelam dalam dirinya berbicara dengan seringai kemenangan.

"Kau harusnya tidak berbicara seperti itu, Sakura-chan. Tidak ada manusia yang ingin dilupakan. Aku merasa memang semua salahku. Aku terkadang berpikir, apakah orang tersebut merasa kesepian? Nee ... menurutmu bagaimana?" Temari kembali bertanya dengan netra yang menatap langsung emerald redup tersebut.

"Saya juga tidak tahu, Hime-san." Dustanya.

Bohong! Jelas gadis itu berbohong. Tetapi, Sakura benar-benar tidak ingin mengakui bahwa dirinya yang dulu sangat merasa kesepian.

Sakura berharap, Temari tidak akan melanjutkan percakapan mereka sekarang. Dia benar-benar membenci topik ini.

"Gawat!"

Temari tersentak kaget dan bergerak cepat mengembalikan boneka tersebut.

"Ayah akan marah jika tahu kita masuk ke ruangan ini tanpa izin, Sakura!" serunya yang dihadiahi tatapan heran dari Sakura.

"Beliau bilang, kamar ini adalah tempat berharga baginya. Tidak ada yang boleh masuk ke sini tanpa izin kecuali pelayan yang diperintahkan untuk membersihkan ruangan ini tanpa menyentuh barang-barang di dalamnya."

Sakura tersentak kaget mendengar penjelasan Temari. Gadis itu masih menolak untuk mempercayai pendengarannya tadi. Setitik harapan agar Sang Ayah tidak melupakan dirinya kini bersinar di hati gadis cherry bloossom itu.

Bolehkah dia berharap agar Ayahnya menyanyanginya?

.

.

.

Gadis berhelaian merah muda itu masih berusaha mengatur napasnya. Setelah tadi dia ditarik Temari dengan buru-buru meninggalkan ruangan pribadinya dulu, membantu Sang Ratu memilah perlengkapan pesta dansa Temari yang akan berjalan beberapa minggu lagi dan kini, dia tengah berdiri dengan sekotak penuh peralatan dekorasi untuk pesta tersebut.

Dalam hati, gadis itu mengumpat kesal kepada Temari yang tidak membawa pelayan pria untuk mengangkut benda-benda berat tersebut.

Dan kini, gadis pirang itu asyik bercengkrama dengan sahabat cokelatnya, Matsuri, tanpa melihat peluh dan wajah pucatnya.

Tubuh gadis itu hampir jatuh menghantam tanah, jika saja tidak ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya guna menahan bobot gadis itu beserta kotak perlengkapan ditangannya.

"Kau baik-baik saja?" tanya suara berat tepat di telinga kirinya.

Manik emerald Sakura kini bergulir menatap jade di sampingnya yang nampak khawatir. Untuk beberapa saat gadis itu terdiam, ketika rasa pusing kembali menghantam kepalanya.

Tanpa Sakura sadari, kotak di tangannya kini telah beralih kepada si pemuda merah dan dengan perlahan, Gaara menurunkan kotak tersebut ke tanah dengan tangan lainnya yang masih setia menyangga tubuh gadis pink itu.

"Sakura! Kau baik-baik saja?" tanya Temari panik.

Gadis pirang itu berlari kecil mendekati Sakura dan Gaara diikuti Matsuri dibelakangnya.

Menyadari kehadiran sang Kakak beserta gadis bersurai cokelat di belakangnya, sontak Gaara mendorong tubuh Sakura hingga gadis itu terduduk di tanah.

"Ketahui batas kemampuanmu, Sakura." Ucapnya dingin.

Sakura mendelik tajam mendengarnya. Ingin rasanya gadis itu mencabik-cabik mulut si panda merah di depannya. Tapi gadis itu lebih memilih diam daripada menambah satu masalah baru untuknya.

"Semua bukan salah Sakura, Gaara. Aku yang memintanya untuk membawa barang-barang tersebut, padahal aku sudah tahu kalau semuanya berat." Matsuri mencoba memberi pembelaan terhadap Sakura.

"Tidak, Semua salahku! Harusnya aku meminta pelayan pria dan bukan Sakura. Maaf aku egois, Sakura." Timpal Temari.

Gaara memandang dingin keduanya. Pemuda merah itu tetap diam dan mengangkat kotak yang tadi dibawa oleh Sakura.

"Gaara?" cicit Temari takut-takut.

"Ayo, kita harus meminta pelayan untuk mengangkat semua barang-barang itu." Ucapnya seraya melangkah pergi. "Kau juga, Sakura." Lanjutnya dengan tetap melangkah maju dan mengabaikan keberadaan Matsuri.

Temari tersenyum cerah dan mengikuti langkah Gaara diiringi Sakura dan Matsuri di belakang gadis itu. Tapi sebelumnya, Sakura dapat melihat kilat kesedihan dari gadis yang berjalan beriringan dengannya, saat manik gadis itu menatap punggung Sang Pangeran muda itu.

.

.

.

"Gaara! Tunggu, Gaara!"

Sakura berteriak-teriak kecil memanggil sang pangeran merah yang kini berjalan cepat di depannya. Gadis itu mendapat waktu untuk beristirahat dan ingin memanfaatkannya untuk mencari informasi tentang benda yang dapat melepaskan kutukan Sasuke. Dan satu-satunya orang yang Sakura yakini tepat untuk ditanyai hanyalah pemuda merah tersebut.

"Gaa-."

"Bisakah kau diam?"

Gaara menatap tajam ke arah Sakura.

"Aku berteriak karena kau tidak mau mendengarkanku." Balas sengit gadis itu.

"Kau tahu bahwa aku-."

"Aku tahu! Kau tidak ingin terlibat denganku dan tidak ingin membantuku." Potong cepat Sakura sebelum Gaara sempat menyelesaikan kalimatnya.

Kedua tangan gadis itu terkepal erat disisi tubuhnya. Napasnya sedikit memburu karena masih terlalu lelah dan dia mengabaikan rasa sakit yang menyergap kepalanya sekarang.

"Tapi, kumohon! aku berjanji akan menjauh dari kehidupan kalian! Karena itu ... karena itu, kumohon bantu aku! Hanya kau yang mengetahui identitas asliku." tegasnya.

Manik emerald Sakura tetap berkilat tajam penuh ketegasan. Tekadnya sudah bulat. Dia akan melakukan apapun supaya dapat membantu Sasuke dan Lady Tsunade. Walaupun, itu berarti dia harus menurunkan ego dan kebanggaan dirinya di depan Sang pangeran merah itu. Akan tetapi, Gaara berusaha mengabaikan tekad gadis merah muda itu.

Jade-nya melirik sekilas liontin yang melingkar di leher gadis tersebut.

'dia sudah mendapatkan satu, kah?' batinnya tak percaya.

Menggelengkan kepalanya, Gaara berujar tegas, "Aku tidak akan membantumu! Walaupun semua orang percaya bahwa kau dapat berubah, bukan berarti aku juga mempercayainya. Jujurnya, aku hanya menghormati keputusan Lady Tsunade."

Gaara kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti dan meninggalkan Sakura yang masih terdiam dengan tatapan terkejut dan putus asanya. Dalam benaknya, pemuda itu merasa bersalah terhadap gadis merah muda itu, tetapi sisi lainnya tetap mengingatkan akan bahayanya keberadaan gadis itu terhadap keluarganya.

Gaara, harus menjauh dari Putri mahkota Emeryls yang sesungguhnya.

.

.

.

Malam ini, Sakura kembali berjalan dengan langkah sepelan mungkin menuju perpustakaan Istana. Setelah malam kemarin rencanya gagal akibat kehadiran Gaara yang tiba-tiba, saat ini dia kembali ingin memeriksa tempat tersebut.

Ide Shizune yang menjadikannya pelayan sama sekali tidak berguna sebab dia tidak bisa bergerak leluasa di siang hari.

Dan ...

Akhirnya Sakura dapat memasuki ruangan besar tersebut tanpa diketahui siapa-siapa. Untunglah Shizune telah memasang matra agar pintu tersebut tidak dapat terkunci. Jadinya, gadis itu mampu memasuki ruangan tersebut tanpa harus bersusah payah.

Setelah memutari setiap sudut ruangan tersebut, manik emerald Sakura berkilat kecewa. meja yang dia cari-cari sudah tidak ada pada tempatnya. Tentu saja, Ayahnya pasti segera menyingkarkan benda-benda yang berhubungan dengan ibunya.

Sakura mendesah kecewa.

"Kau tahu, menghela napas dapat mengurangi keberuntunganmu, Hime-sama."

Manik Sakura membeliak kaget.

Shin, pria yang dulu mengincar dirinya dan melukai Sasuke kini berdiri beberapa langkah di depannya.

"Kenapa dengan tatapan wajahmu yang mengerikan itu, Hime-sama. Tenanglah, aku tidak akan melukaimu karena kau telah memilih kembali ke Istana."

Sakura tetap diam. Gadis itu tengah memikirkan cara agar dia dapat menghindari pria menyeramkan di depannya.

Dengan sisa tenaganya, Sakura berlari menerjang tubuh Shin dan berusaha keluar dari ruang itu. Shin sendiri nampak tidak mencegahnya dan memberikan jalan bagi gadis merah muda itu untuk keluar dari ruangan tersebut. Dan tepat saat mereka bertatapan, Sakura dapat melihat seringai serigala dibalik topeng pria tersebut.

.

.

Sakura tetap berlari melewati koridor-koridor Istana yang terhubung menuju kamar miliknya. Sesekali, emerald itu akan melirik ke belakang sambil berharap agar Shin tidak mengejarnya. Tanpa Sakura sadari, dari arah yang berlawanan Gaara juga tengah berjalan cepat ke arahnya dengan Jade yang mengedar ke segala arah dengan tatapan gelisah.

Bruuk ...

Tubuh keduanya bertabrakan tanpa bisa dihindari. Untunglah Gaara dengan sigap menahan tubuhnya dan tubuh gadis itu agar tidak terjatuh.

"Sakura?"

Jade itu memadang khawatir sosok Sakura yang terlihat pucat dalam dekapannya.

"Gaa-ra?"

Dan manik hijau Gaara semakin melebar ketika tubuh Sakura tidak bergerak dalam dekapannya.

.

.

t.b.c

.

.

Wuaaaah ... Yuki tahu kalau ini ngaret banget...

Maaf baru bisa update ... karena kesibukan duta yang luar biasa padet #bungkukmaaf

dan ...

Terima kasih buat semua yang telah memberikan dukungan terhadap cerita Yuki.

Yuki akan usahain namatin cerita ini secepatnya ^^

Jadi, ditunggu tanggapan dan saran di chapter ini ya ...

Terima kasih semua ^^