~EIEN NO NOROI~

Disclamer by Masashi Kishimoto

Rating : M for adegan mutilasi dan penuh darah

Warning : Sho-ai, OOC, abal, geje, typo berteberan, alur kecepetan

Cerita ini terinspirasi dari sebuah karya milik Douglas Preston dan Lincoln Child, mungkin terlalu mirip untuk disebut terinspirasi

Summary : Konoha tahun 2016. Agen FBI dan Seorang Arkeolog terlibat dalam penyelidikan tiga puluh tulang-belulang korban mutilasi yang ditemukan di trowongan kuno abad ke-19. Selagi penyelidikan dilakukan serangkaian pembunuhan baru terjadi.

Chapter 1 : Bonzu

Konoha tidak seperti kota-kota di jepang pada umumnya, bangunan di konoha umumnya bergaya arsitektur khas Amerika. Tahun 1700, terjadi kebakaran besar yang menghanguskan lebih dari 2000 hektar lahan dan menyebabkan seluruh penduduk kota kehilangan tempat tinggal, setahun kemudian seorang arsitek asal Amerika menyulap suasana kota dari puing kebakaran menjadi kota dengan keindahan arsitektur yang menawan.

Dari jendela kantornya di lantai 5 Museum Sejarah Alam Konoha, Kakashi Hatake memandang keluar kearah bangunan-bangunan yang diterpa cahaya musim gugur. Pemandangan indah yang jarang sekali ia saksikan. Namun itu semua tidak juga memperbaiki suasana hatinya.

FLASHBACK

"Dr. Hatake." sapa Tsunade, memamerkan deretan gigi yang sempurna. "Silahkan duduk."

Kakashi dengan hati-hati mendudukan diri di sebuah kursi bewarna abu gelap yang terbuat dari kulit dan kayu.

"Bagaimana urusan dengan tulang-belulang?" tanya Tsunade.

"Sangat bagus, tidak ada masalah. Tapi, ada satu masalah kecil yang ingin saya bicarakan dengan anda."

"Bagus, bagus. Saya juga perlu bicara dengan Anda."

"Tsunade-sama.." Kakashi angkat bicara, "saya..."

Namun Tsunade menghentikan ucapan sang arkeolog dengan mengangkat tangan. "Saya tahu kenapa anda ke sini. Anda butuh uang kan?"

Kakashi mengangguk. "Saya tidak bisa menyelesaikan penelitian dengan dana yang beku."

Tsunade menutup matanya kemudian memutar kursinya sedikit. "Berapa dana yang dibutuhkan?" Wakil Presiden Museum itu membuka kembali matanya.

"Dengan sepuluh ribu dolar saya bisa mengirim semua sampel untuk menjalani serangkaian penelitian di Universitas Tokyo, mereka memiliki semua peralatan yang saya butuhkan."

"Sepuluh ribu dolar untuk enam puluh sampel."

"Ya. Saya tidak meminta peningkatan anggaran secara permanen. Saya hanya membutuhkan sekali ini saja."

"Sepuluh ribu dolar" ulang wanita berusia 50 tahun itu secara perlahan seolah sedang menimbang-nimbang. "Kalau dipikir-pikir memang tidak terlalu besar. Bukan begitu Dr. Hatake?"

"Betul"

"Ah.. sungguh kebetulan."

"Kebetulan?" Kakashi tiba-tiba merasa tidak nyaman.

"Kebatulan jumlah itulah yang akan dipotong dari anggaran anda tahun depan."

FLASBACK END

Kakashi mengalihkan pandangannya dari jendela , mata heterokrom miliknya kini menyapu seluruh ruangan kantor. Pikirannya kalut, sebelumnya ia sudah bersumpah bahwa ia takkan meninggalkan ruangan Tsunade dengan tangan hampa. Bagaimanapun juga dia butuh lebih banyak uang untuk menyelesaikan penelitian barunya mengenai hubungan Anasazy dan Aztec di Amerika Utara. Tapi sekarang, kondisinya bahkan lebih buruk daripada sebelumnya.

Haruskah ia menemui Tobirama, direktur Museum? Tidak, langkah itu pasti akan membuat Tsunade kesal. Kalau sudah begitu, apalagi yang bisa dilakukannya? Ia tidak mau kehilangan pekerjaan ini. Jika itu terjadi... Pria bersurai perak itu menggeleng, dia beranjak dari kantornya. Mungkin dengan bantuan secangkir kopi dia bisa sedikit lebih tenang.

Lima belas menit kemudian, meski secangkir kopi hangat sudah ia dapatkan tapi tak ada yang berubah pada suasana hatinya. Dengan perlahan Kakashi menaiki anak tangga menuju lantai lima. Ia berhenti di koridor. Ada yang aneh disini, pintu kantornya terbuka. Seingatnya, tadi dia menutup rapat pintu itu. Dengan was-was ia melongok ke dalam. Bertapa terkejutnya ia melihat seorang pria asing berdiri didepan jendela. Pria itu mengenakan setelan jas bewarna hitam gelap, dengan potongan yang sangat sederhana. Kulitnya putih dengan rambut yang tak kalah hitam dari warna jas yang ia kenakan.

"Maaf, apa yang anda lakukan di kantor saya?" tanya Kakashi.

"Langsung ke intinya saja , bisakah saya mengganggu anda dalam masalah kecil saya?".

"Hah?" Kakashi menaikan sebelah alisnya.

"Hanya sebentar."

Kakashi menghela nafas, dia baru saja mengalami hari paling berat dalam hidupnya dan sekarang orang asing tiba-taba masuk ke kantornya lalu meminta bantuan. Seperti tidak ada lagi manusia di dunia ini yang bisa dimintai tolong.

Berjalan menuju mejanya, Kakashi menaruh gelas kopi yang bahkan belum sempat ia minum. Sesaat kemudian ia berbalik menatap orang asing dihadapannya yang langsung menyodorkan sebuah tengkorak kecil bewarna coklat.

Iris beda warna Kakashi menatap tengkorak itu."Sebelumnya saya harus tau, siapa anda?" Kini pandangannya beralih, ia memperhatikan pria itu dengan lebih seksama. Usianya mungkin awal 30-an, tinggi sekitar 182cm—lebih tinggi 1cm dari Kakashi, mata hitam kelam namun memiliki tatapan yang tajam, hidung mancung dan memiliki rahang yang kokoh. Tampan, hanya itu kata yang cocok untuknya.

"Agen Khusus FBI, Obito." Katanya dengan nada tegas namun halus.

"Ahh..."

Seolah mengerti bahwa sang arkeolog belum percaya padanya. Obito mengeluarkan kartu identitasnya. Kakashi memperhatikannya dengan seksama, ia melirik kebawah namun kartu identitas itu sudah terlipat dan tersimpan kembali di saku jas sang pemilik.

"Baiklah aku percaya."

"Jadi , apa anda akan membantu saya?" tanya Obito.

"Kakashi saja, harus aku akui FBI itu sedikit- err menakutkan. Tapi kau bukan atasanku jadi tidak perlu bersikap formal."

Obito tersenyum. "Baiklah Kakashi, sebenarnya aku juga kurang suka sikap formal yang berlebihan. Ngomong-ngomong aku bukan harimau, jadi tidak usah takut." Ia kembali menyodorkan tengkorak kecil tadi.

"Hah lucu sekali Obito-san." Kakashi mengambil tengkorak itu. Dengan rasa penasaran, ia membalikannya secara hati-hati. "Tapi tulang-belulang bukan keahlianku lagi pula bukannya FBI memiliki ahli forensik untuk urusan semacam ini."

Obito hanya tersenyum. Ia berjalan menuju pintu, menutup dan menguncinya. Lalu pria itu kembali ke meja Kakashi. Ia mengangkat gagang telepon dan meletakannya di meja. "Bisakah kita bicara tanpa gangguan?"

"Ya terserah." Bagi Kakashi, pria dihadapannya ini benar-benar menyebalkan. Pertama pria itu dengan seenaknya masuk ke kantornya, kedua dengan tiba-tiba meminta bantuan darinya, ketiga menyodorkan tengkorak yang jelas-jelas bukan keahliannya, dan keempat seenaknya mengunci kantornya seolah-olah Kakashi lah tamu disini.

"Terlepas dari bidang keahlianmu. Kakashi, aku ingin mendengar pendapatmu mengenai tengkorak itu."

Kakashi berpikir sejenak. Dia memang bukan tipe orang yang tidak mau membagi ilmunya pada orang lain, tapi haruskah ia berbicara pada pria ini? "Hmm, menurutku anak ini menjalani kehidupan yang sangat menyedihkan."

"Anak?" Obito mengangkat sebelah alisnya.

"Ya. Gigi graham baru saja muncul. Berarti dia berusia sekitar 12-13 tahun, kurang lebih. Menurutku dia berjenis kelamin perempuan, dilihat dari tepian dagu yang sempit. Tengkorak ini jelas sudah berusia tua, tapi pembusukan seperti ini tidak akan kau temukan di masa prasejarah. Mungkin sekitar 80-100 tahun yang lalu. Penelitian mengenai Anasazy jelas lebih baik." Ucapan terakhir mengingatkannya pada kejadian diruangan Tsunade yang jelas-jelas tidak mengenakan.

Obito menunggu. Kakashi tau bahwa pria itu menginginkan lebih banyak. Ia berpindah menuju jendela untuk melihat tengkorak itu lebih teliti. Mata Kakashi menyipit.

"Ada apa?" Obito berjalan mendekati Kakashi.

"Goresan ini..." Kakashi mengambil kaca pembesar didalam saku celananya dan memasang kaca itu didepan matanya. "Goresan di dasar tulang occipital ini..." Obito menunggu.

"Tidak salah lagi, goresan ini dibuat oleh pisau. Solah-olah seseorang mengangkat jaringan."

"Jaringan apa?"

"Tanda seperti ini biasanya diakibatkan oleh pisau bedah. Anak ini telah diautopsi. Tanda ini tercipta saat membuka sumsum tulang bagian belakang atau mungkin sumsum sambung." Kakashi meletakan tengkorak itu diatas meja. "Sudah selesai?" Ia menatap Obito. Dia ingin segera mengakhiri hal konyol ini. Lagi pula Kakashi masih punya sesuatu untuk dikerjakan atau mungkin diperjuangkan.

"Baikalah, selanjutnya ikut aku ke pusat kota." Ucap Obito santai.

Kakashi habis kesabaran sekarang, "Pusat kota? Untuk apa?" Tapi ia mencoba bertanya setenang mungkin.

"Sebuah situs menarik telah ditemukan disana."

Kakashi menggelengkan kepalanya "Lalu? Kenapa aku?"

Obito berjalan menuju pintu lalu memutar kunci yang tergantung disana. "Kau memiliki pengalaman di situs-situs semacam ini."

"Situs macam apa?"

"Kuburan tulang-belulang."

-TBC-

-Anasazy dan Aztec : Peradaban kuno di Amerika Utara

-Occipital : bagian otak paling belakang berhubungan dengan rangsangan visual.

Author hanya newbie yang mengharapkan kritik dan saran.

Thanks to : Aoi-senpai