Dalam ruangan kecil itu, aku menemukanmu

Terbalut lembutnya matahari, jemarimu menari di atas mesin-mesin itu

Menguarkan aroma memabukkan, membuat jantungku tak bisa diam

Lalu, saat kau selesai menciptakan mahakaryamu, kilat emasmu selalu berusaha mencariku

Dengan suara beratmu, kau mengundangku

Ke dalam dunia yang hanya kau ciptakan untukku


.

.

.

Sunshine

A Project K fanfiction by Meongaum!
Project K © GoRa & GoHand

For MikoRei day 1: Tulip – Fascination

Warning: OOC, Bahasa Gaul, Coffee Shop AU

.

.

.


"Selamat datang."

Suara berat itu menyapanya lagi. Dengan tatapan yang sama, gestur yang sama.

"Pesan apa?"

"Seperti biasa."

Pria di depannya mengangguk. Ah, gerak yang sama, pikirnya. Gerak yang tak akan membuatnya bosan melihatnya berkali-kali.

Mengunjungi kedai kopi ini memang sudah menjadi rutinitas seorang Munakata Reishi. Memiliki profesi sebagai penulis membuat dirinya tak boleh kehabisan imajinasi. Melakukan penelitian, membuat kerangka ceritanya, lalu mulai menulis adalah keseharian yang melekat pada dirinya. Karena itu, mengunjungi kedai kopi ini adalah bagian dari liburannya; menemukan fatamorgana di tengah gersang pikirannya.

Reishi memilih kedai kopi ini bukan tanpa alasan. Suasana kedai yang tenang serta pencahayaan alami yang memperindah interior kedai membuat Reishi jatuh cinta pada kedai itu pada pandangan pertama. Lalu barista berambut merah yang selalu menangkap perhatiannya.

Kontras. Itulah yang Reishi pikirkan saat pertama kali melihatnya. Merahnya seakan menyala di antara warna putih dan kuning yang mendominasi kedai itu. namun tatapannya lembut dan tegas seperti sinar matahari yang menyusup dari jendela kedai. Menerangi si rambut merah saat sedang meracik kopinya.

"Café Mocha-nya silakan."

Perhatian Reishi teralihkan sejenak. Aroma kopi dan cokelat yang menyapa indranya membuatnya berhenti. Terlihat tangan kekar itu yang mengantarkan kopinya.

"Kamu... kenapa malah mengantar pesanan pelanggan?"

"Gabut."

Si surai merah itu membalas malas. Reishi tertawa pelan lalu membalasnya.

"Terima kasih karena sudah mau mengantarkan pesananku."

Pria itu hanya mendengus lalu kembali ke konter lalu menenggelamkan mukanya di antara mesin-mesin kopi itu. Reishi tersenyum, tingkahnya sungguh aneh, pikirnya. Namun yang membuatnya senang bukan hanya itu.

"Jadi namanya Mikoto, ya?" gumam Reishi sembari tersenyum misterius.

.

.

.

"Selamat datang."

Pria itu menyambutnya dengan sikap yang seperti biasa.

"Pesan apa?" Lagi-lagi pertanyaan yang sama.

"Yang seperti biasa. Tolong ya, Mikoto-kun~"

Pria bersurai merah itu diam. Kaget karena Reishi mengucapkan namanya. Namun sebelum dapat bertanya, Reishi sudah menjauh dan duduk di tempat favoritnya.

Menghela napas, pria itu dengan sigap membuat pesanan Reishi; Café Mocha dengan rasa penasaran.


.

"Silakan."

Pria itu menaruh cangkir kopi itu lalu duduk di kursi tepat di depan Reishi. Perhatian Reishi teralihkan, kali ini bukan karena kepulan memabukkan dari cangkirnya tapi tingkah aneh barista di depannya.

"Kenapa kau bisa tau namaku?" tanpa basa-basi, pria itu langsung bertanya. Membuat Reishi menarik sudut bibirnya sedikit.

"Oya, kau tidak sadar? Namamu tertulis jelas lho di nametag itu dan..." Kali ini Reishi tak menahan tawanya sambil menunjuk nametag yang ada di celemek pria itu. "Tak kusangka kau suka sekali kucing."

"Hah?" Pria itu tidak mengerti apa yang Reishi katakan sampai ia melihat celemeknya sendiri dan ditemukanlah nametag bertuliskan Mikoto dengan hiasan kucing di sekitarnya. Sontak, ekspresinya berubah kesal.

"Ini... pasti ulang bocah itu..." gumam pria itu, Reishi tertawa kecil melihat reaksinya. Manis.

"Jadi, setelah mengetahui kenyataan, kenapa kau tidak kembali bekerja?" Tanya Reishi, pria itu mendengus kesal.

"Aku bosan. Satu-satunya pelanggan cuma kamu dan aku gak tau namamu sementara kamu tau namaku."

"Jadi, maksudmu?"

"Ya kita kenalan."

Reishi tertawa keras, sungguh polos tingkah pria di depannya. Tak suka, pria itu mengancam.

"Kalau gitu, aku akan memanggilmu asal."

"Oh, baiklah..."

Reishi mengulurkan tangannya dan tersenyum "Reishi."

Pria itu membalasnya dan bersalaman dengan Reishi. "Mikoto."

"Jadi, Mikoto." Reishi menatap Mikoto lekat. "Kenapa kamu tidak kembali bekerja?"

"Tak ada yang bisa aku kerjakan lagi dan aku bosan."

"Jadi kalau kau bosan, kau boleh duduk di sini dan memerhatikanku bekerja?"

"Kau bekerja?" Pertanyaan Mikoto malah membuat Reishi sedikit tergelitik.

"Maaf kalau aku tidak terlihat bekerja. Tapi aku memang bekerja."

"Hee... memang profesimu apa?"

"Penulis."

"Penulis itu profesi?"

Reishi berani bertaruh kalau bukan karena wajah polos Mikoto, ia sudah melempar satu bogem pada wajahnya atau setidaknya menarik rambut yang menggantung menyerupai sungut itu.

"Tentu saja." Jawab Reishi sembari tersenyum.

"Tapi aku juga bisa menulis." Demi draft ceritanya, kalau saja Mikoto tidak sepolos itu, Reishi ingin sekali menggampar muka datarnya itu dengan tumpukan draftnya.

"Menulis yang ada di pikiranmu dengan yang aku lakukan sekarang itu berbeda, Mikoto. Kau menulis bukan untuk menghasilkan uang. Aku menulis untuk menghasilkan uang."

"Hah? Aku baru tau tulisan bisa dijual."

"Kau memang tidak pernah membaca? Tulisan itu ada yang dijual, tau. Berita, novel, artikel di majalah, cerita pendek di koran. Penerbit membeli tulisan itu untuk dicetak dan diedarkan. Baca di media elektronik juga sama saja walaupun kau membacanya dengan gratis."

"Kalau memang tulisan bisa dijadikan uang, aku juga bisa jadi penulis dong?"

"Tak semudah itu. Contohnya dalam menulis novel, selain kau harus bisa menulis, kau harus pintar menulis. Kau harus membuat tulisanmu dinikmati oleh pembaca dan untuk mengembangkan ceritamu, sesekali kau harus melakukan riset. Setelah menyusun semua bahan dan idemu dalam ceritamu, kau harus masih memberikannya pada editor. Editor akan memberitahumu apa saja yang kurang atau harus ditambah. Singkatnya, kau harus merevisinya dan proses revisi tidak terjadi satu atau dua kali. Setelah karyamu layak cetak, karyamu akan dicetak di satu penerbit dan diedarkan untuk dijual. Nah, dari hasil penjualan buku, kau akan mendapat royalti. Kasarnya, itu gajimu."

Mikoto terlihat takjub mendengar penjelasan Reishi. "Ribet."

"Oh ya? Tapi aku menikmatinya kok. Sama sepertimu yang senang melihat pelanggan puas dengan racikanmu. Aku juga puas ketika pembacaku senang dengan hasil karyaku."

Mikoto mengangguk lalu malah menguap lebar dan melipat lengannya di atas meja lalu menaruh kepalanya dan bersiap tidur sampai Reishi menegurnya.

"Kau tidak kembali bekerja?"

"Mnn... ngantuk... dan tidak akan ada yang datang selain dirimu jadi biarkan aku tidur di sini. Tidur di meja konter itu gak enak. Dan bagus kan, kau jadi ada teman."

Mikoto langsung tertidur lelap. Tak membiarkan Reishi mengeluarkan kalimat protes. Reishi akhirnya hanya pasrah dan membiarkan Mikoto terlelap di mejanya.


.

.

.


Mikoto mendengus kesal. Ia berada di posisi di mana suara jam dinding bisa membuatnya gila.

Semua pelanggan sudah ia layani. Bahkan saking bosannya, Mikoto memutuskan untuk menjadi sedikit rajin dengan membersihkan area kerjanya. Melihat ponsel pun percuma. Tak ada yang bisa ia ajak ngobrol. Kedua sahabatnya sedang sibuk.

Besar hasratnya untuk mengganggu Reishi atau hanya tidur di mejanya sejenak. Namun saat datang, Reishi sudah memberi peringatan jangan mengganggunya hari ini. Mungkin ini yang disebut sedang ada di ujung deadline. Pikir Mikoto. Sempat terbesit di pikiran Mikoto ia mengacuhkan peringatan dari Reishi, namun saat hendak melakukan, apa daya Reishi sudah menatapnya tajam dan membuat nyali Mikoto ciut seketika.

Tak tahan dengan kebosanan ini, Mikoto berusaha mencari kesibukan. Ia melirik sekitarnya, siapa tau menemukan ide cemerlang. Dilihatnya mesin-mesin kopi yang menganggur itu lama dan Mikoto menemukan ide untuk mengisi waktunya.

Membuat latte art mungkin bukan ide buruk.

Mikoto menyiapkan kopinya. Buat apa saja. Pikirnya. Sembari menunggu susunya menjadi buih, Mikoto meracik kopinya. Setelah semuanya siap, Mikoto terdiam sejenak. Berpikir apa yang akan ia gambar di atas kopinya. Mikoto melirik sekitarnya dan tertangkaplah surai biru gelap itu dalam penglihatannya.

Tersenyum simpul, Mikoto mencoba menggambar Reishi dengan seluruh kenekatannya.


.

"Aku tak ingat memesan kopi keduaku."

Dengan ketus, Reishi menjawab kedatangan Mikoto.

"Kopi gratis. Kau mau tidak?" Tawar Mikoto sedikit kesal.

Reishi hanya mengangguk. Sepertinya memang mustahil membuka obrolan dengan Reishi saat ia sedang dikejar deadline. Dengan berat hati, Mikoto menaruh secangkir mahakaryanya lalu pergi dan berusaha mencari kesibukan lainnya.


.

Tak butuh waktu lama bagi Reishi untuk kembali melirik secangkir kopi hangat yang baru saja dibawa oleh Mikoto. Sungguh, ia tidak tahan dengan wangi kopi itu, seakan selalu mengajaknya untuk meliriknya melewati uap yang numpang lewat di depan hidungnya itu. seperti perempuan ganjen saja, pikir Reishi.

Namun konsentrasi Reishi buyar saat melihat keganjalan yang ada di kopinya. Bukan latte art yang biasa, pikirnya. Melainkan latte art menyerupai dirinya.

Ya, Reishi versi mini, tergambar dengan artistik lengkap dengan poni kebanggaannya serta efek kilau di sekitarnya.

Seketika tawa Reishi pecah. Tak disangka kebosanan Mikoto menghasilkan sebuah mahakarya yang bisa membuat Reishi tertawa pada saat-saat genting dalam hidupnya. Diam-diam, Reishi memotret karya Mikoto dan mengunggahnya di sosial media miliknya.

"Aku harus mengucapkan terima kasih padanya."


.

.

.


"Hey." Reishi menyapa pria jabrik di depannya yang sedang tertidur lelap seenaknya di mejanya lagi. Dengan malas, pria itu melirik Reishi.

"Apa?"

"Kenapa kau memilih untuk bekerja di tempat ini?"

Mikoto mendengus. Ia bangun lalu menatap Reishi.

"Karena tak ada yang bisa kulakukan selain ini."

"Maksudmu?"

"Sahabatku yang super sibuk tidak bisa menjaga kedai kopi ini tapi ia juga tak ingin menjualnya. Peninggalan pamannya katanya. Lalu aku yang memang punya hobi meracik kopi dan tidur ini pun diberi mandat untuk mengurus tempat ini. Katanya karena aku pemalas dan terlalu garang, tak ada satupun kedai kopi yang akan sudi merekrutku."

"Walaupun racikanmu seenak itu?"

"Kupikir masih banyak orang lain yang racikannya lebih enak. Dan aku pemalas. Di mana lagi kau temukan barista seperti aku yang duduk di depan pelanggannya sendiri?"

Reishi tertawa. Benar juga, walaupun racikan kopinya enak, Mikoto bukanlah orang yang ramah dalam sekali lihat. Tapi Reishi sendiri juga tak mengerti dirinya yang bisa begitu betah dengan tempat ini.

"Tapi tempat ini bagus, lho. Aku suka sinar matahari yang menyinari tempat ini dan juga dirimu. Rambut merahmu yang kontras itu seakan memperkuat keindahan tempat ini."

Mikoto terdiam, wajahnya sedikit memerah dan tanpa sadar, Mikoto mengalihkan wajahnya dari Reishi. Sinar matahari sore yang menerangi Mikoto dengan lembut seakan membekukan waktu Reishi. Indah, pikirnya.

"Kau... berusaha menggodaku, ya?" Tanya Mikoto pelan. Merah di pipinya belum kunjung hilang.

Menggoda? Reishi terdiam sejenak. Memerhatikan Mikoto dalam diam dan tersenyum.

"Kau yang menggodaku."

"Hah?"

Reishi tersenyum. Sepertinya semburat merah di pipi barista di depannya itu mampu membuat bunga di hatinya mekar kapan saja.


.

.

.


"Ini..."

Sebuah buku dan sebuket bunga tulip diserahkan padanya. Mikoto menatap bingung pria berkacamata di depannya sementara ia hanya tersenyum.

"Hadiah dariku sekaligus ucapan terimakasih."

"Hah?"

"Karena kopimu dan kedai ini, aku mampu menyelesaikan buku ini."

"Dan bunga ini?"

"Untukmu dan juga kedai ini."

Mikoto menghela napas. Dengan ogah-ogahan, ia menerima buket bunga itu.

"Mau kopi?"

"Maaf, tidak hari ini. Sebenarnya aku harus menghadiri sesuatu tapi karena masih ada cukup waktu, kusempatkan diriku untuk mampir ke sini. Sudah ya, aku pergi dulu."

Reishi berbalik dan memunggungi Mikoto. Namun sebelum membuka pintu, Reishi kembali menoleh ke arah Mikoto.

"Pastikan kau membuka pembungkus bunganya terlebih dahulu baru kau taruh bunganya di dalam vas kalau kau tak mau menyesal."

Sebelum sempat bertanya, Reishi sudah keburu pergi, meninggalkan Mikoto yang kebingungan. Dengan pasrah, Mikoto hanya mengikuti saran Reishi.

"Ini...?"

Mikoto berhenti sejenak. Saat membuka pembungkus bunganya, terlihat sepucuk surat di antara tangkai bunga tulip itu. Penasaran, Mikoto membuka surat itu.

[Terima kasih telah menjadi penyemangatku. Kuharap seterusnya kau akan tahan godaanku karena salahmu yang terlalu menawan sampai hatiku tak berhenti berdegup kencang saat menatap manik ambermu itu. Buku itu spesial untukmu karena kau pasti malas membaca. Bagus kan, bisa mengalihkan kebosananmu?

P.S. Kontak aku ke email ini, aku tunggu

Munakata Reishi]

Mikoto diam sebentar. Berusaha mencerna kalimat yang ada di surat itu. lalu mukanya merah, panas.

Mikoto yakin ia menerima surat cinta.

Namun bukannya jijik, jantung Mikoto berdegup kencang, bahkan mau meledak rasanya. Rasanya ia senang sekali. Apakah aku jatuh cinta? Pikirnya.

Mikoto melirik surat itu kembali dan melihat alamat email yang tercantum. Dengan sigap, Mikoto mencatat alamat email itu di ponselnya dan mengirimkan pesan.

[Heh, kacamata. Sehabis acara bodohmu itu, kita butuh bicara. Kembaliah ke kedai. Akan kubuatkan kau Café Mocha terenak sepanjang masa. Awas saja kalau kau kabur. Aku tidak akan sudi membuatkan Café Mocha lagi untukmu.]

.

Tamat

.


Author's Note

.

HALOOOOOO kembali lagi bersama saya, Meongaum~ akhirnya bisa ikutan MikoRei week juga setelah tahun lalu absen berujung hiatus berkepanjangan XD ide cerita ini disponsori oleh coffee shop terpaporit (?) di kota tercinta. Awalnya konsep ceritanya mau dipake bikin BenAki tapi kamar mandi telah memberi saya wejangan tidak terduga #plok. Walaupun pembawaannya mungkin berbeda kalau bikin BenAki (yesh, Akiyama's angelic smile spam, here i come)
Akhir kata, sampai jumpa hari esok~ doakan saya bisa menyelesaikan MikoRei week tahun ini tanpa halangan, ya 3