Playwright

Kau tidak akan bisa tahu skenario apa yang ada dalam pikirannya, membuatmu bermain dengan logika untuk menebak apa yang sebenarnya ia rencanakan. Bahkan Tuhan sekalipun bertanya-tanya,

Kali ini, permainan apa yang akan ia hadirkan?

lilcyriel

YoonMin

Min Yoongi x Park Jimin

read at your own risk.


Prologue


Athena Music Hall. Begitulah yang huruf tertulis secara gamblang pada bangunan di hadapannya, apabila ia tidak salah baca.

Pemuda itu melenggang masuk ke dalam gedung megah yang berdiri kokoh di hadapannya bersama kedua temannya, mengacuhkan protesan sepihak tentang bagaimana ia masuk tanpa mengantri, menyerobot layaknya hidup tanpa aturan.

Mereka langsung mengamati suasana yang ada di dalam sana seraya memekik gembira. Mereka hanya terlalu senang. Salah seorang dari ketiga pemuda itu—yang bernama Jimin—sibuk berceloteh dengan kedua temannya yang lain, Taehyung dan Seungcheol.

Music Hall. Jimin belum pernah pergi ke tempat seperti ini sebelumnya, mengingat bangunan ini juga baru saja berdiri beberapa bulan lalu. Namun popularitas tempat ini melambung tinggi hanya dengan desas-desus orang di perkotaan yang terbiasa menyebarkan informasi menggunakan mulut mereka. Bahkan kabar mengenai tempat ini sampai ke tempat Jimin dan Taehyung—panti asuhan yang terletak jauh dari kota, mendekati desa.

Alunan musik oleh pemain orkestramemenuhi gendang telinganya, simfoni indah berpadu dengan celotehan orang-orang di sekelilingnya yang nampaknya sama gembiranya dengan Jimin. Hidungnya menangkap wewangian penganan yang baru saja matang, dan juga dauh teh kualitas tinggi yang baru saja diseduh dengan air panas memenuhi ruang nafasnya. Dengan interior yang tampak mewah, bahkan Jimin terpukau oleh ukiran-ukiran kecil pada langit-langit yang dibuat sangat mendetail sehingga dapat membuat orang menatapnya lebih dari sekian detik. Semuanya nampak sempurna.

"Beruntung sekali kita bisa kesini, Tae!" ujarnya senang pada Taehyung yang sedang menyibukkan diri dengan makanan yang ia bawa.

Taehyung menoleh pada sahabatnya itu, sekaligus menyerahkan sebuah sayap ayam padanya. "Sudah kubilang ini menyenangkan. Seharusnya kau mau ikut ketika kuajak dua hari lalu,"

Jimin yang menerima ayam itu lalu langsung memakannya dengan rakus. Makanan gratis bercita rasa tinggi yang tak mungkin ia dapatkan di panti asuhannya. Jimin kembali mengedarkan pandangannya pada sekeliling, mencari sesuatu yang dapat menarik perhatiannya. Dan nyatanya, ia dapat satu.

Ia melihat beberapa wanita yang sudah cukup berumur, mengenakan gaun berenda yang heboh dengan banyak perhiasan menghiasi tubuhnya. Jimin mengangkat sebelah alisnya, kaum bangsawan?

"Hei, Tae." sikutnya, dan hanya dibalas oleh gumaman oleh Taehyung. "Kenapa para bangsawan ada disini? Ini... tempat umum,kan?" tanyanya.

Taehyung menelan kunyahannya, lalu berdeham singkat. "Karena ini tempat umum, maka semua orang bebas memasuki tempat ini. Para bangsawan, pejabat, bahkan orang miskin seperti kita. Disini tidak ada batasan seperti ketika akan masuk ke dalam opera, Jim. Ini music hall, semua orang bisa masuk ke dalam dan menikmati apa yang mereka suguhkan." jelasnya dalam satu tarikan nafas, sementara Jimin hanya manggut-manggut menghadapinya.

Jimin tidak tahu apa itu opera, bahkan baru kali ini ia menginjakkan kaki di tempat umum seperti ini. Bahkan berada dalam atap yang sama dengan para bangsawan. Astaga, kali ini seberapa jauh pergimu, Jim? Padahal ia biasanya tidak pergi terlalu jauh dari panti asuhannya, mengingat ia hanya pernah pergi ke ladang tua milik seorang nenek dan sesekali pergi ke kota.

Jimin mengambil scone dari sebuah baki yang tersedia di salah satu meja yang ada disana, menggigitnya pelan—merasakan giginya yang mengoyak penganan manis itu secara perlahan—yang menghadirkan perasaan senang dalam benaknya. Jimin mudah senang atas suatu hal, hal yang paling kecil sekalipun.

"Ngomong-ngomong, dimana Seungcheol?" Jimin baru menyadari bahwa seorang lagi temannya yang ikut kesini sedaritadi tidak menampakkan batang hidungnya.

Sementara Taehyung mengedikkan bahunya tidak peduli sebelum menjawab, "Aku tidak tahu. Mungkin ia sedang memohon kepada seorang pemain flute agar ia bisa mencoba meniupnya." bercanda, tentu saja.

Sementara Jimin hanya terkikik geli dengan jawaban bodoh Taehyung. Memangnya Seungcheol itu bocah, apa? Mereka bertiga sudah berusia 17 tahun sekarang. Jimin kembali menatap pada sekelilingnya. Netranya bergerak untuk mencari Seungcheol, akan jadi masalah apabila mereka kehilangan temannya yang satu itu.

Dan pada saat itu, netranya bertabrakan dengan seseorang dengan netra sekelam malam, yang sedang menatapnya dengan tajam. Seorang pria yang surainya sama kelamnya dengan netranya, dengan kulit pucat juga wajah yang tidak bersahabat, sedang menatapnya.

Uh, tatapan itu, Jimin tidak suka. Ia merasa ia sedang ditelanjangi—atau bahkan dikuliti—hidup-hidup hanya karena matanya bersinggungan dengan manik onyx milik orang itu yang rasanya sedingin es.

Namun, sedetik kemudian sosok itu tiba-tiba hilang dari sudut pandangnya. Jimin mengedipkan matanya, berusaha mencari sosok itu lagi diantara kerumunan yang berkumpul disana. Namun nihil, ia tidak dapat menemukannya.

Pandangan menusuk itu, siapa?

Pria dengan surai kehijauan itu mengarahkan pandangannya pada sosok di sebelahnya yang tampak bosan, guratan rasa kesal itu tertoreh dengan jelas pada wajah lawan bicaranya.

"Sebentar lagi, Tuan. Main dish-nya belum siap, kita bisa menghancurkannya secara penuh apabila menunggu sedikit lagi." ucapnya menenangkan—atau mungkin, membujuk?—pria yang sedaritadi sudah mengepalkan tangannya, tidak sabaran.

Sementara yang diajak bicara hanya menghela nafas, melemaskan buku-buku tangannya yang sudah kesal akibat menunda-nunda apa yang seharusnya ia kerjakan. Menghabisi semuanya.

"Bukan saatnya untuk bercanda, Namjoon. Dan lagi, jangan panggil aku begitu. Menjengkelkan," sergahnya sinis. Ia bukan tipe orang yang suka berlama-lama di tempat seperti ini. Rasanya memuakkan.

Sementara pria yang dipanggil Namjoon itu terkekeh pelan, sosok disampingnya ini memang jadi lebih keras kepala ketika diminta untuk menunggu, tipikal orang tak sabaran.

"Tunggu sebentar lagi, pemeran utamanya belum menampakkan dirinya. Kita belum sampai pada klimaks," ucapnya tenang sembari mengangkat gelas berisi wine yang ada di tangannya, lalu meminumnya pelan.

Namjoon memuji para bajingan busuk yang berada di belakang layar sandiwara ini, berterimakasih karena telah menyediakan wine yang kualitasnya tidak main-main. Walaupun tentu saja, ia lebih menyukai wine yang disimpan di karaf bawah tanah mansionnya. Ah, dia jadi ingin pulang.

Tak lama, sesosok manusia jangkung bersurai biru tua menghampiri mereka dengan tampang kusut. Rambutnya berantakan, pakaiannya kotor, dan terdapat sedikit lecet pada wajahnya. Namun ia menghampiri dua orang itu dengan wajah yang cerah, tersenyum hingga menunjukkan gigi kelincinya.

"Kau sudah selesai membereskan para pengganggu itu?" pertanyaan itu terlontar dari pria yang masih memasang wajah bosan. Tidak sedikitpun tersirat unsur basa-basi dalam pertanyaanya, langsung pada inti.

Sementara yang dilempari pertanyaan hanya mengangguk senang, tampak tidak terpengaruh dengan suasana kaku yang ditimbulkan oleh sang atasan. "Bagus." sebuah pujian itu membuat si rambut biru tua tersenyum semakin lebar. Ia senang dipuji.

"Tapi apa yang terjadi dengan wajahmu, Jungkook?" giliran Namjoon yang bertanya. Tidak biasanya ia mendapatkan luka dari tugas yang bahkan menurutnya kecil.

Sementara lelaki bersurai biru tua itu—Jungkook—mendesah pelan dan menyentuh goresan kecil yang tertoreh di tulang pipinya, mengingat kejadian tadi.

Namun ia cepat-cepat menggeleng. "Tidak ada," lalu mengedikkan bahu dan memasang wajah remeh. "Ada satu pengganggu tambahan yang tidak kuduga, jadi aku langsung menyingkirkannya. Namun dia sempat mencoba memukulku memakai balok kayu. Ujungnya mengenai pipiku dan.. yah," Jungkook terkekeh pelan, menyadari kecerobohannya sendiri.

Namun berbeda dengan si pucat yang malah penasaran, "Pengganggu tambahan? Maksudmu?" Seingatnya dia sudah mendapatkan informasi detail dari para infomannya mengenai berapa jumlah penjaga dan segalanya mengenai tempat itu.

Jungkook menoleh, "Ah, bukan apa-apa. Hanya saksi mata yang tiba-tiba menyerangku. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," sanggahnya.

"Saksi mata, sekecil apapun itu, musnahkan." ucapnya final. "Tidak boleh ada jejak, tidak boleh ada yang tahu mengenai keberadaan kita disini. Ingat itu, Jeon Jungkook?"

Intonasinya datar, namun efeknya dahsyat kepada orang yang dituju. Jungkook merasakan ada aura yang menekan di sekelilingnya, dadanya sesak, sulit bernafas. Ia tidak seharusnya melakukan kesalahan pada saat seperti ini. Tidak pada saat ini. Jungkook berusaha menormalkan kembali respirasinya, melepaskan ikatan dominasi itu dari dirinya.

"Maaf... Tuan Yoongi," lalu ia menundukkan kepalanya.

Sementara Yoongi kini berusaha mengusir rasa bosannya dengan memandangi sekelilingnya. Tidak pada para orkestramakanan, interiornya, ataupun situasi. Ia hanya memandang para pengunjung secara sekelibatan, tanpa membuang sedetikpun yang menurutnya sangat berharga hanya untuk melihat wajah mereka—yang menurutnya—memuakkan. Ia hanya berjaga-jaga, tidak akan ada yang tahu kapan targetnya, pelaku utama dari sandiwara ini, akan muncul. Yoongi tidak sabar untuk melihat klimaks yang akan didapatkannya beberapa menit lagi.

Namun tanpa aba-aba, atensinya berpusat pada sebuah pemandangan yang ironisnya, tidak mencolok. Yoongi tidak dapat mengalihkan pandangannya dari apa yang ia lihat sekarang, yang bahkan ia tidak tahu kenapa.

Hanya seorang bocah yang nampaknya berumur belasan, sedang mengunyah sebuah scone dengan krim di bibirnya hingga di pipinya. Benar-benar berantakan, tidak mencerminkan cara makan seseorang dengan kelas sosial yang tinggi. Tapi, hei, ini di music hall, Yoongi. Kau tidak sedang menghadiri jamuan makan dengan keluarga kerajaan. Bocah itu memutar-mutar kepalanya ke kanan dan kiri, seperti sedang mencari orang.

Hingga kini manik hazel itu bersinggungan dengan miliknya, terpaut tanpa jeda sebuah kedipan. Wajah dan tatapannya benar-benar polos, nampak seperti anak kemarin sore yang masih hijau, tidak ternodai sama sekali oleh dunia. Tapi bagaimana jika Yoongi yang mengotorinya? Ha, Yoongi, apa yang sedang kau pikirkan di saat seperti ini, sialan.

Sampai sebuah tepukan mengusiknya, Yoongi mendengar Namjoon mengatakan bahwa inilah saatnya. Sang pemegang sandiwara telah tiba, dan skenario buatannya akan segera dimulai. Dan saat itu juga, Yoongi menyeringai. Meninggalkan tempatnya berdiri dan melenggang bersama Namjoon juga Jungkook.

Pikirannya kosong, hanya terpusat pada satu hal yang telah menguasai pikirannya sedaritadi. Tidak ada yang bisa menggoyah kekuasaan sang playwright dalam otak Yoongi disaat seperti ini. Bahkan tidak juga untuk lelaki dengan krim scone yang bahkan bisa merenggut atensinya barang sepersekian detik. Semuanya menguap, ingatan itu hilang dari pikirannya.

It's showtime.

Jimin tidak tahu, darimana awalnya. Bagaimana suasana yang awalnya tenang bisa menjadi tidak terkendali. Semua orang berlarian kesana-kemari, membuat tubuhnya terhempas mengikuti arah orang yang berlalu-lalang. Ia bahkan terpisah dari Taehyung, dan tidak dapat menemukan dimana Seungcheol.

Asap menguar dari semua penjuru arah. Jimin tidak mengerti. Awalnya ia mendengar suara letusan senjata api. Lebih keras dari pistol, namun rasanya terlalu lembut untuk sebuah senapan. Tapi bukan hal itu yang memenuhi kepalanya, namun di saat banyak orang yang berjatuhan, saat itulah, Jimin panik. Dadanya mencelos, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dan tiba-tiba ia mendengar teriakan seseorang bahwa ada api, dan tidak ada apa-apa yang bisa ia lakukan selain terdiam karena syok

Jimin terlalu takut sehingga ia tidak bisa melakukan apapun, ia hanya berjalan—setengah berlari—menuju kegelapan. Karena arah datangnya cahaya menandakan bahwa api itu berasal dari sana. Asap sudah memenuhi bangunan itu. Dan walaupun dadanya sudah sangat sesak dan rasanya paru-parunya terbakar, Ia tetap mencari jalan keluar.

Api dimana-mana, dan ia yakin apabila ia tidak bergegas keluar, maka sebentar lagi bangunan itu akan runtuh. Ingin sekali ia berteriak minta tolong, walaupun mungkin tidak ada yang mendengarnya atau menolongnya, ia tetap harus mencoba. Sayangnya, Jimin tidak sanggup berkata apa-apa, tenggorokannya tercekat. Matanya memanas, Jimin jarang sekali menangis, karena ibu panti mengatakan bahwa ia harus menjadi orang yang kuat, apalagi Jimin adalah seorang laki-laki. Namun berada di kondisi seperti ini? Jimin takut. Jelas sekali bahwa ia ketakutan. Ia tahu bahwa menangis tidak akan mengubah apapun, menyelesaikan apapun. Pandangannya mengabur, ia berusaha untuk keluar dari situ sebisa mungkin.

Jimin ingin hidup.

Dan Jimin yakin Tuhan sedang berada di pihaknya saat ini. Setelah entah berapa lama ia berada di dalam lorong yang seakan tanpa ujung, akhirnya ia berhasil keluar. Tubuhnya sudah tidak merasakan hawa panas di sekelilingnya, walaupun masih tersisa sedikit. Asap tidak lagi berkumpul di sekelilingnya, ia dapat melihat langit malam, walau asap yang berasal dari bangunan di belakangnya masih setia menggerayangi udara. Tubuhnya berat, sekujur tubuhnya sakit. Ia sempat terbentur-bentur saat berusaha keluar dari sana.

Pandangannya mengabur, kepalanya berat. Namun ia melihat beberapa orang yang sedang berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari tempatnya. Nampaknya mereka juga salah satu dari pengunjung yang selamat. Dengan keyakinan itu, Jimin berjalan kesana dengan tertatih-tatih, ia mendorong suaranya untuk bisa keluar dari kerongkongannya.

"Tolong..." terdengar, sedikit. "Tolong aku," rintihnya. Jimin jatuh terduduk, tubuhnya tidak sanggup untuk bergerak lebih jauh lagi. Kepalanya berkunang-kunang, dadanya sesak.

Ia dapat mendengar ketiga orang yang berada jaraknya tak jauh darinya berbicara. "Tuan... ada yang tersisa," Jimin mengadahkan pandangannya, ia tidak dapat melihat dengan jelas orang yang baru saja bersuara.

"Bereskan dia." terdengar lagi suara. Dengan pandangannya yang memudar dan ditambah dengan kepulan asap, Jimin tidak dapat mengetahui siapa yang baru saja berbicara diantara ketiga orang itu. Apa katanya? Bereskan?

"Tapi, hyung, dia sekarat." Orang yang pertama berbicara lagi. Jimin memang sekarat, apa orang itu tidak dapat langsung menolongnya saja?

Jimin bersusah payah mempertahankan kesadarannya. Masih berusaha meminta tolong pada ketiga orang di hadapannya ini. Astaga, apakah permintaan Jimin tadi kurang keras?

Jimin dapat melihat salah satu dari ketiga orang tersebut berjalan mendekatinya, ia berusaha bangkit, agar ia bisa melihat orang tersebut.

"T-Tolong..." lirihnya sekali lagi.

Tanpa disangka, orang itu menempelkan sesuatu pada dahinya. Sebuah revolver. Jimin tersentak, apa orang ini akan membunuhnya? Ia membulatkan mata. Perlahan, ia bisa melihat dengan sedikit lebih jelas.

Mata itu, mata yang menatapnya sekarang, adalah pemilik tatapan mengerikan tadi, orang yang menatapnya di dalam music hall, tepat sebelum kekacauan ini terjadi. Jimin tidak dapat berpikir—ia terlalu bingung.

Dan perlahan, orang itu menggerakan bibirnya. Merangkai sebuah pertanyaan yang tidak dapat Jimin mengerti.

"Kau, mau mati disini sekarang juga lalu menjadi kayu bakar untuk api dibelakangmu,

Atau hidup, namun menjadi penyulut api itu sendiri?"

Sebuah revolver masih berada tepat di dahinya. Dan Jimin tidak dapat melakukan apapun selain membiarkan airmata jatuh mengenai pipinya.

Namun jika orang di hadapannya ini adalah sang dewa kematian itu sendiri, Jimin yakin bahwa pilihannya tidak akan mempengaruhi apapun. Ia tetap akan mati.

"Aku..." Jimin merasakan kepalanya makin berat, ia tidak sanggup lagi untuk mempertahankan kesadarannya.

"...Ingin hidup." ucapnya final, sebelum terjatuh mengenai rumput yang agak basah karena dilumuri minyak tanah, lalu kehilangan kesadarannya.

Dan hal terakhir yang ia lihat, sosok di hadapannya itu, menyeringai. Seringaian yang nampaknya, berasal dari iblis.

Dan Min Yoongi, benar-benar seorang pengubah skenario yang berbahaya.


Prologue : End


a/n: Haloooo, sebenernya aku gatau mau ngomong apa disini wkwk. Scene ini terinspirasi dari episode music hall dari anime/manga blackbutler. Apa ada yang baca juga? dan cerita ini tu Western!AU. Jadi hal-hal yang bakal kalian temuin disini mungkin mirip dengan di komik tersebut, karena komik itu juga mengangkat tema inggris kuno, dan juga komik itu menginspirasiku untuk membuat ff ini haha. Scene terakhir juga terinspirasi dari ciel yang mau bunuh sullivan. Ketauan banget ya?

Dan lagi... karena ini nyeritain inggris pada zaman dulu, mungkin latar waktunya sekitar tahun 18xx, aku gatau pastinya kapan wkwk. Mungkin agak aneh denger panggilan 'hyung' di zaman kaya gini, apalagi di inggris. Tapi cocoknya ya itu, aku gatau mau pake apa lagi. Aku masih pemula, jadi aku juga ga yakin ini bakal ada yang baca:')

Yaudah segitu aja, byeee. Lope lope dari riel buat kalian.