A Second Chance
Disclaimer : Naruto ® Masashi Kishimoto
Pairing : Sasuke U. & Sakura H.
Rate : M
Genre : Romance & Hurt/Comfort
Warning : AU. Absurd. Alur kurang jelas. Typho/misstypho(?).
Don't Like Don't Read
.
.
- Chapter 1 -
.
.
- Hari Butsumetsu - Sebelum Kaisar Jimmu naik tahta -
Jleb
Sebuah katana menembus jantung sosok pria tampan. Pria itu meringis merasakan sakit. Ia merunduk menatap katana yang kini berlumuran darah miliknya.
Ia menoleh ke belakang, mata tajam itu melirik ke arah sosok yang berdiri di belakangnya. Bibir tipisnya terbuka sedikit.
"Kenapa..."
.
.
.
.
A Second Chance
.
.
.
.
- Hari Kinyobi - bulan Minazuki - Taishō ke-6 - 12.12 P.M -
"Sakura !"
Suara teriakan melengking keras dari sebuah kelas 2-A di sekolah Tokyo International High School.
Seorang gadis berambut soft-pink panjang menutup telinganya. Ia sedikit meringis seraya menatap kesal pada sosok gadis berambut pirang yang berlari ke arahnya.
"Diamlah, Pig. Kau membuatku tuli !"
"Sakura-Forehead-ku." Ino datang lalu memeluk erat gadis bernama Sakura. Sementara seisi kelas menggerutu kesal lantaran suara berisik Ino.
"Coba tebak, coba tebak !" ujarnya bersemangat.
Sakura menyengit menatap Ino yang berbinar menatapnya. Ia meletakan novel miliknya ke atas meja. Menatap Ino dengan tatapan menyelidik. "Apa ?"
"Akhir pekan aku ke Hokkaido ! Akhirnya aku di perbolehkan."
"Oh." sahut Sakura singkat lalu kembali membaca novel miliknya. Mengabaikan Ino yang kini menatapnya kesal.
"Forehead !"
Sakura memutar bola matanya bosan. "Lalu aku harus apa ?"
"Kau tidak asik." gerutu Ino lalu duduk di kursi depan bangku Sakura. Ino menompang dagunya dengan tangan kirinya. Menatap ke arah lain dengan ekspresinya yang kesal. Gadis itu pun menjadi diam.
Sakura menghela nafas panjang. Lalu tersenyum tipis. "Hentikan ekspresi itu, Pig. Kau terlihat semakin jelek."
"Aku tidak peduli."
Sakura pun tertawa pelan. "Iya-iya, selamat kau bisa liburan dengan kekasih mayat-mu sementara aku harus menjaga kedai Nenek-ku."
"Forehead ! Sai bukanlah mayat !" Ino menepuk tangannya keras membuat Sakura tersentak kaget lalu menatapnya tajam. "Ah ! Aku akan bawakan oleh-oleh untukmu."
Sakura tersenyum lebar menatap Ino. Selalu saja seperti ini. Kehidupan mereka berbanding balik. Ino adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya sementara dirinya hanya anak yatim piatu yang membantu Neneknya menjaga kedai makanan miliknya.
Sakura hidup sederhana. Berbeda dengan Ino yang hidup di balut kemewahan. Namun perbedaan itulah yang membuat mereka tetap bersama.
.
.
.
"Tadaima."
Sakura membuka pintu rumahnya dengan pelan. Segera ia melepas sepatunya dan menaruhnya di rak yang ada di samping pintu.
"Okaerinasai, Sakura."
Sakura menatap sosok wanita tua yang berjalan pelan ke arahnya. Rambutnya pun sudah sepenuhnya beruban dengan matanya yang menyipit.
"Chiyo-baa Bukankah aku sudah bilang untuk tetap tidur di kamar. Kau tidak boleh bangun." Sakura segera menghampiri wanita yang ia panggil Chiyo.
"Kau terlalu berlebihan, Sakura." Wanita itu berbalik pelan lalu berjalan ke dapur. "Kau pasti lapar. Aku sudah membuatkan makanan untukmu."
"Obaa-san !"
"Sudah ku bilang. Kau terlalu khawatir, Sakura. Aku masih bisa berlari sejauh seratus meter."
"Tapi nanti-"
"Berisik, Sakura. Sekarang kau harus makan."
Sakura hanya diam menatap Chiyo yang kini sudah duduk di atas kursi. Menunggunya untuk duduk dan makan. Menghela nafas sebentar ia pun duduk di depan Chiyo.
"Kau sudah makan ?" tanya Sakura pelan. Gadis itu mulai memakan nasi yang sudah di siapkan untuknya.
"Sudah." Chiyo menatap Sakura dengan tatapan sulit di artikan. "Sakura, bagaimana sekolahmu ?"
"Tidak ada yang menarik." ujarnya singkat.
Chiyo tersenyum tipis hingga mata sipitnya semakin menyipit. "Kau begitu mirip dengan kakakmu. Seandainya dia masih disini." kalimat terakhir ia ucapkan dengan nada lirih dan sendu.
Sumpit Sakura terhenti di depan mulutnya. Ia menatap sendu nasi di depannya, selera makannya pun menghilang kala mengingat sosok yang ia sayangi.
Keadaan pun menjadi hening. Mereka berdua tidak ada niatan untuk memecah keheningan ini. Membiarkan pikirannya larut dalam masa lampau yang suram.
'Onii-san.'
.
.
-o0o-
.
.
Akhir pekan rasanya begitu sepi untuk Sakura. Jika biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan Ino kini ia harus rela sendirian. Sakura menompang dagunya pada tangan kanannya yang berada di etalase. Hari ini ia menjaga kedai milik Chiyo. Ia tidak sendiri ada Ayame yang menolongnya.
Sakura menghela nafas bosan. Ia sungguh tidak suka jika hanya diam duduk tenang di belakang etalase tanpa melakukan apapun.
Kedainya sedang sepi pembeli dan itu membuatnya semakin bosan. Ia pun segera berdiri dari kursinya. Berjalan keluar kedai.
"Ayame-nee, aku keluar sebentar. Tolong jaga kedainya." teriak Sakura dari ambang pintu. Gadis itu segera melangkahkan kakinya begitu mendengar sahutan dari Ayame.
Ia menghirup nafas dalam. Angin musim panas berhembus memainkan rambutnya. Kakinya terus melangkah membawanya ke sebuah taman yang berada di belakang bukit sekolah.
Sakura mendongkak menatap pohon oak yang berusia ribuan tahun. Begitu besar dan lebat. Gadis itu sebera melangkah ke bawah pohon tersebut. Sedikit mengais rumput ilalang yang tingginya sepinggang.
Sakura duduk di bawah pohon tersebut. Merasakan sejuknya angin semilir. Sakura menghela nafas matanya memberat. Begitu menenangkan membuatnya ingin memejamkan mata.
.
.
Terasa begitu tenang.
Mataku melihat hamparan rumput yang luas. Hembusan angin dingin menerpa kulitku. Ku tatap pohon yang daunnya kecoklatan mulai berguguran.
Ini sudah musim gugur, kenapa begitu cepat. Seharusnya ini masih awal musim panas. Mata emerald-ku sedikit menyipit begitu melihat sosok yang berdiri jauh dari tempatku berpijak.
Tidak begitu jelas siapa orang itu. Aku mencoba mendekati orang yang memiliki perawakan seorang pria. Rambut hitam lurusnya tertiup angin pelan. Ia memakai kimono dengan sebuah lambang berbentuk kipas di punggungnya.
Aku berhenti beberapa meter darinya. Mulai ragu untuk kembali melangkah. Hingga sosok itu berbalik menatapku dengan matanya yang merah.
.
.
Sakura membuka matanya cepat menatap langit senja. Semburat oren kemerahan menghiasi langit. Emerald itu melebar, ia sepontan berdiri.
"Astaga ! Aku tertidur."
Segera Sakura beranjak pulang. Ia harus menyiapkan makan malam. Ia terlalu lama tertidur. Memang disana tempatnya begitu damai hingga membuat Sakura lupa waktu.
'Sakura.'
Sakura berhenti di tengah-tengah rumput ilalang. Ia berbalik menengok kebelakang. Menatap pohon Oak tersebut. Mata gadis itu menatap kesekeliling tempat itu.
Tidak ada siapapun sejauh mata memandang. Sakura sedikit menggelengkan kepalanya. Ia melanjutkan langkah kakinya untuk kembali ke rumah.
.
Sakura melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia menatap plafon kamarnya. Pikirannya melayang-layang mengingat kejadian dalam mimpinya. Sebelumnya ia belum pernah memimpikan orang asing.
Tapi, siapakah orang yang berada dalam mimpinya. Ingatan tentang mata merah itu begitu melekat pada kepalanya.
Ia pun segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sedikit mencengkram pelipisnya begitu merasakan pening. "Kenapa aku mengingat mimpi itu ?" helaan nafas terdengar begitu berat.
Ia pun segera bangun. Di tatapnya jendela kamarnya. Langit sudah menggelap, membuat Sakura beranjak menutup jendelanya. Ia harus segera tidur agar bisa bangun pagi buta.
Angin dingin menerpa wajahnya saat ia menutup jendela itu. Rasa familiarpun hinggap di benaknya. Seolah hembusan angin itu sama persis dalam mimpinya.
"Sialan !" ujar pelan sebelum membanting jendelanya kesal.
.
.
.
-o0o-
.
.
.
Hari ini Ino pulang dari liburannya. Dua hari di tinggal sahabat pirangnya memang membuatnya benar-benar kesepian.
Sepulang sekolah, Sakura sengaja pulang terlambat karena ia harus pergi ke rumah Ino. Di tatapnya beberapa paperbag yang ada di atas ranjang gadis pirang itu.
"Itu semua..." tanya Sakura seraya menunjuk ke arah paperbag itu.
Ino mengangguk mantap. "Itu untuk sahabat jidat lebar kesayanganku."
"Pig !" teriaknya. Perlahan senyum terukir di bibir tipis Sakura. "Kau terlalu baik padaku, padahal aku tidak pernah mem-"
"Sakura !"
Seruan Ino membuat Sakura terdiam. Ia menatap Ino yang kini menatapnya tajam. "Aku tidak pernah menginginkan apapun darimu, Saki." tatapan Ino mulai melembut. "Yang ku inginkan hanya kau yang tetap mau menjadi sahabatku."
Sakura menggigit bibirnya menahan air matanya. Sebelum ia menerjang tubuh Ino dengan sebuah pelukan hangat.
"Terima kasih."
Ino melepas pelukan Sakura lalu ia memukul punggung Sakura dengan keras. "Apa-apaan kau ini ! Jangan berterima kasih kepadaku. Kita kan sahabat."
Sakura hanya tersenyum seraya mengusap air mata yang sempat menetes di sudut matanya. "Kau benar."
Ino menepuk tangannya keras membuat Sakura terlonjak kaget. Kebiasaan Ino saat mengingat sesuatu adalah sesuatu yang buruk. Gadis pirang itu berlari menuju koper yang belum ia bongkar dari semalam.
"Mencari apa ?" tanya Sakura menatap Ino yang kini mengeluarkan semua barang yang ada di koper.
Ino memperlihatkan sebuah kotak perhiasan berbentuk tabung berdiameter 5 cm berwarna cream. "Ini untukmu. Ku pikir kau lebih suka barang kuno seperti ini."
Sakura menyengit ia pun segera membukanya. Di dalamnya ada sebuah kalung emas putih dengan liontin Blumenblatt. Dimana ada permata merah tua di tengah liontin tersebut. "Ino... Ini..."
Ino tersenyum senang. "Bagaimana menurutmu ?"
"Kau mendapatkannya darimana ?"
"Aku membelinya di kedai barang antik."
Sakura menyengit mendengar jawaban Ino. "Berapa harganya ?"
"Delapan ribu Yen."
Sakura terdiam menatap kalung itu. Delapan ribu Yen bukanlah sedikit. Ia menatap Ino dengan tatapan kosongnya lalu segera menaruh kalung itu pada tempatnya dan mengembalikannya ke Ino.
"Ino, ini terlalu mahal untuk kau berikan kepadaku."
Ino merengut tidak suka. Segera di ambil kalung itu lalu ia memaksa memakaikan pada leher Sakura. "Ini yang tidak kusuka darimu Forehead. Selalu merasa tidak enak." Ino segera menarik Sakura ke depan cermin. "Bagaimana ?"
Sakura hanya bisa tersenyum hambar. Ia tidak tahu lagi apa yang bisa di ucapkan kepada Sahabat pirangnya ini. "Terima kasih, Ino."
Emerald indah itu menatap ke arah jam dinding di kamar Ino. Sudah malam, ia harus segera pulang. "Ino aku harus pulang sekarang. Aku takut Chiyo-baa mencariku."
Ino tersentak segera ia mengambil semua paperbag yang ada di atas ranjangnya lalu segera mengaitkannya di kedua tangan Sakura.
"Hati-hati." Ino menatap menyesal pada Sakura. "Gomen, tidak bisa mengantarmu."
Sakura tersenyum maklum. Segera ia pamit pulang dari kediaman Yamanaka. Perjalanan menuju rumahnya begitu lama. Angin dingin berhembus pelan membuat Sakura merapatkan blezernya.
Suara serangga kecil menemani langkah Sakura menuju ke rumahnya. Begitu tenang dan sunyi. Sakura suka dengan keadaan tenang. Membuat dirinya juga ikut tenang.
Gadis itu menyengit menatap rumahnya yang tampak begitu banyak orang yang berkumpul.
Ada apa ?
Batin Sakura bertanya-tanya. Hinggap perasaan tidak enak yang tak menyenangkan. Seolah ada sesuatu yang tidak ia inginkan. Langkah kakinya pun semakin cepat. Ia sedikit tergesah sebelum tiba-tiba berhenti mematung di tengah jalan.
Matanya menatap kosong sebuah bendera kuning yang di ikat di pintu masuk rumahnya. Paperbag itu perlahan terlepas dari genggaman tangannya.
"Obaa-san !"
To Be Continuen