Castle In Your Arms
By: the autumn evening
Pairing: Sasuke/Sakura
Rating: M
Disclaimer: I do not own Naruto, but the story is mine
Warning: AU. Typos. OOC. Multi-chapters. Setting Kerajaan. Royalty.
Summary:
"Aku mengusulkan sebuah aliansi formal dalam bentuk pernikahan untuk menggabungkan Kerajaan Sheine dan Nevalon dengan menawarkan anakku Haruno Sakura, putri mahkota dan pewaris tahta kerajaan. Anak yang dilahirkan darinya akan membawa nama besar Uchiha dan menjadi pewaris tahta dua kerajaan dan menggabungkannya menjadi satu."
Saat Sasuke adalah seorang raja, dan Sakura adalah seorang putri mahkota yang menawarkan diri untuk menjadi ratunya.
Bagian Lima
Yashamaru tertawa saat mendengar Sakura membahas masalah perairan.
"Dan apa keuntungan bagi kami?" tanya Gaara, Sakura memutar bola mata.
"Tidak ada, tapi lihat gambaran besarnya, saat kita berhenti berperang dan mendapatkan keuntungan dari kerjasama."
"Kerjasama," Putri Ino terkekeh. Sakura menatapnya. Dia sangat cantik dengan mata biru dan kulit putih membungkus hatinya yang busuk. Damai, Sakura mengingatkan dirinya sendiri. Sasuke ingin berdamai, dan dia akan menahan diri.
"Iya, kerjasama. Kenapa hanya saya yang berpikir bahwa itu penting? Ini menggelikan. Kami punya kayu, kalian punya pembuat kapal. Kalian punya tambang, kami punya pengolahannya. Mengakhiri perang ini akan memperkaya dua kerajaan.
"Anda memiliki alasan yang masuk akal,"kata Yashanaru, seperti memberi kelonggaran. "Namun ada satu fakta yang luput anda sebutkan."
"Dan apakah itu?" Obito bertanya, nadanya santai.
"Pendahulu Chera sudah memutuskan bahwa Chera tidak akan berdamai dengan Nevalon. Hal itu sudah berlangsung sejak awal berdirinya kerajaan, sudah mendarah daging." Pangeran Gaara menjawab.
"Kerjasama tetaplah kerja sama. Perdamaian tetap akan menguntungkan kita bersama." Kata Sakura.
"Saya mengharapkan lebih dari ini dari anda, Yang Mulia," Yashamaru menggeleng. "Namun sepertinya tidak pantas menaruh harapan pada seseorang yang memilih menikahi seorang Uchiha." Dia mengedikan bahu.
"Tunggu, bagaimana dengan..." Sakura menjentikan jarinya, mencoba menangkap kilasan ingatan di otaknya. "Perjanjian itu!" Sakura menatap sekeliling, sepertinya tidak ada seorangpun yang mengerti apa yang tengah ia bicarakan.
"Perjanjian Nevara!"
Mendengarnya, beberapa wajah tampak mengingatnya. Di hadapan Sakura, Tuan Kakashi melebarkan bola mata, Nyonya Rin menganggukan kepala pelan.
"Perjanjian Nevara!" ulang Sakura, duduk lebih tegap. "Garis besarnya adalah sebuah negosiasi antara dewan Nevalon dan Chera. Perjanjian itu terjadi sebelum..." dia menghentikan penjelasan, membuat gerakan dengan tangan untuk mengatakan 'Pembantaian Klan Uchiha'. "Tapi kita pernah berdamai, Perjanjian Nevara ditandatangani dengan damai dan kedua belah pihak menaatinya selama bertahun-tahun, sampai Raja saat itu meninggal. Anda tidak bisa mengatakan keluarga anda tidak bisa berdamai dengan kami, karena kalian pernah melakukannya."
"Apakah ada bukti bahwa Perjanjian Nevalon sungguh terjadi?" Putri Temari bertanya untuk pertama kalinya. "Apakah anda berpikir kami akan percaya begitu saja?"
"Perjanjian itu terjadi belum begitu lama—ratu Chera dan beberapa tetua yang hadir di sini sekarang pasti masih mengingatnya." kata Sakura kembali menatap Yashamaru dan beberapa wajah yang cukup berumur. "Saya tidak mengharap anda begitu saja menerima kalimat saya. Kami memiliki salinannya di perpustakaan."
"Saya ingin melihatnya," kata Gaara, menatap saudara-saudaranya yang sedang memelototinya.
Sakura duduk menyandar lega, tersenyum.
Berhasil—walau baru kilasan yang mungkin akan terjadi—adalah pemicu euphoria. Sakura melompat ke pelukan Sasuke saat mereka tiba di kamar malam itu.
"Whoa," kaget Sasuke, tumbang ke atas ranjang. Sakura naik ke atas tubuh suaminya sebelum membalikan posisi. Sasuke menatapnya dari atas, membungkus tubuh mungilnya dengan tubuh lezatnya.
Sasuke seperti hanya tertarik untuk mencium Sakura selama berjam-jam, namun Sakura tidak memiliki cukup kesabaran. Wanita merah muda itu menekan pinggul Sasuke dan menyesap lehernya. "Aku ingin menaiki milikmu di depan para dewan tadi,"
"Uh—uh," Sasuke menggeram, wajahnya menegang. Pinggulnya menekan keras pangkal paha Sakura sebelum jatuh menindihnya. Sakura dapat merasakan celana Sasuke basah.
Sakura mengedip.
"Apa kau baru saja—"
"Ungh," lenguh Sasuke, masih menggerakan pinggulnya pelan. Dia terlihat seperti bayi kucing yang belum tahu bagaimana cara untuk bernafas. Sakura tidak dapat menahan tawa.
Sasuke memindahkan tubuhnya dan mengangkat alis untuk menatapnya tajam.
"Aku tidak menertawaimu, sungguh," kata Sakura di sela tawa, "oke, aku menertawaimu sedikit. Kita semua pernah mengalaminya, well, setidaknya para pria—"
"Kau..." kata Sasuke sebelum mencium Sakura keras, dan menyiapkan balasan.
Mungkin efek tidur terlalu awal membuat Sakura bangun di tengah malam. Atau mungkin itu karena udara panas bulan Agustus dan berada di dalam pelukan Sasuke. Dia menutup mata, mencoba untuk kembali tidur, namun pikirannya sudah terlanjur terjaga, bergerak cepat memikirkan berbagai hal. Setelah sepuluh menit, Sakura akhirnya menyerah.
Sakura baru saja melangkah menuju pintu saat Sasuke menyusulnya bangun.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sasuke, matanya lebar, menatap sekeliling mencari sumber bahaya. Rambut bagian belakangnya berantakan membuat Sakura tersenyum.
"Tidak ada, kembalilah tidur," kata Sakura, tanpa berharap Sasuke akan menurutinya. Benar saja, Sasuke bangkit meraih celananya.
"Kau mau ke mana sendirian, di tengah malam?" tanya pria itu lagi, berdiri mengancingkan celana. Wajahnya merengut, namun Sakura sudah cukup ahli membaca wajahnya, dia tidak marah. "Dengan musuh ada di kastil?"
Sakura memutar bolamata. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia masih belum memberitahukan tentang bayi mereka pada Sasuke. Pria itu sudah sangat protektif. Sakura tidak ingin menambahkan satu alasan lagi untuk membuat Sasuke makin cemas.
"Aku terbangun, jadi aku berpikir untuk mencari salinan surat perjanjian. Agar kita bisa menunjukan pada Chera saat pertemuan selanjutnya."
"Aku temani," Sasuke memutuskan, seperti Sakura akan berjalan ke bangsal berisi perampok dengan membawa harta karun.
"Boleh," angguk Sakura. Dia hanya akan pergi ke perpustakaan, dia tidak tahu bahaya apa yang Sasuke pikir akan menghampirinya.
Sakura mengikuti Sasuke menuruni tangga, langkah sepelan mungkin. Perpustakaan kosong, seperti perkiraan, yang berarti masalah satu-satunya adalah untuk menemukan di mana Sakura meninggalkan perkamen berisi perjanjian itu setelah membacanya dulu. Sakura sangat buruk mengingat di mana dia meninggalkan bukunya saat dia menemukan buku yang lebih menarik.
Sakura menyisir rambutnya dengan jari dan mendesah. Mungkin dia menyelipkannya di antara gulungan ini?
Namun Sasuke menatap intens pada sesuatu di lantai.
"Lihat ke sini," katanya, membungkuk. Sakura merasa membungkuk adalah sesuatu yang sulit untuk ia lakukan. Kalau kini dia sudah merasa demikian, bagaimana beberapa bulan dari sekarang, saat dia akan sebesar rumah?
"Katakan saja padaku apa itu," kata Sakura tidak sabar.
Sasuke mengambil sesuatu dari lantai, sebuah hiasan rambut.
"Sepertinya itu milik Putri Ino," kata Sakura. Dia memicingkan mata, "kenapa dia ke sini?"
"Mungkin dia mencari buku,"kata Sasuke, Sakura tertawa.
"Oh ya? Dia suka membaca?"
Namun Sasuke tidak menjawabnya, dia menatap Sakura dengan wajah masam.
"Kau mengatakan pada semuanya kalau salinan perjanjian itu ada di perpustakaan, kan?" kata Sasuke. "Menurutmu berapa persen kemungkinan dia ke sini untuk mencarinya?"
Sakura merasa tubuhnya menegang, sebelum dia menyadari sesuatu.
"Tapi dia tidak menemukannya. Aku ingat sekarang." Sakura memberi tahu.
Saat Sakura mengambil perkamen Perjanjian Nevara dari lemari baju di kamar mereka, Sasuke tertawa keras.
"Sakura," katanya di sela tawa, menggelengkan kepala, "bagaimana bisa—"
"Aku membaca ini sambil berbaring di atas karpet, lalu aku ingat kalau aku sudah terlambat makan malam. Aku tidak ingin pelayan merapikan dan menyimpannya , jadi aku masukan ke lemari." Sakura menjelaskan. Sakura kembali menggulung dan menali dengan sehelai pita yang ia ambil dari laci lemari. "Untung saja aku meletakannya di sini."
"Kita beruntung kalau begitu," respon Sasuke. Sakura tidak meneruskan pembahasan, meletakan gulungan di meja sisi ranjang. Dia memikirkan hal lainnya. Sekarang mereka memiliki sesuatu untuk membawa negosiasi ini kepada persetujuan dan ayahnya akan sampai besok pagi. Dia tidak ingin menahan ini lebih lama.
"Sebelum ayahku sampai, ada sesuatu yang seharusnya aku beritahukan padamu—dan aku ingin memberitahu beliau juga. Tapi kau harus tahu lebih dulu..."
"Oh?" tanya Sasuke, ekspresinya seketika tidak terbaca, tidak membuat Sakura lebih mudah.
"Pelayan mengatakan—maksudku, aku pikir—aku ingin mengatakan," Sakura mencoba menjelaskan, "aku hamil."
Sakura menyentuh perut datarnya, membentuk berlian dengan ibu jari dan telunjuknya.
Sakura tidak dapat membaca reaksi Sasuke. Tidak seperti yang ia bayangkan, dan dia tidak tahu kenapa. Wajah Sasuke—posturnya, mengingatkan Sakura tentang cangkang telur yang retak. Sakura ingin menyentuhnya, namun dia takut Sasuke akan pecah.
"Kau—" Sasuke memulai, lalu berhenti.
"Kau tahu ini akan terjadi cepat atau lambat," kata Sakura. Merasa bodoh, dia melipat lengan di depan perutnya membuat tameng.
"Tapi ini baru—" Sasuke mengernyit. Sakura dapat melihat Sasuke tengah menghitung di kepala, sejak pertama mereka melakukannya. Sakura mengedikan bahu.
"Selamat, kau ternyata berpotensi."
Sasuke menegakan badan, menggelengkan kepala seperti mencoba melepaskan sesuatu yang mencoba menempelnya. "Apa kau sudah paramedis ?" tanya Sasuke.
"Kenapa aku harus menemui paramedis? Apa yang akan dia lakukan? Tidak ada yang salah," Sakura bingung.
"Dia bisa—entahlah," alis Sasuke bertemu. "Bagaimana kau tahu kalau kau baik- baik saja?" Sakura memutar bola mata.
"Wanita sudah hamil sejak manusia diciptakan, Sasuke. Aku yakin aku baik- baik saja."
Sasuke tidak terlihat yakin, dan Sakura mengigit bibir, dia sebal. Suasana hatinya mudah berubah akhir- akhir ini. Dia tidak suka diperlakukan seperti kaca yang mudah pecah.
"Aku hanya berpikir kau harus tahu tentang ini," kata Sakura pendek, memalingkan tubuh dan melangkah menuju ranjang.
"Tunggu," panggil Sasuke, Sakura menoleh. Cahaya bulan dari jendela menyinari tubuhnya dari belakang, pria itu terlihat lemah. "Terimakasih," katanya formal.
"Aku belum memberikan apa- apa." Kata Sakura, memiringkan kepala.
Sasuke tidak menjelaskan, tapi Sakura dapat merasakan pria itu melembut. Dia melangkah mendekati Sakura. "Terimakasih," kata Sasuke lagi, "karena sudah memberitahu aku."
"Hei, kau membantu membuat adonanya. Aku hanya oven." Sasuke mengernyit mendengar perumpamaan itu.
"Kau selalu dapat membuatku kehilangan kata- kata," ujarnya membuat Sakura mengedipkan mata.
Ayah Sakura berkendara di hari paling panas sepanjang tahun.
Perasaan Sakura campur aduk melihat ayahnya setelah sekian lama menghabiskan waktu di kerajaan Sasuke, menjalani kehidupan baru. Ayahnya terlihat masih sama seperti terakhir kali dia melihatnya. Gerakan yang sama di atas kudanya, pakaian yang sama, wajah dengan garis usia yang sama. Dunia Sakura seperti kembali terhubung, bagian masa lalunya menyentuh masa sekarang. Dia merasakan rasa rindu membuat tenggorokannya mengetat.
"Ayah," sapa Sakura serak, lalu ayahnya berada di hadapannya, turun dari kuda dan memeluk Sakura erat.
"Sakura," panggilnya, suaranya pecah. Sakura meremas punggung baju ayahnya sekuat tenaga.
"Jangan berpisah selama ini lagi," isak Sakura.
"Kita punya tanggung jawab masing- masing. Kita tidak bisa terus berkunjung hanya karena kita ingin," kata ayahnya. "Tapi kalau anggota dewanku tidak bisa menjaga kerajaan selama satu minggu, aku akan memecat semua bangsawan."
Sakura tertawa mendengarnya.
"Makan siang sudah siap, jika anda ingin bersantap sekarang, Yang Mulia," Sasuke melangkah dari tempatnya berdiri di belakang.
"Kita berdua raja, nak," kata Kizashi, menepuk pundak Sasuke. "Kau tidak perlu memanggilku 'Yang Mulia'."
"Baik, Ayah."
"Sasuke tidak pandai bicara," Sakura menjelaskan, menyikut Sasuke main- main saat mereka melangkah memasuki istana. Tubuhnya sedikit terhuyung membuat Sasuke menangkapnya cepat. Pria itu merengut, tangannya lembut memegang pinggul Sakura.
Di depan mereka, Kizashi menoleh, menaikan sebelah alis melihat pelukan protektif Sasuke.
Sakura hampir tidak dapat merasakan makan siangnya karena terlalu sibuk menceritakan kehidupan barunya pada ayahnya. "Mereka punya stroberi paling enak di sini. Aku harap ayah datang saat sedang musimnya."
Namun ayah Sakura tidak lagi mendengarkan. Sepotong daging jatuh dari ujung garpunya, dia menatap anak gadisnya.
"Apa?" tanya Sakura, menurunkan roti yang sejak tadi ia lumuri madu. Tangannya turun ke bawah meja.
"Ibumu dulu memakan roti dengan cara seperti itu, tapi hanya saat—" raja Haruno menjeda, meletakan pisaunya. Dia menatap Sakura penuh penilaian. "Sakura," mulainya, "apa ada yang belum kau katakan pada ayah?"
"Seperti apa contohnya?" Sakura mencoba tersenyum.
Kizashi melemparkan pandangan tidak setuju pada Sasuke, membuat Sakura menganga.
"Ayah! Dia suamiku, ayah tidak boleh marah padanya karena itu! Memang apa yang ayah kira akan terjadi?"
"Jangan beritahu aku kalau aku tidak boleh marah tentang itu," ayahnya masih menatap tajam Sasuke.
Sasuke mengernyit gugup.
"Ayah akan sering melihat kami mulai sekarang," kata Sakura, mencoba menarik perhatian ayahnya. "Anak ini akan mewarisi dua kerajaan."
"Jadi kau sungguh," Kizashi menjeda, matanya berkaca- kaca, "oh—putriku."
Pria tengah baya itu hampir menjatuhkan kursinya saat bangkit untuk sekali lagi memeluk Sakura.
"Ibumu akan sangat bangga padamu," bisiknya di telinga Sakura. Wanita merah muda itu menutup mata untuk menahan air mata turun dari pipinya.
Putri Ino terlihat sangat marah saat Sakura mengeluarkan gulungan perkamen perjanjian di hadapan meja dewan dan membukanya. Pangeran Kankurou dan Yashamaru menatap dingin sedang Putri Temari dan Pangeran Gaara membacanya cermat, tanpa ekspresi.
"Ini terlihat asli," komentar putri Temari, mendapatkan pelototan dari saudaranya.
"Kenapa aku baru mendengar tentang ini? Kenapa informasi tentang keluarga kita aku dapatkan dari Uchiha?" suara Gaara dingin, menatap punggawa kerajaannya. Sakura merasa senang mendengar Gaara menyebutnya sebagai Uchiha.
Putri Ino bangkit berdiri dari kursinya. "Kau tidak bisa menganggap ini akan mengubah sesuatu." Katanya, "Aku menolak negosiasi dengan Nevalon."
"Benarkah?" ayah Sakura bertanya, tersenyum tipis. "Saya rasa semua sekutuku akan tertarik mendengarnya. Kami sangat menghargai keadilan."
"Begitu juga dengan kami," ujar Gaara datar, menatap salah satu tetua. "Yashamaru, kalau anda tidak mau menghargai negosiasi ini, lebih baik anda bersama yang lainnya kembali ke Chera dan biarkan saya menyelesaikan negosiasi."
"Ibu akan setuju dengan—" Ino memulai, Gaara memotongnya.
"Ratu mewakilkan negosiasi ini padaku, sebagai perwakilannya. Beliau sudah mempercayakan ini padaku."
Di sisi lain meja, Putri Temari tersenyum menatap adiknya dan tersenyum menatap Sakura. Wajah Putri Ino memerah penuh amarah.
Sakura dengan hati- hati menjaga ekspresi wajahnya tetap biasa.
"Saya rasa kalian semua boleh kembali sekarang juga," titah Pangeran Gaara tegas. Dia menatap Sasuke.
Sasuke terlihat terkejut, seperti tengah menunggu sesuatu. Namun setelah beberapa saat, Sasuke mengangguk memberi hormat pada Gaara.
Sakura mengikuti dewan lainnya keluar ruangan. Saat Putri Ino menunggu kereta kuda untuk kembali ke Chera, Sakura menahan lengannya. Dia mendekatkan wajah pada Ino agar dia dapat dengan jelas menatap matanya, agar Ino tahu bahwa dia bersungguh- sungguh.
"Kalau aku," kata Sakura, "kalau hanya ada aku dan kau sendiri di ruangan itu, mereka akan membawa sisa potongan tubuhmu pulang ke Chera dalam sebuah ember."
Ino menyentak lepas tangannya, senyum congkak di wajahnya hilang. Sakura pergi meninggalkannya.
Tanpa Ino, Yashamaru dan tetua Chera lain, negosiasi dua kerajaan berjalan lancar seperti skenario Sakura. Bahkan Obito tidak bisa mengguncangkannya. Gaara serius menangani perjanjiannya kali ini. Sakura merasa kalau Gaara merasa bersalah tentang bagaimana negosiasi berjalan selama ini.
Kedua belah pihak menandatangani negosiasi dan semuanya selesai.
"Aku tidak bisa percaya mereka akan memberikan hak perairan pada kita," kata Sakura puas, setelah semua meninggalkan ruang dewan.
Sakura menoleh menatap Sasuke dan melihat pria itu bernafas cepat, jarinya mencengkeram lengan kursi. Senyum Sakura pudar.
"Ada apa?" tanya Sakura. Dia tidak tahu apakah Sasuke marah atau hal lainnya. Untungnya tawa Sasuke pecah di detik berikutnya—namun tetap ada rasa kalut di sana.
"Kau mendapatkan hak perairan, Sakura? Kau tidak bisa—" Sasuke melepaskan pegangannya di kursi, menyapu rambutnya dengan jari dan tertawa kembali. Dia menatap Sakura dengan mata cerahnya. Sakura tidak tahu apa yang lucu.
"Apa aku seharusnya meminta lebih?" tanya Sakura tidak yakin.
"Lebih," ulang Sasuke datar, menatapnya. "Lebih?" Sakura mengedikan bahu, memasukan tangannya ke saku.
"Aku tadinya mempertimbangkan untuk meminta persetujuan pertukaran jagung, namun Bangsawan Rin mengatakan bahwa lebih baik itu ditunda sampai negosiasi tahun depan."
"Sakura," panggil Sasuke, memotong kalimatnya, Sakura diam. "Aku baru saja melihat kau mendamaikan peperangan yang sejak lama menghancurkan kerajaanku, tanahku, keluargaku. Perang yang juga menghancurkanku. Dan kau—"
"Oh," ujar Sakura, "Aku hanya... bukan apa- apa. Itu sesuatu yang biasa aku lakukan," Sakura tersenyum menatap suaminya.
"Terimakasih," kata Sasuke, dan Sakura tahu dia bersungguh-sungguh. "Terimakasih." Sebelum Sasuke mengatakan lebih jauh, Sakura menciumnya.
"Kau tidak perlu melakukannya," kata Sasuke beberapa menit kemudian, menyentuh rambut permen kapas Sakura.
"Tentu saja aku perlu," kata Sakura tajam. "Kita adalah keluarga. Kau adalah suamiku."
Suamiku, pikirnya. Kali ini Sasuke menangkap bibirnya dalam ciuman yang panjang dan manis.
Insting Sasuke benar, semuanya terlalu mudah.
Hal paling buruknya adalah, kalau saja Sakura tidak berlari sekeliling kastil untuk memberitahu Sasuke tentang tendangan bayi pertamanya. Obito mungkin tidak akan memanfaatkan kesempatan itu untuk berbuat sesuatu.
"Kau harus tahu, ini bukan karena aku tidak menyukaimu." Gumam Obito, menekan tubuh Sakura pada dinding kandang kuda. Sebilah pisau menekan ringan di lehernya. Di luar, kesibukan istana berjalan seperti biasa, orang- orang berteriak mengangkut kereta barang, sama seperti hari biasa di musim panas. "Aku ingin Sasuke membatalkan perdamaian, dan ini adalah cara terbaik untuk membuat dia melakukannya."
"Dia tidak akan membatalkannya," desis Sakura, mengabaikan pisau di lehernya. "Dia mencintai kerajaan ini, dan orang- orang di dalamnya. Aku hanya—kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan dengan menyanderaku." Obito melemparkan sebuah senyum kejam.
"Untuk seorang gadis yang cerdas, kau tidak mengerti tentang beberapa hal."
"Aku tahu kehormatan Sasuke," kata Sakura, "Dia tidak akan membatalkannya."
"Kita lihat saja," balas Obito, seperti tengah menghiburnya, sebelum atensinya tertuju pada sesuatu di belakang tubuh Sakura. Dia membalik Sakura di cengkeramannya, pisau melayang di sekitar lehernya. Sakura dapat melihat Sasuke dan para panglima keluar dari istana menuju halaman diikuti punggawa Kerajaan Chera yang tersisa.
"Waktunya pertunjukan," bisik Obito di telinganya. Sakura mengigil saat Obito menariknya keluar dari bayangan bangunan kandang, pisau menekan tenggorokannya pelan.
Semua orang membeku.
"Selamat pagi Tuan dan Nyonya," sapa Obito dari belakang Sakura, "Keponakanku tercinta,"
Sasuke terlihat seperti dia baru saja berubah menjadi granat.
"Paman," desis Sasuke.
Aku baik- baik saja, Sakura menggerakan bibirnya menatap Sasuke yang menatapnya tajam.
"Aku pikir ini saat yang tepat untuk kalian semua menjatuhkan senjata," nada Obito lembut.
Suigetsu, Karin dan Juugo melepaskan pedang mereka seperti pedang itu berubah panas. Sakura akan tersentuh kalau saja tidak berpikir bahwa mereka dengan mudahnya melemahkan perlawanan. Obito mungkin saja sudah menyiapkan prajurit untuk menyerang mereka.
"Lakukan," kata Sasuke, sama bodohnya, dan semua prajurit membungkuk untuk meletakan senjata di atas tanah.
"Kau juga taruh senjatamu, Sasuke," perintah Obito.
Sasuke menjatuhkan pedangnya dengan bunyi 'duk'.
"Apa yang kau mau, Obito?"
"Apa yang aku mau?" ulangnya, kesopanan hilang dari nadanya. "Aku berharap kau tidak berhubungan dengan pelacur Chera itu dulu. Aku ingin keluargaku kembali. Tapi karena kau tidak bisa memberikan apa yang aku ingin, maka aku akan memberitahumu apa yang aku tidak inginkan. Aku tidak ingin berdamai,"
"Kau adalah orang yang membayar pemanah untuk memanah Sakura," kata Sasuke pelan, "Kau juga yang menyuruh penculik itu."
"Sayangnya," respon Obito, "gadis manja ini tidak juga mati." Lalu perlahan Obito mengarahkan pisau itu ke perut Sakura. Sasuke maju dan menggeram, "Mungkin aku harus mencoba membunuh anakmu."
"Aku akan menyobek tenggorokanmu lepas dari kepala," kata Sakura.
"Kau boleh mencobanya," jawab Obito.
"Apa yang kau harapkan akan kau dapat di sini?" suara Kakashi terdengar. "Kau tidak akan jadi raja, dewan tidak akan menyetujuinya."
"Aku tidak perlu menjadi raja," kata Obito, "dan tidak perlu ada yang mati di sini hari ini—setidaknya bukan dari Uchiha." Sakura tidak tahu apa yang sedang Obito cari, namun saat orang- orang menatap Putri Temari, Sakura dapat menebak apa maksudnya.
Pangeran Gaara dan prajuritnya segera membentuk pasukan darurat untuk melindungi kakak perempuannya.
"Dia tidak melakukan kejahatan apapun padamu," desis Sasuke.
"Kau membiarkan orang yang bersalah pergi," teriak Obito, kegilaan akhirnya muncul dari suaranya. "Sebelum aku tahu, sebelum aku bisa menghentikanmu. Sebelum aku bisa membunuh mereka." Sakura menarik nafas dalam. Sakura dapat merasakan rasa gugup di dadanya membesar.
Sasuke menunduk sesaat, namun suaranya tenang saat menjawab.
"Ini bukan pertama kali kau membunuh seorang Uchiha."
Suara kaget terdengar dari semua orang yang ada di sana. Bahkan Pangeran Gaara menatap Sasuke untuk melihat apakah dia serius.
"Itachi," kata Obito pelan, "Itu sangat—disayangkan. Bagaimana kau tahu itu?"
"Aku tidak tahu, sampai baru saja," jawab Sasuke, "Kau adalah yang terakhir melihatnya."
"Aku kecewa dengannya. Dia mulai membicarakan tentang berdamai." Obito mendengus dan mencengkeram Sakura makin kuat, mata pisau menekan kulit porselen itu keras. "Damai... seperti para monster itu akan menepatinya saja."
"Kita juga bisa jadi monster, paman," ujar Sasuke, matanya menyiratkan kesedihan.
Temari melangkah dari lingkaran perlindungan. "Raja Sasuke, saya percaya anda bukan orang jahat. Saya percaya anda dan anggota dewan anda adalah orang baik. Saya dan Pangeran Gaara akan menghargai perjanjian itu. Dan ibu akan menghormatnya juga."
Dia tidak perlu menoleh melihat Pangeran Gaara, berdiri di hadapan Obito dengan berani. Sakura dapat melihat seperti apa Temari jika menjadi ratu.
Satu- satunya peringatan adalah anggukan singkat Temari, dan lengkungan tipis di bibirnya. Lalu detik selanjutnya Obito melepaskan cengkeramannya pada Sakura. Sakura menghuyung ke depan dan Sasuke menangkapnya cepat.
Obito mengaduh di tanah, luka menganga dari pukulan pedang di punggung. Di belakangnya, memegang sebilah pedang dengan dua tangan lurus ke depan, adalah Naruto, pemuda penjaga kandang.
Sasuke menyerahkan Sasuke pada Juugo dan melangkah menuju pamannya. Dia berlutut, Sakura dapat melihat bibir Obito bergerak, namun dia tidak dapat mendengarnya. Sasuke menundukan kepala beberapa saat.
Lalu dengan sekali ayunan pedang, Sasuke menebas leher Obito.
Temari tidak terlihat begitu senang diselamatkan, mungkin jiwa ksatrianya merasa tersinggung. Sakura melihat dia menatap cara Naruto memegang pedang dengan pandangan hangat sebelum Sasuke membawanya ke dalam Kastil. Sakura berpikir kesempatan Naruto untuk dapat bersama dengan Temari baru saja meningkat sama besarnya dengan kesempatan pemuda pirang itu untuk dapat berlatih bersama prajurit Sasuke lainnya.
"Wha, pelan- pelan," kata Sakura, meletakan tangan di perutnya saat bayinya terasa menendang dengan kuat. Dia belum bisa merasakannya lewat kulitnya, namun makhluk bernyawa menyentuhnya di dalam sana membuat perasaannya membuncah sampai ke tenggorokan.
Sasuke menghentikan langkahnya dan menatap tangan Sakura. "Apa itu—" mata hitamnya melebar.
"Bawa aku ke kamar, akan aku izinkan kau menempelkan telingamu dan mendengarkannya." Kata Sakura.
Setelah sampai di dalam kamar dan menutup pintu, Sasuke segera berlutut di depan perut Sakura. Tangannya memegang pinggul Sakura dengan kedua tangan, tidak mempedulikan darah yang masih menciprat di bajunya.
"Aku bisa mendengaran detak jantungnya," kata Sasuke. Sakura menunduk melihat helai hitam rambut Sasuke yang menggelitik lewat bajunya, dadanya penuh dengan kebahagiaan. Sakura membelai lembut rambut Sasuke dengan jemarinya.
Sasuke bangkit berdiri, meraih tangan Sakura. Dia menarik nafas dalam, dan kalimat keluar seperti air bah darinya. Seperti Sasuke sudah menahannya selama beberapa bulan. Semua hal yang ia ingin ungkapkan kepada Sakura.
"Saat pertama kali kau datang dengan ayahmu, aku pikir itu adalah sebuah gurauan--permainan. Aku pikir mungkin—kau dan temanmu, atau, atau, Ino—" Sasuke menjeda, menelan ludah sebelum meneruskan.
"Walau tidak tahu pasti apa tujuanmu, walau mungkin kau hanya berniat menghancurkanku, aku tidak bisa menahan keinginanku untuk menikah denganmu. Kau begitu cantik dan..." Sasuke menghentikan kalimatnya sejenak.
"Lalu aku pikir aku akan mengetahui apa tujuanmu seiring berjalannya waktu. Namun semakin lama kau berada di sini, semakin aku tidak mengerti kenapa kau datang. Kau sangat cantik, dan cerdas. Kau bisa mendapatkan siapapun yang kau mau. Kenapa kau ingin memilih untuk tinggal di sini, kerajaan dengan perang tanpa henti dan tidak memiliki sekutu..."
"Sekutu bisa dibuat, perang dapat dihentikan. Siapa yang ingin tinggal di tempat yang tidak ada sesuatu untuk dilakukan? Aku suka Nevalon," kata Sakura mengedikan bahu, mencoba mematahkan ketegangan. "Dan wajahmu yang lebih tampan dari pahatan patung dewa yunani sama sekali tidak merugikanku."
"Oh," kata Sasuke pelan.
"Hey," panggil Sakura, "kenapa dengan ekspresimu?"
"Bukan apa- apa," Sasuke adalah pembohong yang payah.
"Kau tahu aku memilihmu bukan hanya karena ketertarikan fisik, kan? Kau tidak berpikir—" Sakura menggelengkan kepala, kehilangan kata- kata. Terkadang dia tidak bisa mengerti kenapa pria semenakjubkan Sasuke memiliki kepercayaandiri yang amat rendah.
"Kau pemberani, Sasuke. Aku bahkan mendengar tentang keberanianmu di dewan istana ayahku. Kau bijak terhadap rakyatmu, dan kau tidak pernah berhenti untuk berusaha sekuat yang kau bisa. Aku melihatmu di upacara penobatanmu, dan—kau sangat serius kala itu. Sumpahmu, kau bersungguh- sungguh saat mengucapkan setiap kata pada sumpahmu." Sakura menarik nafas. "Aku pikir, mungkin suatu hari kau juga akan merasakan ketertarikan yang sama padaku."
Sakura dapat melihat Sasuke masih tidak dapat mempercayainya, membuat dia berusaha menjelaskan dengan cara lain.
"Saat aku masih kecil, dan ibuku perlahan- lahan digerogoti penyakitnya, aku mencoba untuk melarikan diri. Apapun terasa lebih baik daripada melihat ibuku sekarat, melihat ayah menderita—aku sudah sampai batas kota sebelum aku memilih berbalik dan kembali. Aku memilih keluarga." Sakura menatap Sasuke, yakin dengan apa yang ingin ia sampaikan. "Pada akhirnya, kau harus memilih siapa yang ingin kau perjuangkan. Dan aku memilihmu. Aku memilihmu."
Sasuke meraih wajahnya, sangat lembut, dan Sakura menyandarkan wajahnya di telapak besar Sasuke. Dia pikir itu adalah cara Sasuke menjawabnya. Sakura memejamkan mata untuk menyesap rasa yang dia dapatkan, mencoba untuk merasa cukup.
Lalu Sasuke menekan bibirnya di garis dagu Sakura, bibirnya, tulang pipi dan sepasang kelopak matanya. "Aku mencintaimu," ungkap Sasuke.
Sakura meremas lengan baju Sasuke dan menelan ludah sebelum membuka mata, "Benarkah?"
Sasuke mengigit bibir, mengangguk. Sakura menatap sepasang samudra pekat Sasuke, yang terlihat hangat seperti kopi hitam mengepul. Menatapnya hangat, dan manis dan begitu gugup. Apakah Sasuke berpikir—setelah semua yang mereka lalui—bahwa Sakura tidak akan membalas perasaannya?
"Aku mencintaimu juga, tentu saja," kata Sakura. "Aku juga mencintai anak kita." Wanita bermata emerald itu mengarahan tangan Sasuke ke perutnya, berharap Sasuke dapat merasakan detak jantung kecil di sana. Dia meremas tangan Sasuke yang masih menatapnya, melihat wajah rupawan suaminya membentuk sebuah lengkung senyuman. "Semuanya akan jadi sangat indah," kata Sakura. "Kita akan memiliki kehidupan yang sangat indah. Semua orang akan berharap bahwa mereka adalah kita, Sasuke. Kita bertiga akan merubah dunia."
Sasuke menarik tubuhnya lebih dekat, mengatakan. "Kalian berdua sudah merubah duniaku. Keluargaku—kita." Dan Sasuke menciumnya, bersungguh- sungguh seperti sebuah janji.
End
AN: Terimakasih sudah membaca sampai akhir cerita. Kisses and hugs untuk kalian yang meninggalkan pendapat dan komentar untuk mengapresiasi :""
Eve akan kembali dengan cerita yang lain--kalau masih ada yang mau.
Anyway, Terimakasih sudah membaca. See you in another story-i do hope so~
Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.
-with cherry on top-
.the autumn evening.