Castle In Your Arms
By: the autumn evening
Pairing: Sasuke/Sakura
Rating: M
Disclaimer: I do not own Naruto, but the story is mine
Warning: AU. Typos. OOC. Multi-chapters. Setting Kerajaan. Royalty. Jealous!Sasuke (My Favorite!)
Summary:
"Aku mengusulkan sebuah aliansi formal dalam bentuk pernikahan untuk menggabungkan Kerajaan Sheine dan Nevalon dengan menawarkan anakku Haruno Sakura, putri mahkota dan pewaris tahta kerajaan. Anak yang dilahirkan darinya akan membawa nama besar Uchiha dan menjadi pewaris tahta dua kerajaan dan menggabungkannya menjadi satu."
Saat Sasuke adalah seorang raja, dan Sakura adalah seorang putri mahkota yang menawarkan diri untuk menjadi ratunya.
.
.
.
"Aku mengusulkan sebuah aliansi formal dalam bentuk pernikahan untuk menggabungkan Kerajaan Sheine dan Nevalon," Raja Sheine, Kizashi Haruno mengatakannya dengan lancar. Dia mengisyaratkan Sakura—sang putri- untuk berdiri di sebelahnya. "Aku menawarkan anakku, putri mahkota, pewaris tahta kerajaan. Anak yang dilahirkan darinya akan membawa namamu dan menjadi pewaris tahta kerajaan Nevalon dan Sheine, untuk menggabungkannya menjadi satu kerajaan."
Sakura mencoba terlihat tegas sekaligus anggun.
Penasehat dan dewan kerajaan Nevalon saling melempar pandang, dengan ekspresi mempertimbangkan, sedang raja Nevalon, Sasuke Uchiha terlihat tidak ingin mempertimbangkannya. Semua otot di tubuhnya menegang marah—dan Sakura tanpa sadar menyadari betapa Raja Sasuke memiliki tubuh yang luar biasa.
"Jangan mengejekku," kata Sasuke dengan nada kasar, menatap Sakura bukannya ayahnya, Sakura menelan ludah.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, ini adalah penawaran yang sungguh- sungguh," ujar Sakura, menegakan tubuhnya. "Kalau kau tidak mau—" kalimat Sakura terjeda saat Sasuke bangkit dari singasana dan melangkah mendekatinya, kemarahan tergambar di wajah tampannya.
"Nevalon adalah kerajaan yang miskin. Kami tidak memiliki apapun untuk ditawarkan yang tidak Sheine miliki. Kau tidak membutuhkan aliansi ini. Jadi jangan," jeda beberapa saat sebelum menambahkan "menghinaku."
"Aku tidak menghinamu!" Sakura membela diri, suaranya lebih keras dari yang ia inginkan, jantungnya berdetak kencang. "Tidak perlu berapi- api, ini hanya sebuah tawaran. Kalau kau tidak mau, kau bisa bilang langsung."
Sasuke melirik punggawanya, seorang dengan sebagian wajah tertutup masker terlihat mengangkat alis , tidak membantu. Sasuke menatap ayah Sakura, lalu pria bermasker, dan seorang berambut hitam di sebelahnya, kemudian menatap Kizashi kembali. Dia tidak menatap Sakura.
"Aku bodoh kalau tidak mau," kata Sasuke pada akhirnya.
"Jangan bersikap seperti aku memaksamu," sindir Sakura, merasa tersinggung. Beberapa pangeran bahkan menganggap Sakura adalah putri idaman, pikirnya. Sasuke meliriknya sebelum menegakan bahunya lebih tegap.
"Kerajaan Nevalon menerima aliansi ini," cetus Sasuke pada ayah Sakura. Raja Haruno mengerutkan alis dengan raut wajah yang menunjukan bahwa dia mungkin akan menyesali ini.
Pria tengah baya itu terlihat ragu dan melirik Sakura, menaikan satu alis, seperti bertanya, "Sungguh? Yang ini? Kau yakin?"
Sakura balas menatapnya dan mengangguk, ya, dia yakin.
"Baiklah," kata Raja Haruno sebelum menghela nafas sekali lagi, seperti orang yang mengajukan tawaran adalah Sasuke dan bukan dirinya. "Selenggaraan pernikahan secepatnya. Aku dibutuhkan di Sheine."
"Satu minggu lagi," kata Sasuke, mengisyaratkan pada raja Haruno untuk menyelenggarakan pertemuan pribadi, meminta Sakura pergi tanpa berbicara lebih lanjut.
Setidaknya Sakura tahu sedikit lebih banyak tentang calon suaminya, pikirnya optimis. Walau dia hanya tahu bahwa Sasuke tidak sopan.
.
.
Seluruh isi kastil Nevalon kalang kabut menyiapkan pesta pernikahan, Sakura berharap semua ini hanya sementara dan berharap kegaduhan segera berakhir. Dia berusaha berjalan memepet ke dinding untuk menghindari pelayan yang membawa gulungan kain yang lebih tinggi dari kepala.
Satu- satunya tempat yang terbebas dari hiruk pikuk persiapan pernikahan adalah di luar kastil. Sakura menyelinap ke sana, bersemangat untuk menjelajah, memasuki kandang kuda.
Di dalam gelap dan damai, kecuali cahaya mata hari yang menerobos masuk melalui celah dinding, udara dikelilingi aroma kuda. Melipat gaun marunnya, Sakura duduk di tumpukan jerami dan menghela nafas lega. Partikel- partikel debu terlihat di celah sinar matahari membentuk garis.
"Hai," sapa sebuah suara di belakangnya, Sakura hampir melompat karena kaget.
"Ya tuhan," pekiknya, memegang dada setelah melihat seorang pemuda dengan rambut pirang cerah tengah menumpukan berat badannya di penggaruk rumput tertawa melihatnya.
"Tidak bermaksud mengagetkan anda, Yang Mulia," kata pemuda itu, melemparkan senyum lebar menawan. Sakura menaksir bahwa pemuda itu seumuran dengannya.
"Tidak apa, aku tidak tahu ada orang lain di sini," respon Sakura, tersenyum balik, "siapa namamu?"
"Saya Naruto," kata pemuda itu, masih berseri- seri seperti Sakura adalah sahabat lamanya.
Di rumah, Sakura juga selalu menikmati menghabiskan waktu dengan pelayan istana atau tukang kebun. Mereka selalu tidak keberatan untuk menjadi kotor selama petualangan di hutan daripada para bangsawan yang seharusnya menjadi teman Sakura. Menyenangkan untuk berpikir bahwa dia akan memiliki teman di Nevalon.
"Bersembunyi dari keramaian?" tanya Naruto. Sakura mengangguk, pemuda pirang itu mendudukan diri di atas jerami di sebelahnya. "Suasana di dalam sana menggila. Orang yang tidak tahu pasti akan mengira mereka sedang menyiapkan perang." Lanjut Naruto simpatik.
"Aku sama gugupnya seperti akan pergi berperang," Sakura mengaku.
"Maksud anda karena Raja?" Naruto memiringkan kepalanya, "saya juga pasti akan takut."
Sakura mengangat bahu. "Ya, bisa dibilang begitu, tapi lebih tepatnya—" dia ragu, tidak yakin bagaimana mengatakannya dengan bahasa yang tepat. Ini bukan sesuatu yang bisa dibicarakan begitu saja dengan orang yang baru ia lihat, tapi Sakura tidak tahan untuk tidak berbicara; dia harus menyalurkan rasa gugupnya. Dan Naruto terlihat baik, maka dia meneruskan "—setelah pernikahan. Kau tahu, sehabis itu."
"Oh," Naruto mengangguk paham, "apa anda pernah melakukannya?"
Sakura mengigit bibir, "Tidak," jawabnya jujur, "tentu saja tidak."
"Itu akan mengalir secara alami," Naruto menenangkan. Sakura bergerak tidak nyaman, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan pertanyaan yang paling ia cemaskan.
"Bagaimana kalau dia tidak—menginginkannya? Aku tidak begitu..." Sakura menunduk, menatap gaunnya yang berkerut karena dia remas.
"Oh, hey, tidak begitu!" sepasang mata biru itu melebar khawatir, "Anda adalah gadis paling cantik yang pernah saya lihat! Kalau saya, jelas saya ingin melakukannya dengan anda." Menyadari kalimatnya, Naruto seketika memerah dan kalang kabut, "Maksud saya, bukan berarti saya membayangkan melakukannya dengan anda! Maksud saya, hanya orang bodoh dan tidak normal yang tidak ingin melakukannya dengan anda!"
Sakura tertawa mendengar nada khawatir dan ocehan Naruto, merasa lebih baik karena ada orang yang bersedia menghiburnya.
"Terimakasih, Naruto," kata Sakura. Naruto kembali tersenyum lebar. "Hei, karena aku sudah ada di sini, bagaimana kalau aku membantumu?" tawar Sakura.
"Itu ide bagus!" jawab Naruto bersemangat. Sepanjang mereka menggosok punggung kuda sampai mengkilap, Sakura tidak lagi memikirkan malam pertamanya.
Sakura menghabiskan waktu dengan senang bersama Naruto hari- hari setelahnya; hari yang terasa semakin cepat berlalu, sampai rasanya begitu singkat. Pertama dia membuka mata di hari pernikahannya dan saat selanjutnya dia sudah berada di samping Sasuke di altar, dengan tamu undangan di belakang dan seorang pendeta di hadapan mereka, memberi nasehat tentang cinta dan kesetiaan.
"Anda boleh mencium istrimu," kata pendeta, melipat tangannya menunggu.
Sakura merasa enggan menatap Sasuke, tiba- tiba merasa malu. Melirik ke atas, dia melihat wajah Sasuke sekaku wajahnya saat berada di singasana hari itu, masih tampan dan tidak ramah. Alisnya turun setengah marah, dia mengenakan pakaian kebesaran dan mahkota berat.
Saat bibir mereka bertemu, mengejutkannya, bibir Sasuke terasa sangat halus. Sakura tanpa sadar menahan nafas, mulutnya terbuka karena kaget.
Seketika, lidah basah dan panas Sasuke memasuki mulutnya, mengejutkan dan tidak pantas dilakukan di dalam sebuah gereja. Sakura meletakan tangannya di dada Sasuke untuk menahan berat badannya. Kerumunan di sekeliling mereka, altar, dan pendeta semua memudar, digantikan suara harmoni berdengung di telinganya.
Sasuke melepaskan ciuman mereka dengan suara cup pelan, tubuh Sakura goyah dan menyandar pada Sasuke tanpa bisa ia cegah.
Setelah itu, Sakura takut untuk menatap ayahnya yang duduk di barisan pertama, maka dia terus menatap pendeta, berpura- pura mendengarkan nasihat sampai akhir upacara dan mengabaikan suara mendengung di telinganya. Ayahnya mengizinkan dia menikah, namun Sakura tidak yakin dia sepenuhnya mengerti bahwa pernikahan akan diikuti hak dan kewajiban. Lebih baik tidak membuat kontak mata dengannya sampai acara berakhir.
Dalam jangka waktu yang terasa seperti sesingkat sebuah helaan nafas, acara selesai. Mereka sudah menikah.
.
.
Setelah itu tidak banyak orang yang bertanya padanya, hanya rentetan anggukan, senyum, dan jabat tangan dengan orang-orang yang namanya tidak dapat ia ingat.
Sakura melempar senyum anggun dan berharap tidak terlihat seperti ringisan tidak nyaman, dan pada akhirnya dia sampai di penghujung barisan. Orang terakhir untuk memberikan selamat adalah paman Sasuke, Obito Uchiha.
"Selamat menikmati," katanya, yang adalah tidak sopan. Kemudian dia pergi, dan semua orang pergi menuju ruang makan malam. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Sakura selain makan dan minum dan tertawa mendengar candaan yang bahkan tidak ia dengar, sebelum mengatakan selamat malam dan naik ke lantai atas, di mana pelayan menunggunya untuk mempersiapkan malam pengantinnya.
Ada banyak renda, dan pita, kainnya—tipis.
"Tidak ada pakaian untuk aku kenakan di bagian luarnya?" tanya Sakura pada pelayan, tanpa banyak berharap. Pelayan itu terlihat seperti mencoba untuk tidak tersenyum. Sakura melipat tangannya untuk menutupi dadanya yang hanya terbungkus gaun tidur tipis dengan renda menutupi bagian tertentu.
"Saya akan periksa sakali lagi," jawabnya, dengan nada seperti seseorang yang mencoba menghibur seorang anak kecil. Sakura menghela nafas.
"Tidak perlu," tidak akan ada bedanya, lagipula.
"Apakah anda memerlukan yang lainnya, Yang Mulia?" pelayan bertanya sopan. Saat Sakura menggeleng, dia membungkuk sebelum pergi, mengisyaratkan Sasuke untuk masuk ke dalam ruangan.
Suami Sakura sudah melepaskan mantel hitam yang tadi ia pakai, hanya memakai baju berkancing dan celana, lengan bajunya dilipat sampai siku, menampakan otot lengan yang kekar. Dia membawa kain beludru di tangan besarnya. Sakura masih melipat tangannya, memikirkan sesuatu untuk diucapkan.
"Apa itu?" Sakura menunjuk kain di tangan Sasuke.
"Ini untukmu," kata Sasuke, tidak menjawab pertanyaannya. Dia membuka kain yang membungkus sebuah kalung indah, batu rubi dan berlian menghias penuh kalung yang berkerlip di atas kain beludru hitam. Sasuke membersihkan tenggorokannya canggung, menyodorkannya.
"Apa kau mau aku—" tanyanya, menunjuk leher jenjang Sakura yang masih terbuka, karena rambut merah muda masih tersanggul rapi.
Sakura mengangguk, membalikan tubuh membelakangi Sasuke untuk memudahkan memasang kalung itu di lehernya. Tubuh Sasuke seperti dinding panas di belakangnya, Sakura merasakan gesekan tidak sengaja tangan Sasuke menyentuh kulitnya, di tulang selangka, tengkuk dan bawah telinganya membuat tenggorokannya terasa kering.
Bibir Sasuke sangat dekat, Sakura dapat merasakan terpaan nafas hangat di kulitnya. Dia menaikan dagunya, untuk semakin mengekspos lehernya. Mungkin ini tidak akan semenakutkan bayangannya, pikirnya. Pernikahan ini, malam ini. Ciuman di altar tadi—Sakura tidak keberatan untuk mendapatkannya lagi.
Namun saat dia mencondongkan tubuh sepenuhnya pada tubuh hangat di belakangnya, dia merasakan panas tubuh Sasuke menghilang, membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.
"Sasuke?" suaranya pelan, membuka mata.
Di sisi lain ruangan, Sasuke sudah membaringkan diri di sofa, punggung membelakanginya, pundaknya tegang. Dia tidak merespon, rahang Sakura terbuka tidak percaya.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya, tangannya menunjuk gaun malam yang ia pakai, walau Sasuke tidak sedang menatapnya. "Apa kau—kita harus menyempurnakan pernikahan kita!"
Setelah beberapa saat, Sasuke menjawabnya, tanpa membalikan tubuh, "Kita hanya perlu menunjukan seperti kita sudah melakukannya."
Mengingat kegelisahan Sakura tentang malam ini minggu lalu, tidak ada alasan untuknya merasa kecewa. Namun rasa sakit karena penolakan Sasuke sangat tajam, walau hanya harga dirinya yang seharusnya tersinggung.
"Aku tahu aku cukup menarik," kata Sakura, nadanya lebih tinggi dari yang ia inginkan, "aku—ada yang mengatakan aku cukup cantik untuk , umm, tidur bersama."
Setidaknya kalimat itu mendapatkan perhatian Sasuke, pada akhirnya. Dia mendudukan diri dan menatapnya tajam.
"Apa? Siapa yang mengatakan itu padamu?"
"Bukan siapa- siapa. Seorang pengawal," Sakura menundukan kepala, "dia hanya mencoba ramah."
"Ramah," ulang Sasuke, otot rahangnya menegang.
"Setidaknya lebih ramah daripada kau," ketus Sakura, membalas tatapan tajam Sasuke.
"Tidurlah," kata Sasuke, dia kembali menunjukan punggungnya pada Sakura.
Ranjang di kamar itu sangat besar dan Sakura kesulitan mencari posisi nyaman, sebelum menuruti nasehat Sasuke untuk tidur dengan tidak senang setelah waktu yang lama.
.
.
Sasuke sudah tidak ada di sofa saat Sakura bangun pada pagi hari selanjutnya, pagi setelah malam pengantinnya. Setidaknya peringatan tentang rasa perih yang seharusnya ia rasakan tidak perlu ia cemaskan, pikirnya menatap langit- langit batu.
Dia menatap sekeliling kamar yang di sinari cahaya pagi untuk kali pertama. Perhatiannya tertuju pada hal lainnya semalam, namun sekarang dia menyadari bahwa ini adalah kamar yang indah, luas, namun tidak terlalu besar sampai terasa tidak nyaman. Dengan jendela- jendela tinggi dan tirai merah yang jatuh hingga menyapu lantai. Kamar yang sangat indah untuk menghabiskan malam pengantin, pikirnya pahit.
Saat dia melangkah menuju lantai bawah untuk mencari sarapan, dia menemukan Sasuke sudah duduk di meja, sendiri, membaca beberapa gulungan sambil mengunyah roti madu.
"Aku akan berkendara," kata Sakura lebih kepada udara kosong.
Namun di balik gulungan, suara kunyahan roti berhenti. Beberapa saat kemudian, wajah keras Sasuke menampakan diri.
"Berkendara?" ulangnya, "naik kuda?" Sakura memicingkan mata, tangannya menyobek kue kismis lengket.
"Bukan, naik bebek," jawab Sakura. Sasuke mengabaikan jawaban sarkastik Sakura, raut wajahnya semakin tidak setuju.
"Sendiri?" tanyanya, Sakura mengedikan bahu.
"Aku bisa membawa seorang pengawal dari kandang, " usulnya. Mendengarnya, alis Sasuke semakin mengerut.
"Aku temani," dia memutuskan sebelum kembali menghilang di balik kertas yang isinya mungkin bukan sesuatu yang penting, pikir Sakura sebal.
"Aku tidak mengundangmu," kata Sakura keras, namun Sasuke memilih untuk menjadi tuli sebagian. Meninggalkan sarapan dengan menghela nafas, Sakura pergi untuk mengganti pakaiannya.
Saat Sakura sampai di depan kandang, dia menemukan teman barunya sudah berada di sana, bersama seekor kuda.
"Hei tampan," kata Sakura menyapa kuda itu. Kali ini giliran Naruto yang melompat kaget, dia membungkuk saat melihat siapa yang datang.
"Saku—Ratu Sakura," katanya, cukup sopan, melirik ke belakang pundak Sakura "apa anda ingin menunggang kuda?"
"Istriku dan aku membutuhkan dua kuda," kata Sasuke, Sakura memutar kepala kaget, dia bahkan tidak mendengar kehadiran Sasuke. Pria itu berjalan seperti kucing.
Naruto dengan cepat memasang pelana pada dua ekor kuda, satu cokelat dan satu lagi berwarna hitam. Sasuke memeriksa pelana hasil kerja Naruto, namun bukannya tersinggung, pemuda pirang itu memanfaatkan Sasuke yang sedang teralihkan perhatiannya. Dia menaikan sebelah alis pada Sakura, seperti bertanya 'bagaimana semalam?' dalam diam.
Walaupun Sakura tahu bahwa menjawabnya bukanlah ide bagus, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak merengut dan mengedikan bahu kecewa. Naruto merengut kaget.
Keduanya sudah membenarkan ekspresi mereka saat Sasuke membalikan tubuh. Pria bersurai hitam itu menatap keduanya curiga.
Naruto maju untuk membantu Sakura menaiki kuda, namun tubuh besar Sasuke menghalangi Naruto. Dia mengangkat Sakura seperti gadis itu sama sekali tidak berat, dan mendudukannya pelan di atas pelana.
Sasuke juga menolak bantuan Naruto untuk membantunya naik, dia mengayunkan tubuhnya dalam satu gerakan ahli. Sakura memutar bola mata, kuda hitam jantan, tipikal.
Angin terasa segar menerpa wajahnya saat mereka berkendara pelan menuju luar gerbang kastil. Walau dengan kejadian tidak menyenangkan semalam masih membayangi, Sakura masih bisa tersenyum tanpa alasan. Susah untuk terus marah dalam waktu yang lama saat kau tengah mengendarai kuda di hari yang indah pada musim semi.
"Apa yang tadi itu—" mulai Sasuke sebelum menjeda, dan tidak menyelesaikannya.
"Apa?" tanya Sakura, Sasuke menghela nafas.
"Lupakan," gumamnya.
.
.
Kuda coklat yang ia tunggangi sangat bersemangat, Sakura mengendalikannya dengan sedikit kepayahan. Dia cukup tersanjung Naruto mempercayainya untuk menungganginya. Biasanya orang menganggap seorang putri yang dibesarkan untuk berada di dalam istana tidak cakap di atas kuda.
Diterpa udara April, dan sisa ketegangan semalam—dan kalau dia boleh jujur, bahu kekar Sasuke yang terbungkus mantel panjang dan celana yang menempel di kulit tidak membantu Sakura tenang. Sakura merasa seperti akan keluar dari kulitnya kalau energinya tidak dikeluarkan.
"Ayo balap!" teriak Sakura, dia memacu kudanya sebelum Sasuke bisa meresponnya.
Sakura berpura- pura tidak melihat saat Sasuke menyalipnya seperti petir, pria itu rmemelankan laju setelah sedikit jauh. Sakura ikut memelankan laju, walau kudanya sedikit melawan, melibaskan kepala.
"Shh," bisik Sakura, mengelus kepalanya lembut. Kudanya meringkik sebelum akhirnya memelan saat mereka sudah dekat sebuah kolam.
Saat Sakura mendongakan kepala, dan terperangah saat melihat Sasuke tersenyum menatapnya, untuk pertama kalinya, terlihat sangat tampan sampai menyakitkan. Tubuhnya atletiknya dimandikan cahaya matahari pagi, rambutnya tersapu angin. Pria itu membuka beberapa kancing depan bajunya, Sakura dapat melihat keringat berkilau di lehernya, Sasuke tengah mengatakan sesuatu.
"Apa?" tanya Sakura tidak fokus.
"Aku bilang—" ulang Sasuke, namun Sakura tidak mendengar lanjutannya, karena saat itu kuda Sasuke tanpa sengaja melompat saat seekor ayam hitam muncul dari semak. Membuat kuda Sakura ikut melompat liar, dan sebelum Sakura sempat memegang kendali, tubuh Sakura mengayun di udara dan dan jatuh tercebur ke dalam kolam.
Setelah beberapa saat, gadis itu muncul ke permukaan, tertawa. Air terasa sedingin es di kulit, namun kolam tidak begitu dalam, dia bahkan bisa berdiri. Dia mengelap air dari wajahnya dan memandang sekeliling mencari Sasuke.
Sakura melihat Kuda hitam jantan berdiri tanpa penunggang, dia memutar tubuh sampai dia menemukan Sasuke. Dia ada di pinggir kolam, tengah berjalan menuju Sakura dengan air setinggi lutut, wajahnya pucat pasi.
"Hei, jangan ke sini! Kau tidak perlu ikut basah!" Sakura setengah berteriak. Bibir Sasuke bergerak, namun Sakura tidak bisa mendengarnya, telinganya penuh dengan air. Dia berjalan susah menuju tepi, mencoba menyingkirkan air yang memberatkan langkah. Saat mereka sudah cukup dekat, Sasuke setengah mengangkatnya menuju daratan.
"Apa kau terluka?" tanya Sasuke mendesak, tangannya bergerak menyentuh tubuh Sakura, terasa panas di kulit membekunya.
"Aku baik- baik saja," kata Sakura, berusaha melepaskan diri karena tidak nyaman. Matanya mengedipkan, air mengalir dari bulu matanya.
Bibir Sasuke menipis saat dia melihat kondisi Sakura, matanya terpaku pada bibir, dan dada Sakura.
Sakura tahu dia pasti terlihat menggelikan, baju menempel seperti kulit kedua, pipi memerah karena dingin dan lelah. Dia melihat ke bawah dan, oh Tuhan, branya terlihat lewat baju putihnya yang basah.
Sakura menyilangkan tangan cepat untuk menutupi dadanya. Lagi- lagi Sakura meninggalkan kesan buruk pada suaminya.
"Ini," Sasuke melepaskan mantelnya dan menyerahkannya pada Sakura, mau tidak mau gadis itu menerimanya, daripada membiarkan mantel indah itu jatuh ke tanah. "Jangan menghabiskan waktuku mengendarai kuda yang tidak bisa kau kendalikan."
Mulut Sakura terbuka seperti ikan, sisa tawa seketika menghilang.
"Tadi bukan salahku!"
Sasuke melangkah menuju kudanya, Sakura mengikutinya dengan mantel Sasuke membungkus tubuhnya sampai betis. "Kau tahu pasti tadi itu bukan salahku!" dia berteriak pada punggung bisu Sasuke.
Menambah ejekan, Sasuke menolak untuk mengizinkan Sakura menunggangi kudanya kembali ke kastil, walau Sakura sudah berjanji untuk berjalan sepelan angsa. Mengabaikan protes Sakura, Sasuke mengangkatnya naik ke atas kuda hitam miliknya sebelum mendudukan diri di belakang Sakura.
Sakura menolak untuk berterimakasih atas perlakuan Sasuke. Tapi saat angin bertiup kencang di perjalanan, Sakura tidak menahan dirinya untuk sedikit menyandar ke dada besar dan hangat Sasuke.
.
.
"Apa yang kau lakukan, memberikan kuda yang tidak terlatih pada Ratu?" Sasuke memarahi Naruto saat mereka sudah sampai di depan kandang, seperti dia sudah siap untuk memukul pemuda pirang malang itu, "Apa kau mencoba untuk membunuhnya?"
"Sasuke, hentikan," kata Sakura, saat Sasuke sepertinya akan mengabaikannya, dia menambahkan, "lagipula, ini karena kudamu yang menakuti kudaku."
Sasuke menatap Sakura seperti dia baru saja ditampar.
"Bukan—bukan berarti itu salahmu," Sakura mengoreksi, melihat ekspresi terkhianati Sasuke. "Maksudku, ini bisa terjadi pada siapapun. Dan—dan aku dingin." Tambah Sakura, baru menyadarinya saat dia mengatakannya. Tubuhnya mengigil.
Melihatnya, Sasuke menjauh dari Naruto untuk meraih selimut yang menggantung di salah satu tiang. Dia membungkuskannya erat pada tubuh Sakura. Kain itu kasar dan beraroma kuda, namun sangat hangat dan Sakura tersenyum berterimakasih. Sasuke membersihkan tenggorokan.
"Aku akan memberitahu pelayan untuk menyiapkan air panas," ujar Sasuke, dia melangkah pergi tanpa berbalik.
Naruto melihatnya dengan bibir merengut.
"Bukan tempat saya untuk mengkritik seorang raja, tapi," Naruto berkata pelan, seperti tidak bisa menahan pertanyaannya, "apa dia sungguh tidak—"
Sakura mengangguk.
"Itu buruk," respon Naruto, merengut semakin dalam. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, "Dia seharusnya memperlakukan anda dengan lebih baik. Dan saya juga berpikir dia tidak ingin anda menghabiskan waktu dengan saya..."
"Oh, yang benar saja!" gerutu Sakura, menggesekan kedua tangannya untuk menghangatkan tubuh, "kau adalah temanku satu- satunya di istana."
"Tentu saja kita tetap akan berteman," kata Naruto tegas, "dia mungkin raja, tapi dia tidak bisa menyuruh-nyuruh anda. Ke sinilah kapanpun anda mau."
Syukurlah, pikir Sakura. Kalau dia tidak bisa setidaknya mengeluh pada satu- satunya orang yang menunjukan rasa peduli padanya, dia bisa jadi bisu.
.
.
Saat Sakura sampai di kamar Sasuke, sebuah bak mandi dengan air hangat sudah menunggunya, menghembuskan kepulan asap menuju langit- langit batu yang tinggi. Ada handuk tebal yang terlihat lembut di gantungan. Sakura dengan cepat melepaskan pakaian basahnya, hampir tersandung saat mencoba mencopot stoking agar dapat segera menghangatkan diri.
Dia menenggelamkan diri dengan helaan nafas berat. Sasuke terlalu menganggap remeh negosiasi pernikahan mereka, tanah kerajaan Nevalon bisa dikategorikan kecil, namun terkenal dengan bala tentara yang kuat, mereka juga memiliki cukup kekayaan. Bak mandi dari tembaga ini cukup membuktikannya, aroma terapi manis lembut tercium dari air hangat.
Untuk waktu yang lama, Sakura berendam nyaman, menunggu rasa nyeri dari tulang- tulang bekunya menghilang. Dia bersenandung, mata terpejam dan melengkungkan kakinya di sisi lain bak.
Saat tubuhnya menghangat dan jemarinya mengkerut, kebutuhan fisik lain mulai ia rasakan. Ingatan tubuh keras Sasuke menempel di punggungnya saat berada di atas kuda terus membayang di pikirannya, bersamaan dengan ciuman menakjubkan di altar.
Dia mungkin bisa mengabaikan malam- malam panjang setelah pernikahannya—fantasi yang sudah ia bayangkan sejak dia cukup dewasa untuk menyadari ketampanan seorang pria—jika saja ingatan bibir lembut dan hangat Sasuke yang mengunci dan bergerak bersama dengan miliknya di depan sekumpulan orang yang menonton tidak terjadi. Ingatan itu membuat tubuhnya lebih panas daripada efek air hangat, Sakura mengigit bibir, tangannya bergerak di bawah permukaan air.
Mungkin malam ini, Sasuke akan mendatanginya. Dia membayangkan, mungkin Sasuke akan menaikan gaun malam Sakura sampai leher, menekannya ke ranjang dengan tubuh besar dengan otot beratnya.
Sakura menenggelamkan diri semakin rendah, air menggenang sampai bibirnya yang terbuka, jemarinya menari di bawah sana.
Apa yang akan Sasuke lakukan kemudian? Mungkin dia akan mencium bibirnya lagi, dan menggunakan bibirnya untuk menciumnya di sana? Seperti candaan para pelayan saat mereka pikir Sakura tidak dengar. Sasuke memiliki bibir yang indah, walau dia hanya menggunakannya untuk merengut.
Dan mungkin setelahnya, Sasuke akan menyempurnakan penyatuan mereka. Perlahan sampai Sakura memohon untuk lebih. Jemari Sakura bergerak semakin berani di bawah permukaan air
Detik selanjutnya, Sakura membeku, dia mendengar pintu kamar mandi yang dibuka.
Malu, Sakura semakin memejamkan matanya erat, nafasnya cepat, wajahnya memerah—walau hasratnya masih menuntut. Sebuah tangan mengelus rambutnya, Sakura ingin berteriak malu.
"Apa yang kau lakukan saat aku meninggalkanmu sendiri," gumam Sasuke, suaranya sangat dekat dari yang Sakura harapkan. Ragu, Sakura membuka mata, takut dengan apa yang mungkin ia akan lihat.
Sasuke menekuk lutut di samping bak mandi, matanya hangat dan sayu, tidak melihat tubuh Sakura, hanya melihat wajahnya. Saat dia melihat Sakura menatapnya, bibirnya melengkungkan senyum kecil, jarinya mengelus tulang pipi gadis di hadapannya.
"Istri mungilku," bisiknya lembut, "milikku."
"Aku tidak mungil," kata Sakura, suaranya serak karena hasrat, membuatnya menggigit lidah. Kelembutan hilang dari wajah Sasuke mendengarnya seperti garam larut dalam air.
"Jangan terlalu lama. Makan malam satu jam lagi." Dia membersihkan tenggorokan dan bangkit berdiri.
Di ambang pintu, Sasuke berhenti, "Kalau barusan kau memikirkan—pemuda itu," katanya.
"Apa? Tidak!" protes Sakura, kepalanya muncul ke permukaan, menegakan tubuh. Dia meringis memikirkannya. Naruto baik, namun Sakura tidak tertarik padanya lebih dari seorang saudara. "Dan jika aku memikirkannya, itu terserah aku."
"Ya," kata Sasuke pelan, "aku hanya ingin kau lebih berhati- hati dan jangan menampakannya. Setidaknya demi aliansi."
Bibir Sakura terbuka tidak percaya. Sebelum Sakura dapat merespon tuduhan ketidaksetiaan sehari setelah pernikahan, saat Sasuke bahkan tidak menunjukan ketertarikan sama sekali dan tanpa bukti untuk bisa menuduh, pintu kamar mandi sudah tertutup.
Sakura membenturkan kepalanya pada pinggir bak, mencoba untuk menenggelamkan diri.
.
.
AN: Saat seseorang yang tidak tahu apa- apa tentang kerajaan bikin cerita bertema royalty; . Ha. HAHAHA *ini aku menertawakan diri sendiri*
Eve stuck nih, buat kasih nama titel untuk para bangsawan-dan jabatan- yang biasanya orang pakai di kerajaan(makanya di sini cuma disebutkan; penasehat, dewan, hihi) HELP!
...
Dan tentang malam pertama, nggak semua pasangan 'melakukannya' di malam pertama, jadi jangan baper, Sakura. Aku aja malam pertama cuma cuddling dan ngobrol sampai pagi sangking nggak percaya dan bahagia karena kami udah menikah(mostly karena malam itu aku sama sekali nggak siap dan takut dan suamiku tahu itu lol). And that night, i had my first kiss, at my wedding night, isn't that sweet? Ahhh~ beautiful...
Anyway, Terimakasih sudah membaca. See you in the near-ish future~
Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.
-with cherry on top-
.the autumn evening.