"Untuk perayaan Sakura yang akhirnya diterima di stasiun TV yang diinginkannya!"
Para perempuan yang kurang lebih berumuran sama itu mengangkat gelas mereka di udara lalu mengetukkannya bersama.
"Campaign!"
Setelah suara dentingan gelas itu menggema, mereka tertawa bersama sebelum meminum gelas berisi air soda tersebut sampai habis. Kelima gadis yang berada di sana kembali tertawa begitu minuman mereka habis. Hanya salah satu dari mereka yang tertawa kecil, sangat kontras dengan keempat gadis lainnya yang tertawa cukup keras di dalam ruang tengah toko bunga itu.
"Kau tahu, aku hampir saja menertawakan kebodohanmu," ucap salah satu dari mereka yang memiliki rambut pirang panjang dan dikuncir ekor kuda. Dia menyeringai melihat gadis dengan mahkota soft pink di sebelahnya itu merengut kesal padanya, "seorang reporter pemula bermimpi bisa masuk ke stasiun TV paling terkenal di Tokyo dalam waktu sebulan? Kupikir kau gila." Lanjutnya dengan seringai yang sangat menyebalkan.
Haruno Sakura, nama gadis berambut soft pink yang hanya mendengus kesal sebelum kembali mengisi gelasnya dengan soda putih tersebut, "Harusnya jika kau sudah mengenalku sejak SMP, kau pasti tahu aku selalu serius dengan kata-kataku, Pig." Ketusnya.
Perempuan yang dipanggil 'Pig' itu hanya menunjukkan deretan gigi putihnya lalu memeluk leher sahabat sepermainannya tersebut, "Dasar kau tukang pamer!" teriaknya dengan senyum lebar di wajahnya sembari memberantakkan rambut Sakura yang sudah disisir rapi sebelumnya.
"Hentikan, Pig!" Sakura mencoba mendorong dagu perempuan berambut pirang itu dengan kuat, namun temannya itu tidak mau kalah, "INO! KAU MEMBERANTAKKAN RAMBUTKU, SIAL!" teriaknya dan mulai menjambak rambut pirang panjang di sampingnya dengan gemas.
"AW! SAKIT, FOREHEAD!" teriak Yamanaka Ino yang langsung menutup wajah Sakura dengan telapak tangannya.
"SIAPA JUGA YANG DULUAN NYARI MASALAH!?"
"KAU INI—"
Melihat pertengkaran kekanakan di depannya yang tak dapat dihindarkan, seorang perempuan yang paling lembut di antara yang lain hanya bisa panik sembari mengangkat kedua tangannya, "J-Jangan bertengkar, Sakura, Ino." Dengan volume suara yang tentunya tidak akan terdengar oleh dua perempuan yang sibuk berteriak itu.
Di sampingnya, Tenten—nama perempuan yang memiliki rambut berwarna cokelat tua dan dicepol dua itu—hanya mendengus sembari meminum minuman dari dalam gelasnya sendiri, "Biarkan saja, Hinata. Nanti juga mereka berhenti sendiri jika rambut mereka sudah seperti singa." Ucapnya dengan santai.
Hyuuga Hinata mengepalkan kedua tangannya di depan dada, "Ta-Tapi—"
"Dari pada itu," Temari yang baru saja mendesah lega setelah meminum habis minumannya itu langsung menyeringai melihat gadis di sebelahnya. Hinata menoleh dan melihat gadis berambut pirang yang dikuncir empat itu menunjukkan deretan gigi putihnya dengan latar belakang Sakura dan Ino yang masih mengacak rambut satu sama lain, "bagaimana perkembangan hubunganmu dengan bocah rubah itu?"
Gadis berambut hitam keunguan yang panjang dan lurus tergerai itu sedikit memiringkan kepalanya dengan bingung. Menatap Temari dengan ekspresi polosnya. Beberapa detik berlalu sampai Hinata tersadar apa maksudnya dan kedua pipinya memerah, "Ah... tidak. Ma-Masih seperti biasa—"
"Hah!? Bukankah kau sudah ada kemajuan kemarin saat Naruto mentraktirmu ramen?" potong Sakura sementara kedua tangannya masih meremas sisi-sisi kepala Ino yang juga ikut menoleh ke arah Hinata.
Kedua mata aquamarine milik Ino langsung berbinar, "Waah, apa ini? Apa ini? Ceritakan padaku!" teriaknya semangat sembari melepas kepala Sakura dari cengkeramannya.
Dan kini fokus keempat gadis itu telah berada pada Hinata yang mulai panik melihat mereka semua. Dia tertawa kecil dengan kaku dan menggeleng pelan, "Ti-Tidak ada yang bisa kuceritakan, sungguh! Naruto-kun hanya membelikanku ramen lalu kami makan bersama kemudian dia mengantarku pulang sampai ke rumah. Itu saja."
Setelah Hinata mengakhiri penjelasannya, suasana di antara mereka kembali terasa hening. Sampai Temari kembali angkat bicara, "Hanya itu?" Hinata melirik Temari lalu mengangguk cepat. Melihat ini, Temari mendengus kasar, "Membosankan."
Sakura di sisi kirinya langsung menyikutnya kuat, "Kau yang punya pacar pemalas tidak pantas berbicara seperti itu, bodoh."
"Oh, aku mendengar ini dari seseorang yang pacarnya hampir tak pernah menghubunginya."
"...Pacar kalian sama saja." Keluh Tenten.
"ENAK SAJA!" / "BEDA YA!"
Teriakan yang keluar bersamaan dari mulut Temari dan Sakura itu hanya membuat Tenten memutar kedua bola matanya bosan lalu melihat ke arah lain. Ino hanya tertawa setelah selesai merapikan rambutnya. Dia berjalan ke arah mejanya dan kembali memakai celemek yang biasa digunakannya saat mengurus tanaman-tamanan di dalam toko bunganya.
"Merepotkan ya punya pasangan," gumam Ino setelah tertawa. Dia berjalan menghampiri meja dimana teman-temannya berkumpul lalu berkacak pinggang di depan mereka semua—lebih tepatnya berdiri di samping Tenten yang masih duduk dengan menopang dagunya, "sepertinya keputusan kita untuk tetap single tidak salah, benar 'kan Tenten?"
"Absolutely," jawab Tenten cepat. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di belakangnya. Lalu dia melirik Hinata yang duduk di sampingnya, "Hinata, kau juga single seperti kami tapi kau masih memiliki mata pada petugas pemadam kebakaran itu. Saranku sih, jangan terlalu berharap padanya jika kau tidak mau sakit hati, Hinata. Dia sudah terlalu sering memberi harapan kosong padamu." Tambahnya.
Sedikit kaget karena topik kembali berpindah padanya, Hinata hanya sedikit menundukkan kepalanya. Dia tidak bisa membantah perkataan salah satu teman baiknya itu. Karena memang benar, Hyuuga Hinata menyukai Uzumaki Naruto dan selalu bertepuk sebelah tangan itu sudah menjadi rahasia umum sejak mereka semua masih SMA. Hampir tidak ada yang tidak mengetahui tentang ini di angkatan mereka.
...Kecuali Naruto sendiri. Mungkin.
Ino kembali menyela, "Pria itu berada di garis antara tidak peka dan terlalu bodoh." Lalu dia berjalan meninggalkan teman-temannya dan menghampiri salah satu bunga jualannya untuk membersihkan kelopaknya dengan hati-hati, "Tapi, aku masih mendukungmu jika kau mau mengejar Naruto, Hinata. Hanya saja aku juga setuju pada perkataan Tenten, siapkan saja dirimu." Ucapnya tanpa menoleh lagi.
Hinata akhirnya tersenyum kecil, menatap punggung Ino dari kejauhan, dia mengangguk, "Terima kasih, Ino."
Berkat perkataan terakhir itu, suasana di antara mereka kembali kaku. Sakura melirik Ino yang telah sibuk sendiri di kejauhan—wajar saja, sebentar lagi toko bunga Yamanaka akan kembali dibuka. Saat pikirannya terus terbang entah kemana, Temari di sampingnya kembali membuka suara, "Ngomong-ngomong, Sasuke adalah kepala bagian produksi di stasiun TV tempatmu bekerja, 'kan? Apa di sana sudah ada rekanmu yang tahu tentang hubungan itu?"
Mendengar nama kekasihnya disebut itu membuat Sakura menoleh. Dia menatap Temari dengan senyum kecil di wajahnya, "Tentu saja belum ada. Sasuke-kun cukup terkenal di sana dan—" jeda sejenak mengingat percakapan terakhirnya dengan Sasuke sesaat sebelum mencoba ujian masuk stasiun TV tersebut, Sakura menghela napasnya.
"—kami sudah memutuskan untuk menyembunyikan hubungan kami di sana."
Kata-kata ini membuat keempat gadis di sana menatap Sakura dengan pandangan yang berbeda. Tak lama kemudian, Sakura menggaruk belakang kepalanya sembari tertawa, "Yah, apa boleh buat, hahaha! Kalau sampai terjadi kekacauan karena hubungan kami bisa-bisa posisi kami terancam, 'kan? Ini juga untuk kebaikan masing-masing ehehe." Ucapnya dengan senyuman tegar yang telah dihafal para teman-temannya di sana.
Melihat Sakura yang tetap ceria seperti biasa, Hinata tak bisa menahan senyuman kagumnya, "Kau benar-benar kuat, Sakura."
Tenten mendengus, "Aku pikir selama ini kau perempuan yang terlalu beruntung bisa mendapatkan Uchiha Sasuke yang digilai para wanita itu. Tapi, ternyata sebaliknya ya." Gerutunya dengan senyum kesal di wajah manisnya.
Temari mendengus menahan tawa, "Untuk pertama kalinya aku setuju denganmu." Ucapnya sembari menatap Tenten dengan senyum mengejeknya sementara Tenten hanya memutar kedua bola matanya. Mencoba mengabaikan sahabat sekaligus rivalnya sejak SMA itu.
Hanya Ino yang tidak mengatakan apapun. Dia berhenti sesaat dari kegiataannya membersihkan kelopak bunga dan menatap Sakura yang sedang tertawa bersama teman-temannya yang lain itu dari belakang. Melihat tak ada yang perlu dikhawatirkan, Ino tersenyum lembut lalu kembali fokus pada bunga daffodil di tangannya.
Sakura berhenti tertawa lalu melirik pemilik toko bunga yang sedang fokus sendiri itu. Tersenyum penuh arti, Sakura berteriak, "HEI, INO!" kaget mendengar teriakan itu, Ino berhenti lagi dan menoleh. Sakura menunjukkan deretan gigi putihnya dengan kepalan tangan di sampingnya.
"Seperti yang kau bilang kemarin," Sakura mengedipkan sebelah matanya, "di stasiun TV tempatku bekerja sekarang banyak para kru tampan lho." Ucapnya lagi sembari mengacungkan jempolnya.
Ino menaikkan sebelah alisnya, "Hah?"
"Tenang saja, aku sangat selektif memilih lelaki yang cocok untuk Pig kesayanganku!"
Untuk beberapa saat, Ino terpaku di posisinya. Menatap Sakura antara bingung dan kaget. Lalu meski hanya sesaat, ada tambahan emosi lain yang berusaha disembunyikan Ino. Tapi, pada akhirnya gadis keturunan blasteran Jepang-Inggris itu hanya tertawa kecil dan menanggapi perkataan Sakura sebagai candaan seperti biasa.
Ya, benar.
"Urus saja urusanmu sendiri, Forehead!"
Jangan menganggap serius hubungan yang hanya akan berjalan sesaat.
.
.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Kira Desuke
Main Pairs : SasuSaku, SaIno, ShikaTema, NaruHina, NejiTen
Genres : Romance/Hurt/Comfort
Rate : M
Warnings : Sex scene, semi-OOC, harsh languages
.
Fanfic Commission for PY
.
.
.
SUNFLOWER
[Feelings of adoration, admiration, and platonic love towards a person, such as a family member or friend]
.
Chapter 1
SaIno (main) & SasuSaku
.
.
.
Berjalan cepat mencari kepala produser stasiun TV tempatnya bekerja sekarang, laki-laki berambut hitam itu melewati setiap orang yang berada di jalannya. Tak sengaja sesekali bahunya menabrak para kru lain yang juga sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Asisten produser itu memegang gulungan kertas yang berisi tentang susunan acara yang akan tayang berikut isi-isinya pada hari ini.
Seharusnya isi acara ini sudah diserahkan pada sang kepala produser sehari sebelumnya. Tapi, di detik-detik sebelum kepulangan sang kepala produser kemarin, ada kesalahan dalam susunan acara itu saat akan diterima, sehingga mau tak mau sang asisten harus menyerahkan kembali catatannya pada kru editor dan baru bisa diserahkan pada hari ini. Lebih tepatnya... telat dua jam dari waktu yang ditentukan karena suatu alasan yang tak bisa dijelaskan.
Oh, semoga saja kepala produser itu tidak akan membunuhnya.
...Meskipun kepala produsernya itu adalah teman semasa SMA sih.
"Sasuke!" dia reflek berteriak begitu membuka pintu ruang penyiaran dua—dimana inilah lokasi para kru lain mengaku sempat melihat produser utama mereka.
Sai—nama pria itu—terengah pelan sebelum dia kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekati Uchiha Sasuke yang sedikit duduk menyandar pada ujung meja di belakangnya. Pemimpin produser utama itu mengenakan kemeja abu-abu tua dengan jas luaran berwarna hitam yang tidak dikancing.
Sasuke menoleh pelan dan menatap Sai dengan ekspresi datar seperti biasa. Hanya ada laki-laki tampan berambut raven itu di sini, mengingat sejak tengah malam yang digunakan hanya ruang penyiaran pertama dan ketiga.
Membiarkan asistennya itu berjalan mendekatinya, Sasuke kembali memejamkan kedua matanya dan menatap lurus komputer di depannya, "Sepertinya ada seseorang yang berjuang keras." Ucapnya dengan maksud yang jelas sekali untuk menyindir.
Sai tersenyum meski napasnya masih memburu dan keringatnya mengalir di sisi wajahnya, "Berkat seseorang, aku sudah berlari mengellingi gedung ini sejak pagi." Jawabnya dengan nada kesal yang tidak tersembunyi sama sekali. Namun, itu sama sekali tidak mengubah ekspresi Sasuke yang tetap datar sembari membaca laporan kertas yang diberikan Sai padanya.
"Sesuai rapat minggu lalu, acara Talk Show dengan nona Tsunade diganti mulai minggu ini dari hari Jum'at menjadi hari Selasa pada pukul tujuh malam." Sai membaca copy dari laporan itu yang telah dia buat sebelumnya dan membacakan poin-poin penting yang perlu Sasuke ketahui terlebih dahulu.
"Lalu, selingan acara Kabar Berita siang dan sore akan mulai diberlakukan pula sesuai jadwal. Pembaca berita yang sudah menanda tangani kontrak adalah tuan Omoi, tuan Shino, nona Samui, dan nona Konan. Mereka akan bergantian membawa acara sesuai pilihan jadwal masing-masing."
Sai kemudian menutup penjelasannya. Sasuke masih belum merubah ekspresinya sampai akhirnya dia memejamkan kedua matanya dan mengangguk, "Jangan lupa atur jadwal acara edukasi anak-anak yang membutuhkan bimbingan orang tua." Ucapnya. Sai hanya mengangguk sembari mencatat cepat di catatan kecil yang selalu dia bawa kemana-mana.
Sasuke memperhatikan Sai yang masih mencatat dengan tatapan seolah menunggu sesuatu sampai akhirnya dia membuka mulutnya, "Bagaimana dengan seleksi reporter pemula yang berjalan minggu lalu? Apakah sudah keluar hasilnya?" tanyanya.
Pria berkulit putih pucat dengan rambut hitam yang lurus itu sedikit tersentak seolah menyadari sesuatu. Dia menutup mulutnya lagi lalu membalik catatannya yang dia simpan di tumpukan paling belakang kertas-kertas yang dia bawa. Pemuda itu menghela napas seolah lega karena masih sempat membawa catatan itu—mengingat dia sempat hampir melupakan soal ini.
Sai menatap Sasuke kembali, "Ya. Technical meeting untuk mereka sudah diumumkan dua hari lagi dan pihak produser berita sudah mengetahui soal ini," Sai menyerahkan dua lembar kertas yang disatukan dengan paper clip pada Sasuke, "maaf baru sempat memberi tahumu sekarang, kepala produser."
"Yang penting divisi berita sudah mengetahui kru-kru terbaru mereka." Respon Sasuke dengan cepat. Sai hanya mengangguk memperhatikan Sasuke yang telah fokus dengan deretan sepuluh nama yang tertera di dalam tabel. Kedua iris onyx-nya jelas menunjukkan bahwa dia benar-benar membaca isi pengumuman di tangannya itu dengan teliti.
Sebagai pihak yang tidak turun tangan langsung memegang bagian perekrutan di salah satu divisi terpenting untuk stasiun TV ini, tentu saja Uchiha Sasuke tidak akan tahu lebih detail selain garis besarnya yaitu stasiun TV Tokyo ini memang selalu membuka perekrutan anggota kru TV baru setiap setahun sekali. Dan kali ini sudah masuk ke bagian perekrutan reporter untuk divisi berita dimana detailnya lebih diperhatikan kepala produser berita itu sendiri.
Sasuke sebagai kepala produser utama dari keseluruhan acara TV hanya cukup membaca laporan dan memberi konfirmasi bahwa dia menyetujuinya. Dia juga yang bertanggung jawab sepenuhnya dan memberikan ide baru untuk kemajuan stasiun TV. Sisa programnya akan diatur oleh divisi masing-masing yang bersangkutan yang tentunya masih diawasi oleh Sasuke selaku pemimpin.
Entah Sai menyadarinya atau tidak ketika Sasuke berhenti membaca pada satu nama. Meski hanya sekilas, ekspresi Sasuke sempat terlihat terkejut namun dia kembali tenang... hingga akhirnya melembut. Sudut-sudut bibirnya sedikit terangkat walau sangat tipis hingga rekannya yang seumur namun masih memiliki jabatan di bawahnya itu tidak menyadarinya.
Jempol Sasuke sedikit menekan di atas nama seorang wanita yang dikenalnya ketika dia bergumam pelan, "Selamat."
Kali ini, Sai menyadari Sasuke bersuara dan reflek bertanya, "Apa?"
Tanpa langsung menjawab, Sasuke mengembalikan kertas itu pada Sai yang menerimanya dengan bingung, "Tidak ada. Mereka sudah dipastikan sebagai pilihan yang tepat, 'kan?" tanya Sasuke.
Pria berambut hitam yang hanya memakai kemeja putih dengan satu kancing atasnya yang terbuka itu langsung menjawab, "Ya, tuan Rock Lee—produser berita—yang langsung turun tangan menilai mereka saat ujian berlangsung, jadi seharusnya tidak ada kesalahan."
Mendengar ini, Sasuke terdiam sesaat sebelum bergumam pelan, "...Begitu," dia melihat ke arah lain seolah memikirkan sesuatu, namun enggan mengatakannya.
Menyadari ada yang Sasuke sembunyikan, Sai melihat kembali laporan nama sepuluh reporter yang lolos masuk ke stasiun TV mereka. Ekspresi pria itu sebenarnya tak jauh beda dari pria berambut biru dongker di hadapannya. Mereka berdua sama-sama sulit ditebak, namun setidaknya Sai tahu biasanya jalan pikiran mereka masih searah. Tersenyum penuh arti, Sai kembali mengangkat kepalanya.
"Haruno Sakura ya?"
Sasuke sedikit kaget mendengar ini, tapi dia dapat menyembunyikannya dengan baik, "Hn?"
Sai belum menghilangkan senyumnya, "Hanya dia lulusan dari SMA yang sama dengan kita setelah sekian lamanya," Sai melipat kedua tangannya di depan dada, "kau pasti penasaran dengannya."
Memejamkan kedua matanya, Sasuke dengan cepat membalas, "Tidak juga," lalu berdiri dari posisinya yang sebelumnya menyandar, dia menambahkan, "ruangan ini akan digunakan untuk acara TV live malam ini, 'kan? Segera panggil para teknisi untuk memeriksa kemungkinan error di kamera, komputer, alat perekam, dan lainnya."
Sai mendengus, "Kau mudah sekali ditebak jika sedang berkelit, Sasuke."
"Jangan melawan, aku masih bosmu," ucap Sasuke dengan nada yang tidak bisa dibantah. Sai menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya di depan pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Sasuke berjalan mendekatinya sehingga mereka berdiri berhadapan, "selama kita masih berada di dalam kantor ini, kau wajib menuruti perintahku." Ucapnya dengan nada tenang dan kedua iris onyx menatap lurus tajam obsidiandi depannya.
Mereka tetap di posisi itu tanpa senyum sedikitpun di wajah mereka. Mencari arti tatapan masing-masing. Sampai akhirnya Sai yang lebih dulu memejamkan kedua matanya dan tersenyum—senyum palsu yang bahkan seorang Uchiha Sasuke dapat mengenalinya—dia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah.
"Baiklah baiklah, Sasuke-sama," Sai yang mengenakan kemeja putih dengan kedua lengan panjangnya dilinting hingga siku itu kembali menegakkan tubuhnya, "tapi sebenarnya kau bisa lebih santai sedikit. Aku sudah menghubungi tim teknisi di perjalananku saat mencarimu sebelumnya. Mereka akan datang sekitar sepuluh menit lagi."
Kali ini, Sasuke mendengus dan berjalan melewati Sai, "Kau seharusnya bisa memberitahuku di awal," gumamnya.
Sai yang masih belum kehilangan senyumannya dan ikut berjalan tepat di belakang Sasuke itu tertawa kecil, "Laporan masih menjadi prioritas utama, jadi wajar saja jika aku lupa, 'kan?"
"Jika kau bukan temanku, cara bicaramu yang seperti itu akan membuatmu dipecat, Sai."
"Oh, aku takut," balas Sai dengan nada yang sama sekali tidak sesuai dengan kata-katanya, "jangan terlalu dingin begitu. Kalau saja aku masuk stasiun TV ini lebih dulu darimu—atau paling tidak, di tahun yang sama denganmu—bisa saja posisi kita akan terbalik, Sasuke-sama."
"Atau bisa saja posisimu jauh lebih buruk dari sekarang."
Kali ini, Sai benar-benar tertawa, "Akan kumasukkan kemungkinan itu ke dalam catatanku," menggerakkan tangannya dalam bentuk isyarat, pria yang memiliki badan cukup tegap itu melanjutkan, "Naruto mengajak kita minum lagi. Kau ikut?"
Dan untuk pertama kalinya... Sai dapat melihat senyum tipis Sasuke yang cukup jelas di awal hari yang menyebalkan ini.
"Katakan pada Dobe, aku akan menagih hutangnya malam ini."
#
.
.
.
#
Seminggu berlalu sejak saat itu.
Pukul sembilan malam di kantor bukanlah waktu termalam yang pernah dilewati seorang asisten produser seperti Sai. Pria yang memiliki rambut berwarna hitam lurus seleher itu kembali melihat hpnya untuk yang ke sekian kalinya. Memeriksa jam dan juga suhu udara di sekitarnya. Setelah memastikan keberangkatan kereta terakhir melalui jalur yang akan ditujunya, Sai tersenyum kecil lalu kembali memasukkan hp miliknya ke dalam saku jaket panjang yang dikenakannya.
Beberapa langkah lagi menuju pintu keluar gedung, Sai langsung mengangkat kepalanya begitu seseorang berlari melewatinya dari sisi kiri perempatan di depannya. Menaikkan sebelah alisnya, Sai tetap berjalan dengan tenang sampai dia berbelok menuju pintu keluar. Dilihatnya sosok yang sempat berlari melewati depannya itu sedang melihat jam yang melingkar di lengan kecilnya.
Warna rambut yang sangat khas membuat Sai langsung mengenali siapa wanita di depannya itu. Dia berjalan mendekat sampai dia berdiri beberapa langkah di belakang wanita yang sepertinya belum menyadari keberadaannya, "Kau mau pulang?"
"KYAAAAA!" setelah berteriak kaget, wanita itu reflek berbalik sembari melayangkan tinjunya. Sai juga terkejut namun untungnya les bela diri yang pernah diikutinya mampu membuat refleknya bergerak cepat memiringkan kepala sehingga tinju wanita itu hanya mengenai beberapa helai rambutnya.
Wanita bermahkota soft pink itu memejamkan kedua matanya erat. Tapi, begitu tinjunya tak mengenai apapun, dia mulai membuka sebelah matanya perlahan. Dan sesuai dugaan Sai, dia langsung berteriak ngeri, "...Eh? SAI-SAN!?"
Mengangguk kaku, Sai tertawa kecil, "Ah, ya," asisten produser yang pastinya sudah dikenal para kru di gedung itu pun berusaha untuk tetap bersikap tenang agar tidak membuat wanita di depannya semakin panik, "kau reporter yang baru bekerja di sini, 'kan? Haruno Sakura... benar?" tanyanya.
Mendengar namanya disebut dengan tepat membuat wajah Sakura memerah karena malu, "I-Iya benar," Sakura dengan cepat membungkukkan tubuhnya ke depan sembilan puluh derajat, "maafkan aku hampir memukulmu! Aku mudah paranoid di tempat sebesar ini pada malam hari ja-jadi—"
"Jangan terlalu dipikirkan, aku mengerti," potong Sai sedikit tak sabar. Dia tersenyum kecil lalu menambahkan, "jadi, kau mau pulang? Apa kau juga naik kereta?" tanyanya to the point.
Sakura langsung mengangguk. Namun sebelum sempat menambahkan dengan kata-kata, Sai sudah lebih dulu memotongnya, "Kenapa kau baru pulang jam segini? Seharusnya tim jurnalis termasuk dirimu yang ke Ueno hari ini sudah pulang sejak tadi."
Wanita dengan poni rambut menyamping itu menyelipkan anak rambut di sisi wajahnya pada telinga di belakangnya, "Iya. Aku bermaksud menunggu sampai jam pulang kerja kekasihku. Baru setelah itu, aku keluar dari kantor," lalu dia mengangkat kepalanya dan menyipitkan kedua matanya ketika menatap Sai, "tapi baru saja aku mendapat kabar kalau dia ada urusan mendadak, jadi aku harus pulang sendiri..." lagi—tambahnya dalam hati.
Penjelasan ini membuat Sai mendengus pelan, "Brengsek juga kekasihmu," komentar yang tak disangka itu membuat Sakura hanya bisa tertawa hambar. Sebelum Sakura sempat membela kekasihnya, Sai sudah lebih dulu tersenyum, "kau turun di stasiun mana?"
Sakura terdiam sesaat sebelum menjawab, "Shibuya." Jeda sejenak sebelum dia menambahkan, "Walau sebenarnya di sana aku akan pergi ke rumah temanku sekalian menginap. Rumahku cukup jauh dari sini, harus melewati tiga stasiun dulu. Apalagi kalau sudah malam, jalan di sana sepi sekali." Tambahnya dengan kikuk.
Mendengar ini, Sai membuka mulutnya, "Baiklah, ayo."
"...Eh?"
Sai sudah berjalan beberapa langkah di depan Sakura sebelum dia berhenti dan berbalik, "Aku akan mengantarmu. Bahaya jika perempuan berjalan sendirian di malam hari," wajah Sakura terlihat ragu. Seolah mengerti, Sai menyipitkan kedua matanya dengan senyum penuh arti di bibirnya, "jangan khawatir, aku tidak akan macam-macam. Katakan itu pada kekasihmu."
Sebenarnya Sakura ingin mengatakan bahwa dirinya bukan wanita yang selemah itu sampai harus ditemani pulang. Tapi, mengingat bagaimana dia hampir meninju Sai karena mengira dia adalah hantu, sepertinya akan membutuhkan waktu untuk menjelaskan dan itu akan sangat merepotkan. Waktu terus berjalan dan kereta terakhir akan segera berangkat jika mereka tidak pergi dari sekarang.
Menghela napasnya, Sakura akhirnya mengambil hpnya, mengetikkan pesan dengan cepat.
X
Kepada: Sasuke-kun
'Aku bertemu asistenmu—Sai-san—di jalan. Dia mau mengantarku sampai ke rumah Ino. Dia juga bilang untuk menyampaikan padamu bahwa dia tidak akan macam-macam. Tenang saja, dia belum tahu tentang hubungan kita. Bagaimana, Sasuke-kun?'
X
Setelah mengirim pesan itu, Sai dan Sakura melanjutkan perjalanan mereka ke stasiun. Sesekali berbincang membahas profesi baru Sakura ini, menanyakan bagian termudah hingga tersulit. Pembicaraan umum yang mungkin terjadi di antara atasan dan bawahan.
Meski terkadang Sai tidak memiliki filter kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetap saja Sakura tidak bisa menampik kenyataan dimana Sai adalah lelaki yang mudah diajak berbicara. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Sakura merasa nyaman berbincang dengan senior-nya tersebut. Terlebih ketika Sai mulai menyinggung bahwa mereka berasal dari satu SMA yang sama.
"Wah, benarkah? Berarti Sai-san satu angkatan dengan Sasuke...san?" tanyanya dengan kikuk, masih belum terbiasa menyebut nama kekasihnya itu dengan sebutan formal.
Sai tersenyum, "Ya," melihat wajah bingung junior-nya itu, membuatnya menambahkan, "wajar saja jika kau tidak mengingatku. Saat kau kelas satu, aku kelas tiga. Waktu itu aku sudah terlalu menyibukkan diri dengan pelajaran untuk ujian kelulusan sampai tak mempedulikan sekitarku—terutama para adik kelasku."
Wanita dengan rambut soft pink yang pendek sebahu itu akhirnya mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya, "Sai-san—"
Suara hp yang berbunyi membuat Sakura berhenti sejenak dan mengambil hpnya. Melihat nama seseorang yang dinantinya membuat Sakura membuka pesannya antusias tapi—
X
Dari: Sasuke-kun
'Oke.'
X
...Rasanya Sakura ingin membatin. Hanya saja sudah terlanjur terbiasa dengan sikap dingin dan kaku kekasihnya, Sakura akhirnya hanya tertawa kecil dan langsung memasukkan hpnya ke dalam saku jaketnya.
Mendengar tawa pahit Sakura membuat Sai menaikkan sebelah alisnya. Dia ingin bertanya ketika hpnya sendiri tiba-tiba berbunyi. Melihat nama kepala produsernya itu membuat Sai terlihat bingung sembari membuka pesannya.
X
Dari: Uchiha Sasuke
'Hati-hati di jalan.'
X
Sai langsung menghentikan langkahnya. Seketika ekspresinya mendadak ngeri membaca pesan yang tak biasa itu. Saat ini, lokasi mereka sudah berada di dalam stasiun. Tinggal menunggu kereta yang akan mereka naiki datang. Mengabaikan tatapan aneh perempuan di sebelahnya, Sai mengetik dengan cepat.
X
Kepada: Uchiha Sasuke
'Kepalamu terbentur ya. Atau kau salah kirim pesan?'
X
Dari: Uchiha Sasuke
'Tidak juga. Yang penting perhatikan langkahmu. Kalau sampai terjadi sesuatu, kau akan langsung berhadapan denganku.'
X
Kepada: Uchiha Sasuke
'Apa sih maksudmu?'
X
"Sai-san?" panggilan Sakura di sebelahnya membuat Sai menghilangkan ekspresi gusarnya lalu menoleh. Dia memasang senyum terbaiknya meski gagal. Sakura menaikkan sebelah alisnya, "Ada apa?"
"Tidak. Hanya ada sedikit kejadian bodoh," jawabnya apa adanya. Sakura tertawa kecil mendengar jawaban ini, "Oh ya, panggil Sai saja. Kata-kata formalitas yang terlalu kaku di luar kantor membuatku tidak nyaman." Tambahnya.
Sakura mengangguk, "Baiklah, Sai," ketika mereka berdua tersenyum pada satu sama lain, Sakura melihat cahaya lampu kereta mereka dari jauh, "kereta sudah datang." Gumamnya.
Mulai dari memasuki salah satu transportasi umum itu, Sakura dan Sai jadi tak banyak berbicara. Mereka berdua duduk berdampingan tapi menghabiskan banyak waktu dengan duduk kaku tanpa perbincangan. Paling hanya sedikit pembicaraan ringan sebelum kembali diam. Masing-masing mengecek hp mereka, menunggu jawaban dari orang—yang tak mereka sadari—sama itu namun tak kunjung ada jawaban.
Tanpa disadari keduanya, mereka menghela napas bersamaan.
Waktu terus berjalan hingga akhirnya mereka sampai di stasiun Shibuya. Sai ikut turun menemani Sakura, berjalan melewati kota yang masih terlihat terang di tengah malam. Sai memang tidak begitu sering berjalan di Shibuya, karena itu bisa dibilang mengantar Sakura adalah kesempatan yang bagus.
Tersenyum pada dirinya sendiri, Sai mulai membuat rencana sendiri melewati kota malam Shibuya nanti setelah mengantar Sakura ke rumah temannya.
"Kita sudah sampai, Sai," ucap Sakura tiba-tiba, membuyarkan lamunan Sai yang sedang menyusun rencana menghampiri toko Shibuya satu persatu.
Sai mengerjapkan kedua matanya lalu melihat gedung di belakang Sakura. Sebuah ruko yang tidak terlalu besar dan terlalu kecil dengan papan nama 'Yamanaka' yang terpampang jelas di atas kanopi. Hanya dengan melihat sekitarnya, Sai langsung tahu bahwa ini adalah toko bunga. Lampu di papan nama yang mati memberi tanda berarti ruko ini telah masuk jam tutupnya.
Sakura tersenyum melihat Sai yang mulai penasaran dengan rumah toko tempat temannya tinggal. Dia membuka mulutnya, "Keluarga Yamanaka ini memang sudah mengurus dan menjual berbagai macam bunganya dari generasi ke generasi," Sakura mengedipkan sebelah matanya, "kualitas semuanya terjamin! Dan temanku sangat ahli dalam membaca arti bunga. Jadi, jika kau ingin mendekati wanita, kau bisa langsung datang ke sini saja dan meminta sarannya!" ucapnya.
Sejujurnya, Sai tidak terlalu tertarik. Tapi, dia tetap tersenyum hingga menyipitkan kedua matanya, "Aku akan—"
"SAKURA!?"
Teriakan seorang wanita lain dari dalam toko yang telah ditutup itu membuat Sai dan Sakura terkejut. Mereka langsung melihat ke arah pintu rumah yang terbuka dan menampilkan sosok wanita berambut pirang panjang sepunggung. Poni panjangnya menutupi sebelah matanya yang beriris aquamarine, namun tetap tidak menyembunyikan kecantikan yang terpancar dari wajahnya.
Sai membulatkan kedua bola matanya.
Sementara itu, Sakura langsung membalikkan tubuhnya sepenuhnya, "Oh, Ino? Kupikir kau belum bangun."
Yamanaka Ino berkacak pinggang dan menggelengkan kepalanya, "Seriously, aku lelah menunggumu dari tadi, bodoh! Kupikir kau tidak jadi ke rumahku!" teriaknya kesal—tanpa memikirkan ada orang lain di sana maupun kenyataan bahwa hari sudah terlalu malam untuk seorang gadis berteriak, "Ayo masuk! Di luar dingin sekali. Ng?"
Kedua iris mata Ino menyadari lelaki di belakang Sakura. Tatapan itu membuat laki-laki asing berambut hitam tersebut menelan ludahnya dan reflek melihat ke arah lain. Mencoba tersenyum seramah mungkin, Ino membuka pintunya lebih lebar, "Oh, maaf. Aku tidak melihatmu sebelumnya. Kau yang mengantar Sakura? Terima kasih, ayo silahkan masuk dulu." Ucapnya.
Seharusnya itu adalah tawaran yang menggiurkan. Tapi, entah kenapa degup jantung Sai berdetak lebih cepat dari biasanya. Kedua kakinya bergetar, enggan bergerak meski hanya sekali melangkah ke depan. Kedua matanya melihat sekelilingnya dengan panik—melihat kemanapun asal tidak ke wanita yang menawan di depannya. Sai jelas kebingungan dengan perubahan mendadak ini...
...dan dia sama sekali belum siap.
"Tidak... aku... pulang saja," ucap Sai kaku. Dia kemudian memasang senyum palsunya pada wanita itu lalu pada Sakura yang kebingungan melihatnya, "baiklah, sampai jumpa lagi, Sakura." Tanpa menunggu izin, dia langsung berbalik dan berjalan cepat hingga menghilang di tengah kerumunan orang-orang Shibuya.
"Ah, tunggu, Sai—" Sakura mencoba menjulurkan tangannya namun terlambat. Sosok pria itu telah menghilang. Memiringkan kepalanya, Sakura bergumam, "kenapa sih dia?"
Ino di belakang Sakura—masih di depan pintu—mulai menggigil dan memeluk tubuhnya sendiri yang hanya mengenakan baju tipis tanpa lengan untuk tidur. Dia merengek pada sahabat baiknya itu, "Hei, Sakura! Masuklah! Aku tidak kuat lagi, terlalu dingin," ucapnya dengan mulut bergetar.
Sakura masih diam beberapa saat seperti memikirkan sesuatu. Tapi, pada akhirnya mengabaikan rasa bingungnya melihat Sai yang tiba-tiba berubah, wanita bermahkota soft pink itupun langsung berbalik. Berlari kecil memasuki rumah sahabatnya dimana perapian dan susu hangat menanti mereka berdua.
#
.
.
.
#
"Sakura-san? Dia tadi izin ke toilet."
"...Oh, baiklah. Terima kasih."
Sai memundurkan tubuhnya setelah menanyai salah satu kru yang sedang bolak-balik membawa kardus berisi barang-barang yang diperlukan untuk acara live show malam ini. Setelah merasa cukup jauh, Sai berhenti dan diam berdiri di tengah jalan dimana orang-orang masih berlalu lalang di sekitarnya. Mengabaikan keberadaannya karena tugas mereka masing-masing.
Memegang dagunya, memasang pose berpikir. Sai mencoba mencari waktu yang tepat lagi untuk menemui gadis bermahkota soft pink itu. Dia harus berhati-hati jika tidak mau sampai membuat sekitarnya salah paham. Karena bagaimanapun juga jika dilihat dari luar, Sai terkesan seperti seorang laki-laki yang sedang mengejar wanita bermahkota soft pink itu dengan frustasi.
Yah, itu tidak salah juga sih.
Bukan berarti Haruno Sakura adalah wanita yang jelek dan buruk. Sai juga harus mengakui bahwa wanita itu memiliki kharismanya sendiri. Tapi, apa yang bisa dia lakukan?
Perasaannya tak bisa berbohong.
Dia... jauh lebih tertarik dan penasaran dengan seorang wanita berambut pirang.
Tapi, sudah hampir dua minggu berlalu, Sai nyaris berpikir Haruno Sakura seperti sedang menghindarinya jika dia tidak cepat berkepala dingin bahwa jadwal mereka memang berbeda. Seorang asisten produser yang hampir selalu bekerja di setiap waktu—tergantung tugas yang pasti ada untuknya—dan seorang reporter pemula yang pastinya akan sering mendapat tugas ke luar kantor.
Hanya saja, dua minggu itu bukan waktu yang sebentar untuk Sai menyadari betapa wanita berambut pirang panjang yang terakhir ditemuinya ketika menemani Sakura itu memenuhi kepalanya. Setiap makan, minum, kerja, dan di setiap kegiatan lainnya.
...Benar-benar mengganggu. Jujur saja.
Tidak ada maksud tertentu, Sai hanya penasaran dan ingin mencoba sekali saja berbicara dengan gadis itu. Sekarang tinggal bagaimana mencari Sakura dan membicarakan ini dengannya—
"Sai-senpai?" salah seorang kru yang sempat ditanyakannya pagi tadi menghampiri Sai yang telah tenggelam di dalam pikirannya. Sai mengangkat kepalanya dan menatap wanita berambut cokelat di hadapannya, "Apa kau masih mencari Sakura-san? Aku melihat dia berjalan sendiri ke arah kantin tadi."
Mendengar ini, Sai langsung menegakkan tubuhnya, "Ah, terima kasih banyak." Namun sebelum Sai sempat berjalan, perempuan itu membuka mulutnya lagi.
"Ah, anu... apakah jangan-jangan Sai-senpai dan Sakura-san—"
"Kami tidak memiliki hubungan seperti itu dan tidak akan pernah," tolak Sai cepat dengan senyum palsunya yang menyebalkan. Meski begitu, senyum itu mampu membuat wajah perempuan tersebut memerah dan membungkukkan tubuhnya cepat sembari mengucapkan maaf. Sai hanya tertawa kecil dan mengibaskan tangannya, "baiklah, sampai jumpa lagi." Lalu tanpa menunggu balasan, dia segera berlari cepat ke arah yang telah diinformasikan padanya.
Sebagai asisten produser yang telah terbiasa disuruh berlari ke sana kemari untuk mengerjakan tugasnya, Sai memiliki kedua kaki yang cepat dan kuat untuk berlari kapan saja. Tidak butuh hitungan menit sampai akhirnya Sai tiba di kantin yang sedang sepi—karena sekarang belum waktunya istirahat masal—dia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari sosok berkepala soft pink.
Namun nihil.
Apakah kru tadi berbohong padanya? Kelihatannya tidak begitu. Sai mencoba berjalan menelusuri kantin satu persatu dengan sabar namun masih belum menemukannya. Sampai akhirnya salah satu penjual makanan yang cukup dekat dengan Sai bertanya padanya lalu Sai menanyakan keberadaan Sakura lagi untuk yang ke sekian kalinya.
"Haruno—oh! Reporter wanita muda dengan warna rambut aneh itu ya? Aku tadi berpapasan dengannya di belakang gedung tiga," dia kemudian memberi jeda sejenak sebelum menambahkan dengan nada ambigu, "tapi sebelumnya, aku sempat berpapasan dengan Sasuke-sama juga. Jadi, mungkin mereka ada di sana berdua sekarang?" ucapnya ambigu.
Pernyataan ini membuat Sai mengernyitkan kedua alisnya. Dengan Sasuke? Pemimpin produser yang suka memperbudak orang lain dengan seenak udelnya itu... menemui seorang reporter pemula di belakang gedung yang jauh dari kantor utamanya seorang diri?
...Untuk apa?
Kalau memang Sasuke ada urusan dengan Sakura, dia bisa menyuruh Sai—sebagai asistennya—untuk menemui Sakura dan menyampaikan perintahnya, 'kan?
Tapi, mengetahui percuma juga menanyakan hal ini, Sai dengan cepat membungkuk lalu langsung berlari. Mengesampingkan segala pertanyaan di kepalanya, dia fokus dengan tujuan untuk menemui Sakura sekarang. Lebih baik sekarang atau tidak sama sekali. Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang percuma, selama masih ada kesempatan, Sai akan mengejarnya.
Sesampainya di gedung tiga, Sai berhenti berlari untuk mengatur napasnya terlebih dahulu. Dia mulai mencari jalan pintas menuju belakang gedung, yaitu sela-sela jalan kecil di antara gedung dua dan tiga. Dia berjalan menelusuri itu sampai akhirnya dia memegang sisi tembok dan keluar di halaman belakang gedung tiga.
Lalu, Sai tahu... dia tidak akan bisa melupakan pemandangan di depannya untuk beberapa waktu ke depan.
Seorang Uchiha Sasuke yang terkenal dengan kepribadiannya yang dingin dan selalu menolak perhatian yang diberikan lawan jenis padanya secara terang-terangan itu... mencium bibir seorang wanita yang Sai cari.
Ciuman itu cukup singkat. Hanya sekedar menyentuh. Sakura langsung membuka kedua matanya perlahan untuk menatap Sasuke lembut sebelum dia melirik dan mundur dalam sekali hentakan melihat keberadaan seseorang yang berdiri awkward di sana, "S-SAI?" teriaknya secara reflek.
Sasuke juga sempat terkejut dan langsung menoleh. Dia melihat Sai yang hanya bisa menyipitkan kedua matanya dan mengeluarkan senyum kakunya, "Maaf, sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat," dia menarik napas lalu mengeluarkannya, "anggap saja aku tidak ada, aku akan kemba—"
"Tidak, tunggu," Sasuke membalikkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya di depan dada, "kau sudah terlanjur melihat kami, jadi tidak ada yang perlu kami sembunyikan lagi."
"Tunggu dulu, Sasuke-kun—"
"Dia kekasihku, Sai."
Ucapan Sasuke yang singkat, padat, dan jelas itu membuat baik Sai dan Sakura cukup terkejut. Wajah Sakura langsung memerah sedangkan Sai hanya bisa mengedipkan kedua matanya dengan ekspresi yang masih menunjukkan keterkejutannya. Sasuke memang orang yang cukup to the point. Tapi, rasanya dalam hal seperti ini masih terlalu baru untuk dicerna, bahkan untuk seorang Sai.
Sai tersenyum penuh arti dan mengangkat bahunya, "Ah, begitu. Sekarang aku mengerti," dia tertawa kecil sembari menggaruk belakang kepalanya, "seharusnya aku curiga saja padamu saat mengirimiku pesan ketika mengantar Sakura ya. Haha."
Mendengar ini, Sasuke hanya mendengus. Sakura hanya melihat kekasih dan atasannya itu dengan bingung secara bergantian. Mengabaikan ini, Sai hanya tersenyum melihat ekspresi Sasuke yang masih datar, walau kali ini cukup terbaca oleh salah satu teman dekatnya sejak SMA tersebut. Walau terlihat tidak peduli, Sai masih bisa merasakan aura gusar yang diarahkan Sasuke padanya. Hal ini membuat senyuman tulus Sai menjadi seringaian.
Sisi lain temannya yang belum pernah dia lihat sebelumnya ini... menarik juga.
Namun kembali mengingat tujuan awalnya, Sai menghilangkan senyumnya, "Ah iya, Sakura, aku perlu bicara denganmu," seolah melupakan keberadaan Sasuke, Sai terlalu fokus pada satu hal dan berjalan mendekati Sakura yang menaikkan sebelah alisnya, "ada yang ingin kukatakan jadi..." Sai melirik Sasuke yang berada di sampingnya, pria berambut raven itu mengernyitkan kedua alisnya dalam.
"Apa?"
...Baiklah, meminta pacar sah wanita di depannya untuk pergi begitu saja sepertinya bukan ide yang bagus.
Sai menghela napasnya lalu akhirnya kembali menatap Sakura dan mengatakan terus terang, "Aku ingin bertemu lagi dengan teman perempuanmu itu."
Sakura mengedipkan kedua matanya beberapa kali sebelum tersadar akan sesuatu, "Maksudmu... Ino?" Sai terlihat ragu tapi akhirnya dia mengangguk sekali. Masih belum sadar sepenuhnya, Sakura melanjutkan, "Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat Sai lengah, dia mengusap bagian belakang lehernya, "Aku juga... tidak tahu bagaimana mengatakannya," Sakura masih belum menerima tandanya. Sai pun menambahkan dengan cepat, "aku masih merasa bersalah menolak ajakannya waktu itu. Jadi, mungkin—"
"Bilang saja kau tertarik padanya."
Sakura menoleh pada Sasuke di sampingnya, "Heh? Be-Benarkah, Sai?" tidak menjawab Sakura, Sai mengutuk kesal Sasuke yang memasang ekspresi malas di depannya. Sakura kembali tersenyum cerah, "Ahahaha! Kenapa kau tidak bilang saja langsung? Aku dan Ino kebetulan juga satu SMA denganmu, Sai! Aku akan senang sekali membantumu!" ucap Sakura dengan semangat dan antusias.
Sai sedikit bernapas lega mendengar ini. Setidaknya sampai Sasuke mengatakan, "Tidak perlu membantunya, Sakura. Dia sudah bukan anak kecil lagi."
Sakura menoleh jengkel pada kekasihnya sejak masa kuliah itu, "Sasuke-kun!"
Di luar dugaan, Sai tetap memasang senyum tenangnya, "Iya benar. Kalau begitu, tidak masalah juga jika aku menjawab 'iya, mereka pacaran' ketika ada yang menanyakan soal hubungan kepala produserku dengan seorang reporter, hm?"
Wanita bermahkota soft pink itu tersentak kaget lalu menatap Sai horror. Ekspresinya itu masih masuk ke dalam kategori yang menggemaskan... jika dibandingkan dengan kedua mata Sasuke yang menggelap dan menatap Sai yang tersenyum hangat.
Tatapan yang rasanya ingin mencincang habis asistennya itu hidup-hidup.
"Kau juga bukan anak kecil lagi, 'kan? Sasuke-sama."
#
.
#
Dua hari berikutnya...
"Apa tidak apa-apa aku ikut datang ke pesta kalian?"
Sakura mengedipkan sebelah matanya, "Hanya pesta kecil-kecilan kok, tidak masalah!" ucap Sakura dengan semangat. Duduk di depan—tepatnya di samping Sasuke yang menyupir mobilnya—Sakura menoleh ke belakang untuk melihat Sai yang ditarik olehnya ke dalam mobil. Dia kemudian menatap Sasuke di sampingnya yang hanya fokus pada jalan di depannya, "Lagipula kau alumni SMA yang sama dengan kami juga. Kita bisa berbagi cerita sembari bernostalgia, benar 'kan, Sasuke-kun?"
Sasuke hanya memutar kedua bola matanya, "Aku tak pernah menyetujui soal ini, Sakura."
Mengabaikan komentar itu, Sakura mengibaskan tangannya dan menyipitkan kedua matanya senang, "Sudahlah, santai saja!" Sakura kembali melihat ke depan dimana Sasuke akan memarkirkan mobilnya di taman, "Aku juga sudah mengatakan pada Ino bahwa aku membawa teman yang waktu itu mengantarkanku tengah malam ke rumahnya dan dia bilang oke." Ucap Sakura sembari memainkan hpnya.
Mendengar nama itu membuat Sai sedikit menegang sebelum akhirnya dia merilekskan kembali tubuhnya. Sai kembali duduk menyandar pada kursinya sampai akhirnya mobil telah terparkir sempurna. Ketiga manusia itu keluar dari mobil Sasuke dan berjalan bersama menuju kediaman Yamanaka.
Sepanjang perjalanan, Sai terlihat tenang dengan ekspresi datar yang terus melihat jalan di depannya. Walau sesungguhnya, pikirannya telah penuh bagaimana dia akan mengajak bicara wanita yang berhasil membuatnya kehilangan kontrol dirinya untuk selalu tetap tenang dan memasang poker face itu. Namun, suatu pemikiran membuat Sai berhenti.
Bagaimana... jika sebenarnya waktu itu hanya kebetulan?
"Hei, Sakura! Sasuke!" teriakan seorang perempuan membuat Sai mengangkat kepalanya, begitu pula dua pasangan di depannya. Mereka melihat seorang gadis berambut cokelat memakai pakaian ala Cina. Dia mencepol rambutnya menjadi dua di sisi kanan-kirinya dengan kepang rambut yang panjang di tengah.
Wajah Sakura langsung berubah cerah, "Tenten!" teriaknya. Dia berlari lebih cepat dari Sasuke dan menghampiri salah satu teman baiknya yang juga merupakan kakak kelasnya semasa SMA dulu, "Wah, kau benar-benar membawa Neji-san!" ucapnya semangat melihat laki-laki berambut panjang yang berjalan di belakang Tenten yang berkacak pinggang.
"Lama tak berjumpa Sakura, kau juga, Sasuke." Ucap Hyuuga Neji dengan senyum teduh di wajahnya. Sakura membalas dengan semangat sementara Sasuke hanya diam dan mengangguk.
Tenten mendengus menahan tawa, "Aku merasa kasihan melihat dia sibuk terus di kamar mengerjakan novelnya. Lagipula Ino merengek memintaku mengajaknya. Jadi, apa boleh buat." Jelasnya untuk merespon pernyataan Sakura sebelumnya.
Neji membalas dengan tenang, "Bukankah kau yang memohon padaku untuk menemanimu karena tidak mau terlihat single sendirian?"
"Berisik, Neji."
Sakura tertawa kecil melihat mereka, "Kalian benar-benar teman sepermainan sejak kecil yang unik." Neji hanya menghela napas sementara Tenten hanya tertawa tak peduli dan melihat ke arah lain. Lalu dia melihat Sai yang hanya diam berdiri memperhatikan mereka berdua.
"Ngg, kamu... rasanya..." Tenten memasang pose berpikir lalu menepuk kedua tangannya, "Ah! Sai?"
Mendengar namanya disebut, Sai mengedipkan kedua matanya, "Oh, kau mengenalku."
Tenten tertawa, "Tentu saja! Kita dulu sekelas, bodoh!" gadis bercepol dua itu berjalan mendekati Sai, "Kau pasti tidak ingat padaku. Dulu kau selalu diam di pojok kelas membaca bukumu dan terlihat tidak memiliki emosi sih." Ucap Tenten dengan senyum manisnya.
"Tenten, kau terlalu banyak bicara," ucap Neji dengan nada lelah seperti sedang mengurus anak kecil. Pria yang memiliki kedua mata lavender itu menatap Sai, "maafkan kebodohannya." Tambahnya singkat.
Mendengar Neji membuat Tenten memukul main-main bahu temannya itu. Sai mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan mereka, "Tidak masalah—"
"Hei, kalian! Jangan di luar saja! Ayo masuk!" teriak seseorang dari depan pintu rumah beberapa meter di depan mereka. Kelima manusia di sana menoleh dan melihat Yamanaka Ino berkacak pinggang dengan sebelah tangannya memegang spatula.
Sakura tertawa dan langsung berlari masuk... dimana dia telah menemui Uzumaki Naruto, Hyuuga Hinata, Nara Shikamaru, dan Temari. Mereka semua datang menyambut dua pasangan yang datang hingga tak menyadari bahwa sebenarnya masih ada satu orang lagi yang datang bersama mereka semua.
Sai menatap mereka semua dengan perasaan asing yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. Empat perempuan dan empat laki-laki. Berbeda jenis kelamin tapi mereka bisa saling berkomunikasi dengan baik. Rasanya seperti tak ada batas, tapi bukan berarti tidak ada rasa hormat sama sekali. Sai mengedipkan kedua matanya melihat mereka semua.
Teman... ya?
Kapan terakhir kali dia menginginkan itu?
Bahkan Uchiha Sasuke yang selalu dia kira mirip dengannya yang selalu memilih untuk hidup sendiri itu kini terlihat tersenyum hangat bersama mereka semua. Dan lingkaran yang mereka buat itu... entah kenapa Sai merasa belum memiliki hak sepenuhnya untuk masuk ke dalam sana.
Melihat ke arah dapur, Sai dalam diam berjalan menuju ke sana. Mengikuti bau masakan berasal. Salah satu dari mereka semua yaitu pemilik rumah Yamanaka sendiri sedang sibuk dengan masakannya. Dia sedang mencoba kuah sup buatannya ketika dia menyadari seseorang masuk ke dalam dapurnya.
"Oh, kau!" Ino tersenyum melihat lelaki yang baru ditemuinya sekali itu. Sai bisa merasakan wajahnya menghangat ketika wanita itu membalikkan tubuhnya lalu membuka kedua tangannya, "Kebetulan aku membutuhkan seseorang untuk mencoba apakah rasa masakanku sudah pas atau belum. Kemarilah!" ucapnya lagi.
Sai tidak membalas dengan ucapan. Dia hanya berjalan mendekat hingga berdiri di samping Ino yang tersenyum dengan penuh emosi tulus tersampaikan di sana. Sangat berbeda dengan senyumnya sendiri. Sai akhirnya melirik sendok berisi sup yang didekatkan Ino padanya, "Cobalah. Tiup dulu, hati-hati panas," kata Ino.
Pria berkulit putih pucat itu menurut dan meniup sedikit sup di atas sendoknya sebelum dia membuka mulutnya. Seperti anak kecil yang sedang disuapi ibunya, Ino mendorong masuk sendoknya ke dalam hingga Sai menutup mulutnya. Kuah sup itu ditelan oleh Sai yang kembali menatap iris aquamarine di depannya, "...Enak." Ucapnya tanpa sadar.
Mendengar ini, Ino reflek tertawa, "Syukurlah," responnya. Dia kembali mengaduk sup di dalam pancinya, "ngomong-ngomong aku belum menanyakan namamu."
Menatap wanita yang telah fokus dengan masakannya itu, Sai menjawab pelan, "...Sai," ucapnya singkat. Ino kehilangan senyumannya dan kembali melirik laki-laki di sampingnya, "boleh aku memanggilmu Ino?" tanyanya dengan senyum yang... entah memiliki arti tersendiri atau tidak.
Wanita berambut pirang panjang yang dikuncir satu itu menoleh sepenuhnya. Dia menyipitkan kedua matanya senang, "Tentu saja," ucapnya dan kembali melihat sup di depannya.
Tak menyadari Sai yang masih diam menatapnya dengan senyum yang lain dari yang biasanya terpasang di poker face pria itu.
Lalu di sisi lain, tanpa pasangan itu sadari, Sakura, Temari, dan Tenten berdiri di balik lemari yang mengarah ke pintu dapur. Sakura tersenyum semakin cerah sementara Tenten dan Temari melihat sosok Sai dengan penasaran, "Jadi, dia yang kau ceritakan pada kami?"
"Iya, dia cukup tampan, 'kan?" tanya Sakura pada kedua wanita di atasnya, "Kupikir dia cocok untuk Ino. Meski kata-katanya terkadang menyebalkan, tapi dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Aku akan tenang jika Ino bersamanya." Ucapnya dengan senyum lembut di wajah manisnya.
Temari menaikkan sebelah alisnya, "Hm, kau lebih tahu tentang dia daripada kami, Sakura. Jadi, kupercayakan saja selanjutnya padamu. Aku tidak begitu ingat dia, tapi wajahnya tidak terlalu asing, sepertinya aku cukup sering bertemu dengannya di SMA dulu," gumamnya.
Tenten di atasnya tertawa kecil, "Jangan lupa, kita semua pada dasarnya sama sekali tidak dekat saat SMA," dia kemudian menatap Sai dengan kedua mata berbinar, "tapi kalau Ino tidak mau dengannya, aku siap mencalonkan diriku!" ujar Tenten dengan semangat.
"Kau sudah punya Neji." Ucap Sakura dan Temari bersamaan.
"Dia hanya teman," jawab Tenten langsung sembari mengibaskan tangannya. Lalu dia kembali menahan tangannya di atas lemari, "yah, tapi sebelum itu... aku sepertinya lebih berharap Ino secepatnya menemukan hubungan yang baik untuknya." Tambah wanita tomboy itu dengan senyuman manis di wajahnya.
Kali ini... baik Sakura maupun Temari diam-diam menyetujui perkataan salah satu teman mereka itu. Sembari tetap memperhatikan Sai dan Ino yang telah berbincang lagi sembari menyiapkan makanan untuk mereka semua.
Anggota keluarga mereka... sepertinya akan bertambah satu orang lagi.
#
.
.
.
#
Tepat setelah hari itu, Sai semakin sering mendatangi toko bunga Yamanaka Ino dengan berbagai macam alasan.
"Kakakku akan menikah beberapa hari lagi. Apakah ada bunga yang cocok untuk menyelamati hari bahagianya?"—hanyalah alasan terbarunya sekarang.
Ino yang sedang memegang kumpulan bunga poeny di tangannya itu hanya mengerjapkan kedua matanya melihat laki-laki yang sedang memasang senyum terbaiknya itu. Bibirnya yang dilapisi lipstick berwarna merah yang tidak terlalu muda maupun tua itu akhirnya menunjukkan senyumannya sebelum dia tertawa kecil. Ino meletakkan kumpulan bunga peony tersebut ke dalam satu pot besar sebelum kembali berdiri menghadap Sai.
"Baiklah, bunga yang cocok untuk ucapan selamat menikah ya?" Sai yang masih memasang senyumannya hanya tersenyum dan mengangguk. Ino mulai melihat sekelilingnya sebelum mengambil satu pot kertas kecil dan memberikannya pada Sai, "Pegang ini." Ucapnya lalu menarik lengan Sai ke sisi lain tokonya.
Mengambil tiga tangkai bunga berwarna merah muda keunguan, Ino memasukkannya ke dalam pot kertas yang dipegang Sai, "Bunga Azalea untuk 'jaga dirimu dan keluargamu selalu'," mengambil tiga tangkai bunga yang bulatan tengahnya berwarna kuning dengan kelopak putih yang tipis, "bunga Daisy untuk mengingatkan kakakmu agar selalu menjaga stabilitas dan kepercayaan, dua hal terpenting dalam membangun keluarga."
Lalu yang terakhir, Ino kembali ke samping bunga berwarna merah muda dengan kelopak yang bertumpuk indah. Bunga pertama yang dia pegang saat Sai datang menemuinya hari ini. Dia mengambil lima tangkai, memasukkannya ke dalam pot kertas dan menatap Sai dengan jarak yang sangat dekat. Hingga rasanya ujung hidung mereka hanya berjarak sekitar lima centimeter.
"Terakhir bunga poeny, untuk lambang pernikahan juga hubungan yang bahagia dan panjang umur." Ucapnya dengan semburat merah di kedua pipinya.
Mulut Sai terbuka, kedua matanya mengedip menatap ekspresi wanita yang terlihat tak pernah berniat menunjukkkan kesedihannya itu meski hanya sekilas. Ino kembali memejamkan kedua matanya lalu memundurkan tubuhnya. Dia berputar sekali sembari bersenandung riang. Kedua tangannya mengait di belakang punggungnya, "Semuanya jadi empat ratus yen, Sai-sama!" kata Ino yang kemudian menunjukkan deretan gigi putihnya.
Mendengar ini, Sai kembali tersadar pada posisinya sekarang. Laki-laki itu sedikit menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang terasa menghangat dan memerah meski cukup tipis. Dia memegang erat pot kertas di tangannya sebelum sebelah tangannya bergerak mengambil dompet di saku belakang celananya.
Kedua mata Sai masih tak lepas dari wajah cantik Ino yang tetap tersenyum cantik di depannya. Angin bertiup membuat rambut pirangnya bergerak sedikit mengikuti arah angin. Kedua iris mata aquamarine miliknya terlihat sempurna ketika keduanya terlihat begitu angin meniup rambut-rambut yang menutupinya.
Benar-benar cantik.
Rasanya... para bunga cantik di sekitarnya sama sekali tidak bisa menandinginya.
Namun, Sai tak bisa terpesona lebih lama ketika akhirnya dia sadar sedari awal dia hanya mengelus saku kosongnya yang tidak terasa gundukan sedikitpun. Dari sini, perhatian Sai terpecah dan dia mulai menoleh untuk melihat tak ada dompetnya di sana. Laki-laki tampan yang kebingungan itu tanpa sadar telah memutar tubuhnya dan meraba setiap saku di celananya.
"Mencari sesuatu, tuan?"
Pertanyaan Ino membuat Sai berhenti dan kembali melihat ke depannya. Ino telah tersenyum penuh arti dengan dompet Sai di tangan kanannya sementara tangan kirinya di depan dadanya. Melihat Sai menghela napas membuat Ino menunjukkan deretan gigi putihnya lagi lalu tertawa kecil, "Ternyata kau bisa memasang ekspresi panik juga ya."
Kata-kata ini membuat Sai tersenyum dan mendengus pelan, "Lucu sekali, kembalikan, Ino," pintanya sembari menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka.
Ino menggeleng pelan, "Aku akan mengembalikannya jika kau menjawab pertanyaanku."
Senyum di wajah Sai menghilang. Untuk yang ke sekian kalinya dia mendesah lelah, "Baiklah, a—"
"Soal kakakmu itu... bohong, 'kan?"
Sai terdiam. Kedua bola matanya sempat membulat meski hanya sekilas. Ino juga menghilangkan senyum cantiknya dan menatap Sai serius, "Lalu alasan-alasanmu sebelumnya seperti mencari bunga untuk orang tuamu yang akan mengunjungi acara pemakaman sahabatnya, mencari bunga untuk selamatan temanmu yang baru diterima kerja, bahkan hingga mencari bunga untuk memberi selamat pada Shikamaru yang baru saja kembali dari dinasnya selama sebulan di Indonesia."
Tidak ada jawaban, Sai tetap diam dengan kedua matanya lurus menatap Ino yang mulai menarik kedua alisnya membentuk ekspresi sedih.
"...Kenapa kau berbohong padaku?"
Pertanyaan itu terasa menggantung di udara untuk beberapa saat. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat membuka pembicaraan terlebih dahulu. Perlahan tapi pasti, Ino menurunkan pandangannya sehingga dia melihat ke bawahnya, "Aku mengerti jika kau memiliki alasan sendiri untuk berbohong padaku. Tapi... jika kau sampai harus melibatkan bunga-bunga yang kurawat dengan sepenuh hati sebagai mainanmu, aku tidak bisa diam saja, 'kan?" tanyanya dengan senyum sedih di wajahnya.
Hanya saja ungkapan Ino kali ini berhasil membuat Sai dengan cepat berteriak, "Itu... tidak benar!" Sai mengernyitkan kedua alisnya dan menatap Ino yang kaget itu menatapnya balik, "Justru karena itu bunga-bunga yang kau rawat—tak peduli apapun arti yang mereka pegang, mereka tetap terlihat cantik sehingga..."
Sai menggertakkan giginya.
"...aku tak bisa menahan diriku lagi untuk selalu kembali dan melihatnya."
Meremas pot kertas yang menutupi gagang-gagang bunga yang akan dia beli, Sai semakin menautkan kedua alisnya.
"Maafkan aku."
Mendengar ini, Ino membulatkan kedua bola matanya. Tersenyum sedih, dia menggeleng pelan, "Tidak, aku yang salah karena terlalu cepat menuduhmu. Maafkan aku," Ino meraih tangan Sai lalu meletakkan dompet pria itu di atas tangannya, "terkadang aku terlalu sensitif jika menyangkut hal-hal yang kusayangi." Tambahnya.
Dengan senyum lembut di wajah cantiknya, Ino mengangkat kepalanya, "Terima kasih," dia menyipitkan kedua matanya senang, "bawa saja bunga-bunga itu. Gratis! Anggap saja sebagai bonus karena kau sudah mau berteman dengan perempuan yang menyebalkan ini, hahaha!" ucapnya lagi diakhiri dengan tawa yang cukup keras, kembali terdengar semangat seperti biasa.
Setelah mengucapkan itu, Ino langsung membalikkan tubuhnya. Rambutnya yang dikuncir satu bergerak mengikuti gerakannya. Melihat punggung di depannya, Sai membulatkan kedua bola matanya lagi. Dia meremas dompet di tangannya. Sentuhan tangan Ino masih terasa membekas. Secara reflek, Sai langsung memasukkan dompetnya kembali ke dalam saku celananya lalu berlari dan meraih tangan Ino hingga wanita itu tersentak kaget dan dipaksa menoleh ke arahnya.
"Eh—"
"Menikahlah denganku."
Butuh beberapa detik untuk Ino mencerna apa yang baru saja didengarnya. Tatapan serius namun terlihat frustasi milik Sai, berpadu dengan semburat merah yang jarang sekali terlihat di kedua pipi yang berkulit pucat itu membuat Ino tak bisa mencari ekspresi bercanda di sana. Belum lagi dengan bunga-bunga yang berarti lambang pernikahan di tangan satunya membuat wajah Ino mulai memerah.
Tangan Ino masih digenggam tangan Sai yang semakin erat meremasnya.
"Me...nikah?" ulang Ino perlahan. Sai tidak terlihat berniat mengubah kata-katanya membuat Ino tertawa kaku, "W-Wow, aku tahu kau memang tertarik denganku, tapi tak kusangka kau langsung melangkah sejauh itu."
Sai terkejut mendengar ini, "Kau tahu!?"
Melihat kepolosan laki-laki di depannya, membuat Ino tidak tahan untuk tertawa kecil, "Tentu saja, bodoh. Aku masih jauh lebih peka dari Sakura," wanita berambut pirang panjang itu tetap tersenyum namun kembali melihat ke bawahnya, "tapi—"
Ino menarik kembali tangannya.
"Maaf."
Waktu itu, Sai masih belum mengerti.
Mengapa ketika Ino mengangkat kepalanya dan menatap kedua mata obsidiannya dengan aquamarine yang terlihat lembut tapi juga tegas di saat yang bersamaan—
"Aku tidak bisa... menerimamu."
—itu dapat membuat hatinya terasa ditusuk oleh seribu belati?
#
Sakura semakin memajukan tubuhnya, berusaha melihat lebih jelas, "Sasuke-kun, tidak bisakah kau memajukan mobilmu sedikit!?" tanyanya jengkel.
Sasuke di sebelahnya hanya mendengus dan melihat ke luar jendela di sampingnya, "Ini bodoh sekali, Sakura."
Mengabaikan komentar kekasihnya, Sakura masih berjuang sendiri mencari sudut yang dapat membuatnya bisa melihat Sai dan Ino dari posisi mereka.
Sebenarnya keduanya tidak memiliki maksud jahat mengintip pasangan lain seperti ini. Sakura dan Sasuke seperti biasa berniat mengunjungi toko bunga Ino lagi setelah sekian lamanya. Namun, begitu mereka di sana, mereka melihat Sai. Ditambah dengan situasi yang rasanya terlihat berat di antara keduanya membuat Sasuke dan Sakura mengikuti insting mereka untuk tidak keluar dari mobil dan hanya bisa melihat mereka berdua dari jauh.
"...Apa yang mereka bicarakan ya?" Sakura masih fokus melihat ke arah mereka sementara Sasuke meliriknya datar, "Aku khawatir. Apakah sebaiknya aku turun saja?"
Sasuke mendecak kesal lalu menarik bahu kekasihnya itu agar dia kembali duduk dengan benar di atas kursinya, "Kalaupun ada masalah, biarkan mereka mengurusnya sendiri," wanita dengan rambut sebahu itu menoleh kesal pada Sasuke yang masih menatapnya tanpa ekspresi yang benar-benar berarti, "kita semua sudah bukan anak kecil. Jangan terlalu lembek begitu." Lanjutnya.
Mendengar ini, Sakura memutar kedua bola matanya lalu melipat kedua tangannya di depan dada, "Baiklah, kau menang, Sasuke-kun."
Sasuke mendengus pelan. Meski tahu kekasihnya itu akan ngambek lagi seperti biasanya setiap dia kalah debat, Sasuke tetap bersiap menurunkan rem tangannya, "Kita pulang saja—"
"Tidak ada jatah malam ini."
"...Apa?" Sasuke menghentikan kegiatannya dan menyandarkan punggungnya kembali pada sandaran kursi di belakangnya, "Sakura—"
"Sekali tidak tetap tidak." Sakura mengernyitkan kedua alisnya dan menatap Sasuke dengan ekspresi kesal yang tak jarang dia tunjukkan pada kekasihnya yang kaku itu. Setelah mengucapkannya, Sakura kembali membuang mukanya. Membelakangi Sasuke yang menghela napas lagi untuk yang ke sekian kalinya.
Jika Sakura sudah merepotkan seperti ini, maka dia tidak akan merubah keputusannya hingga seminggu ke depan. Di luar, mungkin memang Uchiha Sasuke yang terlihat mendominasi hubungan di antara mereka sepenuhnya. Mengingat betapa terkenalnya Uchiha bungsu itu bahkan meskipun dia tidak mengeluarkan suara beratnya.
Tapi, kenyataannya tidak sepenuhnya begitu.
Meski begitu, setidaknya Sasuke memiliki caranya sendiri untuk menaklukkan seorang Haruno Sakura yang terkenal dengan kekuatan mengerikannya sejak SMA.
"Baiklah," Sasuke menoleh malas, "hanya malam, 'kan?"
"Iya—"
"Sekarang masih sore," dengan cepat, Sasuke melepaskan safety belt-nya lalu dia mencondongkan tubuhnya ke samping. Mendekati Sakura yang terkejut melihat gerakannya, "jadi, tidak ada masalah, 'kan?" tanyanya dengan nada berat yang cukup seduktif di telinga kekasihnya.
"T-Tunggu dulu—hmph!?"
Sakura tidak bisa melawan lagi begitu Sasuke mencium bibirnya yang lengah karena terbuka. Tanpa berniat mengulur waktu, Sasuke memasukkan lidahnya ke dalam mulut Sakura. Memancing wanita itu untuk menarikan lidah dengannya. Sakura mengernyitkan kedua alisnya dan memejamkan kedua matanya erat. Wajahnya sudah sepenuhnya memerah dan menghangat.
Mendesah pelan, Sasuke membiarkan Sakura mengambil napasnya terlebih dahulu sebelum menciumnya lagi. Terus seperti itu hingga akhirnya Sakura yang terbawa pace Sasuke dan mulai memeluk leher pria itu. Membiarkan Sasuke membimbingnya lagi seperti biasa.
"Ha... Sasuke-kun..." bisikan Sakura terdengar begitu menggoda. Sasuke menggeram pelan untuk menahan dirinya di dalam mobil yang cukup sempit ini. Dia menidurkan kursi Sakura sehingga dia bisa berada tepat di atas wanita itu.
Sasuke mulai mencium leher jenjang wanita itu. Memberinya tanda baru di atas tanda yang telah dia buat sebelumnya... sekitar tiga hari yang lalu. Sakura mendesah semakin keras dan mendongakkan kepalanya. Memberikan akses leluasa pada Sasuke. Kedua tangan kecilnya telah memberantakkan rambut raven pria di atasnya sementara kedua tangan kekar Sasuke telah meraba tubuhnya yang masih memakai seragam kemeja reporter pemula di stasiun TV tempat mereka bekerja.
Posisi mobil mereka masih berada di pinggir jalan raya. Tidak terlalu sepi dan juga tidak terlalu ramai. Tapi tetap saja melakukannya di tempat seperti ini telah memacu suatu adrenalin tak biasa di dalam tubuh pasangan tersebut. Sasuke terus menciumi leher Sakura, sesekali menggigitnya dan menghisapnya cukup keras hingga meninggalkan tanda. Sakura mendesah semakin kencang, kedua kakinya membuka lebar, memberi jalan pada Sasuke yang mulai memindahkan posisinya.
Sakura tersentak kaget ketika tangan Sasuke telah sampai di dua buah dadanya, "AH! G-gguh... ngh—ah! Sas—" tangan pria itu meremasnya cukup kuat. Bekerja sesuai ritme, meremas dan memijatnya dengan tujuan merangsang sekaligus membuat wanita di bawahnya senyaman mungkin. Sementara itu, Sasuke terus mencium telinga Sakura sembari sesekali menggigit daun telinganya.
Wanita beriris hijau emerald itu nyaris kehilangan kontrol tubuhnya. Terlebih ketika dia bisa merasakan celananya yang mulai basah di bawah sana bersentuhan dengan sesuatu yang keras di atasnya. Tapi, dia harus bisa menahan diri dan meminta Sasuke untuk berhenti dulu lalu melanjutkan semuanya di rumah, "Sa-Sasuke-kun—"
TOK TOK
Tersentak kaget, Sasuke langsung menoleh dan menatap tajam jendela di samping kursi supirnya. Wajah Sakura juga mulai panik, tapi sebelum dia sempat berteriak, Sasuke sudah langsung menarik jas yang dia kenakan dan menutupi tubuh Sakura yang sudah setengah telanjang di bawahnya. Lalu dia sendiri melompat kembali ke tempat duduknya. Dilihatnya tangan seseorang yang masih diam di depan jendela setelah mengetuknya.
Oh, Sasuke tahu siapa pria brengsek ini.
Sakura sudah meringkuk ke arah yang berlawanan dengan wajahnya yang sudah sangat memerah. Sasuke memasang posisi duduk yang melindungi kekasihnya itu dari pandangan pria di luar mobilnya, "Mau apa kau?"
Sai tersenyum palsu, "Hanya ingin sekedar mengingatkan bahwa kalian masih di tempat umum." Ucapnya tanpa dosa sedikitpun. Sasuke semakin mengernyitkan kedua alisnya, "Aku bercanda. Ini."
Pria berambut hitam lurus itu mendorong bunga di tangannya pada Sasuke yang reflek menerimanya, "Kau bisa memberikan itu pada Sakura dan mengajaknya untuk menikah, Sasuke-sama." Ucapnya.
"Kenapa kau memberikannya padaku?"
Pertanyaan ini membuat Sai membuka kedua matanya yang sempat menyipit untuk mendukung senyuman palsunya. Dia melanjutkan perjalanannya sembari melambaikan tangannya pada Sasuke yang masih bingung melihatnya.
"Aku baru saja ditolak."
#
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
#
Hari demi hari hingga minggu demi minggu berlalu.
Sai tidak ingat lagi kapan terakhir kali dia datang ke toko bunga Yamanaka.
Rasanya egois jika mengingat alasannya enggan kembali adalah karena pernyataan cintanya yang baru sekali dan mendadak itu ditolak. Meski tidak menanyakan alasan wanita itu menolaknya, Sai tetap menerima keputusan wanita itu dan mengambil kesimpulan sendiri untuk diam di tempatnya.
Lagipula... mungkin saja keberadaannya mengganggu Yamanaka Ino, 'kan?
Tapi, meski begitu... Sai tidak bisa terus lari dari kenyataan.
"Temui produser stasiun TV Y di Shibuya dan sampaikan pesanku padanya."
...Itu adalah perintah Sasuke yang langsung dia terima tadi pagi dan tak bisa dibantah meski dia berusaha menunjukkan penolakan dengan ekspresinya.
Pada akhirnya Sai menurut dan pergi sendiri menuju kota yang tak jauh dari Tokyo tersebut. Datang sendiri ke kota yang juga ditinggali oleh wanita yang disukainya itu membuatnya cukup waspada, rasanya tak tenang. Seakan dia pasti bertemu dengan wanita cantik berambut pirang itu meski dia tidak datang langsung ke tokonya. Mencoba memantrai dirinya sendiri, Sai berusaha tenang dan fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya agar dia bisa cepat kembali ke kasurnya yang nyaman di Tokyo.
Setidaknya dia masih mau berharap.
ZRAAAASSH
Menatap jengkel hujan deras di depannya, Sai menggerutu pelan, "Hari ini tak bisa menjadi lebih buruk," bisiknya. Berdiri sendiri di bawah halte tua pada salah satu jalan, Sai menatap hujan yang sepertinya tak akan berhenti untuk beberapa waktu ke depan, "Sasuke sialan itu pasti sengaja memilih hari ini." Ucapnya menyalahkan pria yang mungkin sedang meminum kopi hangat di kamarnya bersama kekasihnya itu.
Menghela napas, Sai kembali tenang dan menatap datar hujan deras di depannya. Pikirannya kembali melayang-layang... ke pekerjaannya, keluarganya, hingga wanita itu. Saat senyumnya kembali merekah di dalam kepalanya, Sai memejamkan kedua matanya.
Apa yang sedang dia lakukan sekarang?
Apa dia sudah makan dengan benar hari ini?
Apa dia sedang menghangatkan diri di depan perapiannya?
Apa dia... tidur dengan nyenyak?
PCAK PCAK PCAK
Suara langkah yang berlari ke arahnya itu membuat Sai membuka kedua matanya. Dia menoleh ke kanannya melihat seseorang melindungi kepalanya dengan tas yang dibawanya. Seorang wanita yang rambutnya mungkin hanya sepunggungnya lalu diikat tinggi seperti ekor kuda. Dia langsung berhenti sesampainya di bawah halte tua yang sama dengan Sai lalu mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum dia berdiri tegak dan mengusap kepalanya di depan pria yang masih memperhatikannya.
"Huff, menyebal—"
Dia sedang menyisir poni yang biasanya menutupi sebelah matanya itu ke belakang ketika kedua mata aquamarine miliknya membulat sempurna melihat laki-laki di depannya. Tak jauh beda, Sai juga membulatkan kedua bola matanya meski bibirnya masih terkatup rapat.
"Sai..." Ino melepaskan tangannya dari atas kepalanya. Mencoba tersenyum meski kaku, Ino melanjutkan, "...hei, lama tak bertemu."
Sai tidak tahu harus menjawab apa, namun pada akhirnya dia mengangguk, "Ya." Sebelum akhirnya dia kembali menatap lurus hujan di depannya.
Melihat Sai yang sepertinya enggan melanjutkan pembicaraan dengannya, Ino membalikkan tubuhnya sehingga dia juga ikut berdiri menghadap depan dimana hujan terlihat menutupi segalanya. Keduanya tenggelam di dalam keheningan tanpa ada satupun yang memulai pembicaraan. Hanya suara hujan menghantam aspal dan teralis di atas kepala mereka yang menimbulkan bunyi bising.
Sesekali Ino melirik Sai yang pandangannya tetap lurus ke depannya. Seperti patung yang seolah tak butuh bernapas. Ino menahan ekspresi sedihnya lalu kembali memasang ekspresi judesnya seperti biasa, "Huh, kenapa rasanya jadi aku yang salah di sini?" ketusnya.
Ucapan itu sedikit terhalang oleh suara hujan, namun Sai dapat mendengarnya dengan baik, "...Apa?"
Ino mengerucutkan bibirnya kesal lalu menoleh pada Sai yang menatapnya bingung, "Kau seharusnya lebih tua dariku, 'kan? Kenapa kau tidak bersikap lebih dewasa? Kabur setelah baru ditolak sekali... memangnya kau masih SMA!?" ucapnya beruntun diakhiri dengan bentakan, mengomel secara tiba-tiba membuat Sai di sampingnya sedikit bergeser karena kaget.
Sekarang Sai benar-benar bertanya pada dirinya sendiri...
...di bagian mana dia melakukan kesalahan!?
"Ah... tapi, apakah jika aku pergi karena ingin menghargai perasaanmu yang menolakku itu tetap salah?" Sai memasang senyum palsunya lalu membalik tubuhnya sehingga bisa menghadap Ino. Melihat wanita itu tidak langsung menjawab, Sai menyipitkan kedua matanya, "Tidak, 'kan—"
"Salah!"
"...Eh?"
Ino mengernyitkan kedua alisnya, "Laki-laki itu harus lebih berjuang. Penolakan sekali bukan tempat terakhirnya untuk berhenti. Jika tidak seperti itu, kau hanya akan terlihat main-main," jeda sejenak, Ino melirik Sai, "kecuali jika kau memang hanya main-main denganku."
Sai membuka mulutnya, "Aku tidak main-main denganmu, lagipula—" tiba-tiba Sai berhenti lalu memiringkan kepalanya. Menatap Ino dengan ekspresi polos yang tak biasa, "—oh, atau jangan-jangan..."
Jeda yang Sai berikan membuat Ino menaikkan sebelah alisnya.
"...kau sebenarnya tidak mau menolakku?"
Pertanyaan itu untuk beberapa detik terasa menggantung. Sampai akhirnya wajah Ino yang mengernyitkan kedua alisnya itu tiba-tiba memerah. Dia membuka mulutnya, "Ap—bodoh! Bukan itu maksudku! Aku hanya ingin mengatakan padamu kau harusnya lebih berjuang lagi sebagai laki-laki! Kalau kau menyukai perempuan selain aku, mereka pasti sudah menangis sembari mengutukmu, dasar tidak peka!" teriaknya kesal.
"O-Oh," jawab Sai bingung tapi enggan melawan. Ini bukan kali pertama Ino meneriakinya tapi tetap saja dia masih terasa kaku menanggapi wanita cantik itu. Tersenyum kecil Sai melanjutkan, "tapi... meski begitu, kau tetap mempedulikan laki-laki yang telah kau tolak. Aku harus memuji kepedulianmu." Ucapnya dengan semburat merah tipis di kedua pipinya.
"Aku benar-benar bersyukur jatuh cinta pada wanita sepertimu, Ino."
Mendengar ini, Ino sedikit tersentak. Dia membuang wajahnya dan kembali menghadap jalanan besar di depannya. Mencoba menutupi semburat merah di wajahnya ketika dia melihat pria yang tampan itu tersenyum begitu tulus padanya.
Setidaknya... Ino boleh mempercayai senyumannya kali ini, 'kan?
Menundukkan kepalanya, Ino bermisuh pelan, "...Jangan memberi tahu hal ini pada Sakura."
"Hm?" gumam Sai ketika dia merasa Ino berbicara padanya.
"Aku pernah menyukai Sasuke," ucapan ini terdengar begitu jelas hingga Sai kehilangan senyumannya, "itu hal terbodoh yang pernah kulakukan setelah mengetahui dia hanya memiliki mata untuk sahabatku." Tambahnya dengan senyuman pedih di wajahnya.
Sai tetap diam di posisinya. Berdiri mendengarkan, "Setelah mereka menjadi sepasang kekasih, aku bahagia. Benar-benar bahagia." Ino tersenyum kecil, mengingat masa-masa lalu ketika dua orang terpenting di dalam hidupnya itu tersenyum padanya dengan kedua tangan mereka yang saling mengait, "Apalagi meskipun telah menjalin hubungan yang spesial, mereka tidak pernah melupakanku. Hingga tanpa sadar, aku sudah melihat mereka dan teman-teman kita yang lain menjadi keluarga yang tak bisa aku lepaskan begitu saja."
Ino meremas tas di pelukannya.
"...Lalu, mencoba mengikuti jejak semuanya yang bahagia dengan pasangan masing-masing, aku berkencan dengan para laki-laki yang mendekatiku," tertawa pahit, dia melanjutkan, "tapi, tak pernah ada yang berhasil. Aku tidak bisa menyukai mereka lebih dari sekedar teman. Rasanya... aku mulai menjadi pengecut yang takut untuk mencintai lagi. Bukan hanya itu, setelah kutolak mereka semua pergi dan langsung memutuskan komunikasi begitu saja."
Menghela napasnya, Ino menyipitkan kedua matanya dan menatap Sai yang diam memperhatikannya.
"Jika mereka terus yang menghilang... bukankah itu berarti aku berada di posisi yang salah di sini?"
Kedua mata Sai sedikit membulat dan dia menatap Ino yang mempertahankan senyum sedihnya, "Sai... waktu kau berani mengajakku untuk menikahimu, sesungguhnya aku senang... tapi juga takut," mengangkat kepalanya, dia menatap Sai dengan kedua mata berkaca-kaca, "kalau aku menerimamu, bagaimana jika aku tidak bisa mencintaimu? Bagaimana jika ternyata yang aku rasakan ini hanya sesaat? Hanya karena aku ingin menikmati rasa nyaman bersamamu? Tapi... jika aku menolakmu—"
Suara hujan itu terasa menghilang.
Ketika air mata itu mengalir dari kedua mata wanita yang selalu terlihat kuat itu.
"—bagaimana... jika kau juga pergi seperti yang lain?"
Ino mengeluarkan pertanyaannya dengan suara yang serak... meski begitu Sai dapat mendengarnya dengan jelas. Dia membuka mulutnya dan mengepalkan kedua tangannya. Wanita berambut pirang panjang itu dengan cepat menundukkan kepalanya lalu mengusap air matanya dengan lengannya dalam sekali gerakan.
"...Aku seharusnya tidak menangis di sini—" masih mengucek kedua matanya, Ino tertawa kecil, "—maafkan aku—"
KRAK
ZRRRSSSH
Ucapan Ino terhenti begitu dia mengangkat kepalanya untuk melihat suara aneh itu berasal. Tapi, sebelum dia mengetahui apa yang terjadi, Sai sudah lebih dulu maju dan memeluk kepalanya. Meski kepalanya tidak terkena apapun, Ino tahu dari sisi tangannya yang tidak sempat dilindingi oleh Sai.
Atap halte yang sudah lapuk itu kini terbuka berkat angin kencang yang datang bersama hujan. Air-air hujan yang turun tanpa ampun itu kini mengenai tubuh mereka berdua... lebih tepatnya hanya Sai karena dia merengkuh tubuh Ino sepenuhnya di dalam pelukannya. Melindunginya dari air hujan yang menyerang.
"Sai..." Ino bergumam pelan, namun Sai hanya mengeratkan pelukannya semakin kuat. Wanita itu mulai berontak sedikit, memaksa Sai melepaskan pelukannya, "...hentikan, kau bisa sakit." Bisiknya lalu dia berhasil mendongakkan kepalanya dan menatap pria di atasnya, "SAI—"
Ino seharusnya tidak mengerti. Tapi, entah kenapa dia bisa tahu.
Bahwa air yang jatuh menetes mengenai wajahnya itu bukanlah air hujan.
Kedua alis Sai mengernyit. Berusaha menatap Ino dengan senyuman palsunya yang biasa namun gagal. Air mata yang telah menyatu dengan air hujan itu terus jatuh menetes di wajah wanita yang... yang...
...dicintainya?
Benarkah?
"Aku yang seharusnya minta maaf..." kedua tangan Sai yang basah menyentuh sisi-sisi wajah Ino dan meremasnya pelan, "...entah kenapa aku senang mendengar pengakuanmu yang tidak ingin aku pergi. Tapi, aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa tersenyum."
Kedua tangan yang memegang sisi-sisi wajah Ino itu bergetar.
"Kenapa... Ino?"
Suara Sai menghilang perlahan tapi pasti ditelan oleh air hujan. Iris aquamarine Ino kini memperhatikan Sai yang memejamkan kedua matanya erat. Dia menggertakkan giginya kuat. Rambut dan tubuhnya sudah sepenuhnya basah. Meski begitu, Ino tak peduli. Sama seperti Sai, dia juga menjulurkan kedua tangannya untuk memegang sisi-sisi kepala Sai yang basah dan menariknya ke bawah.
Kini Ino juga terkena air hujan yang menghantam mereka tanpa ampun. Terus menghilangkan jarak di antara mereka, Ino memejamkan kedua matanya dengan senyum teduh di bibirnya. Sai juga masih memejamkan kedua matanya erat ketika Ino membuka mulutnya untuk mempertemukan bibirnya dan bibir pria yang telah memindahkan kedua tangannya untuk kembali melindungi wanita di pelukannya.
"Aku juga ingin tahu... Sai."
#
.
.
.
.
.
#
Masih di kota yang sama dengan tempat tinggalnya, sudah sewajarnya Sai tahu bahwa dia akan berakhir di sini ketika mereka terkena air hujan yang bahkan belum reda hingga sekarang.
Pada akhirnya setelah berlari beberapa menit, menaiki bis yang membuat mereka berdua menjadi tontonan karena basah kuyup, mereka pun turun tepat di halte yang lebih dekat dengan rumah toko Yamanaka. Keduanya tidak banyak berbicara selama perjalanan, tapi mereka tahu mereka hanya fokus dengan satu tujuan sekarang.
Begitu sampai di dalam rumah, Ino langsung berlari ke salah satu lemari dan mengambil handuk yang dia berikan pada Sai sebelum mengambil handuknya sendiri. Sai masih diam sembari memperhatikan seisi rumah yang terasa begitu beda ketika dia datang mengunjunginya sendiri seperti sekarang—biasanya dia datang bersama Sasuke, Sakura, atau juga anggota teman-teman mereka yang lain.
Sembari mengeringkan tubuhnya, Ino mulai membuka pembicaraan, "Orang tuaku tinggal di pedesaan yang tak jauh dari sini," Sai menoleh melihat Ino yang masih belum melihat ke arahnya, "di sana bunga-bunga bisa tumbuh lebih segar. Lalu mereka akan mengirimkan sebagian yang sudah bisa dijual ke sini. Hanya beberapa jenis bunga saja yang bisa tumbuh di tengah kota seperti ini," tambah Ino dengan tawanya untuk mencairkan suasana.
Sai hanya mengangguk. Handuknya telah dia gantungkan di lehernya, "Benar juga," gumamnya pelan. Ino meliriknya dari jauh. Melihat ekspresi pria yang terlihat penasaran itu membuatnya tersenyum.
"Kau mau mandi?" tawar Ino sembari berjalan ke kamar mandi di lantai bawah.
"Ah, tak perlu repot-repot—"
"Jangan khawatir, aku menawarkan padamu karena aku juga ingin mandi," ucap Ino sembari tertawa. Sai mengedipkan kedua matanya dan pipinya kembali memerah. Menyadari apa yang baru saja dia katakan, Ino dengan cepat menambahkan, "aku akan mandi di kamar mandi atas, bodoh. Tunggulah, biar kusiapkan air panas untukmu."
Akhirnya Sai kembali menurut. Menunggu dengan sabar di sofanya sembari membaca majalah-majalah fashion yang diletakkan Ino di atas mejanya. Membacanya dengan ekspresi datar hanya untuk menghabiskan waktu. Setelah Ino mengatakan airnya sudah siap, Sai langsung berdiri dan masuk ke kamar mandinya sementara Ino naik ke lantai dua dan mandi di sana.
Waktu demi waktu berlalu, Sai telah keluar dari kamar mandinya. Uap air panas masih mengelilingi tubuhnya ketika dia keluar untuk mengambil bajunya. Namun, dia baru ingat jika baju yang dia kenakan telah basah total, hanya celana panjangnya yang sudah lumayan mengering sehingga dia mengenakannya.
Dengan kondisi topless, Sai mencoba mencari baju lain yang bisa dia gunakan. Di lemari kamar mandi, lemari ruang tamu... semuanya hanya ada baju wanita yang tak bisa dia kenakan sama sekali. Menghela napas lelah, Sai akhirnya memanggil, "Ino?"
Tak ada jawaban, Sai kembali memanggil untuk yang kedua kalinya dan hasilnya tetap sama. Pria berkulit putih pucat itu mulai mendekati tangga menuju lantai dua. Melihat ke atas tanpa menemukan apapun, akhirnya pria yang memiliki tubuh cukup atletis dengan lekukan otot yang terbentuk proporsional itu mulai melangkah menaiki tangganya.
Di ujung lorong tangga hanya ada satu kamar. Ruangan yang berada di sisi-sisi lorong terkunci sehingga Sai tahu kemana dia harus berjalan. Pria berambut hitam itu mengetok pintu kamar di ujung jalannya, "Hei—" hanya saja pintu itu justru terdorong ke dalam membuat pria bermata obdisian tersebut berinisiatif membukanya lebih lebar dan masuk ke dalam.
Tidak ada siapapun sekilas membuat Sai semakin berani. Dia kembali menyerukan nama pemilik rumah sampai akhirnya dia melihat sosok yang berdiri di dekat meja paling pojok. Yamanaka Ino berdiri di dekatnya sembari memegang hpnya. Terlalu fokus dengan benda elektronik itu membuatnya tak menyadari pria yang telah berdiri di seberang kasurnya.
"Ino," mendengar suara itu membuat Ino tersentak kaget dan mengangkat kepalanya. Dia reflek menjatuhkan hpnya ke atas kasur. Melihat ekspresi Sai yang khawatir membuat Ino merilekskan tubuhnya yang sempat tegang.
Wanita itu mendengus keras, "Ya ampun Sai, aku pikir kau siapa—" kedua iris aquamarine Ino turun dari wajah Sai lalu melihat tubuh laki-laki yang membuat kedua pipinya memerah. Ino secara reflek melihat ke arah lain, "—kenapa kau tidak memakai baju!?" teriaknya histeris.
Sai yang sempat termenung melihat Ino yang hanya memakai kimono putih dengan rambut pirangnya yang masih basah itu akhirnya tersentak. Wajahnya juga ikut memerah, "Aku... kemari untuk menanyakan apakah kau memiliki baju pria?" tanyanya kaku.
Ino membuka mulutnya sebelum menutupnya lagi. Dia berusaha tetap terlihat kesal lalu berjalan menghampiri Sai, "Kenapa tidak bilang dari tadi?" kemudian dia meraih tangan Sai dan menariknya tanpa mau melihat ke arah tubuh laki-laki yang berkulit putih pucat itu.
"Aku sudah berusaha memanggilmu sejak tadi, tapi kau tidak juga menyahut," mereka hampir keluar pintu kamar Ino ketika Sai tiba-tiba mengernyitkan kedua alisnya lalu memaksa berhenti hingga Ino tak bisa lagi menariknya, "dan lagi—"
Ino yang kaget karena dipaksa berhenti itu langsung menoleh ke belakang. Dia melihat Sai yang menatapnya dengan tatapan memohon tapi juga penuh dengan dedikasi.
Rasanya... dia seperti lupa caranya bernapas meski hanya sesaat.
"—tak bisakah... kita di sini sedikit lebih lama?"
Pertanyaan itu membuat Ino membuka mulutnya. Kedua alisnya saling bertaut dan dia melihat ke arah lain. Tangannya yang mencengkeram pergelangan tangan Sai perlahan tapi pasti melemah lalu dia melepaskan tangannya dari sana. Sai menarik kembali tangannya sembari tetap menatap wajah Ino yang sudah sangat memerah dan enggan melihat ke arahnya.
Situasi ini terasa begitu awkward. Hanya diam berdiri di tengah kamar tanpa mengatakan apapun. Sai mencoba membuka mulutnya namun dia kembali menutupnya. Mencoba membaca lagi seperti yang biasa dia lakukan, Sai mengernyitkan kedua alisnya.
Berdiri diam di depannya, tanpa mengatakan apapun.
Bibir yang terlipat ke dalam seperti menunggu sesuatu.
Kedua mata yang melihat ke arah lain dan wajah yang memerah seolah malu.
Air yang menetes dari sisi wajahnya yang masih basah... jatuh menetes ke bagian dada yang tidak tertutup ki—
—WAH TUNGGU, APA YANG DIA LIHAT!?
Sai menutup kedua matanya dengan tangannya lalu menoleh ke arah lain. Apa yang harus dia lakukan di saat seperti ini? Maju? Memeluknya? Mengusap kepalanya? Mencium dahinya? Mencium bibirnya?
APA!?
Sial.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sai berharap Sasuke ada di sini dan menjelaskan padanya.
"Umm..." Sai menggaruk pipinya dengan jari telunjuknya sementara Ino kembali melihat ke arahnya, "...apa kita akan melakukannya?"
Haha.
Pertanyaan bodoh.
Keempat urat siku-siku muncul di dahi Ino yang masih mempertahankan senyuman sabarnya. Lalu dia maju dan memegang kedua tangan Sai, mencengkeram erat tangan pria yang kaget itu dan menunduk untuk menatap aquamarine di depannya. Ino menyeringai dengan kesal dan berbisik di telinga Sai yang mulai memerah.
"Aku tidak memakai apapun di balik kimono lho."
Sai mengerjapkan kedua matanya dan seolah menurut seperti anak kecil, dia mengangguk patuh. Dengan senyumnya yang polos, dia berkata santai, "Jika kau memang mau melakukannya, kau tinggal mengatakannya."
"Bodoh—"
Ucapan Ino terpotong begitu Sai menundukkan kepalanya dan kembali mencium bibirnya. Ino sempat kaget, tapi tak butuh waktu lama sampai dia ikut memejamkan kedua matanya dan memiringkan kepalanya, memperdalam ciuman mereka. Sai yang kini memegang sisi-sisi wajah Ino, sementara wanita itu memeluk leher pria di atasnya.
"Kau cantik sekali... Ino," bisiknya. Perkataan paling jujur dari dalam hatinya saat ini. Wanita itu membuka sedikit kedua matanya dan menggigit bibir bawahnya, menahan desahan ketika Sai langsung turun untuk mencium lehernya dengan semangat.
"Cantik... sekali."
Ino mendongakkan kepalanya, membiarkan Sai menjelajahi leher jenjangnya. Wanita berambut pirang itu mulai meraih rambut Sai, menjambaknya erat. Tangannya yang lain meraba punggung Sai, seakan memberi dorongan pada laki-laki yang terlihat tenggelam di nalurinya. Sai mulai membimbingnya ke atas kasur dan Ino membuka kedua kakinya.
Tangan Sai mulai berinisiatif meraba tubuh Ino. Menarik tali kimono di pinggang wanita itu untuk membuka pertahanan satu-satunya. Sesuai perkataan Ino, Sai langsung melihat kulit putih yang mulus begitu kimono putih itu terbuka seutuhnya. Sai berhenti sesaat untuk menelan ludah lalu menarik sisi kimono berbulu halus itu semakin lebar, menunjukkan tubuh langsing Yamanaka Ino yang terlihat begitu sensual disinari cahaya redup di atas mereka.
"Jangan... melihat terus," bisik Ino dengan wajah memerah, tangannya mencoba menutupi dada dan bagian bawahnya yang terekspos jelas. Setidaknya sampai Sai menahan tangannya dan menatap Ino dengan tatapan tajam yang terlalu fokus.
"Jangan ditutup..." Sai menatap lurus, "...aku ingin melihat semuanya."
Mendengar ini, wajah Ino semakin memerah. Dia menutup kedua matanya dan menggertakkan giginya, "Bodoh."
Umpatan itu hanya membuat Sai tersenyum penuh arti. Rambut pirang Ino tergerai di atas bantal ke berbagai sisi, seperti bunga yang telah siap untuk mekar.
Dan Sai... adalah pria yang akan membuat bunga itu mekar, menunjukkan keindahan tersembunyi miliknya.
Sai menundukkan kepalanya dan mulai berhadapan dengan dua buah dada Ino yang naik turun berkat napasnya. Mencium ujungnya pelan, kemudian Sai membuka mulutnya. Ino tersentak kaget ketika pria itu menghisap ujung dadanya langsung dengan kuat. Seolah mencari sesuatu yang keluar dari sana. Sebelah tangannya juga membantu dengan meremas dada Ino.
"S-Sai, tunggu—akh!" Ino reflek melesakkan kepalanya ke atas bantal. Tubuhnya terangkat, meminta fraksi lebih dari pria di atasnya, "Ah! Sai, aku—ngh!?" desah Ino kuat ketika tangan Sai meraba perut ratanya turun lalu menyentuh daerah tersensitifnya.
Ino bisa merasakan satu jari masuk dan bergerak-gerak seperti mencari sesuatu di dalam tubuhnya. Ino tak bisa berhenti mendesah. Pinggulnya secara reflek bergerak mengikuti ritme jari Sai di dalam sana. Sai sendiri sudah melepaskan dada Ino, dia bangkit untuk kembali mencium leher jenjang di atasnya. Tak tahan lagi, Sai akhirnya menggigit tengkuk itu dengan kuat hingga menimbulkan bekas.
Desahan Ino semakin mengeras. Terlebih ketika Sai memasukkan dua jari ke dalam sana, menghasilkan cairan pelumas yang akan mempermudah proses nanti. Tak ada yang bisa Ino lakukan selain memeluk leher Sai, mengaitkan kedua kakinya pada tubuh Sai yang semakin mendekat.
Hingga akhirnya Sai menggertakkan giginya. Tanpa mengatakan apapun, dia memasukkan miliknya ke dalam. Selaput yang menghalanginya itu membuat Sai menatap Ino dengan pandangan memohon. Anggukan sekali adalah izin yang cukup untuk Sai memundurkan tubuhnya lalu memasukkan sepenuhnya ke dalam membuat Ino berteriak melengking.
"Ah! Sa-Sakit... ngh—" Ino melirih pelan, mengatur napasnya, "—ukh... kau sebaiknya bertanggung jawab!"
Mendengar ini, Sai yang masih mengatur napasnya mulai tersenyum perlahan tapi pasti, "Ya." Mendekatkan kedua dahi mereka, Sai memejamkan kedua matanya.
"Kau adalah wanita pertama dan terakhir yang akan menjadi milikku."
Kata 'milik' membuat wajah Ino memerah dan reflek menegang hingga Sai kaget karena merasakan miliknya tiba-tiba diremas dengan kuat. Sai kembali membuka kedua matanya dan menatap iris aquamarine yang menatapnya sedikit bergetar tak terima itu.
"Kau..." Ino menutup mulutnya sembari melihat ke arah lain, "...sekarang aku mengerti mengapa mereka bilang laki-laki yang polos itu jauh lebih berbahaya."
Sai menyeringai dan mencium pipi Ino. Meraih daun telinga wanita itu dan menggigitnya. Dia mulai memeluk wanita di bawahnya itu sementara bagian bawahnya bergerak perlahan tapi pasti menggesek liang di bawah sana, "Aku tidak sepintar maupun setampan Sasuke," ucapan itu membuat Ino kaget dan melirik Sai di sampingnya, "tapi, setidaknya aku cukup percaya diri dalam hal membahagiakan wanita yang kucintai."
"Akan kutagih itu," ucap Ino sembari menarik Sai agar kembali bangkit di atas tubuhnya. Senyuman wanita itu seakan memberi kekuatan pada Sai, "sekarang bergeraklah."
Pria berambut hitam itu mengangguk lalu mulai memasang ekspresi seriusnya. Ino mencakar lengan Sai di sisi kanan dan kiri kepalanya kemudian mendesah ketika laki-laki itu berhasil menemukan titik yang membuat keduanya melayang. Maju-mundur, tarik-dorong, mencari klimaks yang akan memberikan dunia sendiri di antara mereka berdua.
Kedua tangan Ino meraih punggung Sai dan mencakarnya, memberi tanda dengan caranya sendiri. Desahannya terus menggema di dalam kamar, suara derit kasur, dan engahan Sai juga menemaninya. Milik Sai yang berukuran pas mampu membuat tubuh di bawahnya melupakan segalanya. Hanya untuk merasakan lebih, merasakan penyatuan tubuh mereka setelah sekian lama memendam rasa pada satu sama lain, Ino menurut dan berusaha tenang menerima setiap tusukan yang diberikan.
Tangan kekar pria itu juga ikut kembali bekerja, meremas dada Ino yang cukup besar, Sai menggertakkan giginya. Menahan diri agar tidak terbawa nafsu hingga meremasnya terlalu kuat. Bahkan remasan sekarang pun cukup membuat Ino menunjukkan ekspresi kesakitannya meski liangnya semakin menyempit—menandakan tubuhnya senang menerima perlakuan Sai yang cukup menyakitkan ini.
Keringat keduanya menyatu. Sai meraih tangan Ino dan mengaitkan kesepuluh jari mereka. Merasakan dirinya akan datang sebentar lagi, Sai memejamkan kedua matanya erat lalu menarik dirinya keluar dan mengeluarkan cairannya di atas tubuh Ino yang juga ikut memejamkan kedua matanya erat.
"Ha... ah... Ino..." panggilan Sai membuat Ino yang sedang mengatur napasnya membuka kedua matanya. Menatap lelaki itu... Ino tersenyum lalu menarik Sai ke bawah. Mempertemukan kembali kedua bibir mereka.
Berciuman liar, kedua lidah mereka saling mengait sebelum memisahkan diri. Sai bangkit dan menatap Ino dengan tatapan bersalah, "Maaf, aku—"
"Aku mengerti," Ino meraih kepala Sai, mengelusnya pelan, "kita berdua membutuhkan waktu." Mendorong kepala Sai agar kembali turun mendekati wajahnya. Wanita cantik itu mencium ujung hidung... kekasih barunya.
"Aku mencintaimu, Sai."
Perkataan itu membuat kedua pipi Sai memerah. Seluruh pengalaman pertama yang sangat berkesan di dalam hidupnya ini diberikan oleh satu orang pada satu hari yang sama. Seseorang yang juga... wanita yang menakjubkan.
Yamanaka Ino... seorang perempuan yang selalu memberontak itu... akhirnya membuka hatinya.
Dan Sai harus menunjukkan rasa syukur atas keberhasilannya, 'kan?
"Aku juga mencintaimu... Ino."
#
.
.
.
.
.
#
"Jadi, intinya..."
Ino menarik lengan Sai yang masih kaku di tempatnya. Dia memeluk lengan pria itu dengan wajah merona.
"...aku dan Sai pacaran sekarang!"
...
...
...
KRIK
Delapan orang yang ada di sana hanya menatap keduanya dengan pandangan kosong atau lebih ke ekspresi yang seakan sudah mengetahui semuanya. Sampai akhirnya Sakura yang sedang menopang dagunya berbicara, "Err, lalu?"
Empat urat sudut siku-siku Ino kembali, "KENAPA REAKSI KALIAN DATAR BEGINI SIH!?"
Temari yang berdiri sembari melipat kedua tangannya di depan dada hanya mendengus, "Kami sudah tahu kalian akan pacaran, justru aneh kalau sampai detik ini kalian belum menjalin hubungan, 'kan?" tanyanya telak. Ino menggerutu kesal dengan kedua pipi memerah, semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Sai yang hanya bisa tersenyum penuh arti menatap kekasih barunya itu. Membiarkan yang lain tertawa lalu menghampiri keduanya.
Namun, meski reaksi teman-teman mereka yang sangat dekat hingga rasanya sudah seperti keluarga itu sekilas memang dingin, tetap saja pada akhirnya mereka semua memberi Sai dan Ino ucapan hingga pelukan selamat. Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura yang paling bersemangat. Kedua teman sejak kecil itu beradu memberi lelucon yang lucu untuk pasangan baru tersebut.
...Walau tetap saja berakhir dengan Sakura yang meninju Naruto saking kesalnya dan Hyuuga Hinata yang panik sembari membawa kotak P3K seperti biasa.
Lalu Hyuuga Neji akan menghela napas dan membantu saudara sepupunya yang berambut indigo itu dengan memegangi Naruto. Tenten di sampingnya akan mengomentarinya seperti biasa. Shikamaru dan Temari? Kedua pasangan yang paling dewasa dibanding yang lain itu cukup melihat atau bahkan menertawakan tontonan mereka dari jauh.
Ino menertawakan pemandangan di rumahnya yang ramai setelah sekian lama itu dari jauh. Tawanya berhenti begitu seseorang menghampirinya. Uchiha Sasuke datang dengan senyum tipis di wajah tampannya.
"Selamat, Sai. Ino." Ucapnya singkat sembari melihat keduanya bergantian.
Mendengar ini, Sai masih mempertahankan ekspresi datarnya. Dia melirik Ino yang terlihat terkejut mendengar ucapan Sasuke itu. Setidaknya sampai Ino ikut tersenyum lembut dan menyipitkan kedua matanya senang, "Terima kasih, Sasuke."
Dan wanita berambut pirang itu bisa merasakan seseorang menggenggam tangannya erat. Ino kehilangan senyumannya dan melihat tangannya digenggam erat oleh Sai. Sebelum sempat bertanya, Sasuke sudah lebih dulu memotong keduanya, "Baiklah, aku permisi dulu." Ucapnya dengan tenang—sepertinya dia tidak menyadari aura tegang yang telah dia ciptakan lalu pergi begitu saja.
Ino hanya mengangguk kemudian kembali menoleh untuk melihat Sai yang masih diam menatap lurus punggung Sasuke yang semakin menjauh. Menyadari ada apa, Ino mendengus menahan tawa lalu membalas genggaman Sai, "Jangan khawatir," Ino ikut menatap Sasuke yang sudah mendekati Sakura untuk menahan kerah kekasihnya yang masih sibuk berargumen dengan Naruto itu, "aku sudah tidak memiliki perasaan itu padanya."
Sai tidak langsung menjawab. Rahangnya sempat mengeras sebelum dia berbicara, "Saat kau bilang kau pernah menyukai bosku yang menyebalkan itu, aku tak bisa menahan diriku untuk bertanya... apa bagusnya dia?" anak tunggal Yamanaka di sampingnya itu melirik Sai sembari membuka mulutnya. Lalu Sai melanjutkan, "Sama seperti aku yang juga bingung mengapa Sasuke bisa menyukai wanita yang bertenaga monster seperti Sakura."
Ino tertawa mendengar ini, "Tentu saja itu rahasia mereka berdua, kita tidak berhak ikut campur." Tiba-tiba Ino mencubit lengan Sai kuat hingga pria itu reflek merintih, "Lalu jangan menjelekkan Sakura di depanku. Begitu begitu, dia masih sahabat terbaikku." Ucap Ino dengan seringai kejamnya.
Mendengar ini, Sai yang masih memasang ekspresi datarnya, "Jadi, Sakura sangat penting bagimu?"
"Tentu sa—"
"Apakah aku bisa menjadi lebih penting dari Sakura bagimu?"
Ino sedikit terkejut mendengar ini. Menatap ekspresi polos Sai, Ino rasanya tak ingin mempercayai bahwa pria ini berumur dua tahun di atasnya. Tertawa kecil, Ino menggelengkan kepalanya. Membuat Sai memiringkan kepalanya bingung.
Belum sempat bertanya, wanita berambut pirang yang mengetakan kaos ungu dan skinny jeans itu sudah lebih dulu berjinjit dan mencium bibir Sai yang lengah.
Saat wanita itu melepaskan ciumannya, dia menggigit bibir bawah Sai. Menarik bibir itu dengan lembut menggunakan deretan gigi putihnya.
"Dasar bodoh."
.
.
.
.
.
"Then, before I pull out the knife..."
"...these lips and those lips, let me bring them together."
.
A kiss between us just now
You were living by breathing my own breath
Our words rusted with our saliva
So, from now on you'll be the air that I breathe
.
"I love you."
- Hatsune Miku (Two Breaths Walking)
.
.
.
FIN
.
.
.
Selesai akhirnya hahahahaa finally~~ :"D oke, ini commish paling telat di batch 3 huhu maafkan akuh orz.
Jadi karena sudah kebanyakan words, alasanku memilih SUNFLOWER sebagai judul adalah:
1. Kak PY yang ngecommish ini adalah maniak bunga matahari #woy
2. Setelah aku iseng cari arti bunga matahari di mbah gugel, ternyata bunga matahari memiliki banyak arti yang menurutku pribadi cukup melambangkan kelima pasangan yang ada di sini. At least di fic ini.
Kata-kata di dalam [] setiap di bawah judul SUNFLOWER itu adalah arti bunga matahari sendiri yang menurutku sangat dekat dengan inti cerita pasangan utama yang kutulis di setiap chapter-nya. Jadi, next chapter kata-kata di dalam [] ini bakal beda lagi, tapi masih merupakan arti dari bunga matahari :D Untuk source-nya silahkan ke .
Untuk umurnya, aku belum mastiin berapa. Yang jelas Sasuke-Naruto-Sai-Neji-Temari-Tenten seumur dan mereka senior. Sakura-Ino-Hinata-Shikamaru adalah kouhai di bawah mereka dua tahun.
Yak, untuk komentar pribadi. Tbh, di fic ini bakal ada pair Naruto yang baru pertama kali kubikin lemon-nya, SaIno adalah salah satunya. So, mungkin bakal kelihatan struggle-ku di pair-pair itu wkwkwk. Yang sudah baca sebagian besar ficku pasti tahu pair apa yang kumaksud, salahkan kak PY x"DD #heh
Terus berhubung ini fic multichap commish, jadi fic ini akan diupdate dengan fokus pairing pilihan kak PY di setiap chapter berikutnya. Dan update-nya sesuai dengan jadwal kapan kak PY bayar wakakakaka #diinjek Yang jelas, setting-nya gak akan beda. Jadi 4 chapter ke depan masih dengan setting ini (Sakura jadi reporter, Sai jadi asisten produser, Neji jadi novelis, etc) tapi fokus sudut pandangnya berbeda wkwkwkwk.
Lalu kenapa aku tulis endingnya FIN? Karena cerita chapter 1 tidak akan nyambung ke chapter 2, jadi daripada salah paham, di sini aku tulisnya FIN walau fic ini tidak akan tamat sampai chapter 5.Masih bingung juga? Ya udah tunggu chapter 2 aja _(:"3 #heh Mungkin chapter-chapter berikutnya tidak akan sepanjang ini... semoga saja.
Oke, kayaknya ini saja... terima kasih untuk kak PY yang sudah meng-commish! Lalu terima kasih juga untuk semua readers yang telah membaca, review, fave, dan alert! Semoga feel-nya kerasa dan minim typo :"D
Mind to review, please? Thanks before :)