Tittle : Beyond the Scene(s)

With : Jeon Jungkook / Kim Taehyung

A little missing piece story of Determinare

.

Ingat saat di chapter 16. Jungkook nawarin Taehyung bermalam di rumahnya. Yeah. This what they do!

.

.

.

Happy Reading!

.

.


"Uh, maaf berantakan."

Jungkook berdiri canggung saat membuka pintu rumahnya. Membuka ribut mantelnya yang panjang lalu menaruhnya di atas sofa. Mantelnya setengah basah karena ia menjadi seorang pria sejati dengan turun dari mobil Taehyung untuk membuka gerbang rumahnya lalu menarik pintu garasinya agar terbuka. Dengan romantis memayungi kepala Taehyung dengan lengannya begitu pemuda itu keluar dari mobilnya. Taehyung mencoba untuk tidak meleleh, untuk tidak menarik lengan Jungkook di bawah kepingan salju lalu mencium Jungkook sampai mabuk karena perilaku manisnya.

Taehyung tersenyum maklum mendengar ucapan Jungkook. Menyugar rambutnya yang agak basah karena lelehan salju yang berhasil hinggap di rambutnya, dan menatap resah pada rambut Jungkook yang benar-benar basah hingga tetesannya menghujam kemejanya, sementara pemuda itu tengah sibuk membuka sepatunya dan mengenakan sandal rumah lucu berwarna kuning terang. Taehyung mengikutinya, membuka sepatunya, melepas kaus kakinya, meletakannya ke atas rak sepatu lalu menarik satu sandal rumah berwarna merah gelap.

Rumah yang dimasukinya kini masih sama. Masih terasa Jungkook. Masih bernafas Jungkook. Bahkan gemerlap tawa ceria Hoseok masih tertinggal di sana. Taehyung duduk di sofanya yang lebar, membuka mantelnya dan mengitari matanya ke sekeliling rumah. Jungkook berdeham kecil, menggaruk belakang telinganya gugup lalu bergumam akan membuatkan minuman dan beranjak ke dapur.

Jungkook datang lima menit kemudian, dengan nampan berisi dua kopi hangat, satu toples kukis cokelat serta dua handuk kecil tersampir di pundaknya. Ia duduk di samping Taehyung. Dekat sekali. Hingga kaki mereka bersentuhan. Jungkook menaruh cangkir miliknya ke atas permukaan meja, kemudian milik Taehyung diulurkannya dengan sopan. Taehyung menyambutnya senang. Merasakan permukaan keramik yang hangat menyapa telapak tangannya yang dingin. Jungkook lalu mengambil satu handuk di pundaknya, dengan lembut menaruhnya ke atas kepala Taehyung; sedikit menggusak nakal rambut Taehyung, lalu terkekeh lucu ketika Taehyung menggerung kesal dan menepis tipis tangan Jungkook. Taehyung berbalik menggasak sendiri rambutnya dengan sebelah tangan, dan satu tangan patuh memegang kopinya yang hangat.

Jungkook menyesap kopinya, lalu perlahan mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang tersampir di pundaknya.

"Aku tidak punya cokelat hangat." Ucapnya memecah kesunyian. Taehyung tersenyum saat menyesap kopinya. "Aku harusnya menyiapkan banyak hal terlebih dahulu sebelum mengajakmu berkunjung ke rumahku. God, masih berantakan sekali."

Taehyung terkikik lucu, cara tertawanya yang manis membuat Jungkook terpaku. Akan rindu yang menonjok dadanya, juga dengan keinginan untuk mencuri kecupan di pipi Taehyung yang memerah; akibat cuaca dingin dan hangatnya kopi di tangannya, atau mungkin dengan keberadaan Jungkook di sisinya.

"Terlihat sekali." Taehyung mengangguk setuju, mengarahkan tatapan matanya pada permukaan meja makan yang penuh oleh bungkus makanan instan, beberapa kemeja yang tergeletak asal di atas sandaran kursi, tumpukan sepatu yang berjatuhan, dan setumpuk pakaian bersih yang malas Jungkook lipat. Ada beberapa boks di sudut ruangan, sepertinya beberapa barang yang dibawa Jungkook dari Busan dan belum sempat ia rapikan.

"Eommonim yang membantumu pindah?" Tanya Taehyung

"Yeah," Jungkook nyengir lucu. Masih sibuk mengeringkan rambutnya. "Ibu menyuruh orang membersihkan rumah ini tiga hari sebelum aku resmi pindah. Memberikan serangkaian petuah, lalu memelukku erat kemudian kembali ke Busan bersama Ayah. Tapi tenang saja. Ruang tengahnya memang agak sedikit berantakan. Aku belum sempat merapikannya. Tetapi kamarku bersih, kok. Seprainya baru kuganti kemarin. Aku juga baru mengaitkan pengharum ruangan yang baru; aromanya apel. Jadi, aman."

"Aku tidak berjanji akan menginap, kan? Hanya berkunjung sebentar hingga saljunya berhenti." Taehyung berucap penuh canda, wajah Jungkook murni terkejut. "Jadi tidak usah repot-repot memberitahuku tentang keadaan kamarmu, Jungkookie."

"Eeeh," Alis Jungkook menekuk tidak suka. "Hyung sudah berkata akan menginap."

"Tetapi aku tidak berjanji." Taehyung membela diri sembari menyesap kopinya. "Aku hanya singgah sebentar, sampai saljunya berhenti turun." Taehyung melayangkan senyuman manis yang membuat Jungkook gemas setengah mati.

Jungkook menyipitkan mata menantang. Tahu benar jika Taehyung tengah menggodanya saat ini. Dari kuluman senyuman gemasnya melihat raut sebal Jungkook, dari tawa tertahannya menunggu diamnya Jungkook. Susah sekali menaklukan otak picik Taehyung yang cantik. Jungkook berakhir menyambar mantel Taehyung. Merogoh saku mantel itu dengan ribut sementara Taehyung gelagapan menaruh cangkir ke atas meja.

"Mau apa? Jungkook— Sialan, m-mau apa, berengsek, kembalikan kunci mobiku."

Jungkook tertawa senang ketika jarinya menemukan kunci mobil Taehyung di saku kanan mantel pemuda itu. Langsung menyembunyikannya dalam kepalan tangan lalu menekuk tangannya ke belakang tubuh hingga Taehyung tidak dapat menjangkaunya.

"Jangan jadi bangsat! Sini! Kembalikan! Aku ada kerjaan penting besok!"

"Aku antar." Jungkook masih sibuk menghalau tangan Taehyung yang masih kukuh menjangkau kunci di genggaman Jungkook.

"Antar, kepalamu. Perpanjangan SIM-mu baru diterima hari ini. Butuh dua minggu kau bisa resmi mengendarai mobil lagi. Kembalikan—kembalikan, ih Jungkook!"

Terlalu dekat. Kini mereka terlalu dekat. Tubuh Taehyung meringsek maju, masih mencoba mengambil kunci mobilnya di kepalan tangan Jungkook, sementara tubuh Jungkook semakin beringsut mundur, setengah berbaring. Menatap mata Taehyung terlalu pekat, dan membuat Taehyung merinding menyadarinya.

Rentetan ciuman yang tadi sempat Jungkook berikan dalam mobilnya seketika melebur dalam ingatan Taehyung. Jari tangannya otomatis mengerat di kerah kemeja Jungkook, menekuk alis gelisah dengan nafas memburu yang hangat. Bagaimana bibir lembut Jungkook penuh mengecup kedua sisi pipinya, bagaimana jari tangan Jungkook mencengkram pergelangan tangannya, dan bagaimana kesabaran Jungkook menanti Taehyung turun dari pikirannya yang melayang, itu semua membuat Taehyung seketika gugup. Berbalik dengan Jungkook yang hanya diam. Tidak memajukan wajah untuk meniupkan kecupan, juga tidak menarik tubuh Taehyung agar masuk ke dalam pelukannya.

Jungkook pada akhirnya melukiskan senyuman, meluluhkan kegugupan di wajah Taehyung. Ia terkekeh lucu melihat kegugupan di wajah Taehyung yang seketika kaku.

"Hyung sedang menunggu ciumanku atau apa?"

Berdeham gengsi, Taehyung membenarkan posisinya. Menjauh dari Jungkook dan segera mengambil cangkir berisi kopinya. Derai tawa Jungkook bergema. Gigi kelincinya mencuat menggemaskan dan Taehyung menahan diri untuk tidak tersenyum melihat. Jungkooknya manis sekali ketika tertawa ceria seperti itu.

"Berhenti menjadi bangsat, astaga. Kembalikan kunci mobilku. Aku serius. Aku ada pekerjaan penting besok." Taehyung menyalak sebal. Menyesap kopinya yang sudah dingin. "Namjoon-hyung akan mematahkan leherku jika aku telat datang."

"Menginap," Jungkook menggeleng tidak mau kalah. "Hyung tidur di sini malam ini."

"Jungkooook-ah."

"A-a. Tidak menerima penolakan."

"Tapi namjoon-hyung—"

"Aku yang bicara dengan Namjoon-hyung." Suara bernada tenang yang Jungkook dendangkan membuat Taehyung bungkam. Tatapan hangatnya. Gesture dewasanya. Tatapannya mutlak tak ingin dibantah. Taehyung seketika tunduk. "Saljunya turun semakin lebat. Aku juga serius dengan tidak akan membiarkan Hyung mengendarai mobil saat jalanan licin seperti sekarang. Aku melakukannya bukan untukku."

Jari Jungkook terangkat, mengusap pipi Taehyung samar, lalu mengelus untai rambut Taehyung mesra. Senyumannya menyejukkan. Taehyung hampir menangis mengingat jika ia merindukan senyuman itu di wajah Jungkook. Senyuman penuh kesabarannya. Senyuman yang menjelaskan segenap perilakunya semata-mata demi kebaikan Taehyung seorang.

"Oke, kau menang." Taehyung berucap mengalah. Menaruh cangkirnya ke atas meja, dan melirik Jungkook yang kini memasukkan kunci mobil Taehyung ke saku celananya. Benar-benar mengubur kesempatan Taehyung untuk mencurinya ketika pemuda itu lengah.

"Aku sudah pernah melihat Hyung sekarat," Jungkook tiba-tiba berbicara pelan. Handuk menggantung di lehernya dengan berat. "Aku pernah menanti Hyung bangun dari koma. Aku pernah menghitung deru nafas lemahmu tak lelah. Aku juga pernah bertahan di sisimu dan menanti kelopak mata Hyung terbuka karena terlalu lama tertidur. Hyung juga pernah melihatku sekarat." Jungkook menjilat bibirnya cepat, menyadari suaranya yang bergetar. "Hyung pernah berlari ke arahku ketika aku nyaris mati. Hyung pernah melihat bagaimana rusaknya tubuhku saat kecelakaan itu terjadi tepat di depan matamu. Hyung juga pernah menangis setiap malam karena rindu. Karena jarak yang kubuat, dan karena keegoisan yang kumiliki. Kita sudah pernah melalui itu semua. Kita pernah menangisi itu semua. Maka sekarang, aku ingin menahan Hyung lebih lama di sisiku. Aku ingin kembali menghitung nafasmu saat kau berbaring di sampingku, bukan karena takut hembus nafasmu akan berhenti di detik selanjutnya. Aku ingin melihatmu; bukan ketika sekarat atau koma, tetapi ketika matahari terbit, ketika Hyung berada dalam tumpukan selimut, ketika Hyung berada dalam pelukanku."

Kepala Jungkook tertunduk, lalu menarik nafas panjang sembari menolehkan wajahnya hingga menatap Taehyung. Memberitahu ketulusannya. Memberikan ketakutannya. Mengatakan kekalutan di getar jarinya. Lalu dengan perlahan, jari Jungkook terangkat, merangkak pasti ke atas pangkuan Taehyung lalu mengambil jari pemuda itu mendebarkan. Taehyung berdebar. Jarinya secara refleks membalas cengkraman jari Jungkook. Balik menatap Jungkook, dan kembali jatuh cinta.

"Aku mengira pertemuan kita akan sedikit canggung," ujarnya kembali, mengelus ibu jari Taehyung terlalu lembut. "Aku mengira Hyung akan sedikit berubah, mungkin caramu tertawa, mungkin caramu menatapku, mungkin juga caramu berbicara. Tetapi ternyata tidak. Masih tetap Kim Taehyung yang berdiri di atas gedung teratas rumah sakit dan berniat bunuh diri, tatapannya masih Kim Taehyung saat aku melihat fotonya di kamera Hoseok-hyung. Kim Taehyung masih sama, masih Kim Taehyung yang membuatku jatuh cinta."

"Ew, gombal sekali." Respon Taehyung sembari tertawa. Jungkook ikut tertawa. "Ceramahmu berhasil, Dokter Jeon." Ia melepas jari mereka yang bertautan, mengangkatnya untuk singgah di kedua sisi pipi Jungkook lalu mengusapnya halus. Menepuk-nepuknya lembut hingga senyuman Jungkook terbentuk begitu lucu. "Mulai sekarang lebih berhati-hati. Kumohon mengerti jika aku mulai keras kepala. Tolong mengerti jika aku menghubungi pukul dua pagi dan memintamu datang ke apartemenku hanya dengan alasan sepele; ingin memelukmu." Jungkook terkikik lucu sembari bergumam 'astaga ini gombal sekali'. Taehyung menahan tawanya dan masih kukuh menempelkan telapak tangannya di kedua sisi pipi Jungkook. "Berhenti tertawa, sialan—hmppf" Taehyung ikut tertawa, berakhir menyumpal mulut Jungkook dengan telapak tangannya. Lalu melepasnya setelah Jungkook berjanji akan berhenti tertawa. "Lalu tolong mengerti juga jika aku akan datang diam-diam ke rumahmu lalu meminjam bajumu, tidur di tempat tidurmu, memeluk bantalmu, lalu merengek ingin dibuatkan sarapan esok paginya."

"Dimengerti, Kapten!" teriak Jungkook terlalu bersemangat.

"Terimakasih atas pengertiannya, Iron Man."

Jungkook kembali tertawa mendengar nama panggilan yang Taehyung tunjukan padanya.

"Lalu Hyung yang menjadi Pepper Pots-nya?"

"Aku Jarvis."

"Mana ada."

Jungkook menarik Taehyung ke pelukannya. Menyembunyikan dinginnya salju yang kejam. Melindunginya dari udara dingin yang beku. Menjaganya dari hembusin angin. Di pelukan Jungkook yang erat, Taehyung mengerti satu hal; jikapun dunia berbalik memusuhinya, jikapun langit meruntuh di hadapannya, jikapun semua menelannya dalam kepahitan dan menggelamkannya dalam kegelapan, selama Jungkook, selama pelukan Jungkook akan hadir di penghujung hari, selama jari Jungkook hadir di bekunya musim dingin, selama hembus nafas hangat Jungkook tertiup lembut ke wajahnya, maka semua tidak berarti. Dunia boleh hancur. Langit boleh rubuh. Tapi Jeon Jungkook harus tetap berada di sisinya; sampai kapanpun.

.

.

.

(Pukul satu dini hari. Saat mereka siap untuk tidur. Taehyung meminjam pakaian Jungkook, mengenakan shampoo dan sabunnya, merangkak ke dalam tempat tidurnya dengan sosok Jungkook yang sibuk dengan smartphonenya. Mereka memutuskan untuk mematikan lampu kamar. Berdiam diri. Lama. Tidak bisa tidur. Terlalu berdebar. Taehyung dapat mendengar hela nafas Jungkook yang gugup. Tidak bisa berenti mengubah posisi tidurnya.

"Ya Tuhan, ini canggung sekali."

Dan bisikan Taehyung itu membuat Jungkook tertawa keras. Tidak tahu harus berbuat apa dengan Taehyung di sisinya. Tidak tahu harus memeluknya atau tidak. Tidak tahu harus mengecup keningnya lalu membisikkan ucapan selamat tidur atau tidak. Tidak tahu harus menyingkirkan tembok kegugupan di antara mereka seperti apa.

"Aku bisa pindah ke kamar bawah," aju Jungkook.

"Tidak akan, yang benar saja." Taehyung mencengkram pergelangan Jungkook. "Di sini saja. Seperti ini."

Taehyung tetap mencengkram pergelangan tangan Jungkook saat matanya perlahan terkatup.

Dan tepat satu jam kemudian, Taehyung tengah meringsek masuk ke pelukan Jungkook, dengan lengan Jungkook yang terkalung manis di pinggang Taehyung. Tertidur lelap, dengan buai mimpi indah bersama satu sama lain.)


TBC


Aku lagi gabut. Lagi liatin langit-langit kamar. Jam lima pagi. Siap-siap mau tidur. Udah nutup mata. Udah baca doa tidur. Terus tiba-tiba kepikiran Taekook. Ketawa mereka yang lucu. Canda-canda unyu mereka yang gemesin. Terus aku bangun. Buka laptop. Malah ngetik. Kangen Dokter Jeon. Terus kepikiran ini. Semoga suka!

.

.

RnR Juseyo~