Between The Line
By: the autumn evening
Pairing: Sasuke/Sakura
Rating: T
Disclaimer: I do not own Naruto, but the story is mine
Warning: AU. Typos. OOC. Two-shots. Amnesia!Sasuke
Summary:
Sakura tahu dia beruntung. Dia cukup mapan, memiliki pekerjaan tetap dengan gaji tinggi, sekumpulan sahabat setia, seorang ayah yang menyayanginya, rumah yang hangat, dan seorang pria seksi sebagai partner seks. adalah, Sakura mendapatkan hal baik lebih dari cukup daripada apa yang biasa orang lain dapatkan, dia tidak seharusnya mengeluh. Tapi siapa yang sedang ia coba bohongi? Dia sedang membicarakan dirinya, tentu saja tidak begitu kenyataannya.
Sasuke dan Sakura sudah menjalin hubungan sex-tanpa status selama tiga tahun, saat Sasuke kehilangan ingatannya karena sebuah kecelakaan.
.
.
.
"Sasuke adalah yang pertama untukku," kata Sakura.
Nyonya Tsunade—tetangganya yang sudah Sakura anggap seperti ibunya- mengangguk, memahami. Terkadang Sakura merasa sangat bersyukur mengenalnya. Nyonya Tsunade adalah satu- satunya orang yang tidak akan menghakimi atau mencela apa yang sudah Sakura lakukan.
"Aku tahu bahwa partner pertamamu, adalah seseorang yang tidak akan kau lupakan. Seseorang yang akan selalu memiliki tempat di hatimu. Dan itu bukan sesuatu yang salah. Aku bangga padamu karena sudah berani menjalin hubungan pertamamu."
Sakura mendengus, "Tidak bisa dibilang hubungan, kan?"
Nada Nyonya Tsunade kuat dan sungguh- sungguh saat dia kembali berbicara. "Itu tidak benar, Sakura. Tidak penting bagaimana pandangan Sasuke atau Karin tentang ini. Jika menurutmu itu adalah sebuah hubungan, maka begitulah adanya."
"Bagian terburuknya," kata Sakura, "adalah bahwa aku tahu ini akan terjadi. Aku selalu bisa melihat ada ujung di hubungan kami. Masa depan Sasuke yang tidak melibatkan aku, dan aku tahu itu." Sakura benci ini. Dia benci patah hati. Siapa yang tidak?
Nyonya Tsunade tidak mengatakan apapun, membiarkan keheningan yang nyaman melingkupi mereka. Tangan hangatnya mengelus tangan Sakura.
"Aku rasa," suara Sakura terdengar tercekat, menahan rasa panas di kedua matanya, "aku rasa aku mencintainya."
Matahari bersinar terang di luar rumah nyonya Tsunade, indah dan cerah.
Hari yang menyakitkan.
.
.
Jelas sekali bahwa Naruto tidak menyetujui apa yang Sakura lakukan dari awal.
"Aku tidak yakin ini ide bagus, Sakura," kata Naruto, mengelus tengkuknya, "aku tidak yakin kau bisa menghadapi hubungan- tanpa status. Kau bahkan terbawa perasaan melihat anak kucing sendirian di jalan! Dan dari caramu menjelaskan bagaimana perilakunya di pesta? Creepy."
"Naruto," Sakura mendesah, "tenang. Aku akan baik- baik saja. Aku akan meneleponnya, mendapatkan seks hebat dengan pria super seksi, tidak lagi jadi seorang perawan, dan bisa membanggakannya. Apa yang harus dicemaskan?"
"Hanya saja—kau tahu—Sasuke," nada Naruto putus asa.
Sakura menepuk punggung Naruto, "Semua akan baik- baik saja, Naruto."
Kalimat menutup klise.
.
.
Sudah dua minggu sejak kecelakaan Sasuke saat Sakura mendapat telepon dari kantor.
"Halo?" jawab Sakura.
"Hei Sakura! Sedang apa?"
Sakura mengernyitkan dahi, kenapa Ino menelepon dari kantor dan menanyakan hal seperti ini? Pasti ada sesuatu.
"Sedang di ruang catatan kasus. Ada apa?"
Terdengar sahabat pirangnya menghela nafas, tahu bahwa basa- basinya sia- sia.
"Sakura, aku mendapat pesan dari Karin untuk memberitahumu agar mengambil barang pribadimu di apartemen Sasuke paling lambat hari Jumat ini." Nadanya terdengar menyesal.
Sungguh sebuah ironi, Karin meminta sahabat Sakura untuk secara tidak langsung menghilangkan jejak hatinya yang patah. Ino, gadis pirang itu adalah orang paling profesional yang Sakura kenal, tentu saja dia melakukannya, di jam kerja, menggunakan fasilitas kantor.
Sakura tidak tahu harus menjawab apa, maka ia hanya mengatakan terimakasih, sebelum menutup telepon.
Detik selanjutnya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
'Maafkan aku, Sakura' adalah isi pesan dari nomer Ino.
Sakura mendesah lelah, hari ini adalah hari Kamis. Dia mendudukan diri di lantai, karena kursi terdekat berada di ujung koridor dan dia tidak memiliki cukup tenaga untuk berjalan ke sana.
Sakura tahu dia berlebihan. Barang- barangnya bahkan tidak begitu banyak di apartemen Sasuke. Hanya saja dengan mengambilnya, pada akhirnya dia menerima kenyataan bahwa apapun yang sudah mereka lakukan, benar- benar berakhir.
Dua minggu ini tidak susah menghindari Sasuke atau Karin. Mereka bekerja di gedung yang sama, memang, tapi pengacara sibuk seperti mereka tidak pernah turun untuk membaur dengan pion rendahan seperti Sakura. Mereka bahkan tidak berada di lantai yang sama.
Kantor Sasuke ada di lantai 21, sedangkan pegawai kecil seperti Sakura menempati lantai sepuluh ke bawah. Karin sedang melakukan perjalanan bisnis ke Seattle, untuk beberapa minggu ke depan.
Sakura menghela nafas panjang, menenangkan diri. Sekarang jam tujuh malam hari kamis, itu berarti jadwal Sasuke untuk ke gym sampai dua jam ke depan, Sakura bisa pergi ke apartemennya, mengambil barang lalu keluar tanpa harus berinteraksi dengannya.
Sakura menandai progres penyelidikan yang sedang ia kerjakan sebelum menutup buku catatan dan kembali ke meja kerjanya. Meraih tas lalu mengucap salam kepada beberapa rekan yang masih bekerja lembur sepertinya.
Dia memaksakan diri menuju apartemen Sasuke. Anggap saja ini seperti menangani luka, dia harus mensterilkannya, maka dia akan baik- baik saja. Tidak peduli betapa sakit pada awalnya. Keluar dari taksi, dada Sakura seperti dihantam palu godam kembali saat penjaga pintu mengangguk dan menyapanya dengan halo, mau menemui kekasihmu? Mereka berbicara beberapa lama sebelum Sakura mengatakan bahwa Sasuke sudah menunggunya yang dibalas dengan kekehan dan mata berkedip mengerti.
Perjalanan naik menuju pintu apartemen Sasuke lebih sakit dari yang ia bayangkan. Sakura menyentuh permukaan dinding lift, mengelus tombol angka sebelum memencetnya. Dia bahkan berdiri di koridor, untuk sekedar menatap motif dinding.
Tuhan, dia sangat menggelikan.
Sakura mengambil dua kotak kardus dari troli kebersihan yang ada di ruang supply sebelum masuk ke dalam apartemen Sasuke dengan menggesekan kunci-kartu yang masih ia simpan di dompetnya. Dia tidak akan datang ke sini lagi, ini kali terakhir.
Apartemen Sasuke gelap, maka gadis merah muda itu menyalakan lampu ruang tengah. Cahaya seketika menerangi furnitur maskulin, bersih dan modern milik Sasuke. Dia melangkah menuju dapur terbuka, menyentuh permukaan meja granit dingin dengan ujung jarinya. Matanya terpejam, membayangkan sarapan- sarapan pagi yang mereka habiskan bersama, dengan canda ringan dan tawa renyah berdua.
Aroma parfum manis Sakura masih dapat tercium dari saat terakhir kunjungan Sakura ke sini tiga minggu lalu. Rasanya menyesakan bahwa wangi ini akan segera memudar, dengan semua jejak Sakura di kehidupan Sasuke.
Sakura menuju kamar utama. Dia tidak bersusah payah menyalakan lampu, tidak perlu, karena dia mengenal kamar ini seperti kamarnya sendiri.
Bajunya terletak di sudut walk-in closet Sasuke, terdiri dari pakaian dalam, kaos, dan beberapa setelan kerja jika ia menginap di sini. Sakura berlutut untuk mengambilnya, setengah hati melipat beberapa pakaian sebelum memasukannyaa ke kotak. Kepalanya berusaha untuk tidak memikirkan apa arti dibalik apa yang sedang ia lakukan.
Dia tidak mendengar suara gesekan kunci di pintu depan, atau suara pintu yang dibuka, atau suara langkah kaki dan nafas Sasuke.
Maka saat dia bangkit, dengan kotak penuh di tangannya untuk keluar dari dalam lemari, dia terkejut melihat Sasuke yang tengah menyandar di daun pintu, mata gelap menatapnya.
Sakura memekik kaget, tangan memegang dadanya yang berdetak gila. Sasuke, si brengsek itu menyeringai.
"Aku tidak tahu kau ada di rumah," kata Sakura, "hari Kamis biasanya kau ada di gym."
Sasuke mengangkat alis, dan Sakura menyadari—oh, ya, dia tidak kenal aku, maka pasti aneh untuk Sasuke.
"Belum boleh terlalu banyak bergerak," Sasuke mengernyit, "perintah Dokter."
Sakura tahu Sasuke benci tidak aktif dan tidak produktif, maka dia mengangguk simpati.
Mereka berdiri canggung seperti itu untuk beberapa saat sebelum Sakura membersihkan tenggorokan, "Aku, uh, akan mengambil barangku yang ada di ruang tengah." Dia melangkah maju, menunggu Sasuke memberinya jalan karena dia menghalangi jalan keluar. Namun dia tetap berdiri di pintu, ekspresi wajahnya tidak terbaca, lengan melipat di depan dada.
"Sakura," kata Sasuke, dan Sakura merasa dia tidak perlu menjawab, rasanya seperti Sasuke ingin mencoba mengucapkan namanya, mengetes bagaimana terasa di lidahnya. "Kenapa kau mengemasi barangmu?"
Apa ini hanya perasaannya saja, atau memang udara di ruangan ini semakin menipis beberapa detik ini?
"Um," Sakura mencoba menghindar, "aku hanya berpikir, aku tidak mau menghalangimu. Kau pasti perlu waktu untuk—" dia menggerakan tangannya ke arah Sasuke, "—mengembalikan ingatanmu."
Sasuke menegakan tubuh, menggiring Sakura mundur ke dinding. Sial. Sasuke harus berhenti melakukan ini. Memenjarakan tubuh Sakura, Sasuke menurunkan kepalanya sangat dekat, nafas menghembus panas di telinga Sakura.
"Kau pembohong yang payah."
Sakura menelan ludah, "Serius, kau tidak ingin aku di sekitarmu, dan aku mungkin sebaiknya pergi sekarang, jadi—"
Sasuke memundurkan kepalanya agar ia bisa menatap Sakura sepenuhnya, "Diam."
"Hey," protes Sakura, "ak—"
Bibir Sasuke menekan kuat di bibirnya, memotong kalimatnya. Cara ini semakin menyebalkan. Tapi Sakura tidak mengeluh, tidak saat lidah memaksa Sasuke mulai membelah bibinya meminta akses, menjilat dan merasai Sakura seperti dia adalah makanan penutup paling lezat di buffet dan hanya ada tersisa satu.
Sakura mendesah. Dia mengakuinya, dia memang tidak bisa mempertahankan diri di hadapan Sasuke. Dia menjatuhkan kotak yang masih terperangkap di antara tubuh mereka, sama sekali tidak mendengar suara 'duk' yang dihasilkan saat membentur lantai. Tangannya bergerak sendiri meraup rahang Sasuke dan menyelip di rambut hitam pekat yang terasa lebih panjang dari biasanya karena ini sudah lewat dari jadwal potong rambut bulanannya.
Sasuke melenguh, mengangkat tubuh Sakura untuk melingkarkan kaki di pinggulnya. "Teman, huh," katanya, di sela ciuman menuntut yang merubah isi kepala Sakura menjadi bubur.
Kata- kata Sasuke mengubah hasrat yang menggumpul di bawah perut Sakura menjadi es. Apa yang sedang dia lakukan? Sasuke—Sasukenya, Sasuke yang bisa mengingat dan tidak sedang bingung—tidak menginginan ini. Dia sudah berniat mengakhiri ini selama beberapa bulan. Itu sudah cukup menjadi bukti bahwa Sasuke tidak akan menerima perlakuan Sakura yang memanfaatkan hilangnya ingatan Sasuke untuk kembali ke sisinya.
"Stop," hela Sakura, menarik tubuh, bibir dan tangannya menjauh dari Sasuke. "Stop Sasuke, aku tidak bisa melakukan ini, ini tidak benar."
Nafas Sasuke berat, wajahnya masih berjarak beberapa senti. Dia mendesah kesal, "Apa?" tangannya turun mencengkeram pinggul Sakura, "tubuhmu mengatakan tidak ada masalah."
Pinggul Sakura mengejar tangan tubuh Sasuke, dapat ia rasakan betapa siapnya pria di depannya. Pria itu menyeringai menyadari gerakan tanpa sadar tubuh gadis di hadapannya.
Sakura memukul dada Sasuke, "Tidak, Sasuke, aku serius. Kita tidak boleh melakukannya." Dia mencoba melepaskan diri dari kungkungan Sasuke, ia terus berbicara untuk memenuhi keheningan, "aku tahu kau pikir kau menginginkan ini sekarang, tapi percayalah padaku, sebenarnya kau tidak ingin. Dan kalau aku tidur denganmu sekarang, saat ingatanmu kembali, kau akan membenciku. Dan aku tidak mau kau membenciku. Ditambah lagi, ini bukan sesuatu yang kau butuhkan sekarang. Yang kau butuhkan adalah istirahat yang cukup dan bersantai dan mencoba mengingat perlahan. Atau kau bisa mulai dengan memperbaiki motor yang selalu kau ingin lakukan tapi tidak pernah sempat. Tapi kau dan aku? Bukan ide yang bagus."
Setelah berbicara panjang lebar, hasrat Sakura sama sekali tidak menurun.
Sial.
Respon Sasuke hanya tubuhnya yang menekan semakin dekat, kepalanya menunduk untuk menghujani leher Sakura dengan ciuman selembut bulu. Berlawanan dengan akal sehat, tubuh Sakura bergerak sendiri memberi akses kepada Sasuke. Keseimbangan seutuhnya ia tumpukan pada dada Sasuke saat pria itu mulai menghisap dan menggigit lehernya.
Pikiran Sakura melayang pada fakta bahwa Karin ada di luar kota—
Sasuke menginginkannya sekarang, dia masih menginginkan Sakura—
Sakura pantas mendapatkan ini, dia pantas mendapatkannya, ini bukan hal besar—
Tidak ada paksaan—
Persetan.
Pikir Sakura sebelum gadis itu melompat mencium Sasuke dengan kedua kaki dan tangan melingkari tubuh kekar itu sekali lagi.
.
.
Sudah lima bulan sejak mereka memulai—semua ini. Sakura mendapat undangan untuk pesta cocktail reuni SMA sabtu mendatang. Itu adalah acara yang cukup besar, dan Sakura sangat ingin mengajak Sasuke sebagai teman.
Bukan sebuah ide bagus, bahkan Naruto, si Tuan Tidak Peka berpikir demikian. "Sakura, tidak ada yang membawa teman, yang ada teman kencan," katanya sambil membuat susu formula untuk bayi berusia tiga bulannya—Hinata sedang keluar untuk membeli pampers. "Jangan lakukan."
Naruto memang sahabat paling hebat, dia tidak pernah membahas fakta bahwa Sakura sudah 120% jatuh cinta pada Sasuke. "Jadi... aku tidak usah mengajaknya?"Sakura menegaskan.
"Untuk terakhir kalinya, tidak. Tidak. TIDAK."
"Hey! Tidak usah marah dong, aku hanya memastikan," suara Boruto terdengar dari ruang sebelah, membuat Naruto dengan cepat menutup botol susu formula dan lari meninggalkan Sakura.
"Baiklah, terimakasih Naruto." teriak Sakura sambil meninggalkan rumah Naruto yang sudah sepenuhnya lupa dengan kehadirannya.
Namun Sakura dikenal sebagai pribadi keras kepala. Maka dia memutuskan untuk mengirim pesan singkat pada Sasuke untuk bertanya apakah dia ada di rumah dan sedang tidak sibuk sebelum menyetop taksi menuju apartemen pria itu. Dia bisa bertanya secara tidak langsung, melihat apakah Sasuke mau datang ke pesta reuni bersamanya.
Saat dia sudah sampai di apartemen Sasuke, dia menyesali tindakan spontanitasnya. Sasuke sudah memperjelas di awal bahwa mereka tidak bersama. Mereka tidak dalam sebuah hubungan. Mereka bukan sepasang kekasih.
Dia tengah mempertimbangkan untuk pergi saat pintu mengayun terbuka, sebuah senyum predator menyambutnya. "Lama sekali," katanya, meraih lengan Sakura yang terbungkus kaos panjang ke dalam.
Dua jam kemudian, saat mereka berdua berkeringat dengan nafas terengah, Sakura merasa tidak ada ruginya menanyakannya pada Sasuke. Sakura sudah membuka mulut saat Sasuke menarik tubuhnya dari atas sofa, tempat mereka tergeletak setelah dua jam seks, menyuruh Sakura untuk membersihan diri. Saat itu Sakura baru menyadari keberadaan koper di dekat pintu. "Kau mau pergi?" tanyanya, meraih bajunya untuk menuju ke kamar mandi.
"Keperluan bisnis," gumam Sasuke, "aku akan ke luar kota sampai minggu depan. Ada apa?" Sasuke melirik.
Sakura merasa kecewa. Kalau begitu dia tidak perlu bertanya apakah Sasuke mau pergi dengannya atau tidak. "Kalau begitu, sampai jumpa saat kau sudah kembali." Sasuke menatapnya dengan pandangan yang sedikit... entahlah, kecewa? Sebelum mengangguk dan detik selanjutnya sudah mengalihkan perhatian pada email di iPad. Sakura menghela nafas sebelum menuju kamar mandi..
.
.
Karin akan membunuh Sakura.
Dua belas hari lagi dia akan kembali dari kantor cabang Seattle. Sejak malam Sakura mengambil barangnya di apartemen Sasuke, mereka berdua bagai kembar siam yang tidak dapat dipisahkan pinggulnya. Secara literal.
Sakura bangun tidur dengan migrain terparah sepanjang hidupnya. Dia dapat merasakan tubuhnya demam tinggi, matanya berkunang- kunang, tenggorokannya sakit. Dia tidak bisa bangun dari ranjangnya dan kesusahan meraih ponsel untuk menghubungi seseorang. Dia jelas tidak akan menghubungi ayahnya, dia tidak ingin membuat ayahnya cemas. Naruto tidak ada dalam pilihan, karena Naruto dan Hinata tengah melakukan liburan pertama dengan Boruto. Sedang Ino tidak bisa dihubungi.
Tanpa pikir panjang, Sakura menelepon Sasuke. "Uchiha," jawabnya pada deringan ketiga.
"Sasuke..." suara Sakura lemah, tiba- tiba merasa tidak yakin.
"Ada apa, Sakura? Aku sedang meeting,"
"Maaf," kata Sakura, "hanya saja, aku sakit... Ino tidak menjawab teleponnya, aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Apa mungkin kau bisa—"
Sakura dapat merasakan ketegangan di udara, "Kau sakit?" tanya Sasuke.
"Iya, apa kau mungkin bisa membantuku, memberitahu Ino? Kalau kau tidak bisa— "
"Aku ke situ," potong Sasuke sebelum mengakhiri panggilan.
Kalau saja Sakura dalam keadaan sehat, dia pasti kesal pada sikap Sasuke. Tidak sampai dua puluh menit kemudian, suara bel berbunyi. Seberapa cepat Sasuke mengemudi? Apartemen Sakura berjarak tiga puluh menit perjalanan dari Uchiha Firma saat tidak sedang macet. Sasuke melangkah masuk membawa sekantung besar buah dan makanan, dan seorang dokter pribadi.
"Sasuke?" Sakura bertanya dengan nada bingung, dia hanya meminta Sasuke mengatakan pada Ino untuk merawatnya, namun pria itu datang sendiri untuk merawat—bahkan membawakan dokter pribadi.
Setelah mendapatkan pemeriksaan dan obat—yang Sasuke beli di apotek terdekat setelah dokter memberikan resep—pria itu bergerak menuju dapur untuk mengambil air dengan gerakan familiar, membuat jantung Sakura berdegup sakit.
Sasuke meletakan gelas berisi air di nakas sebelah ranjang, mengupas pisang dengan pelan dan bersih dari serat kulit yang masih menempel, dan memotongnya menjadi beberapa bagian lalu menyuapi Sakura.
"Kau membawakan aku makanan?" tanya Sakura setelah menerima suapan pisang, suaranya penuh harap dan dia membencinya.
Sasuke menatapnya tidak percaya, seperti mengatakan, wow akhirnya kau menyadarinya, "Ya," dia melirik kantong plastik di kaki ranjang, "harusnya tidak?" tanya Sasuke, nadanya defensif.
Sakura cepat menjawab, "Bukan begitu," dia mengigit bibir bawahnya, merasa bersalah. Dia merasa dia memanfaatkan Sasuke yang mengira Sakura adalah kekasihnya. Dan ini tidak adil untuknya, "ini sempurna."
Sasuke tidak pernah memperlakukan Sakura dengan seperhatian ini, seperti sepasang kekasih. Dua jam setelah meminum obat, Sakura tertidur dengan kedua lengan Sasuke memeluknya.
Ini adalah sesuatu yang selalu Sakura impikan. Sasuke—Sasukenya, Sasuke dengan ingatan penuh tidak akan melakukan ini. Dia pasti akan membenci Sakura karena membuatnya melakukan hal semacam ini—seperti kekasih—padanya.
Dan yang paling buruk adalah, Sakura bahkan tidak menyesalinya.
.
.
Saat Sakura melihat Sasuke untuk pertama kali setelah perjalanan bisnisnya, adalah hari Senin setelah pesta reuni. Sakura tengah ada di ruang arsip, menyelidiki sebuah kasus lama saat Sasuke memasuki ruangan dan duduk di kursi sampingnya.
"Hey, kau sudah kembali." Sapa Sakura, tidak mengalihkan mata dari file di hadapannya. "Bagaimana perjalanananmu?"
Saat Sakura sudah selesai membaca satu halaman penuh dan hendak membuka lembar selanjutnya, dia baru mengingat keberadaan Sasuke dan bahwa dia tidak menjawabnya. Mendongak dari buku di tangannya, dia menoleh menatap Sasuke, mengedipkan mata bingung.
Wajah Sasuke terlihat... sangat marah. Sakura memundurkan diri, "Ada apa?"
"Kau pergi dengan Sai," geram Sasuke. Tidak mengerti, Sakura memiringkan kepala, menunggu penjelasan lebih lanjut, "Ke reuni sekolah. Dengan Sai."
"Oh, iya. Itu karena semua temanku pergi dengan pasangan. Maka aku mengajak Sai agar tidak terlihat menyedihkan." Sakura mengerutkan alis, "memang kenapa?"
Sasuke menyandarkan tubuhnya yang sangat tegang, "Tidak," katanya, masih ada kemarahan di suaranya, dia tidak tahu kenapa, "aku tidak tahu." tambah Sasuke.
Sakura merengut, "Apa seharusnya aku memberitahumu?"
Jawaban Sasuke tajam dan singkat, "Tidak," katanya, "kau tidak membutuhkanku." Lanjutnya sebelum berdiri dari kursi sebelum melangkah cepat keluar ruangan.
Pintu menutup sebelum Sakura bisa memahami kalimat Sasuke, "Huh," gumamnya. "aneh."
.
.
"Kau tidak memiliki apapun untuk kau berikan pada Sasuke," kata Karin, dan Sakura berpikir, itu tidak benar. Dia punya cinta, dan mungkin dia hanya bisa berikan cinta kepada Sasuke, tapi itu masih bisa dihitung. Tidak, masalahnya adalah apa yang dia tawarkan untuk Sasuke tidaklah cukup.
Mereka sedang ada di acara yang diselenggarakan keluarga Uchiha, mengundang semua orang yang mereka kenal ke estate keluarga untuk minum dan makan malam. Karin menghampirinya dengan gaun hitam silky dengan jari melingkari gelas wine, anggun dan tajam.
Sasuke sedang pergi untuk mengambil wine, meninggalkan Sakura sendirian. Sakura benci acara keluarga seperti ini—dia tidak diundang sebagai teman kencan Sasuke, dia di sini karena dia salah satu karyawan Uchiha Firma dan Mikoto Uchiha—ibu Sasuke—mengenal ayahnya.
"Oke," respon Sakura, terlalu muak menghadapi Karin dan kalimat pedasnya. "Permisi, aku harus mencari seseorang," dia bergerak meninggalkan wanita berambut merah itu namun Karin menahan tangannya.
Terkejut, Sakura hanya menatap Karin. "Oke?" desisnya, "Oke? Aku mengatakan itu dan pembelaanmu hanya oke? Dengar ya—"
"Ada apa ini?" Sakura tidak pernah merasa sesenang ini melihat Sasuke. Karin seketika menarik tangannya dari tangan Sakura, ekspresinya berubah datar.
"Tidak ada, Sasu," jawabnya, mata masih menatap Sakura. "hanya sedang mengobrol dengan Haruno . Ya sudah kalau begitu," Karin berbalik dan melangkah menuju suaminya yang tengah mengobrol dengan beberapa tamu.
Saat Sakura melirik Sasuke, wajah tampan itu tengah merengut dalam. "Dia bilang apa?" tanyanya, Sakura hanya mengedikan bahu.
"Bukan apa- apa, jangan khawatir."
Sasuke menatapnya beberapa saat sebelum salah satu bibinya memanggilnya, meninggalkan Sakura sendiri.
Tidak masalah, dia sudah terbiasa,
.
.
Ino meneleponnya setelah Sakura akhirnya dapat meyakinkan Sasuke bahwa ya, dia sudah sehat dan dia akan baik- baik saja sendirian, dan tidak, dia tidak lagi merasa pusing, dan Sasuke bisa kembali ke apartemennya pagi hari selanjutnya.
"Sakura ada apa? Ponselku hilang, barusan Sasuke mengatakan dia tidak berangkat kerja hari ini dan bahwa kau sakit. Apa aku perlu ke situ sekarang? Bagaimana keadaanmu?"
Sakura sedang menonton tv dengan semangkuk besar salad buah—yang sempat Sasuke buatkan sebelum pulang- di atas pangkuan. "Tidak perlu ke sini sekarang, nanti saja setelah pulang kerja. Aku sudah baikan."
"Jadi kemarin Sasuke ke situ? Aku melihatnya keluar dari ruang rapat dengan wajah khawatir dan meminta aku mengosongkan jadwalnya hari kemarin dan hari ini. Dia bahkan tidak bisa dihubungi sampai tadi pagi."
"Yah, mengagetkan ya?" Sakura menekan jarinya di antara kedua alisnya.
"Aku mengkhawatirkanmu, Sakura."
"Tidak ada yang perlu dicemaskan. Kami sudah putus, sedang putus, entahlah. Ini rumit. Intinya kami akan putus dengannya sebentar lagi."
"Aku tidak mengerti, kenapa ini begitu rumit? Apa Sasuke melakukan sesuatu? Kau mau aku melakukan sesuatu padanya? Aku tahu dia adalah bosku, tapi kau adalah sahabatku. Kau cukup mengatakan tolong, maka aku akan menendang bokong seksinya."
Sakura tersenyum mendengarnya, senang mengetahui bahwa dia masih memiliki sahabat yang peduli, dan menyayanginya. "Aku baik- baik saja, maksudku, kami belum putus secara resmi... tapi Karin datang ke sini minggu lalu, dia mengatakan bahwa Sasuke berencana mengakhiri ini semua sejak beberapa bulan lalu."
Ino berteriak dari ujung lain sambungan, "Apa? Sakura, kau harus menceritakan hal semacam ini padaku atau Naruto!"
"Aku tahu... maaf, hanya saja terlalu banyak yang harus aku pikirkan." Sakura mendesah sebelum meneruskan. "Ino, aku rasa aku melakukan kesalahan. Aku seharusnya mengambil barang- barangku, seperti yang kau katakan. Tapi saat itu, aku malah tidur dengan Sasuke. Dia bahkan tidak mengingat aku. Dia pasti akan membenciku saat ingatannya kembali."
"Hanya sekali saja, kan?" Ino mencoba menenangkan. "Kau tidur dengannya, lalu pergi. Begitu kan? Dia pasti memahaminya, dia tahu itu adalah sebuah kesalahan. Itu bukan sepenuhnya salahmu."
Sakura mengigit bibir, tetap diam.
"Sakura..." panggil ini, "itu hanya sekali kan?"
Sakura tetap diam.
Ino mendesah, "Sakura, aku tidak tahu aku harus mengatakan apa. Itu adalah sesuatu yang cukup besar."
"Ya, aku tahu."
.
.
Dua hari kemudian semuanya menggila.
Karin dan Itachi akan kembali besok, maka seluruh kantor sibuk mengejar target yang seharusnya selesai lebih cepat jika saja mereka tidak bermalas- malasan seminggu ini. Sakura mengira mungkin dia adalah satu- satunya yang mengerjakan tugasnya tepat waktu.
Dia pergi ke tempat Sasuke sekali setelah sakit, hanya untuk makan malam. Sasuke harus mempelajari satu kasus yang harus ia tangani besok. Dia menatap Sakura dengan tatapan seperti meminta maaf karena tidak sempat melakukan seks dengan Sakura. Pria bersurai hitam itu mencium pipi Sakura lembut saat mengantarnya keluar. Di pipi, seperti Sakura adalah putri Disney. Sesuatu yang mereka tidak pernah lakukan sebelumnya. Sakura tidak pernah mampir ke tempat Sasuke hanya untuk makan malam dan mengobrol. Rasanya sangat domestik—lebih intim dari kontak fisik. Mereka berdua di dapur Sasuke, makan malam berdua tanpa berakhir di tempat tidur.
Sakura tidak mengira dia akan dipanggil ke kantor Sasuke saat dia baru saja kembali dari makan siang, saat karyawan lain masih berada di kantin atau mengobrol di koridor. Telepon kerjanya berdering memecahkan konsentrasi Sakura yang tengah menonton sebuah video di YouTube.
"Ya?" jawabnya, sebelum mengingat bahwa dia ada di kantor dan tidak profesional untuk menjawab telepon dengan nada seperti itu, "maksudku, hallo, Sakura Haruno dari Uchiha Firma, ada yang bisa saya bantu?"
Itu adalah Ino, "Sakura, Sasuke memintamu ke ruangannya, segera." kata Ino.
Sakura menjeda video di komputernya. "Apa? Sekarang? Apa dia bilang kenapa?" Sesuatu terasa salah. Instingnya menggila, memberikan sinyal merah.
"Tidak," jawab Ino, "tapi aku akan segera berlari ke sini kalau jadi kau, dia kedengaran marah besar."
Mungkin beginilah rasanya menjadi tersangka di hari vonis persidangan. Sakura menjatuhkan ballpoint di tangannya, mengucapkan terimakasih pada Ino sebelum memutus sambungan. Dia meraih blazer yang dia letakan di kursi. Apa perlu ia pakai? Dia jarang mengenakan blazer kecuali harus.
Sakura memakai blazernya sebelum melangkah menuju lift untuk naik menuju ruangan Sasuke. Dia mencoba mengontrol ekspresinya agar tidak terlihat gugup. Tangannya berkeringat, maka dia mengelapkannya di rok pensil yang ia kenakan.
Ini buruk. Pikiran Sakura mencoba memikirkan hal lain sepanjang pejalanan, mencoba untuk tidak panik dan berbalik. Namun itu sama sekali tidak menenangkannya, jantungnya masih berdetak kencang seperti laju pelari olimpik.
Saat lift berdenting di lantai dua puluh satu, Sakura melangkah keluar, tubuhnya mengigil. Dia mengigit kukunya keras.
Ino bangkit dari kursinya untuk memeluk Sakura menguatkan. "Dia sedang menunggumu," katanya.
Sakura mengangguk, menarik nafas, tiba- tiba bersyukur kantor Sasuke kedap suara. Maka Ino atau siapapun tidak akan mendengar percakapan mereka dari luar. Sakura memutar handel pintu yang terbuat dari kayu mahoni dan melangkah masuk.
Sasuke tengah duduk di kursi tinggi yang terbuat dari kulit, mengetik sesuatu di komputernya. Punggungnya membelakangi kaca yang menyuguhan pemandangan kota. Suara jari tangan Sasuke yang beradu dengan keyboard adalah satu- satunya suara di antara mereka berdua.
"Duduk," perintah Sasuke, mengedikan kepala menunjuk dua kursi yang terletak di hadapannya. Sakura melangkah mendekat dan mendudukan diri.
"Uh, jadi, Ino mengatakan kau ingin bertemu denganku? Apa ini tentang kasus pembantaian keluarga Tatsuhi? Aku sudah mengirim—"
"Diam," desis Sasuke, tidak dengan nada yang biasa ia gunakan untuk menyuruh Sakura diam. Nada kali ini tinggi, geram dan penuh amarah. Bibir Sakura seketika menutup.
"Apa," Sasuke meneruskan, suaranya mematikan "yang sedang kau coba mainan? Apa menurutmu menyenangkan, mempermainkanku begitu?"
Sakura bersusah payah mengikuti arah pembicaraan. "Apa—"dia mulai membela diri, sebelum menyadarinya. Wajahnya memucat, "Kau sudah ingat."
Kalimat Sakura seperti melepaskan kendali emosi Sasuke. "Ya, aku ingat!" dia bangkit dari kursi dengan gerakan cepat, mendorong kursi hingga berputar beberapa kali. Kedua tangannya mengepal, Sakura bisa melihat ruas jari Sasuke memutih karena kuatnya kepalan tangan itu. Sasuke menarik nafas dalam, menenangkan diri. "Apa kau terhibur?" dia meneruskan, "huh, Sakura? Berakting seperti sepasang penuh cinta, bermain rumah- rumahan denganku, seperti seorang kekasih sempurna?"
Sakura menggenggam lututnya, rasa bersalah dan malu memenuhi seluruh organnya, menggerogotinya hingga ingin muntah.
"Tidak, aku..." dia mulai menjelaskan, melakukan sesuatu, namun Sasuke memotongnya.
"Tidak ada," katanya, "satupun penjelasan darimu yang ingin aku dengarkan. Keluar."
Sakura bangkit perlahan, "Sasuke, aku hanya..."
"Keluar!" teriak Sasuke, membuat frame foto di mejanya bergetar, sama seperti tubuh Sakura.
"Keluar," ulangnya, "aku tidak ingin melihatmu lagi." Sasuke kembali mendudukan diri, menghadap komputernya, seperti dia sudah melupakan Sakura.
Dengan kaki bergetar, Sakura melangkah keluar pintu, "Oh, Sakura?" panggil Sasuke, dan Sakura membenci dirinya, membenci hatinya yang sudah patah, dan remuk berkeping- keping kembali berharap—
"Kau dipecat. Beresi semua barangmu sebelum jam lima hari ini atau aku akan memanggil sekuriti untuk membereskannya untukmu."
Sakura mati rasa saat dia keluar melewati Ino, menggeleng untuk memberi tahu bahwa dia tidak siap untuk menjelaskannya sekarang. Dia melangkah menuju lift untuk kebali ke kubikalnya, hatinya patah tak terselamatkan.
Jam enam sore itu, dia sudah berada di rumah, meletakan kotak berisi barang- barangnya di dekat pintu dan mendudukan diri di sofa dalam gelap.
Jam delapan, dia berada di rumah Naruto dan Hinata, bersama dengan Ino. Lengan Ino melingkari tubuhnya saat dia berpura- pura tidak menangis. Sakura bersyukur dia masih memiliki mereka. Dia mungkin mengatakannya keras- keras, karena setelah itu tubuhnya dipeluk dari tiga arah berbeda. Naruto mengatakan bahwa mereka tidak akan pergi ke mana- mana, tidak tanpa Sakura.
.
.
Tiga minggu setelah pertemuan menyakitkan dan putusnya hubungan dengan Sasuke dengan brutal, Sakura belum juga membaik.
Dia seorang pengangguran dengan kaki dan tangan utuh, namun hati yang patah. Mati rasa untuk melakukan apapun. Terkadang Sakura menyalakan tv, sebelum mematikannya saat sebuah iklan pertandingan sepak bola muncul, karena Sasuke suka sepak bola.
Semuanya terasa sakit.
Naruto dan Ino datang bergantian dan Sakura masih bersyukur karena mereka. Dia tahu betapa sulit bagi Naruto mencari waktu di bawah kesibukan kerja dan mengasuh balita. Sakura tidak seharusnya ikut mengambil waktu yang bisa dia habiskan bersama dengan Hinata dan Boruto.
"Sasuke terlihat sangat kacau, dia memarahiku sepuluh kali lipat lebih sering dari biasanya" kata Ino, dan Sakura mengapresiasi maksud Ino, tapi dia tahu itu tidak benar. Sasuke tidak pernah jatuh cinta pada Sakura, dia tidak patah hati atau menderita karena putusnya mereka. Sasuke mungkin hanya kelelahan bekerja sampai tak kenal batas, seperti biasa. Dia mengatakan itu pada Ino.
"Tidak Sakura," kata Naruto mengiyakan pernyataan Ino, " aku rasa putusnya kalian sungguh berpengaruh padanya. Aku bersumpah melihat Sasuke di lantai sembilan, melihat ke meja kosong tempatmu biasa bekerja."
Sakura tersenyum, "Mungkin dia hanya ingin mencari udara segar,"
Naruto bangkit dan menarik tubuh Sasuke, "Hey, ini hari jumat, ayo kita minum."
Sakura setuju. Lagipula tidak ada yang bisa dialakukan lagi.
.
.
Ada seorang pria menempel di tubuh Sakura lidahnya menjelajahi seluruh isi mulut gadis merah muda itu. Ini terasa menjijikan, bukan bibir yang ia mau, bukan tangan yang ia damba, bukan wajah yang ia rindu. Sakura ingin menjauh—
Seseorang menarik pria itu menjauh, dan Sakura akhirnya bisa bernafas. Kepalanya berdentum dan lantai terasa berputar. Berapa banyak dia minum? Delapan gelas? Naruto memesankannya tequila, Sakura merasakan efeknya sekarang.
Ada perkelahian yang terjadi beberapa langkah di dekatnya. Sepertinya antara pria yang tadi menciumnya dan yang menariknya menjauh dan melemparkannya ke dinding. Seseorang memanggil petugas keamanan, dan wow, berjalan adalah sesuatu yang sulit dilakukan, ya?
Naruto menghampirinya, dia mengatakan sesuatu kepada petugas, dan selanjutnya mereka sudah berada di luar bar. Udara dingin menghantam kulit Sakura. Naruto masih berbicara dengan seseorang, namun Sakura sama sekali tidak bisa membuka mata. Dia terlalu nyaman memeluk tiang lampu. Dunia adalah tempat yang kejam dan yang Sakura butuhkan hanyalah tiang lampu ini, mmhmm.
Sebuah tangan merangkul pinggulnya, memisahkannya dengan sahabat barunya. Sakura memrotes dengan menggeram, dibalas dengan geraman yang lebih keras. Tangan itu menuntun Sakura untuk menyandar di tubuh hangatnya, dapat ia rasakan otot keras dan kulit lembut yang membungkusnya. Dan wanginya menakjubkan dan—
Tidak. Tidak.
Sakura mencoba untuk membuka mata dan bertemu dengan tatapan marah Sasuke. Seketika dia mendorong tubuhnya untuk menjauh dari kehangatan tubuh Sasuke, mencoba menjauh sejauh mungkin darinya. Naruto mengatakan sesuatu, nadanya mendesak, Sakura sama sekali tidak bisa mencerna kalimatnya—
Sakura jatuh terduduk dan pantatnya terasa sangat sakit. Semuanya sakit.
Naruto menjongkokan diri di sebelahnya, suaranya rendah dan menenangkan.
"Hei, Sakura, ayo pulang. Sasuke—Sasuke ingin mengatakan sesuatu kepadamu, jadi dia menawarkan untuk mengantarmu pulang, tidak apa- apa?"
Sakura mencoba menggelengkan kepala, namun bahkan mencoba menggerakan kepalanya terasa sangat sakit. Narut menghela nafas.
"Dengar, aku tahu dia sudah memperlakukanmu dengan buruk. Dia jelas tidak pantas mendapatkanmu—" bagian yang terakhir sepertinya tidak ditujukan untuk Sakura, "—tapi aku rasa kau perlu mendengarkan penjelasan dari sisi Sasuke. Apa kau mau?"
Sakura sedikit mengangguk, kepalanya memproses kalimat Naruto dengan sangat pelan. Namun dia sudah mengerti intinya, jadi tidak masalah.
"Oke, teman, ayo bangun," Naruto menarik tangan Sakura untuk membantu sahabatnya berdiri dan melangkah menuju mobil Sasuke.
Saat Sakura sudah mendudukan diri di kursi penumpang, kekhawatiran melandanya, "Bagaimana kalau—" dia mencengkeram tangan Naruto.
"Sakura, percaya padaku. Semua akan baik- baik saja. Dengarkan penjelasannya, dan jangan membuat keputusan apapun jika kau belum siap, oke?"
Mempercayai Naruto seperti seorang anak kecil, Sakura mengangguk, alkohol masih memenuhi sistemnya. Sakura menyandarkan diri di kursi, Sasuke diam di sebelahnya.
"Bisa kita pergi ke tempatmu?" tanya Sakura, suaranya pelan dan tidak jelas, namun dia masih bisa menyisipkan nada tidak suka di sana. Sakura tidak mau apartemennya kembali beraroma tubuh Sasuke, tidak jika ini akan berakhir buruk. Dia tidak mau kembali mengingat sesuatu yang tidak dapat ia miliki.
"Baiklah," kata Sasuke, mungkin in pengaruh tequila, namun suara Sasuke terdengar lembut.
Perjalanan menuju apartemen Sasuke sangat hening. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berbicara. Sakura memejamkan mata agar tidak melihat gerakan gedung yang bergerak cepat di kanan kirinya.
Sasuke membimbingnya menuju kamar mandi sesampainya mereka di tempatnya.
"Kau bau," kata Sasuke, menyuruh Sakura masuk ke kamar mandi. Sasuke ingin mengatakan masa bodoh dengan pendapat Sasuke, namun dia tahu maksud Sasuke. Tubuhnya bau asap rokok dan pria yang tadi menciumnya—dan Sakura juga membencinya.
Sasuke duduk di sofa setelah Sakura selesai mandi, merasa segar dan sudah cukup sadar. Ada kotak kecil yang diletakan di meja kopi di depannya. Untuk kali pertama, Sasuke memulai percakapan.
"Aku bicara pada Karin," katanya, "dia tidak pernah menyukaimu, tahu."
Sakura mendengus, "Well, itu hal baru." ujarnya sarkastik.
Sasuke mengabaikan sarkasme Sakura, "Kau tidak mudah dibaca, tidak seperti yang selama ini kau pikirkan. Karin—dia pikir kau tidak pernah tertarik padaku—pada ide tentang kita."
Sakura membuka mulut untuk mengatakan bahwa itu omong kosong, namun Sasuke meneruskan. "Dia selalu berpikir bahwa aku lebih menyukaimu, lebih dari kau padaku, dan bahwa kau hanya tertarik padaku, tidak lebih. Dia mengatakan itu di awal, dan aku bisa melihatnya—kau selalu memisahkan aku dari semua hal yang kau kerjakan. Maka aku menahan diri, membiarkanmu melakukan hal yang kau suka sebelum mencoba melangkah lebih jauh."
Sakura yakin bibirnya melebar. Siapa Sasuke yang ada di hadapannya?
"Aku ingat ada satu pesta, entahlah, reuni sekolah dan kau dan Naruto diundang untuk datang bersama dengan pasangan. Aku mendengarnya dari Ino. Aku ingat aku menunggumu, menunggu kau mengajakku datang bersamamu, tapi kau tidak. Padahal aku sudah bersiap untuk membatalkan acaraku untuk kelar kota."
Sasuke menekan wajahnya dengan telapak tangan, menghela nafas lelah, "Aku ingat saat itu aku kembali dari luar kota, Ino mengunggah fotomu yang sedang berdansa pelan dengan Sai di pesta itu dan bukannya aku. Aku sangat marah."
Sakura berjalan mendekat ke sofa dengan langkah limbung, efek alkohol di tubuhnya sepenuhnya menghilang mendengar pengakuan Sasuke. Dia mendudukan diri di ujung sofa, berjarak namun masih dalam jangkauan tangan.
Sasuke meneruskan, ada kemantapan di pundaknya. "Setelah itu—setelah semua tanda yang kau berikan, bahwa kau tidak tertarik menjalin hubungan lebih denganku, aku mengatakan pada diri sendiri untuk melupakannya. Kita memiliki hubungan fisik yang sempurna, kau masih sebagian besar milikku, aku tidak akan mengacaukannya. Lalu aku bertemu kau di minimarket, kau membantuku memilih daging dan sayuran dan aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana rasanya menjadi pasanganmu, seutuhnya."
Sasuke membuka kotak kecil di atas meja, menatap isinya lalu terkekeh pahit sebelum menunjukan kepada Sakura. Jantung Sakura melompat ke tenggorokan, dentumnya keras di telinga. Itu adalah sebuah cincin.
"Aku mengambil cincin peninggalan nenek dari simpanan keluarga. Aku ingin melamarmu, namun Karin mengatakan padaku bahwa kau tidak menginginkan hal semacam itu. Kemudian... aku mengalami kecelakaan, dan kau ada di depanmu, aku mengira kau adalah kekasihku, walau aku tidak dapat mengingatmu, namun aku tetap menginginkanmu. Aku merasa betapa beruntungnya aku memiliki kekasih sesempurna dirimu.
Sasuke menutup kotak itu keras, "Lalu ingatanku kembali. Aku merasa malu, merasa dipermainkan olehmu. Aku hanya ingin tahu, Sakura—"
"Aku mencintaimu," potong Sakura, kalimatnya keluar sebelum dia bisa menghentikannya. Dia bingung, sakit, senang dan marah, hatinya masih sakit. Tapi dia tidak pernah seyakin ini, "Dan aku sudah mencintaimu sejak awal. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tidak tahu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak malam pesta bodoh itu, dan Karin tidak tahu apapun tentang kita, tentang aku. Dan aku sangat marah karena kau mempercayainya bukannya menanyakannya langsung padaku. Kau adalah yang pertama untukku, apa kau tahu? Pertama dan satu- satunya."
Sasuke berhenti bernafas, dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu namun Sakura menggelengkan kepala, memotongnya.
"Aku hanya... aku tidak percaya bahwa aku bisa terus bersamamu. Maksudku, apa kau pernah melihat dirimu di cermin, kau sempurna, dan aku, well, hanya aku. Maka mudah bagiku percaya bahwa kau hanya menginginkan aku untuk seks saat kau meminta bertemu. Aku tidak pernah berani untuk sekedar berpikir bahwa kita bisa lebih dari sekedar itu. Dan Karin—" Sakura sangat marah memikirkannya, memikirkan kekacauan dan rasa sakit yang wanita berambut merah itu sebabkan.
"Karin mengatakan padaku bahwa kau ingin putus dariku, maka aku datang untuk mengambil barang- barangku saat itu. Tapi aku bertemu denganmu, dan aku tidak bisa melepaskanmu walau aku tahu bahwa aku memanfaatkan hilangnya ingatanmu. Lalu setelahnya, semua terasa lepas dari kendaliku, kau memperlakukanku seperti seorang kekasih. Aku pada akhirnya merasakan mimpiku menjadi kenyataan. Terkadang aku merasa seperti kau juga mencintaiku, aku hanya ingin merasakan bagaimana menjadi kekasihmu—"
Sakura melepaskan cengkeraman tangannya di lutut, memaksakan diri untuk menatap Sasuke. "Aku hanya mencintaimu, sangat, sampai- sampai rasanya sakit."
Bibir Sasuke mengunci bibirnya detik selanjutnya, tangan kekar itu menahan kepala Sakura, memegang helai merah muda yang masih basah. Tubuhnya menindih Sakura di atas sofa. Dunia terasa kembali berputar.
Sakura menarik bibirnya, mengabaikan protes tidak senang Sasuke. "Tunggu, tunggu."katanya, tubuh Sasuke membeku di atasnya, kaku. Tangan Sakura meraih rahang pria di atasnya dengan gerakan lembut menenangkan. "Aku hanya ingin mengatakan, kalau kau memintaku menjadi istrimu, aku akan mengatakan bahwa aku mau."
Sasuke terlihat terkejut selama beberapa detik, matanya berkilau menatap Sakura. Dia merundukan kepalanya ke telinga Sakura. "Aku mencintaimu," bisiknya bernafas di kulit Sakura. Membuat jantung Sakura mengepak seperti kupu- kupu terbang di perutnya. Suara detaknya tak menentu, dan liar dan bahagia, sangat bahagia.
Sasuke menarik diri. "Kita akan melakukan ini dengan benar kali ini," ada senyum nakal di bibirnya. "Dan sekarang, aku ingin membenamkan diriku sepenuhnya padamu."
Dia menarik Sakura menuju kamar, meninggalkan kotak berisi cincin di meja. Tidak apa, Sakura tidak mencemaskannya. Mereka akan melakukannya dengan benar kali ini.
Setelahnya adalah seks terbaik yang pernah Sakura rasakan.
.
.
Kali selanjutnya saat Sakura melihat Karin, ada cincin melekat di jari manis dan sebuah lengan hangat memeluk pinggangnya. Saat itu adalah pesta pertunangan mereka, salah satu malam terbaik Sakura.
Karin berjalan mendekati mereka, cantik dan berbahaya seperti biasa. Ada kilatan di matanya yang Sakura pikir adalah respek padanya, tapi dia tidak begitu yakin.
"Aku tidak akan meminta maaf," katanya langsung pada Sakura, "aku melakukan apa yang menurutku terbaik untuk adikku."
Sasuke menggeram, ketegangan tercipta di sana. Sakura meremas pelan lengan Sasuke, meredakan amarahnya. Sasuke tidak sepenuhnya memaafkan kakak iparnya yang sudah ikut campur dengan kehidupannya. Sakura juga tidak yakin dia bisa melepaskannya sepenuhnya.
Karin melirik Sasuke dengan pandangan terhibur, "Jangan begitu Sasuke, aku hanya melakukan apa yang seorang kakak biasa lakukan." Perhatiannya tertuju pada Sakura. "Ngomong- omong, selamat untuk kalian berdua, aku ikut bahagia."
Karin mengambil segelas wine dari baki pelayan, menyesapnya habis sebelum meninggalkan mereka berdua untuk menuju kerumunan, membuat Sakura kehilangan kata- kata.
"Sasuke," bisik Sakura, "aku rasa Karin baru saja memperlakukanku dengan baik."
Ekspresi Sasuke masam, "Nikmatilah selagi bisa, dia tidak baik setiap waktu."
Sasuke menarik tangannya menuju lantai dansa saat sebuah lagu pelan mulai mengalun. Sasuke memeluknya erat, tubuh mereka mengayun pelan di tengah suara suitan dan ucapan selamat pada mereka. Sakura mendengar suara seruan Naruto dari sisi lain ruangan meneriaki betapa beruntungnya Sasuke.
Malam yang sempuna.
.
.
END
.
.
AN: Yay!
Ada yang mau lagi? #mumpunglagidemennulis
Anyway, Terimakasih sudah membaca.
Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.
-with cherry on top-
.the autumn evening.