Neng Fica!
.
.
.
Indonesian School AU
Saint Seiya The Lost Canvas
Kurumada & Teshirogi
.
.
.
"Rhad, nyalin apaan lu?"
Aiacos muncul tiba-tiba dari balik punggung lebar sohibnya—Rhadamanthys yang tampak tengah menulis sesuatu dengan tekun. Aiacos sendiri tengah menggenggam ponsel dan siap melanjutkan permainan Mobile Legend-nya.
"Tugas," sahut Rhadamanthys acuh tak acuh. Wajahnya tetap serius—mencoba untuk tidak terdistraksi oleh sapaan sang sohib.
Mendengar itu, Aiacos langsung menampilkan seringai lebar. "Ntar gua pinjem yak," pintanya yang tak dijawab Rhadamanthys namun Aiacos sendiri tak menuntut jawaban.
Yakin saja bahwa sohib kentalnya itu takkan keberatan.
Tatapannya lantas beralih pada sosok sohib lainnya—seorang lelaki berambut panjang berwarna keperakan yang tampak tengah melamun sambil memainkan pena di sela bibir atas dan hidungnya. Konyol sekali.
"Lu ngapa monyong-monyong dah?" tanya Aiacos heran.
Minos yang sadar bahwa pertanyaan itu tertuju pada dirinya—hanya melirik sekilas tanpa benar-benar mengubah posisi duduk. Ia bahkan masih menghadap ke arah jendela ruang kelas. Sesungguhnya ia tak sedang melamun.
"Gua lagi mikir," sahut Minos agak ketus yang langsung disambut oleh tawa keras milik Aiacos.
"Bahahahahahahaha! Mikir apaan lu, gaya amat. Tuh bibir dah kayak soang!" ledek Aiacos tanpa segan lalu menarik kursi dan duduk di dekat meja kedua sohibnya.
Hela napas berat lantas terdengar. Minos memutar posisi duduk dan kini menghadap kedua sohibnya tersebut. Air mukanya nampak serius. Tumben.
"Cabut yok," ajaknya separuh berbisik—kontan membuat Rhadamanthys dan Aiacos mengangkat wajah lalu menatapnya.
"Ha?" Kedua alis Rhadamanthys nampak menyatu dengan tatapan penuh tanya, "Kemana?"
Aiacos sendiri tak terlalu tampak terkejut, "Pasti lu mau cabut ke Sanctuary lagi."
"Cakep!" sahut Minos seraya menunjuk sohibnya yang berambut hitam nan kelam itu. Seringai pun nampak pada wajah bengalnya, "Kelas terakhir cuman kelas bahasa doang, ngabur aja udah."
Air muka menolak langsung nampak pada wajah Rhadamanthys, juga disertai perasaan tak enak.
"Gua ngikut aja dah," sahut Aiacos sambil turut menyeringai menatap Minos yang kini mengalihkan fokus ke arah Rhadamanthys.
"Rhad, pake motor lu yak."
Nah, kan emang soang.
Yang ditanya makin tampak masam wajahnya, "Ngapa motor gua lagi dah? Motor Aiacos sana!"
"Motor gua masih di bengkel, Rhad. Tadi pagi juga gua nebeng si Vio ke sekolah," sahut Aiacos dengan menyebut nama kekasihnya—yang sama sekali tidak membantu.
Minos pun turut menampilkan wajah masam, "Lu itung-itungan amat sama temen. Ntar gua yang isiin bensin, tenang."
"Ya, jelas kudu elu emang! Ah, elah." Rhadamanthys lalu mendengus. Menolak juga percuma dan lagi, ini mengenai sohibnya sendiri. Sedikitnya, ia juga berkewajiban untuk membantu—walau salah cara.
Tawa Aiacos pun pecah mendengar perdebatan kedua sohibnya itu sebelum akhirnya kembali bersuara, "Lu masih belum nyerah juga, Nos?" tanyanya.
Minos malah nyengir kuda, "Sampe tuh orang jadi milik gua, gua ga bakalan stop, Cos."
"Sarap lu, pacar orang tuh!"
Rhadamanthys tampak mengangguk-angguk menyetujui perkataan Aiacos, "Tau dah."
Yang diperingatkan hanya mengibaskan sebelah tangan dengan tak acuh, suara Minos terdengar lagi. "Lagian kata bokap gua, selama janur kuning belum melengkung ya kudu usaha. Urusan pacarnya ya ntar, dia kudu mau jadian sama gua dulu," ujarnya yang sama sekali tak memuaskan si pemilik kunci motor yang entah sejak kapan sudah beralih tangan.
Minos pun segera beranjak dari kursi, "Yok, caw."
.
.
.
Figur seorang siswa berambut biru langit yang panjang nampak tenang dan tekun menyusun modul-modul soal yang nantinya akan diberi penjepit kertas. Yang tengah disusun adalah modul-modul soal ulangan tahun lalu yang akan dibagikan untuk para adik kelas sebagai bahan latihan.
Ruangan OSIS juga nampak lengang—walau sesekali Manigold dan Kardia terdengar beradu mulut. Kedua siswa itu tengah mencoba memperbaiki mesin fotokopi yang macet.
"Fic, lo senggang gak pulang sekolah ntar?"
Mendengar namanya disebut, Albafica—si siswa berambut biru langit tersebut, lantas mengalihkan fokus. Di sisi meja, tampak Degel berdiri menjulang tinggi. Siswa berkacamata itu juga tampak tengah memegang beberapa lembar kertas di tangannya.
Albafica lalu menggeleng, "Enggak, kenapa?"
"Lo temenin gue ngadep Pak Sage, bisa? Harusnya ini tugas gue sama Shion, cuman Shion gak masuk hari ini." Degel berujar lalu menunjukkan kertas di tangannya, "Gue udah bikin anggaran OSIS sementara dan harus lapor ke Pak Sage dulu baru bisa di-klipping."
Mendengar sebuah nama disebut, pikiran Albafica lalu kembali ke pertemuan antara ia dan Dohko—sohib kental dari si pemilik nama Shion. Saat itu, ia sendiri cukup heran mengapa Dohko datang seorang diri.
"Eh, Fica." Dohko menyapa saat menyadari tatapan bingung dari si siswa cantik, "Pacar lo gak masuk hari ini," ujarnya—berniat basa-basi karena ia pikir, Albafica pasti sudah mengetahuinya namun respon si siswa cantik malah cukup mengherankan.
"... kok?" Albafica bertanya dengan dahi mengerut.
Shion sendiri tidak mengabari apa-apa pagi tadi—dan nyatanya cukup membuat ia sebal saat tak mendapati salam pagi dari kekasihnya itu.
"Gak ngabarin lo?" Dohko balik tanya yang disambut oleh gelengan kepala dari kekasih sohibnya itu. Ia kemudian hanya tertawa pendek, "Keabisan kuota kali. Kata emaknya, dia lagi demam."
Albafica hanya mengerjap singkat. Air mukanya tak terlalu menunjukkan perubahan namun ada perasaan khawatir terbit di dalam hatinya. Ia lantas mengangguk saja, "Oh, ya udah. Ntar gue yang tanya."
"Fic? Fica?"
Suara Degel lalu kembali terdengar memecah keheningan yang tiba-tiba tercipta. Albafica nampak mengerjap cepat—sadar baru saja melamun.
"Oh, sorry," sahutnya cepat lalu mengangguk sekilas, "Ntar gue yang gantiin tugasnya Shion," ujar Albafica menyanggupi. Toh, ia juga tak ada kegiatan setelah pulang sekolah nanti.
Degel tak langsung menyahut—nampaknya ia paham mengapa siswa berzodiak Pisces itu tiba-tiba melamun barusan. Ia kemudian hanya berdeham pelan, "Gue mau ke fotokopi luar dulu kalo gitu."
"Hm? Lo mau ke fotokopi luar juga?" tanya Albafica pada siswa berambut hijau tersebut lalu segera beranjak dari kursi, "Bareng. Soal latihannya masih kurang."
"Eh, eh, Fic, Degel! Gua ngikut dah!"
Tiba-tiba Manigold sudah berlari kecil—tergopoh menyusul kedua temannya. Seringai lebar lalu muncul pada wajah, "Biar gua yang bantu angkut fotokopiannya. Hehehe."
Mayan, bisa ngerokok sebatang. Gumamnya di dalam hati.
Namun belum juga Albafica dan Degel sempat untuk menyahut, suara keras lainnya langsung terdengar—diucapkan dengan lantang dalam nada proses.
"Paan lu, keong! Bantu gua sini!"
Kardia menyusul serta-merta. Ia meraih pergelangan tangan Manigold untuk menahan gerak si siswa berzodiak Cancer tersebut. Hapal ia akan kebiasaan Manigold yang gemar kabur-kaburan.
Tampak berjengit, Manigold dibuat kaget oleh kehadiran temannya itu. Air muka menolak langsung muncul pada wajahnya, "Manja lu, bentar doang. Lagian ribet, lu sendirian juga bisa!"
"Lah emang ribet makanya lu bantuin gua!"
"Ah, kagak! Asem ini mulut, ngasep bentar di luar."
"Ngasep muka lu cocot nyamuk, buruan dah!"
Dan selagi kedua siswa berambut biru tua itu beradu mulut, Albafica lalu memberi tanda kepada Degel untuk segera keluar meninggalkan ruangan OSIS—segera pergi menuju toko alat tulis di depan gerbang gedung sekolah.
.
.
.
"Stop woi, stop! Di sini aja udah!"
Suara Minos terdengar dalam seruan. Yang dititah—Rhadamanthys, segera menginjak rem motor dan membuat kedua sohibnya yang duduk di jok belakang sedikit tersungkur ke depan.
Aiacos yang duduk paling belakang langsung berseru jengkel saat dagunya terbentur batok tengkorak Minos, "Pelan-pelan aje, kampret. Sakit dagu gua!"
"Berisik lu pada. Namanya juga boti, lu kira lagi naek limosin?!" balas Rhadamanthys dengan sengit. Wajahnya pun tampak jengkel bukan main.
Saat itu ketiganya telah tiba dengan selamat di sisi pagar tinggi gedung sekolah Sanctuary yang juga memuat sebuah SD, SMP, dan SMA.
Kedua iris keunguan milik Minos langsung menyapu pemandangan di depannya—tak mengacuhkan perdebatan kedua sohibnya itu.
Minos mencari sosok sang tambatan hati yang mungkin sedang berada di halaman depan sekolah namun sepertinya nihil. Di jam-jam seperti ini, jelas saja si cantik yang dingin itu sedang sibuk belajar di dalam kelas.
Dua sosok siswi berseragam putih khas seragam milik SMA Sanctuary pun muncul dari dalam pagar—tampak bercengkrama sambil berjalan keluar gerbang. Minos pun segera menghentikan langkah para siswi tersebut.
"Eh, eh, nanya dong," pintanya.
Kedua siswi yang tiba-tiba terhambat langkahnya hanya bisa menatap bingun dan heran ke arah ketiga siswa asing berseragam hitam—tampak tak rapi, juga tengah duduk di atas sebuah motor.
Seragam hitam itu seketika mengingatkan kedua siswi tersebut akan SMA Underworld—lawan abadi SMA mereka dalam kompetisi akademik dan non-akademik jenis apapun.
Sedang apa mereka di sini?
"Nanya apa ya?" sahut salah satu siswi.
"Albafica masuk kagak hari ini?" tanya Minos—yang hanya diperhatikan oleh kedua sohibnya. Ketiganya masih nampak betah bercokol di atas jok motor.
Albafica? Kakak cantik yang itu? Gumam si siswi di dalam hati lalu mengangguk,
"Kak Alba masuk kok."
Bagus. Perjuangan gua cabut dari sekolah kagak sia-sia.
Minos senang bukan main. Ia nampak tersenyum lebar. "Cowoknya masuk juga kagak?"
"Oh, Kak Shion?" Siswi lainnya nampak menggeleng, "Kayaknya engga deh, soalnya ga keliatan tadi pagi pas periksa kerapian," ujar si siswi.
Eh, anjir. Mimpi apaan gua semalem? Asoyyy!
Minos nyaris berjingkrak namun dapat ia tahan, "Hooo gitu ye? Oke dah, thanks!" ucap Minos yang hanya dibalas anggukan oleh kedua siswi itu.
Aiacos lalu mengalihkan tatapan dari siswi-siswi tadi kini kembali menatap sohibnya, "Lu ngapain nanya cowoknya? Mau lu ajak ribut?"
Sebuah kekehan girang menjadi balasan. Minos masih mempertahankan senyum lebarnya, "Kalo emang tuh domba ngajakkin gua ribut ya ayo! Siap gua!"
"Oi, noh gebetan lo."
Tiba-tiba suara berat milik Rhadamanthys terdengar, diiringi dengan satu tangannya yang menunjuk sebuah arah. Kontan saja, kedua sohibnya itu langsung mengalihkan arah tatapan.
Tampak di ujung pandang—tepatnya pada gerbang tinggi SMA tersebut, dua sosok siswa berambut sama panjang tengah berjalan keluar dengan tenang. Satu siswa berambut hijau sesekali mendorong kacamatanya kembali ke pangkal hidung, sedang satu siswa lainnya—yang memiliki rambut biru langit yang panjang, terus saja melangkah dengan air muka tanpa riak.
Terlihat tak acuh dengan sekitarnya. Wajah yang angkuh itu sesungguhnya begitu menawan—membuat ketiga berandal SMA Underworld tersebut sejenak terkesima.
"Cantik bener emang," gumam Aiacos seraya mendecakkan lidah.
Minos sendiri nampak lebih terperangah lagi menatap kehadiran sang tambatan hati yang tengah melangkah hendak menyeberang jalan.
Wajah cantik itu tak pernah lepas dari benak sejak hari pertama pertemuan keduanya pada salah satu ajang kompetisi antar SMA. Walaupun saat itu Albafica adalah lawannya, Minos untungnya dapat tetap fokus pada perlombaan walau akhirnya tak tahan juga untuk melempar satu atau dua kalimat guna menggoda si bunga mawar.
Sialnya, siswa cantik namun dingin itu sudah memiliki kekasih.
Namun Dewi Fortuna tengah berpihak padanya hari itu, Minos jelas takkan menyia-nyiakan kesempatan emas ini dimana Shion sedang absen kehadirannya. "Gua bakal anter dia pulang."
"Ha?"
Serentak, Aiacos dan Rhadamanthys kontan mengalihkan arah pandang yang kini menatap ke arah sang sohib.
"Lu mau nganter dia naek apaan?" tanya Rhadamanthys.
Jelas-jelas Minos tak membawa kendaraan ke sekolah. Jika tidak dijemput dan diantar olehnya, Aiacos yang akan kebagian jatah.
Minos lalu menoleh menatap Rhadamanthys dengan tatapan heran, "Ya, pake motor lu lah!"
"Ha?" Rhadamanthys kembali dibuat terperangah—mangap sejadi-jadinya atas respon sang sohib. "Lah, gua sama Aiacos mau lu apain, soang?" tanyanya gemas.
"Ya, lu bedua bisa tunggu bentar di sini—"
"Nah, gak deh, gak. Gua bisa minta jemput si Vio," sahut Aiacos memotong. Ia sendiri tak ingin ambil resiko berlama-lama nongkrong di area sekolah lawan. Toh, kekasihnya itu takkan pernah keberatan untuk direpotkan.
Tinggalah Rhadamanthys yang makin lebar menganga mendengar perkataan si sohib berambut hitam yang memang tak pernah membantu.
Coeg!
"Yodah, lu jalan ke depan aje dah. Noh, di sana pan ada halte. Lu bisa naek bus kek, oplet kek. Ntar gua mampir ke rumah lu balikin motor." Minos menyahut acuh tak acuh dan seringai pada wajahnya benar-benar membuat Rhadamanthys meninju sohibnya satu itu.
"Asem! Gua dapet ampas mulu dah!" rutuk Rhadamanthys dengan wajah kecut.
"Betewe, itu si Fica lagi sama siapa dah?" tanya Aiacos yang tengah memperhatikan si siswa cantik bersama salah satu siswa SMA Sanctuary lainnya. "Degel yang pinternya kelewatan itu bukan?"
"Roman-romannya sih iye," jawab Minos yang turut menatap ke arah kedua siswa tersebut—tampak berjalan masuk ke dalam sebuah toko alat tulis.
"Selingkuhannye kali," Rhadamanthys menyahut. Masih dengan air muka super jengkel.
"Bah! Neng Fica mana mungkin selingkuh! Keliatan doi mah setia, kagak kayak elu," sahut Minos yang langsung protes. Tidak terima tambatan hatinya disebut demikian.
Rhadamanthys lalu mendecakkan lidah, "Ya, lu pikir aja, Nos. Albafica cantik kebangetan gitu, cowoknya juga lagi absen. Ada berapa belas cowok ngantri buat nemenin dia coba? Kayak lu sekarang ini contohnya," tukasnya pedas.
"Lah, lu bener, sob!" Aiacos langsung mengacungkan telunjuk ke arah Rhadamanthys. Tampak mengangguk-anggukkan kepala dengan dramatis, "Selingkuhannya itu pasti."
Disahuti begitu jelas membuat Minos semakin belingsatan—panik juga jika perkataan sang sohib pirangnya itu nyatanya benar namun buru-buru ia menggelengkan kepala.
Tidak mungkin tambatan hatinya seperti itu.
"Alah, mana mungkin. Dari tampangnya aja ketauan si Fica mah setia!" bantah Minos mencoba mengenyahkan pikiran negatif semacam itu. Kedua alisnya bertautan dan menatap sebal ke arah Rhadamanthys, "Lu kalo masih sebel ditolak Pandora jangan nyasar ke gua dong, Rhad."
"Ha? Ngapa lu bawa-bawa si Pandora dah? Lu tampang comberan, selera ketinggian!"
"Kampret! Apa lu bilang—"
"WOI, WOI, WOI! CIUMAN WOI! WOI!"
Tak kalah berisik, suara Aiacos tiba-tiba memecah suasana dan seketika menghentikan perdebatan di antara kedua sohibnya itu. Satu tangannya dengan heboh menunjuk-nunjuk ke arah toko alat tulis tadi, sedang satu tangan lainnya tengah mengguncang-guncang pundak Minos.
Minos yang diguncang begitu langsung naik kekesalannya—juga karena rasa terkejut. Dengan kasar ia menepis tangan Aiacos dari pundaknya. Arah tatapannya lantas teralih ke arah yang ditunjuk.
"Ciuman apaan—" dan seketika kalimatnya terputus. Kedua iris keunguannya nampak melebar dengan pupil mengecil. Ekspresi yang tertinggal pada wajah bengalnya hanyalah ekspresi kaget luar biasa. Bahkan kedua bibirnya refleks menganga.
Di ujung pandang ketiganya, tampak Degel berdiri memunggungi mereka dengan figur Albafica sedikit tertutup oleh figur yang sedikit lebih jangkung milik Degel. Degel nampak merundukkan wajah tepat di hadapan wajah Albafica. Satu tangannya terletak di sisi tubuh tengah memegang kertas, sedang satu tangan lainnya dengan jelas diletakkan pada sisi wajah Albafica.
Dan keduanya cukup lama berada di dalam posisi itu.
Minos, Aiacos, dan Rhadamanthys hanya mematung pada posisinya. Tak ada gerak, tak ada suara. Ketiga sohib kental itu terperangah sejadi-jadinya atas apa yang tengah mereka tatap dan ketiganya tetap seperti itu bahkan setelah Degel mengangkat wajah namun masih berbicara pada Albafica.
"Beh, sadis..."
Aiacos yang pertama kali mampu kembali ke realita. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua mata sebelum akhirnya menatap ke arah Minos. Ada guilty yang ia rasa. "Bro...?" ucapnya dengan nada bertanya.
Ini anak kagak mati bediri, kan?
"Oi, Nos?" Kini giliran Rhadamanthys yang bersuara saat menemukan sang sohib malah beku di tempat.
Minos sendiri tampak mengepalkan genggaman tangannya dengan ekspresi mengeras Lurus dan tajam menatap ke arah Degel.
"Bangsul... SINI LU, COEG!"
Tanpa sempat bagi Aiacos dan Rhadamanthys untuk merespon atas seruan marah sang sohib, Minos dengan cepat melompat dari jok motor—nyaris membuat Aiacos dan Rhadamanthys terguling saat badan motor oleng akibat gerakan tiba-tiba tersebut.
Kedua siswa SMA Underworld itu pun langsung terkesiap—terperangah hebat melihat sang sohib yang tiba-tiba berlari bak dikejar setan ke arah Albafica dan Degel.
"OI, MINOS!"
Dan baku hantam pun tak terhindarkan... Minos dengan begitu saja menarik pundak Degel dengan kasar seraya melayangkan sebuah tinju keras nan cepat tepat pada rahang bawah milik si siswa berkacamata.
Tak sempat menyadari keadaan, Degel pun tak pelak jatuh tersungkur dengan rahang serasa lepas dari sangkarnya. Kacamatanya sampai terlepas dari batang hidung.
Albafica yang berada tak jauh dari keduanya bahkan sejenak tak mampu bersuara. Kedua iris birunya melebar sejadi-jadinya melihat sekelebat bayangan yang dengan cepat merubuhkan figur jangkung milik sang teman.
"Degel!" serunya lalu segera mengalihkan tatapannya yang langsung berubah menjadi tajam dan bengis saat mendapati siapa pelaku pemukulan tersebut. Impulsif, Albafica pun mengangkat satu tangan—refleks hendak membalas pukulan Minos.
"MINOS!"
.
.
.
Siang kala itu cukup tenang. Jalanan juga tampak lengang.
Hasgard, Sisyphus, dan seorang siswa SMP—yang adalah Regulus, terlihat tengah berjalan keluar dari gerbang sekolah. Tujuan ketiganya adalah toko alat tulis.
Sebenarnya hanya Hasgard dan Sisyphus yang hendak menggunakan jasa fotokopi milik toko tersebut—mengingat mesin fotokopi di ruang OSIS tengah rusak, namun kemunculan Regulus yang baru saja selesai membantu seorang guru mengantarkan tumpukan buku tugas ke ruang guru lantas mengiringi keduanya.
Sisyphus telah meminta Regulus untuk kembali ke kelas, namun anak lelaki itu menolak dengan alasan butuh udara segar setelah berjibaku dengan soal-soal matematika—yang sesungguhnya bukan apa-apa bagi Regulus yang terkenal jenius dan pemandangan yang menyambut ketiganya di depan gerbang sungguh mengagetkan.
Tiba-tiba terlihat seorang siswa asing berseragam hitam berlari ke arah dua siswa yang mereka kenal dan tanpa aba-aba langsung melayangkan sebuah pukulan keras ke salah satu siswa sekolah mereka.
Hal itu jelas membuat ketiganya terperangah dalam keterkejutan.
"Degel?!"
Sisyphus bersuara dengan air muka kaget bukan kepalang. Di sisinya, Regulus langsung mengacungkan tinju saat melihat perkelahian di hadapan mereka.
"MAJU SINI, COEGGG!"
Si siswa SMP berseru marah melihat kakak kelasnya yang tiba-tiba dipukul namun dengan sigap, Hasgard yang memiliki tubuh berkali-kali lebih besar langsung menghentikan langkah Regulus.
"Oi!" bentak Hasgard dan saat ia kembali menatap ke arah tempat perkelahian, ia mendapati Sisyphus sudah di seberang sana tengah menahan tubuh Albafica, juga dengan kehadiran kedua siswa asing lainnya yang langsung menarik tubuh si pelaku pemukulan untuk bergerak mundur sebelum sempat menerjang tubuh Degel yang masih rebah di atas aspal trotoar.
Bersama Regulus, Hasgard pun segera berlarian menyusul ketiga temannya.
Belum sempat melakukan apa-apa, ketiga siswa asing berseragam hitam itu pun segera melarikan diri. Hasgard pun baru menyadari bahwa terdapat sebuah motor besar terparkir di sisi pagar sekolah mereka.
Mungkinkah ketiga siswa asing itu telah lama bercokol di sana?
"WOI, JANGAN KABUR LO, PENGECUT!"
Regulus yang masih geram hanya bisa berseru karena ketiga siswa itu segera kabur dengan begitu cepat bersama motor besar yang terparkir.
"Degel! Lo gak apa-apa?" tanya Sisyphus yang cemas bukan kepalang melihat sudut bibir milik siswa berambut hijau itu yang berdarah. Pasti akibat pukulan keras tadi.
Albafica pun segera membantu Degel untuk berdiri dari sisi tubuh lainnya. Hasgard tampak meraih kacamata milik Degel yang terpental dari atas trotoar lalu memeriksanya untuk memastikan tidak ada bagian lensa yang pecah ataupun retak.
"Gak apa..." sahut Degel di sela ringisan.
Tak dapat berbohong, pukulan tadi sangatlah keras dan telak menghantam rahangnya. Terasa rahangnya sedikit bergemeretak saat ia coba untuk bicara. Semoga saja tak sampai membuat posisi rahangnya bergeser karena hal itu sangat fatal akibatnya.
"Kita masuk dulu, kita ke UKS." Sisyphus segera bersuara melihat kondisi sang teman, pun segera menuntun Degel untuk kembali menyeberang jalan bersama Albafica, Hasgard, dan Regulus.
.
.
.
"Parah lu, parahhh!"
Aiacos berseru tertahan saat ketiganya tengah melaju di atas motor besar milik Rhadamanthys.
Mengingat apa yang baru saja Minos lakukan terhadap Degel, masih membuat Aiacos dan Rhadamanthys merasa kaget. Rhadamanthys sendiri tidak bisa berpikir untuk melakukan hal lain selain menarik Minos untuk mundur.
Penyerangan ini jelas tak beralasan dan tak ada keuntungan untuk dilanjutkan—ditambah saat ketiganya masih mengenakan seragam sekolah dan memulai keributan di area sekolah lawan.
Rhadamanthys sendiri sesungguhnya tak keberatan untuk membiarkan Minos terlibat baku hantam namun setidaknya dilakukan di area yang aman dengan tanpa indentitas sekolah yang masih melekat.
Ditambah, hal barusan bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh sang presiden sekolah—Alone, yang memiliki kuasa setara dengan pemilik SMA Underworld, yaitu Hades.
Kedua orang itu jelas takkan senang melihat ketiganya berbuat di luar perintah dan kuasa mereka. Hukuman berat pasti sudah menanti ketiganya.
Nyatanya Rhadamanthys sendiri yang masih dapat berpikir jernih dan oleh sebab itu, kini ia melajukan motor besarnya kembali ke rumah dengan membawa serta kedua sohib kentalnya itu.
.
.
.
Sedang Sisyphus dan Hasgard tengah menenangkan Kardia yang mengamuk di luar ruang UKS pasca insiden pemukulan yang menimpa Degel, tampak Albafica membantu Asmita mengobati luka pada tepi bibir bawah milik si siswa berkacamata.
Ringisan pelan terdengar saat kompres es mengenai permukaan kulit Degel yang memerah akibat pukulan keras dari Minos.
"Area rahang kamu mungkin bakal bengkak besok, mungkin juga bakal lebih memar lagi," ujar Asmita yang masih berusaha mengompres rahang Degel.
Albafica sendiri masih duduk di posisinya sambil memegangi wadah berisi air dan kubus es dengan air muka mengeras—marah bukan main atas kelancangan yang dilakukan oleh Minos, terlebih lagi terhadap Degel.
Entah apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu hingga tiba-tiba muncul dengan aksi begitu brutal.
Asmita yang merasakan keterdiaman pada diri Albafica lantas menoleh walau dengan kedua mata masih tertutup. Sedikit yang ia dengar mengenai rumor ketertarikan Minos atas kecantikan siswa berambut biru muda itu, namun tak serta-merta ia tarik kesimpulan atas insiden ini dan di tengah-tengah keheningan ruang UKS, sosok Dohko muncul di ambang pintu.
"Degel!" seru Dohko dengan kekhawatiran juga kemarahan bercampur aduk pada wajahnya. Berderap ia berjalan menghampiri ketiga temannya itu. "Lo gak apa?!"
"Dohko."
Suara halus milik Asmita terdengar guna menenangkan kemarahan siswa berzodiak Libra tersebut.
"Ini kagak bisa dibiarin! Tuh orang baru aja ngundang buat perang!" Dohko masih bersikeras—jelas tak terima atas kejadian ini. Ia lalu menoleh ke arah Albafica—kekasih sohibnya itu nampak tengah mengalihkan arah tatapan dan tatapan itu nampak nanar.
"Ini salah gue," ujar Albafica pada Dohko—yang juga mengetahui soal perasaan Minos terhadapnya. Albafica pun yakin benar, Minos sampai menghajar Degel seperti itu karena atas keberadaannya.
Kejadian seperti inilah yang sesungguhnya membuat ia tak ingin bergaul terlalu dekat dengan orang lain. Bahkan ia begitu tak ramah sebelumnya—jauh sebelum mengenal Shion hingga akhirnya luluh oleh lelaki Aries itu.
Dohko mendengus keras. Tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan sang sohib di jam istirahat pertama melalui telepon.
"Bro?"
Suara Shion terdengar di seberang ponsel.
"Yo, bro?" sahut Dohko.
"Gua nitip Fica yak. Pulang ntar lo yang nganter."
"Lah, biasanya sama Manigold pan?"
"Hari ini sama lo aja, bro."
"Ngapa dah?"
"Kagak, curiga aja gua kalo si Minos bakal muncul lagi," ujar sang sohib dengan suara parau—terdengar masih kurang fit kondisi tubuhnya.
Dohko pun mengangguk—tak punya alasan untuk tidak bersedia membantu sohib kentalnya itu, "Okelah. Siap, bro!"
"Oke. Thanks, bro."
Tak lama, Kardia yang—sedikitnya, sudah lebih tenang dan bersama-sama dengan Hasgard serta Sisyphus, berjalan masuk ke dalam ruang UKS dimana Degel, Albafica, Asmita, dan Dohko berkumpul.
Sisyphus nampak tersenyum hangat seperti biasa, "Gimana rahang lo, bro?" tanyanya.
Degel hanya tersenyum sekilas—masih dengan pembawaan tenangnya, "Lumayan, paling memar dikit."
"Gua kagak abis pikir, itu Minos mau ngapain dah?!" Kardia nampaknya masih tak bisa mengendalikan emosi. Ia lalu berbalik menatap siswa berambut hijau yang dikenalnya dengan begitu baik tersebut, "Degel! Biarin gua yang ngabisin tuh orang demi lo! Bakal gua buat ancur tuh orang!"
"Ini salah gue," sahut Albafica dengan kedua alis menyatu lalu kembali menatap semua orang di hadapannya, "Biar gue yang datengin Minos—"
"Albafica," Sisyphus memotong, "Kalo lo datengin mereka dan ngelakuin hal yang sama persis, lo juga ga jauh beda dari mereka," ujarnya lalu menghela napas. "Sebenernya gue juga mau nanya, ini masalah mau dibawa ke Pak Sage apa gak?"
Beruntung, yang menyaksikan kejadian itu hanyalah Albafica, Sisyphus, Hasgard, Regulus, dan Degel sendiri. Sementara, masalah ini belum diberitahukan kepada pihak manapun selain mereka sendiri—kalangan pengurus OSIS.
Degel lalu membenahi letak kacamatanya, "Gak perlu. Cukup kita yang tau dan kita juga masih harus cari tau motif apa yang bikin Minos sampe mukul gue."
"Emang lu bedua abis ngapain sebelum Minos nyamperin?" Giliran Hasgard yang bertanya.
Albafica nampak mengangkat wajahnya guna menatap siswa tinggi besar itu, "Gue juga gak paham. Gue sama Degel pergi buat fotokopi. Itu aja," ujarnya lalu tak lama menambahkan, "Terus Degel cuma bantu niupin mata gue yang kemasukan debu. Gak ada yang aneh."
Membenarkan itu, Degel lalu menganggukkan kepala.
Sedang di sudut kerumunan, samar Asmita menautkan kedua alis. Ia tak suka berasumsi namun apa yang disampaikan Albafica barusan sepertinya mengandung petunjuk penting—namun Asmita tak lekas menyuarakan pikirannya. Masih banyak hal yang harus ditelaah sampai benar-benar dapat menghubungkan semua titik.
Lantas, Asmita hanya diam.
Kerumunan itu lalu kembali dalam hening sebelum akhirnya Dohko menoleh ke arah Albafica.
"Fic, lo pulang bareng gue yak," ujarnya yang membuat Albafica menaikkan kedua alis.
"Kenapa?"
"Pesen Shion ini, gue mah ngelakuin doang."
Shion?
Kedua alisnya lalu menyatu dan sebelum sempat Albafica menjawab, sohib kekasihnya itu kembali bersuara.
"Sekalian mampir ke rumah Shion, yok? Sekalian liat dia sakit apaan."
Albafica diam sejenak—ia sendiri juga ingin memastikan kondisi sang kekasih hari itu, lantas ia hanya mengangguk dan menyetujui ajakan Dohko.
.
.
.
[ end? ]
W/N: 'Ssup! Swear ini fanfict ga jelas batttt. Niatnya mau one-shot malah panjang begini, awalnya juga mau buat romance-comedy tapi malah jadi cerita gebuk-gebukkan gini kenapa deh *Cri* anyway ini OOC parah ya soalnya dibuat ke versi School AU lokal sih /y dan please, yang baca kasih review. Beneran butuh koreksi karna dialog-nya ga baku kayak kebayakan fanfict. Secara ini pake lo-gue lu-gua lelll. Thanks~!