A Whole New Light

.

.

Original Story by :

Sandra Brown

Edited by :

Sweatpanda

.

.

Cast :

Main :

Kang Daniel x Hwang Minhyun (GS)

Support :

Tiffany Hwang

Kim (Bae) Jinyoung

Yoon Jisung (GS)

Ong Seongwoo

OC

Genre :

Romance, Drama.

Lenght :

12 Chapter

Rated :

M

Summary :

Semuanya berawal dari liburan akhir pekan di Acapulco, ketika mereka sama- sama tak bisa menyangkal lagi ketertarikan itu.

Warning :

GS, AU, OOC, Typo(s), Alur Lambat, Bahasa Vulgar.

.

.

Chapter 12

.

.

"Hai."

"Hai."

"Kau tampak fantastis."

"Terima kasih."

Daniel mengulurkan tangan dan menjalinkan jemarinya ke jemari Minhyun, menarik wanita itu melewati pintu depan apartemennya. Berdiri agak jauh, Daniel melihat wanita itu lagi dengan menyeluruh. "Cantik."

Dengan rendah hati Minhyun menundukkan mata, walaupun diam-diam dia senang upayanya mendandani diri membuahkan hasil. Di salon kecantikan dia merawat kukunya. Dia bahkan melakukan pedikur dan kakinya di wax. Merasa agak bersalah karena memanjakan diri sendiri, dia mengajak Jinyoung makan pizza di restoran favoritnya, yang lebih terkenal dengan permainan arcade-nya dibandingkan makanannya. Kemudian dia mengantar Jinyoung ke rumah temannya. Mandi busanya lama dan mewah. Dia merias wajahnya dengan saksama. Gaun baru menjadi keroyalan lainnya, tapi dia memberi alasan atas harganya yang mahal dengan mengingatkan diri sendiri bahwa sudah lama sekali sejak dia membeli gaun malam baru. Kerah V-nya yang rendah memang provokatif, tapi kalung mutiara tiruan ganda yang panjang membuatnya tampak cukup sopan.

"Kau nyaris terlalu sempurna untuk disentuh," ujar Daniel.

"Nyaris."

Pria itu maju untuk mencium Minhyun. Wanita itu mengantisipasinya dan menelengkan kepala ke satu sisi. Sayangnya, Daniel juga menelengkan kepala ke sisi yang sama pada saat bersamaan, dan alih-alih bibir mereka bertemu, hidung mereka malah bertabrakan. Mereka sama-sama berganti arah, ke sisi yang sama pula, dan bertabrakan hidung lagi.

"Kau miring ke kanan dan aku ke sisi kananku, oke?" ujar Daniel, tertawa lembut.

"Oke."

Ciuman itu lembut dan manis.

"Siap untuk margarita beku?" bisik Daniel, dengan bibir masih di bibir Minhyun.

"Sedikit sentuhan Acapulco?"

"Aku berusaha sebaik mungkin untuk membuatmu senang." Dia membimbing Minhyun ke ruang tengah, mendudukan wanita itu di sofa kulit putih dan pergi ke dapur. Pria itu tanpa malu-nalu mengatur ruangan untuk menggodanya. Suara Linda Ronstadt yang kental dengan soul mengalun dari sound system canggih. Lampu-lampu menciptakan genangan-genangan cahaya di apartemen yang temaram itu. Meja makan di atur dengan peralatan makan keramik dan di tengahnya ada rangkaian bunga eksotis yang terdiri atas bunga birds of paradise dan tiger lily.

"Sial!"

"Daniel?"

"Tunggu sebentar."

Penasaran dengan lamanya pria itu di dapur dan kegusarannya yang terdengar jelas, Minhyun bangkit dari sofa dan bergabung dengannya di dapur, tempat pria itu sedang memaki-maki peralatan elektronik. Benda itu tampak seperti alat penyiksa yang didesain dokter gigi sakit jiwa, atau mungkin vibrator pribadi untuk seseorang yang sangat ngawur.

"Apa itu?" tanya Minhyun, menatap curiga alat itu.

"Aku membelinya kemarin. Ini blender genggam, tapi aku tak bisa membuat benda keparat ini berfungsi dengan benar." Dia berusaha menyalakannya, tapi tak bisa.

"Kau sudah baca petunjuk pemakaiannya?"

"Tentu saja belum. Memangnya apa susahnya menggunakan ini?"

"Di mana buku petunjuknya?"

"Kubuang bersama kotaknya."

Minhyun menahan lidah untuk tidak mengatakan betapa bodohnya Daniel telah melakukan itu. Dan karena tidak semua pria memiliki kemampuan mekanik, Daniel jadi begitu frustasi dan memukul-mukulkan blender itu ke permukaan konter.

"Kurasa itu takkan membantu, Daniel. Kenapa tidak menggunakan blender biasa saja?"

"Blender yang biasa kubawa ke kantor setelah membeli ini—"

"Tak apa, lagi pula aku lebih suka margarita-ku diberi es saja," cepat-cepat Minhyun memotong.

"Oh ya?"

"Ya. Sungguh."

Mereka akhirnya menggunakan sendok untuk memakan serpihan es rasa margarita dari gelas. Daniel akhirnya menyingkirkan Popsicle dewasanya dan menuangkan scotch serta air untuk diri sendiri sambil masih terus menjelek- jelekkan blender canggih itu.

"Tak masalah, Daniel."

"Aku hanya ingin semuanya sempurna."

Pada saat itu mereka belum tahu, margarita yang kacau tersebut menjadi hidangan paling sukses malam itu. Peralatan makan Daniel berkelontang di piringnya ketika dia mendorongnya menjauh.

"Aku membayar empat puluh dolar untuk steak ini. Bukan aku mempermasalahkan uangnya. Tapi aku berharap steak ini bisa dimakan!"

"Apa kau yakin dia bilang kau hanya perlu memanaskannya?"

Sebelumnya Daniel bilang dia membelinya dari salah satu restoran berkelas di kota ini. Minhyun menelan potongan daging yang sudah dia kunyah sangat lama sampai rahangnya sakit. Dagingnya masih sekenyal kulit sepatu dan jauh dari lezat.

"Aku mendapatkan pengarahan langsung dari chef-nya. Dia janji steak ini akan magnifique, akan luar biasa."

Dia mencium ujung jemarinya, meniru gerakan sang chef Prancis yang tidak hanya menjual steaknya tapi juga pepesan kosong.

"Aku tak terlalu lapar kok," bohong Minhyun. Sebenarnya Minhyun memasukkan jadwal pertemuan selama jam makan siang supaya dia tidak terlalu merasa bersalah karena pulang lebih cepat untuk jadwal salonnya. Dan dia jelas-jelas tidak menginginkan pizza Jinyoung yang rasanya seperti kardus, dia juga tak sempat menyambar camilan apa pun. Seandainya Daniel tidak gusar gara-gara margarita dan makan malam mereka, dia akan mengusulkan agar mereka menggasak isi kulkas dan membuat sandwich. Tapi rasanya akan lebih bijaksana, mengingat kondisi emosi pria itu untuk tidak usah makan malam sama sekali.

"Maaf tentang steaknya," ujar Daniel, melempar serbet ke meja.

"Tak masalah. Bagaimana kalau kita bawa wine kita—Ya Tuhan!" Memegang gelas wine tinggi-tinggi, Minhyun berdiri dan mendorong kursinya mundur. Sepatu hak tingginya tersangkut tepian karpet Oriental di bawah meja makan. Dia kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan gelas wine itu. Gelasnya tidak pecah. Tapi warna burgundy akan selamanya melekat di serat-serat karpet favorite kebanggaan Daniel. Minhyun langsung berlutut.

"Oh, Daniel, tidak! Aku tak percaya aku melakukan ini. Ambilkan serbet. Cerpat." Panik, dia berusaha menghapus noda sewarna merah delima itu. "Apa yang bagus untuk wine?"

"Keju," jawab Daniel muram.

"Maksudku untuk menghilangkan nodanya. Soda kue? Cuka? Air es? Mungkin jika kita merendam handuk di air dingin lalu—"

"Lupakan, Minhyun." Daniel menyentuh siku Minhyun dan menariknya berdiri. "Aku yakin kita bisa menyuruh orang untuk membersihkannya. Dry clean profesional. Mungkin. Siapa tahu."

"Daniel, rasanya aku mau mati saja," ratap Minhyun. Pria itu pernah memutuskan hubungan dengan seseorang hanya karena si wanita meninggalkan bungkus plastik permen di asbaknya. Sementara dia baru saja merusak karpet mahal. "Aku ingat saat kau membeli karpet ini. Kau begitu membanggakannya."

"Hmm. Tadinya. Sekarang juga masih," buru-buru pria itu mengoreksi. "Maksudku sampai saat ini aku masih membanggakannya."

"Ooh." Minhyun mengibas-ngibaskan tangan, menderita. Daniel memeluk Minhyun dan memeluk leher wanita itu saat merengkuhnya erat.

"Lupakan karpet keparat itu, Minhyun. Itu nyaris tak berarti bagiku dibandingkan dengan kenyataan kau ada di sini dan aku akan segera bercinta denganmu."

Minhyun mendongak dan menatap mata pria itu selagi menyugar rambut Daniel. "Janji?"

Pria itu menciumnya dalam-dalam. "Janji."

Saling menjalin jemari lagi, Daniel membimbing Minhyun ke kamar tidur. Minhyun mendekati kamar dengan gugup. Dia sering sekali menggoda Daniel tentang betapa seksinya kamar laki-laki itu. Kulit Zebra terbentang di lantai. Pelapis tempat tidur itu dari kulit hitam, penerangnya temaram, atmosfernya sensual. Daniel sudah melipat pelapis tempat tidur dan memampangkan apa yang tampak seperti seprai satin warna gading. Jantung Minhyun berdebar kencang.

Ruangan ini, dia tahu, sudah menjadi panggung dari banyak adegan cumbu rayu. Dia ingin berbeda dengan yang lainnya. Dia ingin malam ini tertera di benak Daniel selamanya. Seperti yang biasa terjadi, dia mendapatkan lebih daripada yang dia minta. Daniel berbalik menghadap Minhyun. Setelah mendaratkan sejumlah ciuman ringan di bibir Minhyun, perlahan pria itu mendesakkan lidahnya, membuat Minhyun mencengkeram bahu Daniel dan melengkungkan tubuh ke arah tubuh Daniel.

"Aku ingin melepaskan pakaianmu, Minhyun." Dia membisikkan permintaan itu di rambut Minhyun, kemudian menarik diri untuk membaca reaksi wanita itu. Minhyun membasahi bibir, tersenyum gugup, lalu mengangguk cepat. Daniel berlutut di hadapannya dan melepaskan sepatu Minhyun, gerakan yang secara mengagetkan Minhyun anggap sangat manis, tapi juga sangat sensual, saat dengan hangat pria itu menangkup kakinya, satu per satu, di antara tangannya. Berdiri, pria itu melingkarkan lengannya di tubuh Minhyun, mencari ritsleting gaun. Dengan keras kepala ritsleting itu menolak mengikuti keinginan Daniel. Dia bergulat dengan benda itu.

"Mungkin aku bisa membantu," usul Minhyun, menggeser tangan Daniel. Atau setidaknya itu yang ingin Minhyun coba lakukan. Arloji Daniel terkait gaun jersey-nya.

"Tunggu, aku tersangkut," ujar pria itu saat melihat masalahnya. "Berbalik."

Minhyun merunduk di bawah lengan Daniel lalu berputar. Pria itu akhirnya berhasil melepaskan arloji dan membuka ritsleting. Dengan bujukan tangannya, gaun itu meluncur dari tubuh Minhyun ke lantai, tapi suasana romantisnya sudah rusak dan sensualitasnya mencair.

"Kurasa tidak ada kerusakan berarti," kata Daniel, meneliti bagian gaun yang tersangkut. Minhyun membentangkan benang panjang yang tertarik keluar dari jalinan gaun barunya yang sangat mahal.

"Tidak, tidak banyak."

"Maafkan aku."

"Tidak apa-apa."

Daniel melepas jas biru tuanya lalu menyampirkannya di lengan kursi. Minhyun, berjuang memperbaiki suasana romantis, membantu Daniel melepaskan turtleneck putihnya. Bertelanjang dada, pria itu menghadap ke arah Minhyun, mengangkat tangan wanita itu ke bibirnya, mencium telapak tangan Minhyun, lalu menempelkannya di atas jantung Daniel.

"Kau indah, Minhyun."

"Kau juga."

"Aku menginginkanmu."

"Aku juga menginginkanmu. Teramat sangat, sampai nyeri rasanya."

Daniel menyukai itu. Dia nyengir kekanak-kanakan. "Begitukah? Di mana? Di sini?" Dia menangkupkan tangannya di salah satu payudara Minhyun, begitu menggoda terselubung bra berenda hitam. "Di sini?" Dia mengusapkan ibu jari melintasi payudara Minhyun. "Di sini?" Tangan Daniel yang lain dengan hangat meluncur ke rok dalam hitamnya, meremas perut Minhyun yang sudah pernah mengandung sebelum bergerak turun. "Di sini?"

Jemari Worth bergerak perlahan; Minhyun terengah. "Itu membuatku lemah."

Pria itu membopong Minhyun dan membawanya ke tempat tidur. setelah membaringkan wanita itu dengan lembut di atas segunung bantal satin, Daniel meninggalkan tempat tidur cukup lama untuk melepaskan seluruh pakaiannya. Pria itu begitu tampan, kulitnya kecokelatan, menggelap terbakar matahari. Berbaring di sebelah Minhyun, mereka berciuman dengan panas dan saling mengeksplorasi, membuat mereka terengah-engah. Berlutut, Daniel mengaitkan ibu jarinya ke tepi rok dalam dan melepaskannya. Sabuk pengait stoking, stoking, dan celana dalam mini—semuanya baru, semuanya hitam—membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Dengan gumaman penuh gairah, pria itu berbaring di sebelah Minhyun dan memeluknya.

"Sentuh aku, Minhyun."

Malu-malu, Minhyun meletakkan tangannya di dada Daniel dan menikmati rasa panas di dada pria itu di tangannya dan ujung jemari yang penasaran. Daniel mengerang penuh kenikmatan saat Minhyun mengusap lembut dadanya yang bidang.

"Sentuh aku… di bawah sana. Please." Tangan Minhyun, tampak rapuh dibandingkan torso yang maskulin itu, menelusuri dadanya yang berotot, turun ke perutnya yang rata, melewati pusar, lalu terus ke bawah.

Daniel memekik. Minhyun menjerit. Telepon berbunyi. Daniel langsung berdiri, wajahnya tampak berkerut kesakitan.

"Ya Tuhan!" jerit Minhyun, menyentak lepas tangannya yang bersalah. "Apa yang kulakukan? Daniel? Daniel! Kenapa?"

"Kaki… kakiku." Dia menjatuhkan diri ke bantal, berguling-guling dan memukul- mukulkan tangannya ke kasur.

"Kakimu?"

"Betisku. Kejang otot. Kram. Agh! Brengsek, sakit sekali." Menunjukkan simpati selagi pria itu menggeliat kesakitan, Minhyun meringis dan menggigit bibir bawahnya. Telepon sudah berdering empat kali. Lega mengetahui bukan dirinya yang menyebabkan Daniel kesakitan, dia mengangkat gagang telepon ke telinganya.

"Halo, eh, kediaman Kang?"

"Apa ini Mrs. Hwang?" Dia jelas-jelas tidak membayangkan seseorang meneleponnya. "Ya?"

"Saya dari jasa layanan penjawab telepon. Anda meninggalkan nomor ini untuk kami hubungi seandainya ada keadaan darurat."

"Ya betul. Ada apa, ya?"

"Sudah lebih baik sekarang," ujar Daniel lewat gigi terkatup sembari sesekali melenturkan otot yang kram. "Polisi menelepon dan—"

"Polisi!" jerit Minhyun. "Apakah Jinyoung? Sesuatu terjadi padanya? Atau ibuku?"

"Kurasa tidak. Opsir Burton tidak mengatakan apa-apa tentang mereka."

"Opsir Burton?"

"Ya. Dia meninggalkan nomor telepon dan meminta Anda menelepon secepatnya." Minhyun berguling turun dari kasur dan membuka laci nakas mencari sesuatu untuk ditulisi. "Oke, sebutkan nomornya." Dia menuliskan nomor yang diberikan operator di halaman pertama buku hitam kecil Daniel di atas nama Jennifer Adams. "Terima kasih." Minhyun memutuskan sambungan dan mulai memencet-mencet nomor.

"Siapa tadi? Apa yang terjadi?" Daniel sedang memijati betis, tapi memandangi Minhyun dengan khawatir. "Layanan penerima pesanku. Ada polisi mencariku."

"Polisi? Memangnya kenapa?"

"Aku tidak tahu. Halo?" Teleponnya dijawab setelah deringan pertama. "Dengan Opsir Burton? Saya Hwang Minhyun."

"Mrs. Hwang," petugas itu berteriak, berusaha mengimbangi keributan di belakangnya, "Terima kasih sudah menelepon balik. Saya sedang di kediaman Keluarga Park."

"Di mana? Siapa?"

"Rumah Keluarga Park. Di sini di Bent Tree. Begini, putri mereka, Jihoon, mengurung diri di kamar dan menolak keluar." Minhyun menyugar rambut. Dia dipenuhi perasaan lega mengetahui keadaan darurat ini tidak berkaitan dengan Jinyoung atau Tiffany, sampai-sampai dia sulit mengingat siapa sebenarnya Keluarga Park dan Jihoon.

"Apa Jihoon baik-baik saja?"

"Sejauh yang kami tahu baik-baik saja, tapi dia kedengarannya sangat terguncang. Saya menemukan kartu nama Anda di tasnya dan saya pikir mungkin Anda bisa membantu."

"Anda bilang dia mengunci diri di kamar?"

"Betul. Kedua orangtuanya berusaha membujuknya keluar, atau setidaknya salah satu dari mereka masuk dan berbicara dengannya, tapi gadis itu menolak." Polisi itu merendahkan suaranya. "Saya khawatir dia akan melakukan sesuatu yang drastis. Mengerti maksud saya?"

Kegelisahan bercokol di perut Minhyun, dingin dan keras. "Ya, aku mengerti. Di mana alamatnya dan dari daerah Turtle Creek lewat jalan mana?" Setelah menuliskan petunjuk arah di atas alamat Jennifer Adams, Minhyun menutup telepon dan bergegas melintasi ruangan untuk mengambil gaun.

Daniel, merasakan kegawatan panggilan telepon barusan, sudah mengenakan celana dan sepatu, dan sedang mengenakan sweater.

"Salah seorang gadis yang berkonsultasi denganku sedang bermasalah," ujar Minhyun. "Aku harus menemuinya."

"Aku akan mengantarmu."

Tangan Minhyun yang sibuk langsung berhenti bergerak, dan dia mendongak ke arah pria itu, tahu, saat itu juga, bahwa dia mencintainya. Pria itu tidak menanyakan apa pun. Tidak menuntut penjelasan darinya. Tidak membatasi kesediaannya untuk membantu. Tidak mendebat Minhyun. Tidak mengeluhkan ketidaknyamanan yang dibebankan kepadanya. Seperti hari ketika Jonghyun dinyatakan meninggal di tempat setelah kecelakaan yang mengerikan, Daniel ada di sini sekarang, menawarkan dukungan tak bersyarat. Menawarkan dirinya kepada Minhyun. Dengan lembut, tulus, dan berpikir seandainya ada cukup waktu untuk mengatakan sesuatu yang lebih kepada pria itu, Minhyun hanya berkata, "Terima kasih, Daniel."

.

.

Mereka sampai di rumah Minhyun selepas tengah malam. Daniel tidak bertanya apa Minhyun mau diantar masuk, dia hanya melakukannya. Minhyun juga tidak terpikir untuk mengajaknya masuk. Daniel-lah yang mengunci pintu belakang dan menyalakan lampu begitu mereka sudah di dalam.

"Kau lapar?" tanya Minhyun.

"Sangat. Kau punya apa?"

"Coba lihat."

Bersama-sama mereka membuat sandwich keju panggang. "Lebih enak dibandingkan steak empat puluh dolar," cerca Daniel sembari menggigit sandwich yang belepotan mentega dan saus. "Aku nyaris lupa apa yang terjadi setengah awal malam ini."

"Bagus. Sebaiknya memang dilupakan saja." Mereka saling pandang di atas meja, kemudian mulai tertawa bersama- sama.

"Kacau sekali!" Seru Daniel, merentangkan lengan ke sisi tubuhnya.

"Aku merusak karpetmu," erang Minhyun.

"Aku merusak gaunmu."

"Harga karpetmu ratusan kali lebih mahal. Tapi itu tak ada apa-apanya dibandingkan kerusakan yang kupikir kulakukan pada… Ketika kau berteriak seperti itu, aku nyaris kena serangan jantung. Kupikir, entah bagaimana, aku menyakitimu."

Dengan serbet kertas, Daniel mengusap air mata karena terlalu banyak tertawa. "Waktu itu, aku tak bisa membayangkan apa yang ada dalam benakmu. Kau pikir…" Pria itu terkena serangan tawa lagi, membuatnya lemas dan terengah- engah. "Minhyun yang malang. Seharusnya aku memperingatkanmu. Kadang-kadang saat malam aku kram, biasanya jika aku berlatih tapi tidak pemanasan atau pendinginan dengan benar. Tapi itu pertama kalinya aku kram saat bersama wanita di tempat tidur."

"Aku lebih memilih tidak diberi kehormatan itu, terima kasih."

Ketika tawa Daniel akhirnya mereda, pria itu mengulurkan tangan dan meraih tangan Minhyun. Telapak tangan mereka melekat; jemari berkelindan. "Kau luar biasa, Minhyun. Benar-benar hebat."

Minhyun memberi pria itu tatapan heran. Daniel menjelaskan maksud ucapannya. "Cara kau mengatasi masalah di rumah Keluarga Park. Kau mendapatkan respek dan kekaguman yang besar dariku."

Minhyun mengeluarkan desahan panjang dan lelah. Tawa yang dilepaskan beberapa saat lalu merupakan kataris yang dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang ditimbulkan insiden Keluarga Park. Ketika diingatkan kembali dengan lembut mengenai kejadian itu oleh Daniel, efeknya langsung menyadarkan.

"Aku senang kau berpikir demikian, Daniel, tapi aku tak berhak mendapatkan pujian apa pun. Aku ketakutan sekali, khawatir malah membuat situasi yang sudah buruk jadi tambah parah."

"Tidak," ujar Daniel, menggeleng, "Kau hebat, apa lagi ketika kau masuk menemuinya."

"Aku harus berterima kasih padamu saat itu," Minhyun mengingatkan Daniel. Waktu mereka sampai di kediaman Keluarga Park, keadaan di sana lebih parah daripada yang Minhyun bayangkan. Para tetangga yang penasaran berdiri di jalan, keluar dari rumah yang harganya setidaknya terdiri atas tujuh digit angka. Sejumlah mobil polisi datang menanggapi alarm keamanan yang berbunyi, yang kemudian diketahui dinyalakan sendiri oleh Jihoon.

Gadis itu putus asa, dia mengatakannya kepada Minhyun, dan tak tahu harus melakukan apa. Saat merasa dirinya mulai kehilangan kendali, dia melakukannya sebagai teriakan minta tolong. Kedua orangtuanya tampaknya lebih mengkhawatirkan dampak negatif perhatian yang mereka dapatkan dibandingkan kesejahteraan putri Minhyun diajak ke lantai atas dan diperkenalkan kepada Opsir Burton, Tuan Park bertanya siapa Minhyun dan apa haknya ikut campur dengan urusan keluarga.

"Saya yang meneleponnya," ujar si polisi.

"Kenapa?"

"Selama ini saya membantu putri Anda mengatasi beberapa masalah, Tuan Park." Suara Minhyun tenang, walaupun dia panik ingin tahu apa yang terjadi di balik pintu kamar yang terkunci itu.

Dengan suara sangat otoriter, Tuan Park berkata, "Jika putriku punya masalah, dia bisa minta tolong kepada ibunya atau kepadaku."

"Tapi ternyata tidak!"

"Sekarang dengar ya, Nona muda—"

"Tidak, kau yang dengar, Bung." Ketika itulah Daniel menarik lengan Tuan Park, membuatnya berbalik, dan mengucapkan kalimat yang menohok telak bahwa Minhyun akan berusaha membujuk Jihoon membukakan pintu, tak peduli Tuan dan Nyonya Park menyukainya atau tidak. "Untuk itulah di datang ke sini, dan itulah yang akan dia lakukan, jadi menyingkirlah dan biarkan dia melakukannya."

Sejumlah polisi, termasuk Opsir Burton, tampaknya senang Daniel bersikap keras terhadap Duta Besar itu, yang sikap angkuhnya mengintimidasi meraka. Opsir Burton mengangguk ke arah Tuan Park, mendukung ucapan Daniel. Menggembungkan pipi seperti ular adder saat terancam, dia melangkah ke samping, mengizinkan Minhyun mendekati pintu kamar putrinya.

"Aku tidak suka caranya berbicara kepadamu," ujar Daniel sekarang, bangkit dari meja dan berjalan ke kulkas untuk mengambil sekotak susu.

"Matamu berapi-api."

"Coba tadi aku memukulnya."

"Aku lega kau tak melakukan itu, tapi terima kasih sudah menolongku."

"Tolong apanya," cemooh Daniel. "Yang ditolong itu si Park. Kusangka kau sendiri yang akan menghajarnya." Daniel mengisi ulang gelas Minhyun dan gelasnya sendiri. "Aku tak mengharapkanmu mendiskusikan masalah Jihoon kepadaku, Minhyun, tapi apa pun yang kaukatakan kepadanya menciptakan keajaiban. Dia tampak sangat tenang ketika keluar dan berkata kepada si sombong menyebalkan itu dan Nyonya Park bahwa dia sedang hamil sepuluh minggu."

Minhyun menangkupkan tangan di sekeliling gelas susu. "Waktu dia membolehkanku masuk, hal pertama yang kuperhatikan adalah sebotol pil tidur di nakasnya. Dia tidak minum satu pun, tapi dia bilang kepadaku dia berpikir untuk meminum seluruh pil itu sebagai alternatif pilihan selain menceritakan tentang bayinya kepada kedua orangtuanya." Tangannya gemetaran ketika mengangkat gelasnya ke mulut.

"Kalau begitu, kau berhasil mencegah bencana."

"Jihoon sendiri yang mencegahnya."

"Tapi dia mungin akan mengikuti nalurinya jika kau tak ada di sana untuk menjernihkan kepalanya."

"Dia bilang tak peduli jika dia hidup atau mati. Dia hanya tidak ingin merusak anaknya." Selagi menceritakan itu kepada Daniel, matanya berkaca-kaca. "Aku bilang itu perbuatan mulia dan alasan yang bagus untuk tidak bunuh diri, tapi kupikir hidupnya juga layak untuk dipertahankan, tak peduli apakah dia menjadi apa yang orangtuanya harapkan atau tidak."

Daniel meraih tangan Minhyun lagi, menarik wanita itu dari bangku, mengitari meja, dan membawa Minhyun duduk di pangkuannya. Wanita itu menyadarkan kepala di bahu Daniel dan merapat saat Daniel memeluknya.

"Aku tak ingin lagi mendengar kau mengatakan dirimu tidak berguna sebagai konselor." Suara Daniel terdengar tegas, tapi belaian tangannya di rambut wanita itu sangat lembut, begitu pula kecupan di alis Minhyun. "Malam ini membuktikan sebaliknya. Kau membuat perbedaan besar dalam kehidupan perempuan-perempuan muda bermasalah itu. Seperti yang kukatakan barusan, kau luar biasa."

"Aku tak seluar biasa itu, Daniel," bantah Minhyun. "Masalah Jihoon itu nyata dan mengubah hidup. Dibandingkan aku, masalahku dangkal sekali. Tapi tetap saja berminggu-minggu lalu aku merengek mengenai hidupku, mengharapkan sedikit kekacauan. Aku melihat kekacauan nyata malam ini, dan itu tidak indah. Tak heran ibuku kesal sekali kepadaku. Kenapa aku bisa seegois itu, ya?"

"Jangan terlalu keras terhadap diri sendiri. Kita semua egois saat berurusan dengan cinta dan perhatian, Minhyun."

"Sebenarnya bukankah itu, yang Jihoon inginkan? Cinta." Daniel mengangguk.

"Aku juga hanya menginginkan itu," gumam Minhyun mawas diri. Hal tak terjelaskan yang terasa kurang dalam hidupnya adalah cinta, saluran tempat dia bisa menumpahkan segala kasih yang sebelumnya dia simpan untuk suaminya —cinta, erotis, romantis, dan menakjubkan. Akan tetapi, dia tak tahu bahwa ketika menemukan penyembuhnya, rasanya lebih sakit daripada mendapatkan penyakit.

"Well, aku punya banyak cinta," kata Minhyun, menyemangati diri. "Dari ibuku. Dari Jinyoung." Dia duduk tegak dan tersenyum kepada Daniel. "Dan aku punya sahabat terbaik yang bisa dimiliki seseorang."

"Yah, dan jangan lupa, kau juga memilikiku."

"Dasar idiot." Dia memukul kepala Daniel, tapi pria itu merunduk tepat waktu.

Daniel berdiri, menggendong Minhyun. "Kita mau ke mana?"

"Tidur. Kau tidak kelihatan seksi."

"Terima kasih!"

"Jika sahabatmu tidak berkata jujur, siapa lagi yang bakal melakukannya?"

"Aku lelah sekali," Minhyun mengakui.

"Ayo pakai baju tidurmu," perintah Daniel ketika dia menurunkan Minhyun di kamar tidur. "Aku siapkan tempat tidurmu."

Minhyun menanggalkan pakaian dan membiarkannya menumpuk di lantai kamar mandi lalu memasukkan kaus panjang lewat kepala. Bertelanjang kaki, dia melangkah ke kamar tidur.

"Masuk."

Daniel mengangkat penutup tempat tidur untuk Minhyun, lalu menyelinap ke baliknya. Daniel mematikan lampu dan kamar itu pun gelap. Beberapa detik kemudian, kasurnya melesak menyambut berat tubuh Daniel.

"Daniel?"

"Hmm?"

Pria itu merengkuh Minhyun ke dadanya, membelai pipi, bahu, dan punggung Minhyun.

"Aku tadi takut sekali," bisik Minhyun sedih.

"Sst, sst. Aku tahu. Tapi kau menanganinya dengan sangat profesional, dan semua orang selamat."

"Aku mencintaimu."

"Aku tahu."

"Sungguhan."

"Aku tahu. Aku juga mencintaimu, Minhyun."

Minhyun ingin mengatakan bahwa Daniel tidak tahu. Dia tidak sedang membicarakan jenis cinta antar sahabat, dan pria itu harus mengerti itu. Tapi dia merasa sangat relax dalam pelukan Daniel, matanya memejam dan dia tertidur tanpa memberikan argumen apa pun.

.

.

Saat Minhyun terbangun keesokan harinya, pria itu sedang menggigiti telinganya.

"Daniel?"

"Sebaiknya begitu."

Sambil tetap memejamkan mata, Minhyun tersenyum. Suara pria itu, begitu rendah, dekat dan berharga baginya, membuat jemari kaki Minhyun bergelung bahagia.

"Jam berapa sekarang?"

"Memangnya ada pengaruhnya?"

"Kurasa tidak."

"Balik. Aku sudah selesai dengan sisi ini."

Dia berguling telentang. Ketika membuka mata, wajah tersenyum Daniel merunduk rendah dekat dengan wajahnya. Pria itu tampak kusut, belum bercukur, dan berantakan dengan sangat tampan. Pria itu bahkan terdengar sembarangan saat mengatakan. "Aku senang bangun di sebelah wanita yang cantik dan seksi."

"Lalu apa yang kau lakukan di sini?"

Nyengir, Daniel mengangkat kaus Minhyun dan menatap tubuh wanita itu. "Aha! Seperti yang kukira! Cantik dan seksi."

"Kau gila."

"Ada alasan kenapa aku gila."

"Oh? Gen yang buruk?"

"Aku agak sinting karena sudah berbaring di sini dan bergairah begitu lama."

Minhyun berpura-pura kaget. "Tadinya kukira ada kunci ban di tempat tidur."

Menikmati candaan mereka, malas- malasan Daniel tersenyum dan berkata. "Selamat pagi."

"Selamat pagi." Balasan Minhyun diakhiri dengan desahan lembut ketika Daniel menangkup payudaranya lalu merunduk. Minhyun terkesiap dan meremas segenggam rambut yang acak-acakan, ketika pria itu memuja tubuhnya, bakal janggutnya menggesek kulit Minhyun. Minhyun bergerak liar, tak kenal malu, selagi Daniel mencium pusar dan area sensitif di dekatnya. Tapi ketika pria itu tidak berhenti dan terus ke bawah, rasa malunya menyeruak.

"Daniel?" Minhyun merengek malu, berusaha merapatkan kaki. Tapi Daniel tidak terima. Terjadi pertarungan batin, tapi kekangan Minhyun dengan mudah dikalahkan keteguhan lembut dan penuh kasih yang memperkenalkan Minhyun pada ekspresi cinta yang membawanya ke dunia berbeda. Setelah klimaks pertamanya yang menggetarkan, pria itu melakukannya lagi.

"Daniel, aku tak bisa."

"Ya, kau bisa."

Dan Minhyun ternyata bisa. Namun Daniel belum selesai. Pria itu menciumnya dengan sensual dan lembut, lagi dan lagi, sampai bara di perutnya memanas hingga seperti gunung berapi. Ledakannya membuat Minhyun gemetar dan luruh berkeping-keping, bermandikan keringat dan lemas kelelahan. Daniel mengibaskan rambut lembab Minhyun dari lehernya, mendaratkan barisan ciuman di tengkuk wanita itu sembari berkata lembut di telinganya.

"Aku selalu menyukaimu, Minhyun. Dari sejak kita bertemu, aku menganggapmu ceria, lucu dan manis. Sementara pertemanan kita berkembang dan aku mengenalmu lebih jauh, aku menyayangimu. Penuh hormat. Sebagai istri sahabatku, yang setia dan penuh cinta. Aku tak pernah melihat perempuan lain selain dirimu yang tampak begitu cantik ketika menggendong Jinyoung pada hari kau membawanya pulang dari rumah sakit. Aku mengagumi keberanian yang kau tunjukkan saat Jonghyun meninggal. Aku menjaga dengan sepenuh jiwa, persahabatan yang tetap kita bina, bahkan setelah Jonghyun sudah tak ada. Sesuatu mengikat kita. Aku tak pernah berhenti bertanya apa gerangan itu." Daniel memijat bahu dan punggung Minhyun. "Lalu kita pergi ke Meksiko." Tangannya membelai sisi tubuh Minhyun, dari ketiak ke pinggul, meluncur melewati lekuk payudaranya.

"Sumpah, Minhyun, aku tak pernah bergairah terhadap sesorang wanita sehebat ini atau merasa begitu bersalah karenanya. Aku menatapmu lewat sorot mata berbeda, memandangmu tidak seperti sebelumnya." Dia meremas pinggang Minhyun dan membelai bokong wanita itu. Lalu tangannya berhenti di paha belakang Minhyun. "Tiba-tiba kau menjadi wanita paling kuidam-idamkan yang pernah kukenal. Aku berhenti memikirkanmu sebagai janda sahabatku atau teman baikku, dan mulai menganggapmu sebagai wanita yang sangat ingin kuajak bercinta. Kau menyenangkan. Cerdas. Sensitif dan penyayang. Luar biasa seksi. Aku jatuh cinta," pria itu menyimpulkan dengan sederhana. Daniel membalikkan tubuh Minhyun dan terkejut melihat air mata mengalir di pipinya. "Minhyun?"

"Aku salah," ujar wanita itu dengan suara yang serak karena emosi. "Kau ternyata penyair."

Daniel memeluk Minhyun dan menghujani wajahnya dengan ciuman membara. "Ya Tuhan, aku mencintaimu."

"Sebagai teman?"

Daniel menyatukan tubuh mereka. "Sebagai segalanya."

.

.

Dapur berantakan. Segar setelah mandi dan terbungkus jubah mandi, dengan cemberut Minhyun melihat ruangan itu dari ambang pintu sebelum akhirnya merapikannya. Dia sedang mengisi mesin pencuci piring ketika mendengar kunci pintu belakang bergemeretak. Dia berbalik dan melihat pintu mengayun terbuka dan Tiffany menghambur masuk, diikuti Charlie.

"Ada apa—?" Piring kecil yang Minhyun pegang meneteskan air ke lantai. "Kupikir kalian masih di Maui."

"Perubahan rencana," Charlie memberitahunya sembari memasukkan koper melewati pintu, lalu cepat-cepat menutup kembali pintu untuk menghalangi angin musim gugur yang dingin.

"Kenapa?"

"Untuk mencari tahu ada masalah apa," ujar Tiffany. "Minhyun, apa yang terjadi?"

"Apa maksudmu?"

"Aku mencoba meneleponmu di kantor kemarin, dan mereka bilang kau pulang lebih awal."

"Kalian sedang berbulan madu. Kenapa meneleponku?"

"Karena kami memutuskan untuk kembali ke daratan dan menghabiskan beberapa hari di Las Vegas."

"Walaupun tak bisa menghubungimu, kami terbang ke Los Angeles semalam," sambung Charlie. "Aku meneleponmu lagi ketika sampai di hotel, dan masih tak bisa menghubungiku, walaupun di sini sudah larut malam. Aku meninggalkan pesan di mesin."

"Aku lupa mengecek," Minhyun mengakui malu-malu.

"Ke mana kau semalam? Aku mencoba menelepon Daniel untuk menanyakanmu, tapi dia juga tidak di rumah. Pagi ini aku mencoba menelepon ke sini, tapi sibuk terus sampai dua jam lebih."

"Well, aku… aku tidak ingin buru-buru bangun," Minhyun menjawab gagap. Daniel melepaskan gagang telepon dari tempatnya ketika mereka sedang beristirahat dari percintaan maraton mereka.

"Saat itulah aku memutuskan untuk menghubungi layanan penjawab teleponmu," ujar Tiffany.

"Operator mengatakan kau mendapatkan telepon dari polisi semalam." Charlie menimpali lagi. "Tiffany nyaris pingsan di LAX sewaktu mendengar kabar itu. Saat itu juga kami memutuskan untuk naik pesawat ke Dallas alih-alih ke Las Vegas."

"Oh, seharusnya jangan!" seru Minhyun. "Semua baik-baik saja. Telepon dari polisi berhubungan dengan klien dari rumah sakit."

"Di mana Jinyoung?"

"Menginap di rumah keluarga Lee."

"Syukurkah kau baik-baik saja," ujar Tiffany, bersandar ke suaminya, yang merangkulkan lengan penuh dukungan ke tubuh ibu Minhyun. "Aku khawatir sekali, aku tak bisa membayangkan—" Minhyun mengikuti arah tatapan tercengang pasangan yang baru menikah itu ke ambang pintu. Rambut Daniel masih basah sehabis mandi. Pria itu baru saja mulai keramas ketika Minhyun meninggalkannya di sana. Di pinggangnya, handuk menggantung bagaikan petak kecil putih di antara torso pada paha kecokelatan.

"Pagi, semua," sapanya riang. "Kalian sudah pulang? Bulan madunya cepat sekali!"

"Daniel harus, eh, menginap… Kami pulang larut sekali. Aku… aku baru saja akan membuat kopi," ujar Minhyun lemah. "Mau sarapan? Makan siang? Di pesawat diberi makan, tidak? Aku tak yakin ada apa. Aku belum sempat belanja—"

"Well," ujar Tiffany, menyela ceracau Minhyun, "Mungkin seharusnya aku memberimu balasan setimpal dengan mengulang wejangan yang kau berikan kepadaku mengenai mengundang pria ke rumah, dan lain-lain, tapi aku senang sekali akhirnya kejadian juga." Dia mendongak ke arah Charlie. "Aku menang."

"Menang?" tanya Minhyun.

"Aku berhutang seratus dolar kepadanya."

"Aku bertaruh kau dan Daniel tergila-gila satu sama lain, hanya belum menyadarinya. Aku benar," ujar Tiffany, matanya berkilat.

"Mengatur mereka agar mengajak teman kencan masing-masing ke pernikahan kitalah yang memicunya." Charlie mengingatkan.

"Ibu! Kau memanipulasi kami?"

"Well, kalian sendiri tidak melakukannya dengan baik, 'kan?"

"Terima kasih, Tiffany." Daniel berjalan ke arah Minhyun dan merangkul pinggang wanita itu. "Aku tidak meminta maaf karena menghabiskan malam bersama putrimu, tapi aku ingin kau dan Charlie tahu maksudku baik. Kami akan menikah."

"Oh ya?" tanya Minhyun, terkejut. "Sejak kapan?"

"Aku lupa bertanya, ya?" Pria itu menarik Minhyun ke dalam pelukan. "Minhyun, maukah kau menikah denganku dan menjadi sahabat terbaik serta kekasihku satu-satunya seumur hidup kita?"

Sebagai jawaban, Minhyun melingkarkan lengannya ke leher Daniel dan menyambut panasnya bibir pria itu di bibirnya sendiri. Ciuman mereka saling memberi dan rakus. Tubuh Minhyun menjadi lentur dan reseptif pada desakan yang dilancarkan Daniel.

Tersadar, Daniel menarik diri. Dengan satu tangan menahan handuk yang dia pakai dan satunya lagi menggenggam tangan Minhyun, dia menarik wanita itu ke arah pintu. Kepada Tiffany dan Charlie dia berkata, "Kalian harus mengizinkan kami pergi. Kami melakukan ini dengan lebih baik saat suasananya tepat."

.

.

.

END

.

.

Akhirnya ff ini ending. Dan aku sengaja update hari ini sekalian sebagai hadiah buat kalian. Hadiah di hari ultahku. Tapi maaf kalau ada typo nyempil, lagi kurang fokus soalnya.

Semoga kalian suka ya!

Dan, gimana pendapat kalian tentang ff ini? Tulis di review ya!

.

.

Epilogue

"Daddy, kapan Mom akan keluar?"

"Seharusnya tidak lama lagi," jawab Daniel, mengacak-acak rambut Jinyoung. Rasanya dia masih terkejut tiap kali mendengar Jinyoung memanggilnya Daddy. Pertama kali terjadi tak lama setelah dia dan Minhyun menikah.

"Kau tahu, Jinyoung," dia sempat berkata, mengucapkannya dengan lembut, "Ayahmu yang sebenarnya adalah Kim Jonghyun."

"Yeah, aku tahu, tapi dia sudah meninggal." Jinyoung merengut, berusaha memahami, sebelum akhirnya tersenyum cerah kepada Daniel. "Aku punya dua ayah saja kalau begitu. Jonghyun waktu aku bayi. Dan kau sejak saat ini."

"Kau tak bisa mendapatkan yang lebih baik dari pada itu," kata Daniel waktu itu, menarik Jinyoung ke dalam pelukannya.

Minhyun, yang menguping pembicaraan mereka, tersenyum dengan mata berkaca-kaca ke arah suaminya lewat atas kepala Jinyoung. Tiga bulan setelah menikah, Daniel mengetahui bahwa dia akan menjadi ayah. Dia menunggu dengan gelisah di ruang tunggu dokter yang sama—bukan ruang tunggu tempat praktik Dr. Ong Seongwoo—selagi Minhyun menjalani pemeriksaan kandungan yang mengkonfirmasi apa yang mereka harapkan.

Reaksi Daniel kekanak-kanakan dan menggemaskan, mengajak Minhyun makan malam, kemudian bercinta dengan sangat lembut pada malam harinya, membisikan kata-kata penuh kasih kepada Minhyun dan bakal anaknya. Pria itu tak sabar ingin bayi mereka cepat-cepat mengisi kamar tidur tambahan di rumah baru mereka, yang dibeli setelah menjual rumah Minhyun dan "istana kenikmatan".

Kepada siapa pun yang mau mendengarkan, dia memuji- muji kemampuan keibuan Minhyun dan membangga-banggakan jabang bayi yang dikandung istrinya. Dia memploklamirkan diri sebagai ahli mengenai kehidupan pranatal dan membuat orang-orang bosan dengan hafalan-hafalan tak penting dari ensiklopedia.

Tiffany bilang dirinya calon ayah paling terobsesi yang pernah wanita itu temui, tapi Daniel hanya memeluk Tiffany dan menuduh wanita itu serta Charlie sebagai kakek-nenek yang sama terobsesinya— yang memang benar. Kendati penuk lagak, Daniel, seperti semua calon ayah yang waswas, terintimidasi, bahkan takut, pada kemistisan yang melingkupi kehamilan serta persalinan.

Itulah sebabnya saat ini dia sebenarnya sama sekali tidak setenang seperti yang pura-pura dia tunjukkan demi Jinyoung. Dia bergerak-gerak gelisah di kursi. Melirik cemas arlojinya dan khawatir dengan betapa lamanya Minhyun di ruang pemeriksaan. Seharusnya ini hanya pengecekan rutin. Tidak membutuhkan waktu lama. Itulah sebabnya dia dan Jinyoung ikut ke sini, dan berencana pergi ke bioskop setelah bertemu dokter. Kenapa lama sekali? Apa ada yang salah? Pasti ada sesuatu.

"Aku haus," rengek Jinyoung.

"Tunggu sebentar. Takkan lama lagi."

"Tapi Mom sudah lama sekali di dalam sana."

"Iya, ya?"

Mereka sudah membaca semua buku yang disediakan di ruang tunggu, tapi di bagian paling bawah tumpukan, Daniel menemukan kisah dari Injil yang terlewat oleh mereka.

"Kau akan menyukai ini," bujuk Daniel kepada bocah gelisah itu. "Ini tentang laki-laki yang ditelan paus."

"Yunus."

"Hei, aku terkesan."

Daniel mulai membacakan kisah itu keras-keras. Tapi baru saja sang nabi masuk ke perut paus, Minhyun keluar dari bangsal ruang pemeriksaan lewat pintu dari kaca buram. Daniel memandang Minhyun penuh makna. Minhyun menghindari tatapan penuh tanya Daniel, membuat suaminya sangat kesal.

"Siap nonton?" tanya Minhyun kepada putranya. Jinyoung menyimpan buku ceritanya, buru-buru turun dari kursi, lalu berlari ke pintu. Mereka mengikuti bocah itu keluar.

"Semua baik-baik saja?" tanya Daniel, khawatir.

"Baik-baik saja."

Daniel menahan pintu Jinyoung selagi anak itu naik ke kursi belakang, tapi dia melangkah ke hadapan Minhyun, menghalanginya masuk. "Ada yang salah."

"Tidak, tidak ada yang salah," Minhyun berkeras, menggeleng tegas.

"Minhyun, kau pembohong yang payah. Ada apa?"

"Tidak ada yang salah," jawabnya, memberi penekanan pada kata itu.

"Kalau begitu apa yang kau sembunyikan?"

"Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya."

"Ini waktu yang tepat."

Minhyun menarik napas dalam-dalam. "Well, kau tahu betapa aku sangat menginginkan bayi, bayi darimu," ujar Minhyun lembut, menangkupkan tangannya di tengkuk Daniel.

"Itukah alasan kau membuatku melakukan dua kali sehari dan tiga kali pada hari Minggu?" Dia hanya bisa mempertahankan tatapan sayu sebentar sebelum kebahagiaan yang membubung dalam dirinya lepas dalam tawa.

"Kau tahu, 'kan, Ibu selalu memperingatkan untuk berhati-hati dengan apa yang kuharapkan?"

"Karena kau mungkin mendapatkan lebih daripada yang kau minta."

"Hmm."

Daniel mempelajari mata Minhyun yang berkilat misterius selama beberapa detik sebelum matanya sendiri menajam dengan kejernihan dan kegembiraan mendalam.

"Kembar?"

"Kembar… tiga."

.

.

Real End

.

.

Terima kasih banyak untuk yang sudah favorite, follow serta review juga ngikutin ff ini.

Aku cinta kalian sangat!

Jangan Lupa RnR ya!

08 Januari 2018

Panda