Ribbon

Uchiha Sasuke X Haruno Sakura

Naruto © Masashi Kishimoto

©2016 Sugar Cookies Rain

.

.

.

"Apa yang kaulakukan padanya semalam, Sasuke?" Hatake Kakashi, sang pemilik agensi, mencecar tanya. Kepalanya sudah cukup pusing dengan laporan-laporan sepihak mengenai artis terbaik agensi tersebut.

Sasuke menggeleng, menatap nyalang wanita yang melingkari tubuhnya tadi pagi serta pria yang ia yakini sebagai pemilik agensi wanita itu. "Aku bersumpah tidak melakukan apa pun. Aku memang dalam kondisi mabuk tapi aku mampu keluar dari bar dan tidur di dalam mobilku."

Baik Kakashi maupun Naruto mengernyitkan dahi. Bingung. Kakashi sungguh bimbang harus mempercayai siapa. Sementara Naruto, ia bahkan masih tidak mengerti dengan arah pembicaraan orang-orang di dalam ruangan ini.

Tiba-tiba saja wanita itu mengisak, menyibak lengan sweater yang ia gunakan demi mempertontonkan bekas merah di kedua pergelangannya. "Kau mencumbuiku di bar dan mengikat tanganku dengan dasimu. Kau membawaku ke hotel dan kau memaksaku menuruti nafsumu. Kau kehilangan kendali. Kau memperkosaku!"

Sasuke membulatkan mata. Tiga pria yang tersisa menatap tak percaya. Beberapa kali gelengan Sasuke layangkan. Ia berani bersumpah tidak melakukan hal segila itu semalam. Sasuke bahkan masih mengingat jelas bagaimana usahanya keluar dari bar dan bersandar pada steer mobil.

Tangan Sasuke mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Pria itu bangkit, mengitari meja dengan segera menarik kerah sweater sang wanita. "Katakan siapa yang menyuruhmu melakukan hal ini!"

Wanita yang ada dalam cengkeraman bergetar. Tangisnya kembali pecah. Sasuke justru merasa geli. Wanita ini pasti adalah seorang aktris yang berbakat menangis. Ia pasrah ketika pria pemilik agensi wanita itu melepaskan cengkeraman.

"Jaga sikapmu, Anak Muda. Dan kau, Kakashi. Kami meminta Sasuke segera menikahi Naomi. Demi nama baik kita bersama. Pihak media mungkin sudah mencium kejadian ini."

Wanita serta pria awal empat puluhan meninggalkan ruangan. Menyisakan Sasuke, Naruto serta Kakashi yang memilih memejamkan mata. Semua terasa begitu tiba-tiba. Begitu mendadak hingga otak jenius pun tidak dapat memikirkan solusi tepat untuk masalah ini.

"Kau harus mempercayaiku. Ada orang yang sengaja menjebakku," Sasuke gusar. "CCTV dalam mobilku bahkan dicuri. Aku yakin ada orang yang sengaja menjebakku."

.

.

Haruno Sakura tidak mengerti mengapa menggambar gudang kosong dengan banyak bercak darah justru membuatnya senang. Ia bahkan melupakan fakta penting bahwa sejujurnya darah ada dalam salah satu daftar hal-hal paling tidak ia suka. Salah satu lagu Sasuke terdengar dari speaker, lalu beberapa fans fanatik yang menjelma menjadi art designer bersamanya mulai menunjukkan ketidakwarasan. Mengembuskan napas kuat-kuat, ia menyelipkan headset di telinga, menghalau suara-suara menjijikan yang kian lama makin menggema.

Aplikasi chatting khusus kantornya berkedip-kedip menandakan cukup banyak pesan yang ia terima. Ia mengembuskan napas maklum. Sudah dipastikan ada kehebohan baru pada divisinya. Lalu seperti biasa, ia akan melihat dan membaca tanpa meninggalkan komentar apa pun.

Sakura tidak pernah dekat dengan teman-teman satu divisinya. Kecuali sang leader yang memberinya tugas atau jadwal check approval. Ia memang mengingat nama serta wajah mereka, namun untuk mengenal, wanita itu tidak seberani yang kaukira.

Lelah dengan ikon yang berkedip tiap detik Sakura membuka notifikasi. Ada enam puluh pesan baru yang belum ia baca. Ia menghela napas. Mereka benar-benar penggosip yang luar biasa.

.

.

Jarum panjang jam menunjuk angka dua belas saat dentang lonceng berbunyi sebanyak lima kali. Pukul lima sore. Sakura menunduk, menyembunyikan wajah pada telapak tangan selama beberapa detik. Ia menengadah, tersenyum pada patung Bunda Maria lalu segera melesat pergi. Sudah satu jam tepatnya ia meluapkan tangis, meminta maaf atas dosa yang ia tanggung semenjak tujuh tahun lalu.

Sesungging senyum terpeta manakala manik matanya melihat mobil Ino terparkir rapi di depan studio tempatnya bekerja. Membuka pintu, ia segera masuk seraya mengulas senyum terbaik. "Kursi gereja terlalu nyaman, asal kau tahu," candanya yang hanya dihadiahi tawa hambar Ino.

"Aku percaya padamu," Ino menstarter mobil. Membiarkan Sakura mengutak-atik playlist lagunya. "Kau tahu, kurasa doamu sudah dikabulkan."

Sakura menoleh setelah memencet tombol play. Lantunan lagu So Far Away milik Sai feat Yui menggema dalam mobil. "Doa yang seperti apa?"

"Terkadang aku merasa iri dengan Yui." Decakan Ino membuat Sakura terkekeh. "Kau sendiri yang mengatakan padaku bahwa kau akan berdoa untuk kesengsaraan Sasuke."

Sakura menengok ke arah Ino seraya menghela napas. Menggeleng singkat, "Aku tahu. Tapi aku tidak sampai hati melakukannya berulang-ulang."

Ino ikut menoleh sebentar. Bersama iringan lagu ceritanya mengalir begitu saja. Dimulai pagi ini di mana tiba-tiba Sai mengunjungi apartemennya untuk sarapan bersama. Pria itu bertanya, bahkan mengulangi pertanyaannya acapkali ada kesempatan. Pertanyaan tentang benarkah pria bertalenta seperti Sasuke rela menghancurkan karir yang ia bangun dengan cara seperti ini.

Ino benar-benar tidak habis pikir. Seingatnya pria itu sudah berhenti melakukan hal-hal gila semenjak insiden yang melibatkan sahabatnya tercinta. Setahunya Sasuke juga mengalami trauma dan tidak mampu melakukan hal sekeji itu karena ingatannya selalu tertumbuk pada kejadian pahit tujuh tahun lalu. Dan sekarang, mengapa justru ada kabar simpang siur seperti ini?

Tubuh Sakura mendadak kaku. Sebersit ingatan tujuh tahun lalu berdengung-dengung di kepala. Tidak. Ia menggeleng singkat berusaha mengusir kepingan memori yang tanpa sadar masih membekas.

Biarkan saja. Ia sudah terlalu jauh mendengar nama itu diucapkan. Biarkan saja. Ia tidak mau peduli meski nanti publik yang memuja-muja pria itu berbalik membencinya. Ya. Yang perlu ia lakukan hanyalah membiarkan masalah ini pergi begitu saja tanpa perlu ikut campur tangan.

.

.

Tepat pukul lima lebih dua puluh empat menit sebuah forum diskusi online digemparkan dengan berita mengenai penyanyi pria favorit Jepang yang tengah mencumbui salah satu rekan artis. Beberapa menit kemudian berita itu sudah menjadi headline. Komentar pedas beserta nyinyiran kasar tumpah ruah dalam postingan. Entah sudah berapa kali berita itu dibagikan dengan bumbu-bumbu kritikan cabe. Stasiun televisi tak kalah gempar, pun pula radio yang sahut menyahut menyuarakan berita heboh tersebut.

Sasuke yang tengah berada di kantor agensi memberi tatapan keras. Ia sama sekali tidak menyangka jika ada seorang yang benar-benar merencanakan kehancuran karirnya dengan sangat baik.

Foto-foto yang diunggah pada media tidak lain hanya foto rekayasa. Satu-satunya yang asli hanya sebuah foto ketika ia tengah menikmati alkohol. Ia bahkan tidak tahu ada seorang yang sengaja membuntutinya, menyamai pakaian juga model rambutnya lalu mencumbui wanita itu. Wanita yang sejujurnya tidak pernah ia ketahui asal usulnya.

Dan unjuk rasa di depan kantor yang memekakkan telinga sungguh membuatnya jengah. Berita itu sudah berkembang menjadi gosip. Bahkan pihak agensi sang wanita telah melakukan klarifikasi tentunya dengan kalimat-kalimat yang dilebih-lebihkan. Publik beralih simpati, nama wanita itu melambung cepat bagai roket, lalu Sasuke terancam tidak bisa melanjutkan karirnya.

Ia menghela napas lelah. Bukan masalah jika ia harus berhenti dari bidang yang ia suka. Bukan pula masalah jika ia harus dibenci publik dengan cara sekeji ini. Toh, ia sendiri sudah menantikan kapan tepatnya mendapatkan balasan atas dosa yang ia perbuat tujuh tahun lalu. Toh sebenarnya ia sudah lelah dikejar-kejar rasa bersalah karena tak mampu mencari keberadaan orang yang pernah ia sakiti.

Biarlah publik membencinya. Biarlah publik meludahi maupun menggumam sumpah serapah padanya. Biarlah. Ia tidak akan menyetujui ide konyol pemilik agensi wanita itu demi membersihkan namanya.

.

.

Kakashi memijat pelipis yang terasa berdenyut menyakitkan. Rin, sang istri sekaligus orang kepercayaannya di kantor, baru saja memberikan laporan mengenai penurunan saham yang cukup signifikan. Ia tidak bisa menyalahkan Sasuke begitu saja. Pria Hatake bahkan sudah hafal sifat Sasuke luar dalam. Jika artis terbaik agensinya sudah berkata tidak, maka ia benar-benar jujur dengan pernyataannya.

Hanya masalahnya, siapa dalang dan mengapa ia mengincar Sasuke-lah yang menjadi beban di otak Kakashi. Embusan napas kasar terdengar. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi masalah ini.

"Keluarkan saja aku dari agensi. Alihkan perhatian publik dengan boy groupmu yang baru." Sasuke masuk begitu saja ke ruang pribadi Kakashi. Menghempaskan bobot tubuh di kursi yang tersedia, ia kembali berujar, "Aku tidak akan menerima tawaran agensi itu demi nama baikku. Aku sudah mengatakan padamu bahwa ini hanya rekayasa. Aku benar-benar dijebak dan kumohon keluarkan aku dari agensimu. Ini satu-satunya cara agar sahammu tidak mengalami penurunan terus menerus."

Kakashi menatap pria di hadapannya saksama. Ia mendesah, menggeleng singkat lalu semua mengalir begitu saja. Ketakutan dan keresahannya bukan semata karena perusahaan, melainkan rekan kerja, teman yang ia kenal sejak lama yaitu Sasuke sendiri. Kakashi takut jika karir Sasuke kandas begitu saja padahal ia tahu betul bagaimana perjuangan Pria Uchiha mendapatkan kesuksesan. Belum lagi cemooh juga caci maki yang akan ia terima dari masyarakat luar.

Unjuk rasa di depan kantor jadi bukti. Pemberitaan silih berganti jadi saksi. Tuduhan berat tetap ada pada Sasuke dan tidak dapat terelakkan lagi. Namun sekali lagi Sasuke hanya tersenyum, memberikan senyuman hangat seribu arti untuk sang pemilik agensi.

Ia tidak tahu lagi bagaimana selanjutnya hal ini akan berlangsung. Ia tidak tahu lagi sudah sejelek apa namanya di depan publik. Yang ia tahu, ia tidak bisa terus saja diam di tempat. Ia seharusnya lebih berani mengakui semuanya meski ia tahu tidak akan ada orang yang percaya. Menghela napas berat, Sasuke kembali tersenyum meyakinkan diri.

.

.

"Aku tidak pernah meminta pada-Mu untuk menghukum orang yang sudah menghancurkan hidupku. Tapi, apakah ini bentuk ganjaran yang Engkau berikan, Tuhan?" Sakura menggumam di tengah kebaktian. Jiwanya terombang-ambing mendengar berita mengejutkan mengenai Sasuke. Di satu sisi ia membenarkan bahwa sudah sepantasnya pria sebrengsek itu mendapatkan balasan setimpal, sementara di sisi lain, dirinya sangat menentang hal ini terjadi.

Tidak masuk akal. Kalimat itu acap kali terngiang di otaknya. Tidak mungkin jika Sasuke melakukan hal sekeji itu mengingat sahabatnya juga menyaksikan betapa terpuruknya Sasuke setelah peristiwa tujuh tahun lalu. Tidak mungkin seseorang melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Dan bagian terpenting dari itu semua, Sasuke belum juga memunculkan diri pada publik sekadar mengklarifikasi segala tuduhan yang berlaku.

Sakura tidak berempati pada Sasuke, namun entah kenapa emosinya begitu stabil melihat sekelilingnya membicarakan pria itu. Di kantor bahkan ia tidak memakai headset ketika penggemar-penggemar fanatik pria itu menangis tersedu-sedu membicarakan Sasuke. Tidak ada letupan manakala nama Sasuke diteriakkan begitu kuat. Bahkan reaksinya tetap saja datar dan semakin ingin tahu.

Wanita Haruno selalu saja menggeleng, menepis sisi baru yang tiba-tiba saja bangkit di saat seperti ini. Namun sekeras apa pun usahanya mengelak, nyatanya ia tetap mendengarkan. Ia tetap mengamati meski hanya diam.

"Akankah dia mengalami guncangan hebat seperti yang kualami dulu?"

.

.

Sinar perak bulan menelusup dari celah-celah gordyn setengah terbuka. Sepoi bayu malam membelai paras Sakura yang tengah mengamati dunia luar melalui jendela apartemennya. Berteman kucing dalam pangkuan, pikirannya melalang buana tanpa mampu ia hentikan. Bahkan hingga pukul satu dini hari matanya tetap tidak bisa terlelap meski hanya beberapa menit.

Berbagai pikiran abstrak berkecamuk di kepala. Ingatan yang ini, fakta yang itu, dan semuanya bergelung menjadi satu. Dadanya sesak namun tangis tak jua turun padahal hanya itu satu-satunya penawar terbaik yang ia punya.

Sakura membelai kucing kesayangannya. Bersenandung lirih sebuah lagu yang entah sejak kapan ia hafal. Lagu yang dinyanyikan Sasuke yang terasa menguliti dirinya. Sebuah lagu permintaan maaf yang Ino sebut-sebut lagu yang ia nyanyikan untuk Sakura.

Awalnya ia memang tidak peduli, namun ketika tanpa sengaja ia mendengar keseluruhan lagu yang dimaksud, jantungnya terasa terbakar. Bolehkah ia berbesar hati Sasuke akan meminta maaf padanya?

.

.

"Kau tidak perlu melakukannya, Sasuke. Pikirkan dirimu. Kau lupa jika talk show itu mengundang audiens?" Naruto menatap Sasuke beberapa detik sebelum kembali fokus ke jalan. Ia sungguh terkejut mendapati Sasuke menyanggupi jadwal tampil di salah satu talk show.

Tidak masalah jika saja yang dibicarakan proyek album baru yang beberapa bulan lagi akan diluncurkan, tapi jika undangan talk show mendadak saat masalah Sasuke tengah diekspos besar-besaran tentu saja Naruto tidak akan pernah mengizinkan. Pasti ada oknum haters yang mendasari diundangnya Sasuke. Atau ada orang yang sengaja ingin menjatuhkan sang Uchiha melalui acara yang kurang dua jam lagi akan tayang tersebut.

Sasuke mendesah, mengantongi kembali ponsel. "Aku tahu yang terbaik untukku sendiri, Dobe. Aku tidak bisa terus bersembunyi seperti ini. Mereka ingin aku keluar, mereka ingin aku menanggung malu. Jadi, kita ikuti saja permainan ini."

Naruto menghela napas berat. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran artis yang telah ia manajeri selama tiga tahun ini. Memutuskan untuk tidak mendebat pria kepala batu di kursi belakang, dengan berat hati ia berujar, "Baiklah. Aku percaya padamu."

.

.

"Setelah ini giliran Anda, Sasuke-san." Salah satu crew menjemput Sasuke di ruang ganti. Mengangguk, ia lantas mengekori sang wanita yang pipinya bersemu merah entah karena apa. Ia menghela napas.

Jantungnya bahkan tidak berdetak menyakitkan meski tahu akhirnya ia akan diperolok. Bahkan sikapnya tenang, terlalu tenang untuk ukuran artis yang terkena skandal. Setelah namanya diseru, Sasuke berjalan sembari memamerkan senyum seperti biasa. Menduduki kursi setelah salah satu pembawa acara mempersilakan.

Basa-basi, menjaga image, berusaha tertarik dengan topik pembahasan meski sejatinya bintang tamu lain tak ubahnya para netizen berotak dangkal. Sasuke hanya menanggapi sekenanya. Membiarkan pembahasan mengalir hingga titik yang Sasuke inginkan. Jika seorang yang ingin menjatuhkannya memiliki rencana, ia juga memiliki kejutan spesial untuk mereka. Seringai Sasuke disamarkan dengan seulas senyum manis.

"Lalu, apa tanggapanmu mengenai berita yang sejak kemarin pagi heboh dibicarakan?" sang pembawa acara akhirnya mengeluarkan kalimat pamungkas. Senyum Sasuke masih terpeta, seolah pembicaraan tersebut tak ubahnya gosip tak berujung netizen yang dalam hitungan detik hilang.

"Berita itu lucu dan sangat konyol. Mengapa netizen yang biasanya jeli terlihat begitu mudah dikelabuhi?" Sasuke menyangkal dengan sangat tenang. Beberapa audiens berteriak, memberikan sumpah serapah pada Sasuke.

Saat sang pembawa acara hendak memberi pertanyaan kembali berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba memanas, Sasuke sudah terlebih dahulu menjeda, "Aku sengaja meminta pihak agensiku untuk tidak mengonfirmasi apa pun karena memang aku tidak bersalah. Seseorang bisa saja meniru gaya rambut juga pakaianku lalu mencumbui wanita itu di saat aku berusaha keluar dari bar di sisi lain. CCTV bar tidak sebanyak yang kukira dan bahkan tempat yang kulalui agar bisa sampai di mobilku tidak ada CCTV sama sekali."

"Kau pembohong ulung!"

"Kau berbakat akting sehingga mengarang cerita!"

Banyak cacian terlontar namun Sasuke tetap memberikan senyuman. Sejujurnya ia ingin berbicara lebih banyak namun diurungkan. Bukan waktunya ia meminta belas kasihan orang-orang bermuka dua. Bukan saatnya ia terus berlindung meski sejatinya ia tidak pernah bersalah.

"Aku tidak pernah berakting. Menerima tawaran bermain drama pun aku tidak pernah. Dan satu lagi, seorang yang bersalah tidak bisa berdiri dan berbicara setenang ini pada kalian."

Satu gelas air minum dilempar tepat di baju Sasuke. Disusul beberapa benda lain melayang mengenai tubuhnya. Sasuke tetap tersenyum, tidak ada gentar tercipta. Ia tetap tenang, setenang saat pertama kali memasuki ruangan.

"Aku tidak meminta simpati publik dengan pengakuanku tadi. Terserah kalian percaya atau tidak aku tidak peduli," Sasuke mengedarkan pandang. "Mungkin seseorang di luar sana menginginkan karirku hancur dan membuatku malu karena sudah tidak laku di pasaran. Karena itu aku mengajukan pengunduran diri pada agensiku. Dan sekarang, aku mengumumkan bahwa Uchiha Sasuke berhenti menjadi penyanyi."

.

.

"... Uchiha Sasuke berhenti menjadi penyanyi."

Sakura berhenti menatap layar datar yang terpampang pada gedung televisi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya mengepal menatap Sasuke tidak melakukan perlawanan saat audiens membrutal melempari tubuhnya dengan gelas plastik. Netranya bahkan tidak mampu berhenti, terus saja menatap hingga Sasuke memberi penghormatan lalu keluar begitu saja. Apa yang sebenarnya dipikirkan Sasuke? Pertanyaan itu menyentil hati Sakura setelah kaki-kakinya memilih beranjak.

Ia sedang melakukan perjalanan malam hari menikmati gemerlap kota. Didasari rindu sekaligus rasa tertampar, ia merasa tercubit mengingat fakta bahwa dirinya tidak pernah keluar mengamati sekitar kecuali bekerja.

Salah satu stand penjual bakso ikan menggoda perutnya. Ia lantas menghampiri, membeli beberapa tusuk lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sejauh kaki melangkah ia terus mengulas senyum bahkan tak jarang mengamati beberapa stand penjual yang ia lewati. Hingga tanpa sadar ia telah berjalan terlalu jauh dan bakso ikan serta beberapa camilan yang tadi ia beli telah tandas.

"Sudah kubilang kau tidak perlu melakukannya, Sasuke."

Dua manik matanya membulat mendengar suara tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tepat lima belas meter di depan, Sasuke bersama sang manajer hendak menaiki van. Belum sempat keterkejutannya pulih, mata Sasuke bergulir ke arahnya. Membuat tubuh Sakura mendadak kaku saat pria itu berjalan mendekat.

Dengan sedikit paksaan, Sakura mengajak tubuhnya berlari sekencang mungkin. Tidak menghiraukan Sasuke yang ikut berlari di belakangnya. Tidak. Ia tidak mau tertangkap dan berakhir seperti orang gila yang berteriak-teriak di jalan.

"Berpikir, berpikir," gumamnya dalam hati. Mengingat di ujung jalan terdapat lorong sempit, segera saja Sakura masuk tanpa melihat ke belakang. Ia berlindung di samping drum bekas dengan napas tak beraturan.

Tepukan ringan di bahu memberi respon cepat, menjalar hingga tubuhnya kembali kaku. Dengan hati-hati ia menoleh, berusaha mensugesti pikiran dengan hal-hal positif. Saat mata emeraldnya bertemu dengan sepasang mata berwarna oniks, ia tahu ucapan Ino akhirnya terwujud. Sekali lagi, Sasuke benar-benar bertemu dengannya.

To Be Continued..