Ribbon
Uchiha Sasuke X Haruno Sakura
Naruto © Masashi Kishimoto
©2016 Sugar Cookies Rain
.
.
.
Chapter 1
Semua hal telah berbeda meski ia tak memejamkan mata. Semua tak lagi sama. Entah dirinya yang terlalu menutup diri dengan perubahan atau memang jiwanya tertinggal bersama kenangan tujuh tahun silam. Ia sendiri tidak mengerti.
Sekali lagi bulir-bulir bening menyeruak. Memenuhi pipi putih wanita dengan mantel biru tua di ujung bangku gereja. Bibirnya tiada henti melantun doa, berharap Tuhan mengabulkan setidaknya satu dua permintaan yang sejak dulu ia pinta.
Lima menit berlalu dan tangan putih itu perlahan menghapus jejak bening yang tercipta. Membenarkan letak tas tangan, ia mengangkat syal tinggi-tinggi hingga batas hidung. Melangkah pergi bersama sedikit beban yang telah berkurang dari pundaknya.
High heels-nya bergemelatuk beradu dengan jalan. Menggema bersama tapak-tapak pejalan kaki lain. Waktu istirahatnya tersisa lima belas menit lagi. Ia tersenyum miris manakala ekor matanya tak sengaja menangkap papan reklame bergambar seorang pria yang sekonyong-konyong ia benci. Pria sama yang sudah menghancurkan hidupnya sejauh ini.
"Kau tidak tertarik bermain drama?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari wanita yang tengah menata ulang rambut Sasuke.
Uchiha Sasuke menatap pantulan dirinya di cermin, membalas layangan pertanyaan itu dengan sebuah gelengan singkat. Irisnya sibuk memerhatikan saksama dua pekerja yang tengah mendandaninya sedemikian rupa. Sesekali tangannya bermain di ponsel pintar, memainkan game favorit yang sudah ia gemari sejak lama.
"Kenapa? Bukankah kau sering ditawari hal-hal semacam itu?" tak lantas jera, si penata rambut justru getol memberikan pertanyaan.
Sasuke menghela napas, "Aku tidak tertarik." Setelah jawaban singkat itu Prodigy Uchiha memilih menenggelamkan diri pada ponsel. Membuat wanita yang sedari tadi melontarkan pertanyaan menghela napas.
Sudah bukan rahasia umum jika soloist kenamaan ini menjadi kandidat utama pria paling diincar memainkan drama oleh produser-produser. Berkat penjiwaan juga kepiawaian menyanyi, lagu-lagu yang ia bawakan selalu meledak di pasaran. Bahkan saat menyanyi live pun ia bisa dengan natural menangis tanpa properti, seolah kisah tragis yang terkandung dalam lagu pernah ia alami.
Tidak terhitung banyak fasilitas maupun uang yang dijanjikan akan didapat Sasuke jika menandatangani kontrak. Namun tak lantas menyerah begitu saja, Uchiha Sasuke bahkan tidak lelah berkata tidak pada setiap produser yang menawarinya kontrak. Entah apa yang mendasari dirinya berlaku demikian namun jika ditanya oleh media, ia selalu menjawab tidak ingin menumpang ketenaran dengan mencoba bidang lain. Baginya, menyanyi saja sudah menyalurkan seluruh rasa yang ia miliki, mengapa harus menambahi dengan berakting? Buang-buang tenaga saja.
"Uchiha Sasuke, bersiaplah. Lima menit lagi kau akan tampil," seorang kru televisi masuk ke ruang tunggu khusus Sasuke. Mengamati pria yang dinobatkan sebagai best soloist tiga tahun berturut-turut dengan sorot berbinar. Wajar saja. Siapa yang tidak terpesona dengan pria muda sejuta bakat ini?
Sang empunya ruangan mendongak, mengangguk singkat sebagai respon lalu ikut mengekor di belakang wanita yang memakai seragam kru itu. Memejamkan mata, Sasuke lantas melantunkan doa singkat. Hari ini ia harus bisa lebih baik lagi. Panggung ini akan ia taklukkan sekali lagi.
Intro musik terdengar saat Sasuke melangkah. Semua mata tertuju padanya. Semua penggemar yang turut mengikuti acara ini meneriakkan namanya. Fanchant keras, lampu sorot yang mengarah tepat, intro lagu usai dan bait demi bait ia lantunkan merdu.
Jerit keras terdengar kembali, Sasuke tidak peduli. Meski matanya tidak terpejam, leleh tangis begitu saja menyeruak mengiringi lagu Butterfly yang ia bawakan.
Sakura memijit pelipis yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Bukan karena date line untuk check approval yang tengah ia pikirkan. Sama sekali bukan.
Setelah menyelinap ke gereja saat istirahat berakhir memakan sandwich cokelat juga jus apel favoritnya, ia lantas beranjak ke Divisi 2D untuk kembali bekerja. Tidak memiliki banyak kenalan di gedung ini membuatnya bebas menyelinap lalu kembali tanpa harus melalui perdebatan panjang. Saat ia menginjakkan kaki ke ruangan, hanya ada beberapa rekan kerja yang sudah selesai dengan urusan istirahat. Sisanya ia tidak mengerti.
Memutuskan tidak peduli, wanita dengan kemeja kotak-kotak kebesaran memilih duduk menghabiskan kudapan. Hingga kemudian telinganya dengan jelas mendengar lantunan suara indah menggema dari ponsel teman satu divisinya di pojok ruangan. Mengelu-elukan nama idola yang tengah bernyanyi seolah ia tengah larut berada di antara penggemar-penggemar fanatik lain. Wanita pemilik iris emerald itu memilih menutup telinga. Menyumbat sistem pendengaran dengan earphone yang mendengungkan lagu lain. Lagu apa saja yang ada di playlistnya kecuali lagu orang itu.
Tangan-tangan terampilnya melanjutkan tugas, menggambar latar perkotaan masa kini ditambah detail ruangan kantor polisi dan gedung televisi. Sakura menyempatkan diri melirik sekilas gadis di ujung ruangan yang kini menangis sesenggukan. Lalu yang terjadi setelahnya membuat ia harus bertahan untuk tidak memuntahkan makanan yang beberapa saat lalu ia telan.
"Totalitas penjiwaannya benar-benar luar biasa. Aku ingin menjadi kekasihnya, Tayuya-chan."
"Mereka tidak tahu dibalik keindahan suara itu ada sifat yang justru bisa membuat semua fans berbalik membencinya," gumam Sakura tersenyum miris.
Ada satu hal yang tidak disukai Sasuke sejak ia memutuskan menjadi artis. Seorang yang dengan sengaja mendekati dirinya hanya demi memperoleh ketenaran semata. Bahkan tidak terhitung gosip-gosip konyol yang mengatakan ia tengah menjalin kasih dengan sesama artis membludak begitu saja. Ia tidak mengerti. Padahal jika ditelaah lebih jauh, Sasuke tidak pernah menerima proyek duet kecuali jika diwajibkan.
Seperti sekarang, setelah selesai mengisi acara di Show Champion, wartawan mengerubungi mobil yang ia tumpangi demi mendapat satu jawaban; benar atau tidak pria dua puluh lima tahun itu menjalin kasih dengan salah satu member girl group kenamaan. Memilih tidak peduli, ia lantas masuk membiarkan manajernya mengurus segala hal yang sekiranya perlu dibicarakan.
"Aku heran mengapa wartawan-wartawan itu terus berbicara konyol tentangmu." Tiga menit terhitung sejak Sasuke masuk dalam van, Uzumaki Naruto sang manajer baru menyusul. Pria dengan senyum lebar itu mengempas kepalanya ke sandaran kursi. "Karin, Sara, Matsuri, dan sekarang Shion. Argh. Kepalaku lama-lama bisa pecah menanggapi ocehan sampah seperti itu."
Sasuke terkekeh kecil menggeleng-gelengkan kepala. "Kupikir teori pohon yang kauciptakan benar, Dobe."
Alih-alih menjawab, Prodigy Uchiha justru memberikan pertanyaan. Menepuk-nepuk bahu sang manajer cukup kuat. Uzumaki Naruto menoleh dengan garis-garis halus tercipta di dahinya. Teori pohon apa? ia berbicara dengan Sasuke menggunakan mata.
"Semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpa. Bukankah kau yang sering mengajarkanku tentang idiom itu?" kekehan Sasuke melingkupi mobil yang tengah melaju konstan. Mengiringi tepukan di dahi Naruto yang ia lakukan sendiri.
"Bisa kauhentikan lagu itu, Yamanaka Ino?" Sakura mendelik manakala speaker mobil sang sahabat mendendangkan lagu Uchiha Sasuke. Agaknya ia menyesali keputusan menumpang jika teman merangkap kakak perempuannya tidak jauh berbeda dari orang kebanyakan.
Ino memutar bola mata jengah, memencet tombol next dari layar touchscreen yang terpampang pada dashboard. "Lagu itu adalah lagu ciptaan Sai untukku jika kau ingin tahu."
Sekarang bola mata Sakura yang berputar. Baiklah. Ia memang mengetahui fakta bahwa Shimura Sai, kekasih sahabatnya, adalah seorang komposer dan penulis lagu jenius. Namun sehebat apa pun karya yang pria itu ciptakan, jika dinyanyikan oleh Sasuke tentu saja Sakura tidak akan sudi repot-repot mendengarkan.
Membiarkan mobil hanya terisi suara merdu Sabaku Gaara, Sakura memilih menelengkan kepala ke kiri, memerhatikan lalu lintas ramai lancar yang ia rindukan. Baru satu bulan tepatnya ia menginjakkan kaki kembali ke Tokyo semua telah berubah lebih dari apa yang ia pikirkan.
"Kau harus bertemu dengannya sesekali. Menguji therapymu berhasil atau tidak," Yamanaka Ino membelokkan kemudi ke arah kiri. Sedikit melirik sahabatnya yang mungkin saja berekspresi terkejut.
"Terima kasih. Akan sangat mengesankan jika aku tidak bertemu dengan pria bajingan itu selamanya," tanpa membalikkan posisi, Sakura berujar mantap. Tangan kanannya mengepal kuat mencengkeram kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Tidak ada yang pernah tahu betapa sulitnya ia merangkak bangkit setelah keterpurukan itu berlangsung. Tidak dengan sahabatnya, tidak pula dengan orang lain.
Sakura mendesah. Setetes air mata lolos kala memori lama mendadak menyeruak masuk meminta diingat.
Uchiha Sasuke bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Entah mimpi apa yang tengah menyambangi yang jelas beberapa kali gelengan kepala serta jeritan kata tidak menggema. Beberapa detik kemudian mata hitamnya membuka. Bulir-bulir keringat jatuh membasahi dahi, membuat rambut hitam kebanggaannya lepek.
Tangan besarnya mengusap wajah. Setelah dirasa cukup tenang pria muda itu menyingkap selimut, berjalan menuju bar kecil yang memang tersedia di rumah pribadinya.
Membuka seluruh laci yang ada, tangannya menggapai-gapai botol Brandy yang menyembul di antara gelas sloki. Membuka penutup ia mengarahkan moncong kecil ke bibirnya. Sasuke bahkan tidak peduli lagi dengan aturan mengenakan sloki agar anggur yang tengah diteguknya memiliki rasa jauh lebih nikmat. Tenggorokannya terbakar namun rasa sesak yang bersarang belum jua enggan meninggalkan dirinya.
"Brengsek!" Sasuke mengumpat keras menjatuhkan botol Brandy hingga membentur lantai. Seharusnya ia tidak lupa berbelanja alkohol sepulang dari kantor agensi tadi. Namun apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur jika ia hanya menyesalinya sekarang.
Mata hitam itu menengok ke arah jam digital yang sengaja ia pasang di meja bar. Pukul dua belas lebih satu menit. Tanpa menunggu lebih lama lagi Prodigy Uchiha segera menyambar mantel serta dompet. Ia butuh setidaknya dua botol Brandy lagi.
Seekor kucing berbulu putih mengikuti langkah kaki Sakura yang tengah menjelajahi pantry. Pukul setengah satu dini hari. Ia masih tidak bisa terlelap meski date line pekerjaan freelance di studio animator lain telah ia selesaikan satu jam yang lalu.
Setelah mengeluarkan makanan kaleng untuk kucing kesayangannya, ia lantas menyambar botol jus jeruk yang isinya tinggal separuh. "Makanlah, Chiko."
Wanita bersurai merah muda itu menduduki kursi, meminum jus, memandangi kucing kesayangannya lalu meminum jus lagi. Ingatannya kembali memutar di mana Ino menyarankan agar ia sesekali bertemu dengan Sasuke. Setelah kata-kata itu terekam jelas, otaknya secara otomatis menyangkal dan mengiyakan bersamaan.
"Tokyo tidak seluas yang kaupikirkan, Sakura. Mungkin saat ini memang tidak tapi apakah kau tetap yakin tidak akan bertemu dengan Sasuke di hari-hari berikutnya?"
Sebagian pikiran yang mendiami otaknya mengatakan bahwa Ino benar. Banyak tercipta kemungkinan dirinya akan bertemu dengan Sasuke terlebih ia dan pria itu berada di kota yang sama. Namun sebagian lain memilih tidak percaya. Lagipula bidang mereka berbeda; Sasuke dengan namanya yang dielu-elukan hingga pelosok negeri karena kepiawaiannya bernyanyi sementara ia hanya karyawan biasa di sebuah studio animasi. Tidak-tidak. Itu tidak akan mungkin terjadi.
Sakura mematut dirinya pada cermin besar. Memerhatikan luka sepanjang tujuh sentimeter yang berada tepat di pinggang kanannya. Luka yang ia dapat tujuh tahun lalu dan ia mati-matian menutupinya hingga sekarang.
Sekelebat memori menyambangi otak, menuntut sang empunya mengingat setiap detail kejadian saksama. Tangan putih itu bergetar, tiba-tiba saja leleh bening telah menganak sungai. Dadanya sesak bagai terhimpit ribuan kerikil kecil. Kaki-kakinya melemas seperti bertransformasi menjadi jelly. Sakura jatuh terduduk membiarkan emosi terlampiaskan oleh tangis.
Ia belum bisa. Sungguh. Ia tidak bisa jika harus bertemu dengan pria yang menghancurkan hidupnya sekali lagi.
Hal yang pertama kali Sasuke rasa adalah kepalanya berdenyut menyakitkan. Ia mengerjap beberapa kali menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya yang masuk ke retina. Belum pulih seratus persen, prodigy Uchiha sudah dikejutkan dengan kehadiran wanita yang memeluk pinggangnya posesif.
Seingatnya memang semalam ia menghabiskan dua botol Brandy namun ia masih dalam keadaan sadar dan berhasil keluar dari bar sekadar masuk dalam mobil. Sasuke juga mengingat jelas ia menelungkupkan kepala pada steer, tidak berniat mengemudi sampai esok tiba. Lalu... siapa dan bagaimana wanita tanpa busana ini bisa berakhir dengannya di sini?
Mata hitam itu mengedar, memerhatikan detail ruangan yang sama sekali tidak ia kenali. Dadanya bergemuruh. Sesak tiba-tiba menggelayut memenuhi dinding-dinding hati. Menuruni ranjang hati-hati, segera ia memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai; bercampur pakaian wanita yang masih terlelap.
Tidak mungkin. Sasuke tidak mungkin bisa melakukan perbuatan ini pada wanita mana pun. Tidak. Pasti ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.
Sekali lagi ia menggeleng, menyambar mantel yang tersampir pada gantungan, pergi tanpa memedulikan lagi wanita itu.
Sasuke tidak mungkin melakukannya. Ia tidak mungkin bisa melakukannya. Masuk dalam Reventon kebanggaan, ia lantas membenturkan kepala pada steer.
"Aku tidak melakukannya. Aku. Tidak. Melakukannya!" bulir-bulir bening memupuk pada pelupuk mata. Pengelihatannya mengabur.
"Hei, kulihat kau benar-benar pucat sejak tadi pagi," Uzumaki Naruto mengangsur sepiring sandwich ke hadapan Sasuke. Sejak solois pria itu masuk ke kantor agensi tiga jam lalu keadaannya masih sama; diam dengan muka pucat tanpa menanggapi ocehan siapa pun. Hal itulah yang mendasari Naruto rela mencarikan makanan demi kesehatan pria di hadapannya.
Tidak menanggapi, Sasuke justru melemparkan kepala ke sandaran kursi, mengembus napas dalam-dalam berusaha tetap tenang dalam keadaan apa pun. "Apa menurutmu ada yang ingin menjebakku, Dobe?"
Mata Naruto yang semula fokus pada sandwich di tangan kini beralih menatap pria tiga tahun lebih muda darinya. "Entahlah. Mengapa kau jadi memusingkan hal konyol seperti itu?"
Sasuke menggeleng, "Aku hanya... merasa tengah dijebak."
"Maksudmu?" kerutan pada dahi Naruto semakin jelas terlihat. Tidak mengerti arah pembicaraan artis yang sudah ia manajeri empat tahun ini.
Sasuke hanya menggeleng. Sekali lagi menghela napas berusaha menyingkirkan pikiran yang tengah bersliweran di otak. Tidak akan ada yang terjadi. Tidak akan pernah.
Saat pria beriris hitam mencoba terlelap, ia mendengar tapak-tapak kaki mendekat ke arahnya. Membuat Sasuke mau tidak mau membuka mata. Menatap langsung Hatake Kakashi sang pemilik agensi dan beberapa orang asing juga wanita tadi pagi. Manik hitamnya membelalak tak percaya.
Naruto menatap bingung. Kakashi menghela napas.
Inikah mimpi buruk yang selama ini ia pinta?
To Be Continued..
A/N: Hai^^ lama gak mampir buat posting di FFN lagi. Buat semua yang udah rev, favourite & follow di Mafia's Complex atau ceritaku yang lain terima kasih. Aku akan berusaha lebih aktif sekarang. Dan aku bawa fanfic MC lagi wkwk hope u like it, Minna ^^