Keesokan paginya, ada dua hal yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.

"Kak Renjun, kak Jaemin? Bangun…." Chenle mengguncang-guncangkankan kedua kakak kelasnya yang tumben-tumbennya masih tertidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat. Biasanya, Renjun sudah bangun dari pukul setengah 6, dan Jaemin juga pagi-pagi biasanya tidak kelihatan di kamar. Makanya, ini adalah pemandangan jarang.

Renjun dan Jaemin tidak menunjukkan tanda-tanda mereka akan bangun detik itu juga, dan itu membuat Chenle kelepasan membuang napas.

"Wah, mereka belum bangun?" Chenle menoleh ke asal suara. Haechan baru selesai menggunakan kamar mandi. Chenle hanya mengangguk lemah sebagai jawaban, lalu mendudukkan diri di kasur Renjun. "Ngomong-ngomong, Jaemin tadi malam pulang jam berapa? Kamu tahu?"

Chenle diam. Benar, Jaemin lagi-lagi tidak diketahui kapan kembali ke kamar. Tapi kamar tadi malam dikunci. Itu berarti, ada yang malam-malam membukakan pintu untuk Jaemin masuk, entah jam berapa.

Siapa yang membukakan? Chenle bisa menebak itu Renjun, walaupun sebenarnya dia hanya menyimpulkan dari mata Jaemin yang bengkak dan Renjun yang sedari tadi menyembunyikan wajahnya. Yah, mungkin. Mungkin ada sesuatu tadi malam, ketika semuanya sudah tidur.

"Kak, aku dan kak Haechan ke kantin duluan ya? Nanti kita jaga tempat. Kalian nanti menyusul saja." Chenle menepuk kaki Renjun yang terbalut selimut, tahu kalau Renjun sebenarnya sudah bangun. Jaemin? Jaemin entahlah. Tapi yang penting Renjun sudah menganggukkan kepalanya, walaupun samar.

Haechan sempat melirik kembali pada kedua prefek Yunani yang tumben-tumbennya masih berada di tempat tidurnya masing-masing sebelum menyusul Chenle yang sudah berjalan ke luar kamar. "Tidak apa-apa membiarkan mereka?"

Chenle mengangguk. "Iya. Mereka sepertinya lelah."

"Hmm… lelah karena apa?"

"Tidak apa-apa."

Di kamar, sekarang hanya ada Renjun dan Jaemin. Selepas Chenle dan Haechan pergi, Renjun membuka matanya. Matanya berat sekali, seperti memang diciptakan untuk terus menutup. Tubuhnya juga terasa lebih berat dari biasanya, tapi dia tahu bagaimanapun juga dia harus bangun.

Setelah mendudukkan diri dan berhasil menurunkan kakinya ke lantai, Renjun melihat Jaemin yang ternyata juga sudah bangun, tapi seperti tidak bernyawa. Matanya terbuka sedikit, tapi benar-benar tidak ada semangat.

"Jaemin, bangun. Siap-siap."

Tidak begitu dibalas oleh yang diajak bicara, tapi Renjun tidak memaksa. Renjun dengan langkah gontai berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Jaemin yang sekarang mengekorinya dengan kedua matanya.

Kalau begitu, kapan kamu akan membalas pernyataan Zeus? Si Lee Jeno itu?

Ah. Jaemin masih merasa bersalah kalau mengingat pembicaraan mereka semalam. Dia masih ingat jelas bagaimana wajah Renjun waktu dia mulai membawa-bawa nama si empunya gelar Zeus di sana –tatapan mata yang sepertinya benar-benar merasa sedang dihina. Jaemin tahu mulutnya itu kadang berbahaya, tapi kenapa harus pada Renjun? Kenapa harus Renjun?

"Ugh…." Dia menekan keras kelopak matanya yang terasa panas. Rasa bersalahnya itu makin bertambah seiring dia mengingat bagaimana Renjun selama ini tidak pernah menyinggung masalahnya mengenai Mark. Dia mengecewakan Renjun.

"Piket?" Haechan, dengan mulutnya yang masih terisi penuh itu mengulang omongan Chenle, yang mana lalu meringis melihat Haechan bahkan tidak berusaha menelan makanannya terlebih dahulu sebelum bicara. "Ternyata tetap ada piket ya di sekolah semahal ini."

"Piket yang kumaksud ini bukan piket sejenis bersih-bersih, tapi mengatur giliran konsultasi PR tiap angkatan!"

"Konsultasi PR?" keningnya mengerut. Baru kali ini dia mendengar hal semacam itu. "Merepotkan sekali. Itu wajib?"

"Konsultasinya itu sendiri sebenarnya opsional, tergantung siswanya mau memanfaatkan fasilitas atau tidak. Tapi, piketnya wajib. Wajib… buat prefek…." Pundaknya melemas seraya dia juga meloloskan napas sisaan, ingin menunjukkan pada Haechan bahwa keadaannya sebenarnya malang. Dia juga tidak menunggu Haechan untuk memintanya menjelaskan apa maksudnya. "Jadi prefek itu tidak begitu indah sebenarnya ya. Pertama, karena pemberian gelar ini mekanismenya tidak ada yang mengerti, jadi ada yang mengklaim gelar ditentukan random. Keberuntungan. Kami yang prefek jadi sering dibilang sebenarnya tidak punya kemampuan. Kedua, prefek itu sama saja babu angkatan. Kalau ada masalah apa-apa di angkatan, prefek langsung diminta maju! Yah, itu sudah pasti sih, tapi ya faktanya, itu menjengkelkan. Ketiga, untuk konsultasi PR ini… kami jadi harus mencuri-curi waktu supaya bisa konsultasi juga!"

Haechan tidak menyela sedikitpun Chenle yang sepertinya tidak banyak menarik napas saat menjelaskan –terbukti dari seberapa cepatnya dia melakukan itu. Dia sibuk mengunyah, tapi dia menjamin fokusnya masih bisa diajak kerja sama untuk mengerti apa yang dibicarakan Chenle sekarang.

"Karena piket itu?" Haechan menarik kesimpulan. Chenle mengangguk mantap, lalu menusuk sosisnya dengan garpu sebagai penekanan. "Memang apa yang dilakukan saat piket? Sepenting itukah piket? Maksudku, kalian sampai jadi tidak bisa ikut konsultasi. Kalian dirugikan kan?"

Chenle mengangguk berkali-kali sambil memejamkan mata. Benar-benar menghayati setiap anggukannya. "Benar, benar! Aku benar merasa rugi!" dia menyempatkan membalas di tengah kunyahan. "Piket, kita mendata tiap kelompok belajar yang sudah datang konsultasi. Satu kelompok berisi lima orang itu hanya dapat 20 menit untuk konsultasi tiap pekan. Mungkin kakak belum tahu, tapi guru di sini itu malas semua! Mereka tidak mau sering memberi tugas, padahal jelas-jelas bobot nilai dari tugas juga penting walaupun persentasenya paling kecil. Jadinya, mereka hanya memberi sesekali…."

"Enak dong? Aku sih tidak mau sering-sering mengerjakan tugas."

"Iya, aku juga! Tapi tugasnya jadi, ugh, susah!" dia meletakkan garpunya hanya untuk memijat kening. Mungkin teringat pada tugas-tugasnya pada awal semester –yang tentu Haechan tidak tahu. "Mungkin tidak akan sesusah itu kalau aku murid biasa, tapi sayang sekali aku jadi prefek. Aku jadi tidak bisa memaksimalkan konsultasinya!"

"Hmm…." Haechan mulai mengedarkan pandangannya ke tempat lain karena dia tahu kalau dia masih membalas, Chenle tidak akan melanjutkan makannya. Lalu matanya mulai menangkap sosok kedua temannya itu memasuki area kantin. "Itu mereka."

Chenle memutar badannya yang posisinya membelakangi pintu masuk kantin, dan memang ada Renjun dan Jaemin.

"Kenapa mukamu begitu?" tanya Haechan ketika dia melihat raut muka Chenle berubah menjadi seperti menahan tawa dan tidak sabaran. "Kamu lihat apa sih?" Haechan mencari-cari apa yang kira-kira membuat Chenle memasang wajah seperti itu.

"Kalian kenapa?" tanya Renjun begitu dia sudah mendekat ke meja Haechan dan Chenle. Dia bingung melihat Chenle yang sekarang menutup mulutnya yang jelas-jelas tersenyum geli dan juga Haechan yang menyipit-nyipitkan mata. "…sumpah, kalian kenapa?"

"Kak, kalau mau masuk ke sini, coba tengok kanan-kiri dulu ya…," jawab Chenle, masih dengan cekikikan. Renjun mengernyitkan kening. "Tadi ada yang batal keluar gara-gara kak Renjun dan kak Jaemin masuk."

"Hah, siapa?" Renjun menolehkan kepala, mencari siapa yang dimaksud si adik kelas. Jaemin pun juga begitu, walaupun dia saat ini sepertinya terlihat lebih diam dan tidak begitu tertarik.

"Itu tuh. Yang baru mulai duduk lagi, di meja dekat pintu masuk."

Setelah kira-kira diberi petunjuk yang lumayan jelas, Renjun bisa melihat satu meja yang terlihat mencolok sekali, ditempati tiga murid yang mengenakan atribut prefek Romawi, badge warna merah di pundak kiri.

"Oh! Itu maksudmu!" Haechan berseru kegirangan lalu menepuk-nepuk tangan Renjun, memintanya segera duduk di sebelahnya. Chenle juga mengikuti dengan menarik-narik tangan Jaemin. "Aku juga tadi lihat mereka sempat bolak-balik bingung mau keluar atau tidak! Dan ternyata mereka malah duduk lagi. Lucu sekali. Siapa mereka?"

"Prefek Romawi!" Chenle kembali melanjutkan makan sambil menawarkan Jaemin untuk mengambil sesuatu dari piringnya. "Mereka prefek Romawi, dan aku bisa saja menyebutkan satu persatu namanya, tapi mungkin lain kali saja."

"Hah, kenapa!"

"Yah… pertama, aku belum selesai makan. Kedua, lebih enak kalau kamu berkenalan dengan mereka langsung," katanya. "Mereka baik kok! Kamu bakal satu asrama dengan mereka pekan depan kan? Si ketua prefek yang gelarnya Zeus itu memang kesannya dingin dan mengintimidasi, tapi aslinya tidak kok. Dia kelas 2 juga, jadi harusnya kamu bakal lebih sering bersamanya nanti."

"Kalau yang di sebelahnya? Aku merasa pernah melihatnya sebelum ini."

"Oh, dia. Dia prefek Ares, kelas 3. Dia akhir-akhir ini jarang kelihatan, lho? Dia sering keluar-masuk sekolah karena bimbingan di luar. Yah, namanya anak kelas 3 sih…."

"Jaem, ambil makan yuk?" Renjun beranjak dari duduknya sambil menarik Jaemin dari sana. Jaemin yang sedari tadi diam juga hanya menurut. Chenle dan Haechan ditinggal dan bisa dilihat Chenle sekarang menelan ludah.

"…tuh kan. Aku kebanyakan bicara." Dia memukul pelan kepalanya sambil merengut.

"Apa? Kenapa? Lalu yang sebelahnya lagi…?"

"Nanti saja deh, kak. Aku takut kelepasan lagi," tolaknya setelah menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi yang empuk. Dia merutuki mulutnya yang memang sering diklaim Renjun tidak tahu kapan waktunya untuk berhenti. Tapi yang lebih penting dari itu, dengan diamnya Haechan sekarang, Chenle jadi lebih bisa memerhatikan hapenya yang baru saja bergetar.

Jisung menghela napas keras-keras begitu menyadari hari itu hari Rabu. Jadwal konsultasi PR untuk murid Romawi. Dia sama sekali tidak merasa sungkan untuk menyandarkan sebelah pipinya pada permukaan meja walaupun kelas sedang berlangsung. Sempat ditegur guru sih, tapi Jisung merasa walau dia tidak melakukan ini pun dia juga tidak terlalu bisa memerhatikan pelajaran.

Konsultasi PR itu berdurasi total selama tiga jam, dari pukul 6 sampai 9. Lokasi di ruang depan perpustakaan, walaupun tak jarang guru seenaknya mengubah lokasi semau mereka.

Apa itu merugikan para prefek yang melakukan piket? Tentu. Prefek jadi tidak bisa memantau, kelompok yang itu sudah 20 menit atau belum? Kelompok yang itu sudah mengambil jatah konsultasi pekan itu atau belum? Seperti itu lah.

Jisung ingat, Mark pernah mengusulkan supaya digunakan sistem paraf. Murid yang datang konsultasi harus menyerahkan kartu untuk ditandatangani guru, sebagai tanda dia sudah mengambil jatah. Lalu, apa respons guru?

"Berarti kami harus tandatangan di kartu sebegini banyak murid?" katanya dengan tampang mengejek. Benar-benar. Begitu keluar dari ruang guru, Mark langsung ditraktir makan teman-teman kelasnya, ingin menghibur Mark yang sudah mau jadi tumbal. Mereka juga merasa kasihan pada Mark yang harusnya sudah fokus mempersiapkan ujian tapi malah dipusingkan oleh piket dan segala macamnya.

Kalau dipikir-pikir, Jisung belakangan ini sering menghela napas. Ya, terlalu banyak hal yang dipusingkannya juga. Mulai dari masalah akademiknya, lalu masalahnya dengan ketua prefek, lalu yang terakhir hubungannya dengan— oh, hapenya bergetar. Dia buru-buru mengecek dan rupanya itulah notifikasi yang ditunggu-tunggunya dari pagi.

[Ketemu? Bukannya hari ini jadwal konsultasi asramamu?]

Jisung menggigit bibir, sadar orang yang tengah dihubunginya ini sepertinya malah lebih hafal mengena jadwalnya. Dia segera mengetikkan balasan setelah memastikan gurunya sedang tidak memerhatikan seisi kelas.

[Iya, aku baru ingat. Tapi tidak apa-apa. Sebentar saja. Bisa? Pukul 5.]

[Pukul 5? Oh, kita tidak akan ke luar sekolah ya? Kukira! Bisa, bisa!]

Senyum tanpa sadar ditariknya begitu membaca balasan chatnya yang datang lumayan cepat. Kalau bisa, dia malah ingin memajukan waktu janjiannya jadi sekitar pukul 3 atau 4, tapi jam segitu dia masih ada sesi olahraga tambahan yang sifatnya wajib untuk kelas 1, dan opsional untuk kelas 2.

"Park Jisung, tolong hapenya disimpan!" teguran yang kedua akhirnya membuatnya dengan terburu-buru mengantongi hapenya itu. "Di tas!"

"Baik!"

Oke, memang Haechan sudah diberitahu Chenle sebelumnya. Guru di sana itu malas-malas. Mereka jarang memberi tugas karena malas mengoreksi, tapi gantinya, sekalinya mereka memberi tugas, mereka memberi tugas yang benar-benar merepotkan.

"…apa tadi katanya? Membuat tafsir puisi lama paling sedikit selembar A4 bolak-balik?" Haechan mengulang instruksi dari guru bahasa Inggris yang baru saja meninggalkan kelas, yang artinya kelas untuk hari itu sudah berakhir.

"Dan untuk tiap orang, puisinya tidak boleh ada yang sama…." Renjun yang duduk di belakangnya menambahkan. Itu makin membuat Haechan ingin menjatuhkan saja barang-barangnya yang memenuhi meja. Oh, ayolah. Ini baru hari keduanya belajar di sana. "Makanya jangan pindah ke sini."

Haechan merengut. "Bukan mauku juga pindah sekolah!"

"Haha. Jangan seperti itu, Njun." Jaemin yang sejak mengikuti pelajaran di kelas mood-nya terlihat membaik itu sekarang juga sudah ikut menimpali. "Sepupuku juga bilang walaupun harus jadi murid pindahan, dia ingin mencoba sekolah di sini. Mungkin karena klaimnya soal masa depan terjamin kalau sudah bisa lulus ujian masuknya."

"Tapi sekolah di sini itu sudah bukan masalah mencoba… sekali masuk, kita tidak bisa keluar gara-gara kontrak." Dia menghela napas, apalagi ketika dia ingat lagi ketika pertama masuk ke dalam ruang ujian, yang pertama terpampang di mejanya adalah sebuah kertas perjanjian untuk terus menyandang status pelajar Akademi Onct sampai lulus jika diterima. Dalam hati, dia yakin kalau tidak ada kontrak itu, pasti sekolah ini sudah kehilangan lebih dari setengah muridnya.

Jaemin yang tidak ingin membicarakan soal kontrak itu lebih jauh lagi mulai beralih pada Haechan. "Eh, kalau kesusahan mengerjakan PR, kamu bisa konsultasi kok."

"Tapi ada jadwal dan jatahnya kan?"

"Oh, kamu tahu ya?"

Haechan mengangguk, dan menjelaskan kalau dia sudah dengar dari Chenle. "Hanya 20 menit kan?"

"Iya… tapi kamu lebih enak lho. Soalnya kamu bukan prefek," katanya. "Prefek harus piket, jadi kita tidak bisa benar-benar mengambil jatah 20 menit itu."

Renjun mengiyakan dalam hati, sedangkan Haechan terlihat memikirkan sesuatu. Dia berdengung-dengung seakan ingin membuat Jaemin tahu ada yang sedang ingin dia katakan.

"Sebenarnya aku tadi ingin bertanya pada Chenle ya," katanya, setelah Jaemin bertanya. "Kenapa kalian tidak mengatur giliran dengan prefek Romawi?"

"G-Giliran? Giliran apa?"

"Maksudku, kalau yang melakukan piket saat konsultasi Yunani adalah prefek Romawi, prefek Yunani jadi bisa ikut konsultasi kan? Kenapa tidak seperti itu saja?"

Hmm… jadi mereka bertukar deskjob, begitu? Iya, itu memang ide yang bagus, dan mereka sempat terpikir juga soal itu. Tapi….

Jaemin dan Renjun saling melempar pandang. Kalau memang ingin melakukan itu, berarti harus ada perwakilan mereka yang… menyampaikannya pada pihak Romawi kan?

"Ditolak."

Begitu kata ketua prefek Romawi, Lee Jeno, ketika adik kelasnya si Jisung itu membicarakan konsultasi untuk hari Rabu ini. Oh, apa Jisung juga sedang membicarakan soal giliran? Iya, tapi yang dia minta ini hanya supaya tiap jadwal konsultasi, hanya dua prefek saja yang piket. Seorang lagi memaksimalkan durasi 20 menit yang pendek itu dan ini dilakukan secara giliran, menghindari rasa dicurangi.

Tapi ternyata tuan Jupiter ini tidak setuju.

"Kenapa, kak? Apa kakak tidak merasa kesulitan mengerjakan tugas?" dia mengerang, masih menolak untuk menyerah.

"Kesulitan itu relatif. Tugas-tugasnya sejauh ini bisa kuselesaikan dengan kurang dari 10 menit konsultasi. Jadi aku percaya kamu juga bisa melakukan itu."

Kurang dari 10 menit konsultasi? Jisung tiba-tiba merasa sangat bodoh di sana. Kenapa Jeno tidak kepikiran, Jisung sampai mengusulkan untuk mengadakan giliran, itu karena dia merasa butuh konsultasi lebih dari 20 menit!

Jeno jelas melihat Jisung menahan diri untuk membalas kata-katanya. "Ayolah. Kamu prefek. Tanggung jawab itu penting. Kalau sudah tahu ada hal semacam piket ini, seharusnya kamu juga lebih pintar-pintar mengatur waktu," katanya sambil beranjak dari kursinya lalu menepuk pundak si adik kelas. "Atau paling tidak, beri usulan yang lebih bisa kuterima."

Jisung tidak membalas apa-apa. Dia hanya mengunci mulutnya, menatap tanah. Dia tidak menahan Jeno yang sekarang sudah berjalan menuju pintu keluar, padahal Jisung sebenarnya merasa pembicaraannya belum selesai. Di saat-saat seperti ini, dia ingin sekali meminta Jeno turun dari jabatannya dan menyerahkannya pada Mark….

Jisung masih belum kepikiran untuk pergi dari sana bahkan setelah bermenit-menit terdengar suara pintu yang ditutup –Jeno sudah keluar. Dia saat ini ada di ruangan kecil di bagian belakang gedung kelas jurusan Romawi yang dikhususkan untuk prefek, baik prefek Romawi maupun Yunani. Ya, di gedung kelas Yunani juga ada ruangan yang sama, dan semua prefek dari kedua jurusan boleh masuk, walaupun pada akhirnya jarang terlihat prefek dari lain jurusan yang menggunakan.

Tapi kali ini adalah kali pertama setelah sekian lama prefek dari jurusan sebelah terlihat di sana. Ketika Jisung akhirnya mulai terpikir untuk kembali ke asrama untuk ganti baju dan lanjut mengikuti sesi tambahan hari itu, dia lihat ada dua siswa berdasi hijau dan badge bordir berwarna sama terpasang rapi di pundak mereka, ada di depan ruangan –mereka hendak mengetuk, tapi pintu keburu dibuka dari dalam.

"Kak—!"

"Jisung!" seru salah satu dari mereka, Jaemin, ketika melihat siapa yang membuka pintu. Jisung tersenyum lebar mendapati Jaemin sekarang mulai menepuk-nepuk bahunya layaknya kakak pada adik –walaupun tadi dia menjadi orang kesekian yang terus menerus memotong omongannya. "Err…Hanya ada kamu di sini?"

"Iya, kak Mark ada jadwal les di luar," jawabnya, yang lalu membuat Jaemin menghela napas lega. "Lalu tadi kak Jeno baru saja pergi." Dan dilanjutkan dengan yang seorang lagi, Renjun, melakukan hal yang sama. Jisung merasa sedikit aneh, tapi tidak dia pikirkan lebih jauh. "Memang ada apa, kak? Mau masuk?"

"Mau sih… tapi kamu sedang sibuk tidak? Kita… mau bicara lumayan panjang sebenarnya."

Sekali lagi diingatkan, Jisung ada jadwal sesi tambahan yang wajib diikuti kelas 1 Romawi. Dengan berat hati, Jisung bilang dia masih harus pergi ke tempat lain tanpa menjelaskan lebih jauh apa yang mengharuskannya pergi. "Kalau memang penting, aku bisa minta kak Jeno ke sini. Kurasa dia belum jauh."

Jaemin awalnya ingin segera mengiyakan, tapi Renjun menahan. "J-Jangan!" katanya. "Kak Ares, eh, kak Mars saja!"

"Apa sih, Njun! Dia lagi les! Jangan diganggu!" Jaemin menyikut.

"Tapi kak Mars lebih gampang diajak diskusi!"

Mereka terus berdebat, tidak menyadari Jisung sekarang sudah mulai menghubungi ketuanya. Walaupun Renjun tadi meminta Mark saja yang datang, bagaimanapun ya itu mustahil. Seperti kata Jaemin, mereka tidak seharusnya mengganggu jam belajarnya.

"Ah, halo kak? Maaf, bisa ke ruangan lagi tidak?" katanya, cepat, ketika panggilan teleponnya sudah diangkat dari seberang sana. Renjun sudah akan berteriak kalau Jaemin tidak membekap mulutnya. "Tidak, ini ada kak Juno dan—…."

"JUNO?"

"I-Iya…." Jisung menjauhkan hapenya dari telinga. Telinganya pengang karena lawan bicaranya tiba-tiba mengeraskan suaranya. Cukup keras sampai dua tamunya itu mendengar, terlihat dari Renjun yang mulai menangkupkan wajahnya dengan tangan sambil menghela napas keras-keras, lalu juga Jaemin yang mulai menggigit bibir, berusaha menahan untuk tidak tertawa. "Kak Jeno sekarang di mana? Kalau masih dekat bisa—"

"Dekat. Gerbang depan."

"Gerbang depan? Itu jauh."

"Dekat!" dia bersikeras, jadi Jisung hanya bisa mengiyakan dengan suara lemah ketika dia minta untuk menunggu sebentar, lalu menutup teleponnya.

"Kak Jeno akan segera kemari… katanya bakal cepat, tapi… entahlah." Jisung membayangkan seberapa jauh gerbang depan sekolahnya ke ruang paling belakang gedung Romawi, yang entah kenapa diklaim dekat oleh sang Jupiter. Dia lalu melihat jam di sana. "Hm… sepertinya aku benar-benar harus pergi sekarang. Kalian bisa menunggu di dalam."

.

.

.

TBC

a/n. mau coba up ini di ffn hmhmhm. Review dong wkwk