Matahari kian membenamkan diri di kaki langit barat. Semburat oranye bercampur warna merah perlahan menghapus warna biru yang ada di sana.

Membuat bayang sepasang anak manusia yang berjalan di bawahnya tampak lebih panjang. Keduanya melangkah berdampingan meski hening lebih mendominasi dari suara angin sekalpun.

Namun sungguh. Situasi ini sangat tidak menyenangkan. Naruto masih tak mengerti mengapa Satsuki terus mendiamkannya sedari tadi--tidak--lebih tepatnya semenjak kemarin.

Haaaah ...

Naruto menghela napasnya.

Sampai kapan mereka akan terjebak dalam atmosfer seperti ini?

"Kau tak merasa dingin?" Sela Naruto membuka suara.

Satsuki tampak seketika memeluk tubuhnya, tetapi jawaban yang keluar dari mulut gadis itu justru cukup kontradiksi.

"Tidak. Aku kan memakai sweater."

"Oh ..."

Kembali hening merajai.

Naruto mencoba sekali lagi membuka suara. Sebenarnya ada yang mengganjal di hatinya dan ingin ia tanyakan sedari tadi.

"Daiki ke mana? Tumben kau pulang sendiri, Satsuki?"

Biasanya pemuda berkulit tan itu sudah seperti bodyguard Satsuki yang selalu mengikuti kemanapun Satsuki pergi.

"Aku bukan anaknya, Naruto-kun. Dan dia juga bukan anakku. Lagi pula Dai-chan punya kaki untuk berjalan kemanapun dia mau. Tak harus aku di sini dan dia juga di sampingku kan?"

Jawaban Satsuki terdengar agak ketus. Naruto menggaruk-garuk rambutnya. Ia sama sekali tak mengerti. Rasanya sikap Satsuki memang jauh berbeda sekarang. Ini sangat aneh.

Sampai di ujung jalan, Naruto akhirnya terpaksa membiarkan Satsuki pulang sendiri, lantaran tawaran mengantar darinya ditolak mentah-mentah oleh pemilik iris fuchsia tersebut.

"Aku mau mampir ke minimarket. Nanti agak lama. Jadi kau pulang saja," ujarnya.

Akhirnya, mereka pun berpisah di sana.

.

.

.

Dentum suara pantulan bola pada lantai terus mewarnai pendengaran semua orang yang ada di gimnasium. Terdapat sepuluh anggota tim tengah berlatih. Di sana, Daiki terlihat mendribel bola dengan kecepatan tinggi, disertai crossover manakala dirinya hendak melewati pemain lawan latihannya.

Pemuda berkulit tan itu memang memiliki bakat yang luar biasa. Namun selalu ada kekurangan dari semua kehebatan yang dimiliki seseorang, bukan? Lelaki berambut biru gelap itu mempunyai ego yang cukup tinggi untuk sekadar mengoper bola pada temannya, kentara tipikal seorang ace.

Dari pinggir lapangan, Satsuki mengamati jalannya latihan dengan mencatat beberapa aspek yang masih menjadi kekurangan bagi tim. Dalam pikirannya, bisakah Too mengalahkan Shutoku yang memiliki Shoting Guard yang mampu menembak dari segala arah dengan jarak mana pun? Bagaimana pun, latihan kali ini, strategi mereka pada pertandingan berikutnya harus lebih baik dari kemarin. Selepas pertandingan melawan Shutoku, maka persiapan untuk memasuki fase liga di mana terdapat Rakuzan yang sudah lolos terlebih dahulu, kemudian Yosen, lalu masih ada dua tempat yang akan di perebutkan oleh Seirin dan Seiho, serta Too dan Shutoku yang akan bertanding lusa.

Priiiittt ...

Waktu istirahat pun tiba. Satsuki segera menyiapkan banyak minuman energi untuk seluruh pemain.

"Momoi-san,"

Satsuki menoleh kala namanya disuarakan oleh sosok pria berambut ikal seraya berjalan mendekat.

"Ya, Pelatih?" Gadis berambut merah muda itu segera merespons.

"Bagaimana dengan pendaftaran manajer baru?"

Satsuki mengangguk sebagai jawaban. Sungguh, sejujurnya ia merasa resah karena sampai kini masih belum ada yang menghubungi ponselnya. Cukup berbeda dari tahun di mana ia mendaftar dulu.

"..., tetapi sampai sekarang masih belum ada yang mendaftar," Satsuki menghela napas."apa tim basket tak menarik lagi ya?" benaknya.

Beberapa meter dari posisi Satsuki dan pelatih, tampak Naruto duduk di lantai sembari meluruskan kaki. Ia tak mampu menulikan pendengarannya. Dari sana sosok pirang tersebut mengetahui topik apa yang sedang dibicarakan oleh sang pelatih dan gadis itu.

Merasa dapat membantu ... Naruto akhirnya bangkit, kemudian berjalan mendekati mereka.

"Sepertinya aku tahu, seseorang yang mau menjadi manajer."

Satsuki menoleh menatap Naruto, "Naruto-kun,"

"Kalau begitu bisa panggil dia sekarang?" Katsunori berujar dengan nada biasa. Klub basket ini bisa segera memiliki manajer baru, maka lebih baik sekaligus untuk regenerasi apabila Satsuki harus dipensiunkan.

Pemuda berambut pirang itu mengangguk, kemudian menoleh ke arah Satsuki, lalu memberikan seulas senyum hangatnya.

Selanjutnya Naruto berjalan cepat keluar gimnasium.

"Dia ada di kelas berapa ya?" Dalam hati Naruto bertanya.

Dan tiba-tiba langkahnya terhenti, tak jauh dari pintu, gadis yang ia cari secara kebetulan sedang duduk-duduk di depan kursi panjang yang ada di samping pintu masuk gimnasium.

Inikah keberuntungan?

"Sara!"

Gadis berambut berma tersebut tak ayal langsung menoleh.

"Naruto-senpai?"

"Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa kau sendirian saja?" tanya Naruto. Pandangannya lalu mengedar; mengamati sekitar di mana sama sekali tak ada orang lain.

"A-aku ...," tampak gugup, terlihat Sara saling menautkan jari telunjuknya di depan dada.

"..., iya?"

"A-aku tidak sengaja membaca selebaran klub basket,"

Seketika itu senyum lebar Naruto mengembang. Ini memang sesuai dugaan. Tanpa menunggu lebih lama, Naruto segera menarik tangan Sara untuk mengikutinya.

"N-Naruto-senpai?"

"Jangan banyak tanya. Ikut saja," balas Naruto menarik Sara masuk ke dalam gimnasium.

.

Suasana di dalam masih ramai lantaran jam istirahat mereka belum usai. Tatapan heran dan terpukau tertangkap jelas dari hampir semua anggota tim.

"Pelatih, aku merekomendasikan temanku untuk menjadi manajer." Naruto berujar tepat beberapa meter di hadapan pria tampan yang dulu pemain inti tim basket Jepang itu.

Rupanya, sedari tadi pandangan sang pelatih telah terarah pada Sara. Dari wajah cantiknya jelas menyiratkan rasa gugup, tetapi di samping itu, ia pula melihat suatu kemauan yang cukup besar.

"Perkenalkan dirimu,"

Sara menegakkan badan, dan membungkuk. "Pe-perkenalkan, na-nama saya Akasuna Sara. Saya ingin mengajukan diri sebagai manajer klub basket," ucap Sara masih dengan kegugupannya yang belum reda.

"Bersedia kamu memberikan komitmen tinggi untuk klub?" ujar kembali sang pelatih.

"Sa-saya bersedia memberikan komitmen tinggi!"

"Baiklah, kamu diterima." Katsunori berujar dengan nada bicaranya yang bersahabat.

Untuk sesaat netra Sara membulat. Namun tidak lama, sampai ia menyadari bila ini nyata. "Su-sungguh?" Sara bertanya sekali lagi, kemudian menatap Naruto yang tersenyum .

Mendengar perkataan sang pelatih, membuat Satsuki langsung menoleh ke arah pria dengan rambut ikal itu.

"Momoi-san, ini rekan barumu, bekerja samalah."

Satsuki memberikan senyuman. Tak benar-benar tulus, karena faktanya, ia terpaksa melakukannya.

"Mohon kerja samanya, Sara-san," ucap Satsuki membungkukkan badan.

"Mohon kerja samanya juga, Momoi-Senpai," balas Sara.

"Mohon perhatian!" Sang pelatih meraih perhatian semua anggota klub basket, "perkenalkan dirimu pada mereka," pungkasnya usai mendapat atensi penuh.

"Pe-perkenalkan, nama saya Akasuna Sara, manajer baru klub basket Too Gakuen. Mohon kerja samanya!" Sara memerkenalkan diri dengan formal.

"Mohon kerja samanya!" Jawab anggota klub bersama-sama.

Ini adalah awal, sudah sangat wajar bila Sara masih merasa canggung dan malu-malu.

"Istirahat selesai, kembali ke lapangan!" Sang Pelatih memberi instruksi pada para pemain, "Momoi-san, tolong kamu atur pekerjaan seorang manajer," pungkasnya kemudian.

Satsuki mengangguk kemudian mulai memberikan penjelasan lebih lengkap mengenai pekerjaan seorang manajer pada Sara.

Sebelum memasuki area lapangan, dari jauh Naruto sempat mengangguk, dan mengepalkan tangannya guna memberi semangat pada Sara, "Ganbatte,"

Sara yang menyadari itu kontan tersenyum. Semu merah jambu tak luput menghias pipinya, yang tentu dilihat jelas oleh mata Satsuki yang sedang mengajaknya berbicara.

"Ehem!"

Satsuki berdeham.

Sara menggaruk kepala, dan kembali mendengarkan penjelasan Satsuki.

.

"Aaah ... segar,"

Naruto meraup air yang mengalir jernih dari keran dan membasuhkannya ke muka. Terasa dingin, pun segar. Selepas latihan, ia memang biasa ke tempat ini mengingat lokasinya yang tak jauh dari gimnasium.

Di sampingnya, Daiki tampak mengusap wajahnya yang basah dengan kaus. Bocah itu selalu saja. Lupa membawa handuk, dan dengan terpaksa Naruto harus meminjamkan handuknya untuk kesekian kali.

"Kau ini. Bukankah Satsuki sudah sering mengingatkanmu?"

"Hn ...?" Daiki menoleh pelan dengan wajah tanpa bersalah.

Haaah ...

Dasar.

"Jangan lupa kembalikan pada Satsuki." Naruto melempar handuknya.

Dengan mudah Daiki menangkapnya. Ia langsung menggunakan handuk itu sebagaimana mestinya.

"Pada Satsuki, atau pada manajer baru pilihanmu?" Lanjut Daiki disertai lirikan aneh.

"Huh?" Kening Naruto tak pelak mengerut.

Tampak seringai timbul di bibir pria berambut biru gelap itu.

"Jangan pura-pura, Naruto. Kau menyukainya kan?"

"Hah?"

"..., dia. Si Akasuna itu."

"Jangan bercanda. Aku hanya ingin membantu Satsuki. Lagi pula apa kau tak kasihan padanya? Dia selalu melakukan semua seorang diri. Kau teman masa kecilnya kan? Kenapa kau sangat tidak peka?"

"..." Entah mengapa Daiki hanya diam.

"Mmm ... baiklah. Kalau begitu aku mau ambil tas dulu? Kau masih ingin di sini?"

Terlihat sejenak berpikir, Daiki lalu merangkul bahu Naruto

"Tentu aku ikut, Bodoh."

Mereka pun pergi ke gimnasium bersama.

.

Bangunan kokoh di mana telah melahirkan banyak bakat dalam cabang olahraga basket itu tak memberikan kesan ramai seperti beberapa saat lalu, ketika jam latihan belum berakhir.

Di depan gimnasium, Naruto berjalan dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala. Sedang Daiki melangkah di belakangnya sembari membenahi celana. Seulas senyum terpatri di wajah tampan bermimik kalem manakala mendapati Satsuki masih terlihat semangat merapikan botol-botol minuman yang berserakan di pinggir lapangan. Ya, mau apa pun yang dilakukan gadis itu, eksistensinya selalu mendapat atensi lebih dari Naruto. Pandangan pemilik iris biru itu selanjutnya beralih pada sosok manajer baru klub yang tengah mendorong keranjang besar berisikan puluhan bola basket.

Melihat seorang perempuan melakukan pekerjaan berat sendirian, hatinya tak bisa untuk tidak bersimpati. Langkah Naruto langsung beranjak cepat untuk membantu gadis berkacamata tersebut.

"Ayo," seiring senyum ramahnya, Naruto berujar pada Sara untuk membawa keranjang penuh bola itu menuju gudang.

"Naruto-kun?"

Dari sudut lain gimnasium, Satsuki tanpa sengaja melihatnya. Tangannya bergerak pelan untuk mengepal. Rasa seperti tercubit. Perasaan macam apa ini? Mengapa ia tiba-tiba merasakan sakit?

Satsuki memalingkan wajahnya, mencoba untuk tidak menghiraukan kedua orang itu dan fokus memungut botol-botol di hadapannya.

Gadis berambut merah jambu tersebut mulai mengangkat satu rak, namun gerakannya tiba-tiba terhenti saat sepasang tangan berkulit tan langsung menumpuk kedua rak botol itu dan membawanya sendirian.

"N-Naruto-kun?"

Satsuki sontak terkejut, mendapati pemuda itu sudah berada di dekatnya. Rasa kesal yang beberapa saat lalu hinggap kini menguap entah ke mana.

"Setelah ini mau pulang bersama?" Ujar Naruto sambil tersenyum.

Satsuki memalingkan wajah, lalu mendapati Sara berdiri di depan pintu gimnasium. Hal tersebut memutar kembali ingatannya ketika melihat Naruto di peluk erat oleh Sara.

"Ti-tidak. Aku tidak mau merepotkanmu," sanggah Satsuki, perasaan tidak mengenakkan kembali hinggap di hatinya.

"Merepotkan? Aku tidak merasa direpotkan,"

"Iya, tapi aku bisa pulang sendiri."

"Aku tahu itu. Aku hanya ingin berjalan di sampingmu."

Langkah Satsuki mendadak terhenti.

Naruto yang selangkah di depannya, akhirnya berbalik.

"Kau memaksaku?"

"Tidak. Aku hanya akan berkata sampai kau mengiyakannya."

Walau sekilas tampak kalem, bila dikenal lebih jauh, maka Naruto adalah sosok yang tak ada beda dengan sahabat samasa kecilnya. Pemaksa.

Satsuki menghela napas panjang ...

"Aomine-senpai?"

Seketika, Naruto, pun Satsuki menoleh mendengar suara feminin melafalkan nama itu, pelan. Mereka menoleh ke arah Sara yang mengucap nama tersebut.

"Satsuki, kau pulang saja dulu. Aku ada remedial," Daiki langsung berlalu selepas mengucap kalimat tersebut.

"T-tunggu, Dai-chan!" Satsuki memanggil, tapi Daiki tak menghiraukannya dan terus berjalan.

"Dia pasti jengkel terus-terusan berada dalam daftar siswa remedial," Naruto berujar sambil menggelengkan kepala. Setidaknya ia bisa sedikit bersyukur lantaran hanya sekali namanya tercatat dalam daftar mimpi buruk siswa itu, "jadi tak ada alasan lagi kan, untuk menolak ajakkanku?" pungkas Naruto, yang kemudian menoleh ke arah Sara, "kau juga ingin pulang bersama, Sara?"

Sara menggelengkan kepalanya pelan, "La-lain kali saja, Senpai. Hari ini aku ada janji pergi ke toko buku dengan temanku,".

"Ah, begitu. Ya sudah, sampai besok. Ayo, Satsuki," Naruto mengajak Satsuki menuju ruang klub untuk segera meletakan botol-botol yang ia bawa.

.

Berjalan berdua dalam diam sama sekali bukan sesuatu yang Naruto suka. Sepasang iris birunya sedikit melirik ke arah Satsuki yang menatap anak kecil berjalan dengan es krim batang dalam genggaman. Lucu, pikir Naruto melihat wajah ingin Satsuki. Pemuda pirang itu mendapatiminimarketbeberapa meter di depannya.

"Tunggu sebentar," ujarnya kemudian segera masuk ke dalam.

Satsuki hanya berdiri memandang pintumini market,tak tahu apa yang Naruto cari di sana. Apakah majalah Horikita Mai seperti yang sering Daiki beli, atau cup ramen limited edition yang sering sekali laki-laki itu makan di hari libur?

Pintu terbuka, terlihat Naruto yang kembali dengan membawa sebungkus es krim two in one rasa vanila. Pemuda itu membuka bungkusnya kemudian segera membelah rata es krim tersebut.

"Ini," seraya tersenyum Naruto menyodorkan camilan yang sangat cocok untuk hari yang cerah.

"Te-terima kasih,"

Fantasi dalam pikirannya membayangkan betapa romantisnya memakan es krim berdua bersama seseorang yang disuka.

Naruto menikmati es krim itu sembari berjalan, "hmm~ es krim memang salah satu untuk membangkitkan mood-ku," lanjutnya kemudian.

Satsuki memandang pemuda itu dengan heran, bila mood Naruto sedang kurang baik mengapa bisa terlihat biasa saja? Pikir perempuan manajer klub basket Too Gakuen tersebut.

"Mau ke game center?" tiba-tiba Naruto menawarkan hal yang tak pernah sekali pun Satsuki pikirkan.

"A-apa?" Satsuki terperangah, ini pertama kali Naruto mengajaknya berkencan, sejak pemuda itu bergabung dengan klub basket.

Pssst

Wajah Satsuki merona lantaran kata kencan yang terbesit dalam pikirannya. Jalan berdua, bergandengan tangan, tertawa bersama, lalu bercium— cukup, Satsuki tak mampu membayangkan fantasi aneh dalam pikirannya. Ia memang menyukai Naruto, tetapi bagaimana dengan pemuda itu? Satsuki tak tahu perasaan si pirang itu berada untuk siapa.

Satsuki mengangguk, "uhm, tapi jangan terlalu lama, aku ada pekerjaan rumah,"

"Baiklah, ayo kita bersenang-senang!" Naruto berujar dengan semangat sembari sesekali menyesap es krim vanilanya.

Senyum Satsuki mengembang mendapati semangat laki-laki yang ia sukai itu.

.

"Jangan malu-malu, Satsuki! Hahaha!"

"Ahh! Ini mengasyikkan! Kyaaa!"

Senyum kian merekah menghias wajah Satsuki dan Naruto, keduanya terlihat menikmati tarian yang mereka lakukan guna memenangkan permainan Dance-Dance Revolution yang cukup terkenal. Kedua kaki mereka menekan tiap tombol yang berfungsi sebagai penggerak karaktergameyang mereka mainkan, seiring dentuman musik energik yang memicu mereka untuk bergerak lebih dan lebih cepat.

"GAME OVER!"

"Yah?! Kita kalah?" Satsuki berujar kala tulisan itu tertera di layar.

"Sudahlah, kita memang tak pandai menari," Naruto berucap dengan senyumnya yang tak kunjung luntur ketika melangkahkan kakinya di tempat ini bersama Satsuki, "sekarang kita bermain permainan yang pasti kita menangkan," Naruto berujar lalu menautkan jemarinya pada jemari Satsuki. Ini benar-benar seperti apa yang gadis itu fantasikan sebelumnya, berkencan, bergandengan tangan, dan tertawa bersama.

"Basket?" Satsuki berujar saat melihat permainan freethrow.Kalau yang seperti ini sudah pasti mereka akan memenangkannya.

"Kita akan memanen banyak tiket hadiah di permainan ini," ujar Naruto lalu menggesekkan kartu permainannya, "kau duluan Satsuki,"

Gadis itu menggeleng, "Natruto-kun duluan,"

Lelaki pirang itu mengangguk kemudian segera menekan tombol mulai dan bel tanda dimulai pun berbunyi.

Blesh! ... Blesh! ... Blesh! ...

Naruto segera melemparkan bola demi bola ke dalam ring dengan sangat cepat dan akurat. Pemuda itu memang cukup ahli dalam menembak bola untuk jarak 2 angka, terlebih jarak ini lebih dekat dari freethrow pada umumnya.

Satsuki memandang kagum Naruto yang berhasil memasukkan banyak bola ke dalam ring dalam waktu dua menit yang disediakan mesin permainan.

"Sekarang giliranmu, Satsuki," Naruto berujar kemudian menggesekkan kembali kartu permainannya. Gadis manis itu mengangguk kemudian menembakkan bola demi bola, namun tak semua bola berhasil masuk. Melihat hal tersebut Naruto memosisikan dirinya berada di belakan Satsuki.

"Form yang kau gunakan untuk menembak itu tidak bagus, pastikan bola setara dengan dahimu, lalu antara jari tengah dan jari telunjukmu adalah arah pembidik arah bola yang akan kau tembakkan," Naruto berujar pelan, posisi tubuhnya tampak memeluk Satsuki dari belakang, dengan punggung satsuki bersandar di dadanya.

Bagaimana perasaan Satsuki sekarang? Tentu ini melebihi dari apa yang ia pikirkan, tak pernah tersirat olehnya bahwa Naruto akan melakukan tersebut. Gugup tentu saja ia rasa, debar jantungnya pun kian menggila sekarang ini.

"Nah, sekarang lemparkan dengan kekuatan secukupnya," Satsuki menuruti apa yang diujarkan Naruto.

Blesh!

"Yosh! Kita akan panen lebih banyak tiket!" seru Naruto kemudian menjaga jarak agar Satsuki melanjutkan sesuai dengan apa yang telah ia instruksikan.

.

Kini tampak Satsuki tengah duduk di salah satu meja. Kepalanya menunduk membaca tiap nama makanan pada buku menu, Naruto memutuskan untuk mengajaknya makan sebelum pulan sejak matahari terbenam beberapa saat lalu. Namun di mana Naruto sekarang?

Dari salah satu sudut restoran cepat saji tampak pemuda pirang dalam balutan seragam sekolah baru saja keluar dari toilet. Sepasang matanya memandang Satsuki tengah menunduk sambil membaca menu makanan, kemudian menggelengkan kepalanya, hal itu terjadi lebih dari satu kali. Memang menu apa yang membingungkan Satsuki untuk dipilih? Langkah kaki Naruto bergerak pelan menuju belakang gadis itu.

Sesampainya di belakang Satsuki, Naruto berusaha untuk membaca menu makanan yang terpampang dalam buku, tetapi tulisan terlalu kecil hingga ia tak bisa membacanya dari posisinya sekarang ini.

Naruto mendekatkan wajahnya tepat di atas bahu kanan Satsuki hingga wajahnya sejajar pada wajah gadis tersebut, ia ikut membaca menu makanan dengan posisinya saat ini, "burger, kentang gor—,"

Satsuki menoleh cepat lantaran terkejut dengan suara yang ia dengar persis dari sebelah kanannya, namun karena tak memperhitungkan jarak membuatnya ...

Cup!

... bibir Satsuki secara tak sengaja bersentuhan dengan pipi Naruto.

.

.

.

.

.

Bersambung

Howaaa, lama sekali rasanya tidak updatexD

selamat membaca