HUNjustforHAN
Presents
.
.
'De Retour'
.
.
Two Shoot
2/2
.
.
Throw your Cigarette. Sex with me. I'll make you burn cause I'm hotter than Hell.
.
.
.
.
.
.
Apa yang sebenarnya Luhan dapatkan dari sebuah keluarga? Dia tidak tau. Kenangan indahnya tidak tercantum.
Dia berasal dari keluarga yang gagal. Ibunya kabur menikahi seorang pengusaha berlian kaya raya saat Luhan umur 13, terlambat sadar bahwa cinta tidak memberikannya penthouse untuk tinggal, tapi wajah cantiknya melakukannya.
Dia ditinggalkan bersama seorang ayah miskin dan pemabuk, kemudian mendapatkan ibu tiri pemarah di tahun berikutnya, memaksa Luhan mengerti bahwa dia tidak dilahirkan untuk mencecapi sebuah keluarga yang harmonis.
Liburan musim panas hilang dari kalender.
Ayahnya mengemudikan sebuah truk angkutan yang membuatnya sering berada di luar kota, sementara ibu tirinya tidak memperlakukan Luhan dengan baik, dan entah bagaimana caranya tampak seperti hal wajar yang sudah seharusnya ibu tiri lakukan kepada anak tiri yang saling membenci.
Dia tidak bisa makan di dapur dengan tenang ketika wanita itu melemparnya dengan mangkuk nasi. Dia hanya mendapat makan malam bersama ketika ayahnya berada di rumah, itupun tidak memberi pengaruh banyak dan Luhan jijik pada daging ikan yang disampirkan ibu tirinya dengan senyuman palsu di sendoknya.
Dia tidak akan mengadu, karena tidak ada yang benar-benar peduli.
Untungnya, Rose tidak begitu. Adik tirinya berbeda dari ibunya. Pada tengah malam dimana ibunya telah tidur, Rose akan menyelinap ke kamarnya dengan semangkuk nasi dan lauk pauk bekas makan malam.
Gadis tujuh tahun lebih muda itu selalu meminta maaf atas apapun yang telah ibunya lakukan, Luhan selalu memaafkannya karena memang gadis itu tidak bersalah.
Lalu ketika Luhan berhasil menjadi pengacara berkualitas pada firma hukum yang cukup terkenal, dia menanggung seluruh biaya kuliah kedokteran Rose. Itu menghabiskan lebih dari separuh gajinya perbulan. Tidak masalah. Ini harga dari semangkuk nasi yang Rose selinapkan untuknya setiap malam.
Itulah mengapa terbentuk sebuah mimpi dalam imajinasi Luhan tentang keluarga kecil yang menyenangkan bersama Sehun.
Luhan tidak pernah merasa keberatan sebelumnya, karena dulu dia memiliki Sehun yang menanggung seluruh hidup maupun tidurnya. Dia mendapati paru-parunya mengembang dengan luas ketika Sehun memintanya menyimpan baju dan semua barangnya di samping lemari laki-laki itu, pergi jauh dari ibu tirinya yang tidak berperasaan. Hidupnya terjamin, apartemen yang bagus, seks basah liar yang membuatnya menyentuh awan.
Sehun mengajarkan Luhan bagaimana cara hidup layak. Dari cara berpakaian hingga cara menggunakan mulut untuk mengurus ereksi Sehun yang keras.
Pikirnya, dia bisa hidup seperti itu sampai mati bersama Sehun. Tapi nyatanya, di suatu malam pertengkaran mereka tidak terbendung lagi, Luhan mengutarakan mimpinya sementara Sehun datang langsung meledak, merusaknya dengan sangat lihai dan ahli. Luhan pergi dari laki-laki itu.
Dia juga merasakan penyesalan, tapi Sehun tidak pernah datang menjemputnya untuk memperbaiki segala kerusakan yang telah mereka perbuat. Karena nyali Luhan tidak cukup kuat untuk hadir di balik pintu apartemen Sehun. Dia tidak ingin menjadi pengemis lebih jauh. Mungkin Sehun sudah sangat muak dengan perempuan pengatur sepertinya.
Luhan mulai kesulitan.
Ibu tirinya semakin menjadi-jadi ketika dia pulang membawa koper besar. Luhan ingin melecut ke dasar sumur tapi dia tidak bisa bertahan lama di dalam air. Yang bisa dilakukannya hanya menyumbat telinganya dengan kapas dan tidak menggunakan otaknya saat di rumah.
Gajinya tidak cukup untuk menyewa apartemen baru – yang layak, karena sisa gajinya dihabiskan untuk dapur rumah itu dan tagihan-tagihan lain yang ditumpukkan di pundaknya.
Paru-parunya kembali mengkerut.
Malam ini, ketika dia tertahan di balik sabuk pengaman mobil Sehun, Luhan tidak banyak bergerak, seperti satu gerakan membuat mereka kembali hancur. Dia tidak mau semakin hancur pada laki-laki ini, tidak pula dengan menyerah.
Mobil berhenti tepat di depan tangga semen berlubang yang langsung menyambung pada pintu rumahnya di bagian paling atas.
Mereka tidak bicara. Luhan bingung apa yang bisa mulutnya ucapkan sementara Sehun fokus pada jalanan di hadapannya, seperti dia akan ditampar jika menoleh sedikit saja pada Luhan dan dia tidak menginginkannya
Tenggorokan Luhan bergerak meloloskan salivanya, mencoba melepaskan sabuk pengaman dan baru akan mengucapkan terima kasih ketika Sehun keluar dari mobil kemudian dalam sekejap sudah berdiri pada sisi pintu yang terbuka. Luhan menelan salivanya sekali lagi, mengapit kunci mobil di antara jemarinya yang basah.
Dia meloncat keluar untuk membawa kabur degup jantungnya, berdiri di celah pintu menemukan Sehun masuk ke dalam matanya dengan sesuatu yang tidak bisa diterjemahkan.
Rambut hitam lebat, jakun turun naik, krah kemeja abu-abu yang terbuka, Luhan harus berhenti sekarang dari seluruh sel gilanya. Sehun menjelma menjadi dosa yang tidak termaafkan, begitu licik diselubungi paras yang rupawan.
Menundukkan kepala, kontak mata mereka terputus. Rasanya aneh ketika Luhan menginginkan Oh Sehun masuk lagi ke matanya dan menetap.
"Terimakasih." Cicitnya, nyaris tidak terdengar. Melaju dengan langkah cepat sebelum merasakan nyeri menjalar di punggungnya, terhempas di badan mobil, melekat, hilang akal ketika sebelah tangannya di udara dalam genggaman Oh Sehun sementara mulutnya menyatu dengan mulut laki-laki itu.
Gashh! Keluarkan napas!
Luhan menarik kepalanya, menghindar, tapi Oh Sehun menemukan mulutnya lagi. Tangannya yang tersisa mendorong dada laki-laki itu, menghindar, dan Oh Sehun masih menemukan mulutnya dengan mudah, mengapit bibir bawahnya dan menghisapnya kuat.
Lututnya kembali mencair.
Apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki ini?
Sehun meremas pinggulnya agar Luhan tidak jatuh, semakin menekannya ke mobil sampai pukulan di dadanya berubah menjadi tarikan yang membuat kemejanya kusut.
Oh Sehun tidak peduli, lidahnya menerobos masuk ke dalam mulut Luhan dan senang saat lidahnya mendapat dorongan dari dalam.
Astaga!
Otaknya rusak. Oh Sehun ingin lebih dalam dan lebih terbakar. Dia ingin mencapai tenggorokan wanita itu sampai tidak ada rasa lain yang akan Luhan rasakan selain dirinya.
Keserakahan mencekiknya sampai ke tulang.
Perkembangan terasa melalui tangan Luhan yang pindah ke pinggangnya meskipun pekerjaannya masih sama; meremas kemeja Sehun sampai kusut. Tapi kali ini dia merasakan kekuatan yang lebih, Luhan menarik tubuhnya agar dia semakin dekat.
Mereka mungkin masih menginginkan satu sama lain. Sehun jelas iya. Itu merupakan sebuah pemikiran yang bagus dan bijaksana.
"Stophh!"
Kemudian berhenti.
Terengah.
Menarik diri.
Bangkit dari lubang keliaran.
"Tidak seharusnya ini terjadi."
Lalu bagaimana seharusnya? Mengapa Luhan bisa menyakitinya begitu cepat dalam cara yang sangat sederhana?
"Ini yang seharusnya terjadi."
"Tidak. Ini salah."
Memang ini salah. Apapun yang Oh Sehun lakukan selalu salah. Sehun tidak tahan lagi pada rindu yang mencabik-cabik hatinya, dia membuat onar dengan lidah di rongga mulut Luhan. Itu juga dianggap sebagai sebuah kesalahan meskipun Oh Sehun berteriak bahwa tidak ada yang salah dari lidah mereka yang membelit satu sama lain.
Sedetik lalu Luhan menariknya, sedetik kemudian Oh Sehun didorong menjauh.
Tangan Oh Sehun mengencang di sekitar rahang Luhan, sepenuhnya tidak terima pada keputusan gadis itu yang tidak memberikannya kesempatan untuk mengambil setitik penyelesaian.
Dahinya menempel di dahi Luhan, napasnya kasar, terburu-buru.
"Pulanglah bersamaku."
Luhan menegang. Sebuah planet luar tata surya datang menabrak lalu pecah di kapiler darahnya. Berserakan menjadi puing-puing kerikil panas, melebur menjadi timah, siap menghancurkannya melalui saluran terkecil yang dimiliki manusia.
"Oh Sehun, ini di luar akal sehatmu. Kau tidak menginginkanku lagi." Tidak setelah Luhan mendapati Sehun bercumbu dengan gadis pirang sebagai salam pembuka mereka beberapa jam yang lalu. Itu cukup menyakitinya sampai ke tulang.
"Aku tidak akan berada disini untuk memohon padamu jika benar aku tidak menginginkanmu lagi."
"Aku melihatmu hidup dengan baik. Kau hanya perlu melanjutkannya, ada tidaknya aku bukan masalah serius. Masih banyak perempuan yang bisa melayanimu sampai puas. Perempuan pirang itu akan memuaskanmu."
"Sialan! Kau tidak sebodoh itu, Luhan! Kau sadar bahwa hidupku rusak! Bagian mana yang baik-baik saja?! Bagian aku yang berpura-pura terlihat senang dan puas di matamu?! Sekali lagi kukatakan kau tidak bodoh!"
"Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba marah saat aku tidak melakukan apapun untuk mengusik hidupmu lagi?"
"Itu! Kau mendapatkan poin-nya. Aku marah karena kau berhenti mengusik hidupku dan aku membencinya! Kau tau aku berbohong tapi bertingkah seolah kaulah korban yang tidak tau apa-apa, yang telah dibohongi dengan sangat kejam! Aku tidak menikmati hidupku dan aku harus berteriak seperti ini hanya untuk membuatmu paham! Kau adalah wanita paling egois yang pernah kutemui seumur hidup!"
Bagus! Oh Sehun akan menghancurkan semuanya lagi dengan kata-katanya. Kenapa dia tidak pernah belajar?
"Lalu kenapa baru muncul sekarang?! Kau tersesat selama tiga tahun?! Aku menunggumu setiap malam di tempat yang sama! Dan kau tidak pernah menemuiku untuk membicarakan ulang semuanya agar kita tidak rusak! Aku tau itu kesalahan kita berdua, tapi kau pergi seperti pengecut dan meninggalkan aku sendirian! Lalu sekarang ini semua menjadi salahku? Wow! Kau hebat Oh Sehun. Kau sangat hebat dalam hal menyalahkan orang lain. Dan kau adalah pengecut nomor satu yang ada di muka bumi!"
Oh Sehun mengangkat kepalanya, menarik napas dalam-dalam karena kabut di antara mereka semakin tebal. Dia tidak butuh hujan, Oh Sehun tidak butuh sebuah tangisan. Mereka menjadi bayangan kelabus dalam sekejap.
Oh Sehun hanya butuh sebuah pemahaman tentang seberapa kacaunya dia saat bertemu Luhan lagi dan seberapa dia ingin mengakui kesalahannya dengan benar tapi tidak tau cara melakukannya. Oh Sehun sangat buruk dalam hal ini, dia mengaku dengan sangat rendah diri meskipun tidak membantunya menjadi lebih bagus.
Hidungnya mencapai puncak kepala Luhan, sementara bibirnya jatuh di kening gadis itu. Lemah, halus, kalah. Terhempas pada titik nol.
"Oh Tuhan. Ini bukan apa yang kumaksud. Aku menghancurkan segalanya lagi. Aku tidak ingin bertengkar pada pertemuan pertama kita setelah tiga tahun tapi itu adalah apa yang kulakukan sekarang. Aku tidak ingin melihatmu menangis. Kumohon."
"Kau yang memulainya. Kau meneriakiku lebih dulu."
"Aku memang sampah. Tolong jangan menangis. Apa yang kumaksud dari semua ini adalah aku merindukanmu, dan jangan pergi meninggalkanku lagi. Aku seorang pengecut sialan yang tidak berani mengatakannya."
"Dan kau seharusnya tidak mengeraskan suaramu. Kau membuatku takut."
Dada Oh Sehun mengecil, menyusut seperti balon kehilangan udaranya. Pusat pengendaliannya remuk.
Bibir Luhan bergetar dan itu cukup menyalakan lampu peringatan bagi Oh Sehun bahwa dirinya benar-benar seorang keparat yang layak dikuliti hidup-hidup.
"Ikut denganku, Luhan. Banyak hal yang bisa kita bicarakan."
"Tebakanku ini akan menjadi pembicaraan yang sulit, dan, dan sudah terlalu larut untuk melakukannya, Aku-"
Kalimat Luhan tidak terselesaikan ketika mulut Oh Sehun kembali berhasil meraup mulutnya. Dia ingin menolak laki-laki ini, tapi sesuatu yang keras kepala di tubuhnya berkhianat, tangannya malah menarik pinggang Sehun untuk lebih menghimpitnya ke mobil.
Ya Tuhan! Oh Sehun masih sama berkuasanya seperti borgol.
Luhan tau mereka masih saling menginginkan. Dia tetap menginginkan Oh Sehun meskipun laki-laki itu baru saja berteriak di hadapannya, menakutinya, membuatnya ingin melarikan diri. Itu menjadikannya seekor rubah betina yang mabuk, gila dan tidak tau malu.
Persetan dengan semua itu!
Lidah mereka berputar-putar, kenyal, basah, roller coaster berkecepatan tinggi, terbalik, terjun bebas dari puncak tertinggi. Pinggang Oh Sehun menekannya, sengatan listrik melaju dalam volt besar, Luhan terkejut merasakan ereksi laki-laki itu menyenggol celah teratas kakinya, dia menggigil ketika Oh Sehun menusuknya dari luar.
"Oh Sehun!"
"Masuk ke mobil, kumohon."
Luhan mungkin tipe yang mudah terhasut, tapi bukan berarti dia tidak bisa menjelma sebagai teka-teka silang yang rumit dalam beberapa hal, Dia berada pada fase rumitnya ketika Oh Sehun memintanya masuk ke mobil secara baik-baik meskipun dalam kalimat terengah-engah setelah ciuman ganas yang rakus.
Tersadar seperti hentaman keras menampar wajahnya, Luhan panik. "Tidak." Menggelengkan kepalameskipun dia menginginkannya. "Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Ini terasa seperti obat yang sudah kadaluwarsa. Hubungan kita sudah tidak bisa lagi saling menyembuhkan. Aku harus menghindar." Jika tidak, aku akan jatuh ke pelukanmu lagi. Aku menjaminnya karena aku pemilik perasaan berdebar ini.
Oh Sehun tidak bisa menyalahkan siapapun, otomatis semua ini menjadi salahnya. Luhan sangat baik hati telah mengizinkannya menciumnya dan menambal sedikit robekan rindu yang begitu besar dalam jiwanya, karena Oh Sehun tidak pernah tumbuh sulur lagi sebelum bibirnya berhasil bergerak di atas bibir Luhan malam ini.
"Selamat malam."
Adalah hal terakhir yang Oh Sehun dengar sebelum Luhan berlari melewati pintu pagar biru usang dan membantingnya. Tidak apa-apa. Oh Sehun sudah dapat satu sulur hidup di jantungnya.
.
.
.
Rose cukup pintar dalam pelajaran, tentu saja, dia akan stress di usia 20 kalau tidak punya otak yang memadai untuk menjalani masa kuliah yang kelewatan padat. Menilik dari fakta tersebut, berarti perempuan yang melahirkan Rose seharusnya juga punya otak demikian. Tapi hal itu yang membuat Luhan bingung, tentang seberapa bodoh ibu tirinya memahami situasi untuk menggunakan mulutnya yang beracun pada waktu-waktu tertentu.
Luhan tidak mengharapkan belas kasihan, dia hanya punya permintaan yang sangat sederhana, tolong anggap aku tidak ada, hanya itu saja. Luhan tidak ingin membuat keributan di tengah malam sehingga atap rumah mereka tidak bocor lagi karena lemparan batu dari tetangga. Tapi ibu tirinya tidak sependapat.
Buku tagihan listrik menabrak dada Luhan ketika dia berharap tidak ada lagi yang membuatnya sesak. Ini hanya lemparan biasa, tapi kenapa membuat dadanya semakin sempit?
"Kita bisa bahas ini besok pagi. Aku lelah."
"Kau tidak perlu mengurusnya! Berikan aku uang yang cukup!"
"Aku tidak pegang uang cash! Besok akan kuberikan uangnya!"
Ya Tuhan! Bom dalam kerongkongannya siap meledak. Dia tidak ingin bertengkar lagi dengan siapapun, setidaknya sampai besok pagi, tapi perempuan itu bahkan menyentak tasnya ketika Luhan mencoba melewatinya seperti asap.
"Kau berteriak padaku!"
Tolong, jangan lagi. Luhan lelah.
"Aku tidak ingin bertengkar dan menjambak rambutmu. Bisakah biarkan aku lewat dengan tenang ke kamarku seperti biasa? Seperti kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya."
"Sialan! Berikan aku uangnya dan kau bisa lewat!"
"Apa kau tuli?! Aku hanya punya sepuluh dolar cash di dompetku untuk ongkos taksi besok pagi agar aku bisa sampai ke atm dan menarik uang sialan yang kau butuhkan!"
"Lihat mulut kotor itu! Kau pikir dengan siapa kau bicara!"
"Dengan wanita sialan yang menikahi ayahku! Kau mau apa?!"
Sikap sombongnya, Luhan sangat benci ketika wanita itu meletakkan tangannya di pinggang, seolah bumi berputar atas kontrolnya dan Luhan merasa sudah cukup muak pada semua omong kosong ini.
"Inilah yang tersisa! Anak kurang ajar yang pintar menyumpah! Cocok dengan ibunya yang gila pria kaya!"
"Tutup mulutmu sialan!"
Bom-nya meledak. Luhan lepas tangan, dia tidak akan mengontrolnya lagi. Satu-satunya yang Luhan butuhkan sekarang hanya pergi. Dia tidak ingin berakhir melilitkan tali ke leher perempuan itu lalu menggantungnya ke pintu dapur sampai busuk, sampai seseorang menemukannya bahwa mereka berdua sudah mati dibunuh kebencian masing-masing.
Tanpa pikir panjang, dia melompat keluar dari rumah, membanting pintu pagar biru usangnya untuk kedua kali dalam lima belas menit terakhir. Mereka tidak akan memiliki pintu pagar lagi jika Luhan membantingnya untuk yang ketiga.
Dia berhenti di tangga ke empat, melirik tali highheel yang tidak terpasang benar di kakinya, serta suhu dingin yang membuat kulitnya keriput di balik rok pensil dan kemeja tipisnya.
Banyak sekali umpatan yang tercetak di dada Luhan, tapi dia menggigit bibir kuat-kuat agar tidak meloncat-loncat seperti orang gila karena rasa benci. Dia berusaha lebih kuat lagi ketika tas-nya menabrak belakang kepalanya dan jatuh. Mengejek Luhan, mencemoohnya bahwa tidak ada anak yang tidak diinginkan selain dirinya. Tidak ada yang menginginkan Luhan. Tidak juga dengan ibu tiri yang baru melemparnya dengan tas.
Itu terasa sangat pahit, bahkan bukan hanya lidahnya yang merasa, tapi seluruh tubuhnya. Air matanya jatuh di ujung kakinya yang dingin. Luhan ingin lenyap dari dunia ini. Siapa yang bisa menguburnya dalam tanah?
Tali tas-nya diraih, setidaknya dia masih punya tali ini untuk berpegang pada kenyataan hidup yang sering sekali menghianatinya. Luhan mencengkramnya kuat-kuat sampai ujung kukunya memutih. Dia mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya kencang sebelum mendongakkan kepalanya, lalu…
… menetes lagi, di pipinya.
Kenapa laki-laki itu masih berada disana? Kenapa Oh Sehun datang padanya? Kenapa pula dia masih terasa seperti pil yang menenangkan? Obat tidur yang selalu Luhan butuhkan.
Oh Sehun datang mengambil jarak sejengkal, tidak menyentuh Luhan meskipun mereka sedekat itu. Dia tidak mengatakan apapun, juga tidak bicara, hanya mengamati Luhan lekat-lekat seperti keseluruhan Luhan adalah sesuatu yang salah dan dia mencoba mencari jawaban atas apa yang salah sehingga kesalahannya bisa diperbaiki.
Luhan benci harus terlihat sehancur ini. Tapi kotak penampungannya sudah penuh, jiwanya sudah mengambang di permukaan, lalu disusul tubuhnya menabrak Oh Sehun, tepat di dadanya, terisak disana.
Begitu magis, rasanya seperti pulang ke rumah.
Napas Oh Sehun menggelitik telinganya, Luhan merinding, tapi semakin membuatnya nyaman. Aroma ini juga, aroma yang sangat disukainya, aroma Sehun.
"Pulang bersamaku?"
"Bolehkah?"
"Tidak boleh untuk semalam, tapi ya untuk selamanya."
"Pakaianku tinggal di dalam. Aku tidak membawa apapun."
"Apa aku harus mendobrak pintu atau membelikanmu yang baru?"
"Hanya belikan aku pakaian untuk bekerja besok."
"Dan kau akan masuk ke mobil?"
Luhan menarik kepalanya, menghapus jejak air matanya dengan cepat. "Ya." Berusaha semaksimal mungkin tersenyum selama dua detik.
Pada akhirnya dia menyerah juga, dan ternyata tidak seburuk itu.
.
.
.
Ceritanya akan menjadi panjang.
Tidak ada yang salah dari perempuan 27 tahun yang menginginkan seks. Luhan telah mendapatkan pelajaran seks yang banyak dan betapa itu berpengaruh terhadap sebuah hubungan, seperti kebutuhan primer yang bisa menguasai segalanya. Tapi Luhan mendapat masalah ketika dia berada di balik pintu apartemen Sehun dan seks yang diinginkannya berasal dari ereksi laki-laki ini.
Sebenarnya ini bukan masalah jika tidak terjadi peristiwa besar sebelumnya. Luhan juga paham dia tidak seharusnya semudah ini, tapi Oh Sehun datang menyambutnya dan Luhan hanya bisa berterimakasih.
Di pertengkaran terhebat mereka, Luhan pernah bersumpah bahwa dia tidak ingin lagi kemaluan Sehun masuk ke lubang seks-nya, tapi pengkhianatan yang dilakukan tubuh perempuan adalah pengkhianatan tingkat paling tinggi.
Tubuhnya menginginkan Sehun, meskipun itu membuat Luhan menjilat ludahnya sendiri. Dia tidak peduli selama Sehun ada dimulutnya.
Kedua tangannya di kumpulkan jadi satu, lalu di bawa ke atas kepala dan diikat oleh sebelah tangan Sehun. Lidah laki-laki panas itu menguasai seluruh rongga mulutnya, membasuh dinding ke dinding, nyaris mencapai tenggorokannya, sentuhan yang bijaksana dan agresif, apa yang diinginkan perempuan-perempuan kelaparan. Semua sensasi menjadi satu dan semuanya mengarah pada kenakalan seksual yang cerdik.
Kancing kemejanya diloloskan satu persatu, ditarik dari rok pensil abu-abunya yang sempit. Tangan Luhan turun jatuh ketika Oh Sehun sibuk melucuti kemeja dari tubuhnya dengan begitu terampil, mencium lehernya, meraih pengait bra di punggungnya, dalam sekejap Luhan tampil setengah telanjang.
Payudara Luhan menggantung, bulat berisi, merah muda yang cantik. Jakun Oh Sehun bergerak kasar sebagai penanda bahwa hormon seksualnya sedang berperang. Payudara itu pernah masuk ke dalam mulutnya, merayap menyentuh langit-langit Oh Sehun yang licin, begitu kenyal dan sempurna sehingga Sehun menginginkannya lagi sampai seluruh tubuhnya merinding.
"Tuhan! Aku membutuhkanmu, Luhan. Dan aku memang sekurang ajar itu," katanya, mengambil penderitaannya melalui puting payudara Luhan di dalam mulutnya, menggesekkan giginya serta menggunakan ibu jarinya pada payudara Luhan yang lain.
Luhan begitu lemah ketika lengannya jatuh di pundak Sehun, mengiringnya ke tepi fantasi paling liar dari seluruh semesta, memukulnya dengan gairah bertubi-tubi sehingga dia tidak punya pilihan lain selain menikmatinya. Dan sejujurnya, Luhan tidak ingin memilih.
Apapun yang ditawarkan Sehun adalah berkah bagi tubuhnya. Dia berbagi sebuah fakta lagi.
Hubungan seks mereka selalu menghasilkan kepuasan yang begitu mewah. Apa alasan bagi Luhan untuk menolak? Dia wanita dewasa yang waras dan punya nafsu.
Oh Sehun semakin turun, menggarisi tubuh Luhan menggunakan bibirnya, jatuh pada lutut, kehilangan akal sehatnya ketika rok pensil Luhan melorot tanpa beban di tangannya.
Kecupannya dimulai dari perpotongan betis dan paha, perlahan-lahan naik menuju bagian paling dalam dan gelap. Sehun mendapatkan pemicu hormon seksualnya di depan matanya, dibungkus celana dalam hitam berenda Luhan yang teramat tipis. Aromanya bahkan sudah sampai ke hidung, menyusup halus melalui sel-selnya, meracuninya dengan sangat tajam dan berat.
Dia bermain di batas renda hitam di pinggul Luhan, sementara Luhan sibuk menggigiti bibirnya sendiri agar tidak meletus terlalu cepat, berpengangan pada bahu Sehun yang jauh di bawahnya, kemudian mengangguk kecil.
Iya, Sehun boleh melepaskannya. Sopan santun tidak diperlukan dalam kondisi seks yang mereka nantikan sejak lama, setelah pertengkaran yang melelahkan dan ego yang tidak mau kalah, seks akan mengalahkannya dengan caranya sendiri, serangan mutlak dari hormon seksual yang mengamuk.
Organ seks-nya dingin ketika Luhan menyadari celana dalamnya mengambil pelarian dan dia melompat keluar untuk menyimpan kain katun itu di bawah telapak kakinya.
Oh Sehun mengambil serangan cepat, melesakkan bibirnya pada lipatan basah Luhan dan memegang pinggul wanita itu hanya untuk memastikan Luhan tetap berada di tempatnya, tidak bergerak kemanapun karena hanya Oh Sehun yang boleh menggerakkannya.
Terjadi refleks hebat ketika tubuh Luhan melengkung tinggi, mengerang secara simultan, menekan kepala Sehun agar merasukinya lebih dalam, lebih panas, lebih kejam.
"Oh!"
Luhan mengambil tarikan napas panjang dan melelahkan untuk sampai ke tenggorokannya, lidah Sehun berputar di klitorisnya, membentuk lingkaran damai tapi dengan kendali yang parah. Menggunakan egoisme laki-lakinya untuk menguasai seluruh pusat seksualnya dan mendorong Luhan mendekati batas orgasme.
Dia berkedut menanggapi lidah Oh Sehun yang lolos melewati celah lipatan organ seks-nya, begitu licin dan rapi, menyengat seperti badai yang tidak berujung. Hadir sebagai kegilaan seksual yang begitu mewah.
"Oh Sehun!"
Luhan menjeritkan nama Sehun ketika orgasme memporak-porandakan seluruh sarafnya, begitu intens dan nikmat, kotor dan basah dalam satu waktu. Dia menekan kulit kepala Oh Sehun lebih keras sebelum organ seks-nya dibebaskan dari penyiksaan lidah laki-laki itu.
Sialan! Luhan baru sadar kalau dirinya benar-benar kelaparan.
Oh Sehun bangkit untuk memberikan tatapan yang penuh akan pujian dan hal-hal menyimpang, begitu tampan dan sopan terbalut dalam pakaian lengkap yang acak-acakan. Dia membuat perempuan orgasme tanpa harus telanjang. Luhan adalah perempuannya, yang melakukan berbagai cara untuk menggapai ledakan seksual yang menyiksa bersamanya.
Luhan meletakkan tangannya di bahu Sehun ketika laki-laki itu selesai melepas kemejanya sendiri, secara ringkas, menampilkan otot-ototnya yang terik dan kencang, dan bekas luka di dada kanan sepanjang dua jari hasil kenakalan masa remajanya. Oh Sehun seorang berandalan saat dia 17. Menggunakan kepalan tangan pada laki-laki dan jari tengah pada perempuan.
Mungkin ini bukti kenakalan yang memberinya pengalaman, saat jemarinya yang kasar meraup kemaluan Luhan sementara jari tengahnya sudah mencabik dinding bagian dalam Luhan yang paling inti. Luhan berdenyut di dalam, bangkit sangat cepat dari masa orgasmenya yang nikmat, menyenggol ereksi Sehun saat dia menggerakkan pinggulnya.
"Oh Sehun!"
Ya. Benar. Dia hanya boleh menyerukan nama Oh Sehun. Dia hanya boleh orgasme karena Oh Sehun.
"Apa ini… Hanya untuk seks?"
Oh Sehun berhenti. Seluruhnya. Dari mulut sampai ke jari. Merasakan anggota tubuhnya kehilangan oksigen tiba-tiba dan itu dalam jumlah tak terhitung. Dia menarik kepalanya dari leher Luhan, benci melihat bagaimana perempuan ini terlihat sedih dan ragu. Meragukannya.
Dia menarik napas dalam. Mengeluarkan jarinya dari kemaluan Luhan, mendengar Luhan mendesis dan itu semakin membuatnya dihempaskan ke dasar jurang.
"Aku menginginkanmu, seluruhnya, secara utuh dan tidak bersisa. Maka bohong jika aku berkata bahwa seks bukan salah satunya, namun bukan berarti aku hanya mengingkan seks darimu, Luhan. Seks adalah bagaimana cara kita saling menyenangkan. Kau menyenangkanku dan aku berharap aku juga menyenangkanmu. Mungkin ini… mungkin ini hanya terlalu cepat. Kau masih terkejut dengan pertemuan kita dan kedatanganmu kesini, lalu aku dengan brengseknya mendorongmu ke dinding dan menelanjangimu." Oh Sehun melirik ke bawah, pada potongan baju mereka yang berserakan, lalu tersenyum masam. "Kau boleh memakai pakaianmu lagi." Dia tidak bisa menyembunyikan putus asanya, tapi dia juga tidak akan memaksa Luhan untuk berhubungan seks hanya demi membangkitkan semangatnya lagi. "Seharusnya aku memberimu istirahat."
Luhan mencakar tengkuk Oh Sehun agar laki-laki itu beralih padanya, mendengar penjelasannya yang belum selesai. "Apa otak pebisnis selalu begini? Cepat mengambil keputusan dan berani menanggung resiko? Tapi sekarang kita sedang membahas seks, bukan proyek senilai jutaan dollar."
"Aku tidak mengerti."
"Aku bertanya apakah ini hanya untuk seks."
"Aku sudah menjawabnya, itu jawaban terbaik yang kupunya. Dan ya, dalam daftar yang kuinginkan tercantum 'SEX' dengan huruf kapital merah dan sangat brilian. Aku jujur."
"Dan aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Bahwa-"
"Bahwa aku adalah laki-laki brengsek sialan yang membuatmu jadi bintang utama dalam fantasi liarku setiap malam!"
"Bahwa!" Luhan menekan suaranya agar Sehun berhenti menari kesimpulan sendiri, dan dia mendapatkan perhatian laki-laki itu dalam tatapan yang lemah. "Kalaupun itu hanya untuk seks, maka aku akan melakukannya. Hidupku sangat sulit belakangan, dan aku butuh sesuatu untuk menyenangkanku. Jika seks adalah cara kita saling menyenangkan, kurasa aku akan mengambil resikonya. Jadi, apa perempuan murahan ini akan beristirahat dengan cepat?"
Oh Sehun meraup tubuhnya dalam satu lengan penuh. Luhan suka meneliti semangat laki-laki itu yang bergerak seperti seluruh ototnya tidak akan berhenti seumur hidup.
"Demi Tuhan! Aku ingin melemparmu ke tempat terdekat dan membuatmu menungging."
"Aku suka kau menampar pantatku." Luhan melompat, melilit pinggang Oh Sehun dengan kedua tungkainya yang ramping, terkikik menanggapi gigitan Oh Sehun di lehernya, berpegangan erat karena Sehun akan segera melemparkannya ke sofa.
Dalam lima detik, Luhan memang terlempar. Sedikit mengalami pantulan tapi tidak sampai membuatnya meringis, atau dia sudah tidak merasakan sakit lagi di tubuhnya karena gairah yang membuatnya lebih membara daripada api unggun.
Luhan mengatur posisi, meletakkan bantalan di bawah kepala dan menekuk kaki. Iris mata Sehun memojokkannya sampai ke sudut, tajam dan sabar, membuat Luhan mengejang menyaksikan betapa jantan cara laki-laki itu melepas ikat pinggang. Dia selalu mengagumi Sehun, terlebih saat Sehun tersenyum begitu jahat sambil melorotkan celananya, tidak pernah melepas Luhan dari sorot matanya.
Shit!
Dia adalah definisi dari kata seks itu sendiri.
"Kau begitu cantik. Putih dan telanjang di sofa merahku," Oh Sehun bergumam rendah, naik ke sofa, betumpu pada kedua lututnya, berada di celah kaki Luhan yang tertekuk. "Dan begitu merah muda," pujinya lagi, membuat seluruh bulu di tubuh Luhan berdiri.
Oh Sehun menurunkan tubuhnya yang kekar ke atas Luhan, meraup jari-jari Luhan ke setiap celah jemarinya, menekan keduanya di samping telinga wanita itu dan bernapas dalam-dalam. Oh Sehun selalu menyukai ini, bagaimana cara Luhan meringis ketika dia menggodanya dengan menggesekkan organ seks mereka, atau Luhan yang nyaris menangis ketika Sehun melakukannya berulang-ulang.
"Aku akan menamparmu jika kau menggodaku sekali lagi!"
Katakan itu pada orang yang membuatnya menjerit dalam hitungan detik. Katakan siapa yang akan Luhan tampar ketika Sehun melesak masuk ke dalamnya dengan satu dorongan keras yang membuat kepalanya menyentuh lengan sofa.
"Kau sempit! Dan… Nikmat!"
Sehun menggeram pada Luhan yang bergerak maju mundur karena dorongannya, merasa terjepit di antara otot-otot ketat Luhan yang berdenyut, mencambuknya dengan kenikmatan yang berlipat-lipat.
Seks bersama Luhan selalu menakjubkan. Wanita itu pintar mengurus kesenangan Sehun, tidak mengeluarkan suara lebih yang tidak diinginkan sampai batas dimana dia tidak bisa menahannya lagi. Dengan begitu Oh Sehun akan tau kapan saatnya dia membelit Luhan dengan orgasme yang panjang.
Sehun mendorong lebih dalam, meletakkan sebelah tangannya di pucuk kepala Luhan, memberi penyangga agar lengan sofa itu tidak menyakiti Luhannya, tidak menyakiti Luhannya yang berada di ujung tombak orgasme.
Cengkramannya mengencang di jari-jari Oh Sehun, Luhan kehilangan sebagian otaknya ketika nama Oh Sehun keluar nyaring dari kerongkongannya dan penglihatannya berputar-putar karena sebuah pelepasan seksual yang dahsyat.
Dia berusaha mengatur ulang dirinya sendiri, tapi Oh Sehun tidak memberinya banyak waktu. Laki-laki itu menggeram di atasnya, menikmati otot-otot kemaluan selepas orgasme-nya yang terik. Luhan suka jika kepala Sehun mendongak ke atas dan urat-urat lehernya menegang, dia suka melihat Oh Sehun menikmati dirinya.
Luhan selalu kalah, klimaksnya tidak pernah sabar menunggu Sehun. Maka tidak heran lagi jika Sehun membanting tubuhnya dan membuatnya menungging dalam satuan detik. Tamparan Oh Sehun di kulit pantatnya sungguh menyenangkan, seperti sebuah motivasi terhebat yang memerintahkan Luhan menikmati seks ini bagaimanapun caranya.
Dia selalu menyukai seks bersama Sehun. Seks bersama laki-laki yang didefinisikan sebagai dewa seks semesta. Oh Sehun masuk lagi ke dalamnya, keras dan licin, menggenjotnya ke tempat yang tepat, mengenalnya lebih daripada Luhan mengenal tubuhnya sendiri.
Rambutnya ditarik ke belakang dalam satu putaran di kepalan tangan Sehun, menyiksa kulit kepalanya, tapi memberikan Luhan sensasi yang lebih luar biasa bahkan jauh dari bayangannya. Oh Sehun mulai kesetanan. Suara kulit membentur kulit memenuhi seluruh ruangan, begitu nyaring dan kotor, memberitahu pada dunia seberapa hebatnya Oh Sehun menyetubuhi Luhan dan seberapa bejatnya cara mereka saling menyenangkan.
Luhan bahkan tidak bisa lagi merasakan napasnya. Terlalu berantakan, terengah-engah dan sekarat. Dia meledak lagi dalam orgasme yang menakjubkan. Berdesir di seluruh kulitnya. Dan Sehun belum selesai.
Gerakan pinggul Oh Sehun melambat, tapi Luhan tau bukan saatnya laki-laki itu berhenti. Luhan dibanting lagi ke posisi semula, di bawah Oh Sehun, mengangkang dan begitu pasrah, menyerahkan kendali sepenuhnya di tangan Oh Sehun ketika Sehun meletakkan kedua kaki Luhan di pundaknya.
Kemudian masuk lagi, lebih keras dan dalam, seperti besi panas yang akan melepuhkan Luhan seutuhnya. Menggenjotnya seperti ini adalah seks terakhir yang mereka miliki sebelum mati. Memang Oh Sehun selalu melakukannya seperti itu, semaunya, tapi memuaskan.
Luhan merasa lebih kacau, jauh lebih kacau dari sebelumnya. Dia tidak ingin peduli lagi pada rambutnya yang acak-acakkan, tidak juga peduli bahwa kukunya yang tajam bisa merobek kulit sofa Sehun. Laki-laki itu sedang menggila di atasnya, menggenjot begitu jantan ke dalam dirinya, keenakan pada penyatuan seks mereka yang ketat. Dan Luhan ada di situ, di bawah Oh Sehun, berusaha tidak menangis saat orgasme siap memporak-porandakannya sekali lagi.
"Ah! Oh Sehun!"
"Aku ingin kau datang untukku, sayang! Datang untukku!"
Tidak ada yang lebih indah dari nama yang saing diteriakan saat sebuah klimaks datang begitu hebat dan melelahkan. Terengah-engah, kehabisan napas. Sehun menurunkan kaki Luhan dari pundaknya, roboh di tubuh wanita itu, menjilat telinga dan mencium leher Luhan, sesekali masih mendorong pinggulnya untuk benar-benar melakukan sebuah penyelesaian.
Mereka terdiam, satu dua menit, menunggu orgasme seutuhnya tuntas, sampai cairan Oh Sehun tertumpah habis di dalam Luhan dan mengisinya begitu deras. Ini membuat mereka mengantuk.
"Kau tidak mau keluar dari sana?"
Oh Sehun menggeleng, semakin memasukkan kepalanya ke leher Luhan.
"Firasatku mengatakan kau akan tetap pergi meskipun sudah sepakat untuk tinggal disini."
"Aku tidak suka jujur padamu sekarang, tapi aku harus mengatakan ya. Kau setuju?"
"Jadi aku akan meletakkannya disana seumur hidup, tertanam di dalammu dengan sangat egois. Dan itu jawabanku. Tidak jika boleh kuperjelas."
"Tapi aku mulai kesulitan bernapas disini. Ototmu mulai menaikkan bebannya."
Oh Sehun tidak menyukai banyak kata, dia lebih suka membanting Luhan ke atasnya dan menggeram dengan keras setelah itu.
"Sialan! Jangan banyak bergerak, Luhan! Aku bisa hidup lagi dengan cepat, kau tau itu."
Luhan yang tersenyum geli benar-benar cantik, matanya melengkung elastis. "Aku berusaha. Tapi aku wanita yang tidak bisa diam dalam waktu yang lama."
Oh Sehun menyambar hidung mungil Luhan dengan sebuah gigitan main-main yang lucu, sebelah tangannya bergerak naik-turun di atas pinggang Luhan. Kulitnya masih sehalus kapas.
Sebelah tangan Luhan terlipat di dada Oh Sehun, berfungsi menyangga dagunya yang malas, kemudian satu yang lain bermain di rambut hitam pendeknya.
"Bisa jelaskan sesuatu?" Dia bertanya pelan tanpa menatap tepat pada Sehun. "Tentang setoples permen dan udara yang lebih segar. Disini."
"Ingin mendengarkan sebuah cerita?" Sehun berhenti sejenak, memindahkan sebelah tangan ke bawah kepalanya sementara yang lain tetap bekerja di pinggang Luhan. Wanita itu mengangguk gembira. "Dahulu kala, ada seorang perokok hebat yang tinggal di rumah ini dan seorang wanita cantik yang sialan seksi sangat membenci asap rokok." Dia suka melihat Luhan merengut. "Mereka saling mencintai dengan brutal waktu itu."
"Kau yakin?"
"Aku tidak yakin pada si wanita, tapi si perokok jelas menuliskan kata 'ya' besar-besar di dahinya, tidak pernah separah itu. Tapi wanita itu pasti sinting jika tidak jatuh cinta pada si perokok."
Luhan menekuk wajahnya selama tiga detik sebelum kembali mendengarkan Sehun dengan teliti.
"Pada suatu hari, si perokok mengalami masalah hebat di perusahaannya, dia menginginkan berbatang-batang rokok untuk membantunya sembuh dari emosi, tapi ketika dia pulang, semua bungkus rokoknya berada di tong sampah. Wanita seksi itu melakukannya. Dan si perokok tampan sialan bodoh itu marah berlebihan, yang seharusnya tidak pernah dia lakukan."
"Katakan padaku apa yang seharusnya tidak dia lakukan?"
"Melemparkan vas? Menertawakan wanita itu ketika dia berkata bahwa rokok bisa membunuh mereka, membunuh anak yang akan mereka besarkan nanti di suatu hari yang indah, merusak mimpi sederhananya tentang sebuah kolam renang dangkal, meja belajar tidak terlalu tinggi dan keluarga kecil yang harmonis. Si perokok tidak seharusnya berteriak pada wanita itu apakah dia bodoh atau gila atau dimana dia membuang otaknya. Atau mengatakan padanya bahwa dia tidak ingin seorang wanita tidak tau masak menjadi istrinya dan mati sia-sia karena tidak mendapatkan sarapan. Si perokok tidak tau mulutnya bisa sejahat itu hanya karena tidak mendapatkan rokoknya. Lalu wanita yang dicintainya pergi."
Jari Luhan berhenti bermain di rambut Sehun selama beberapa detik. Dia terlihat mengambil napas berat, tapi kemudian memainkan jemarinya lagi.
"Yang terjadi setelah wanita itu pergi?"
"Si perokok menyesal setengah mati, tapi dia hanya duduk termenung sendiran setiap malam seperti idiot dan berharap wanita itu kembali padanya."
"Kenapa si perokok menyesal?"
"Karena suatu hari, si perokok menemukan catatan medis tentang paru-paru wanita itu. Dia kesakitan setiap kali si perokok meniupkan asapnya, dan si perokok terlalu bodoh untuk mengerti."
"Kenapa si perokok tidak meminta maaf?"
"Harga dirinya terlalu tinggi, bahkan melintasi langit."
"Lalu kenapa dia menginginkan wanitanya kembali?"
"Karena dia sadar, wanita itu lebih tinggi daripada harga dirinya sendiri."
Tidak ada yang bisa dibaca dari raut wajah Luhan. Sehun tidak bisa menebak apakah wanita itu mengerti dengan jelas maksudnya atau hanya merasa dibohongi. Sehun betanya-tanya pada dirinya sendiri dengan khawatir. Tapi ketika bibir Luhan datang ke bibirnya, Sehun tau itu pertanda bagus. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"Apa kau masih merokok?"
"Tidak. Itu sedikit membuatku khawatir."
"Kenapa?"
"Aku lebih mudah marah. Aku takut marah padamu tanpa alasan yang jelas."
Luhan menciumnya lagi, lebih dalam dan lebih lembut. Sehun dapat merasakan jantung mereka masih berdetak dalam irama yang pas.
"Aku akan menciummu saat kau marah tidak jelas. Tapi aku akan menendangmu saat kau kelewatan."
Sehun meraih pergelangan tangan Luhan lalu menciumnya, merasa begitu senang dan tinggi, sebelum dia menemukan noda kehitaman di kulit seputih telur milik Luhan.
"Bekas luka?"
Luhan menangguk. "Luka bakar."
Kening Sehun mengkerut menyatakan bahwa dia tidak suka Luhan seceroboh itu dan melukai dirinya sendiri. "Kau berniat membakar dirimu hidup-hidup setelah berpisah denganku? Kau sefrustasi itu?"
"Jangan konyol, Oh Sehun. Ini aku dapatkan di hari pertama aku masuk kelas memasak."
"Kelas memasak?"
"Ya. Tidak benar jika aku ingin membakar diriku hidup-hidup, tapi ya jika aku frustasi setelah kita berpisah. Aku mengambil kelas memasak, menggoreng telur lalu menumpahkan minyaknya di tanganku."
Oh Sehun mengecup sekali lagi bekas lukanya.
"Sesuatu yang kau dapatkan dari kelas memasak?"
"Kau tidak akan senang mendengarnya." Luhan tersenyum jahil sedangkan Oh Sehun menunggu kalimatnya dengan penasaran yang tidak lagi ditutup-tutupi.
"Beritahu aku."
"Mulai besok dan seterusnya, kau akan sarapan ommelette sampai muntah. Hanya itu yang bisa kumasak."
Luhan tertawa melihat Oh Sehun mengkerutkan wajahnya begitu parah namun dalam lingkungan bercanda, menikmati telapak tangan Oh Sehun menggosok rambutnya dengan gemas.
"Aku bangga padamu, sayang." Pujinya membuat Luhan merasa berharga.
Tapi Luhan segera menginterupsi percapakan mereka dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir Sehun, menyuruh laki-laki itu diam karena dia ingin membisikkan sesuatu.
"Sebenarnya ada satu lagi yang bisa kubuat."
"Pasta?"
Kepalanya menggeleng lucu, kemudian berbisik, "Membuatmu klimaks."
Dan Oh Sehun tidak tau harus berbuat apa pada wanita ini, apa dia harus memukul pantatnya atau mengikat kaki dan tangannya ke tiang tempat tidur. Tapi yang jelas, Oh Sehun hidup lagi hanya karena sebuah bisikan nakal dari mulut kotor Luhan.
Dia mengerang, berusaha menghentikan Luhan yang cekikikan di atasnya.
"Luhan…"
"Hm?"
"Sex with me?"
Menggigit ujung bibirnya, Luhan menggeleng.
"No…
.
.
.
.
.
.
- FUCK ME!"
.
.
.
.
.
.
.
I've said to you I'll make you burn cause I'm hotter than Hell!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
.
.
Cieeeee cieeeeee, yang akhirnya bisa baca NC setelah di php-in chapter kemaren. Gue terharu atas respon kalian. Ternyata masih banyak yang suka baca FF gue padahal gue udah ngambil hiatus cukup lama. T.T Tengqu guys. Dan, mohon maaf lahir batin karena gue ngerusak otak kalian dengan sesuatu yang kotor di hari lebaran. Wkwk
.
Eh anying, iya. Di chapter kemaren typo gue kebangetan. Masa kepala dingin jadi kelapa dingin. Es kelapa kaliiii dingin. Wkwk
.
Sorry ya kalo ceritanya rada berantakan. Soalnya gue selalu suka ngubah ujung cerita dari ide awal. Kekekeke
.
AI LOP YU ALL
:* :* :*