HUNjustforHAN

Presents

.

.

'De Retour'

.

.

Two Shoot

.

.

Throw your Cigarette. Sex with me. I'll make you burn cause I'm hotter than Hell.

.

.

.

.

.

.

Oh Sehun kedinginan.

Matahari di pucuk kepalanya menjauh, mengambil jarak berkali-kali lipat melebihi seharusnya, jauh untuk membuatnya terbakar di tengah tumpukan badai salju.

Segala musim menjadi bulan desember. Gelap, basah, dingin seperti tembaga. Lagu-lagu sedih muncul dari setiap sudut meskipun Oh Sehun berteriak bahwa dia membencinya. Hentikan lagu itu, matikan! Hentikan apapun yang menyedihkan! Karena itu menyinggungnya. Lirik lagu sedih menamparnya, menunjuk kasar kepada Oh Sehun bahwa dia pantas menerima semua penyesalan ini untuk dimakan sampai ususnya membusuk.

Batin Oh Sehun mengambil diskusi panjang bersama jiwanya, sampai pada sebuah keputusan bahwa sesungguhnya Oh Sehun tidak sanggup kehilangan, mungkin dia lebih hancur dari kata hancur itu sendiri. Tapi harga dirinya yang melampaui angkasa tidak membiarkannya mencari kepingan dari dirinya yang hilang. Dia takut menjadi satu-satunya hal yang tersisa dari sebuah perpisahan. Ini menyiksanya, Oh Sehun tidak mau mengaku. Dia keberatan terhadap sisi ranjangnya yang kosong.

Luhan punya banyak mimpi, sangat sederhana, tentang sebuah kolam renang dangkal di sebelah barat apartemen dan meja belajar yang tidak terlalu tinggi. Itu terlalu mudah. Permintaan yang bisa dikabulkannya detik itu juga. Dan karena dia meremehkannya, Oh Sehun merusaknya dengan sebungkus rokok yang disulutnya dengan api di ujung lidahnya. Emosi sesaat salah kaprah. Mungkin hanya untuk Oh Sehun sesali setiap malam di sudut kamarnya yang mati.

Kemudian berantakan. Serakan vas bunga di ruang tengah menjadi pengingat bahwa Oh Sehun pernah sangat kasar, dia melemparkannya tiga langkah dari kaki gadis itu. Lalu pergi berhari-hari dengan ego masih memimpin jalannya.

Jika Oh Sehun punya waktu yang sama, mungkin dia akan tetap berada disana untuk melempar egonya jauh-jauh, membersihkan pecahan vas bunga dari lantai dan membalut luka di kaki gadisnya dengan kain, atau dasinya, atau apapun yang bisa membuat Luhan berhenti menangis.

Oh Sehun terlambat.

Terlalu lama memikirkan harga dirinya untuk datang mengatakan bahwa dia bersalah dan menyesal dan pantas mati atas kata-kata bodoh yang keluar dari mulutnya yang kurang ajar. Oh Sehun memang seburuk itu, selalu berasalan bahwa waktu akan memperbaiki segalanya, menjadi penonton di kursi paling belakang selama bertahun - tahun kemudian sadar ketika film-nya telah berakhir, dan Oh Sehun tetap menjadi yang bersalah.

Dia pikir dirinya lah pihak yang membuang, lalu tidak akan terjadi apa-apa, dia begitu hebat dan luar biasa dalam hal menipu dirinya sendiri, sampai suatu ketika rindu itu menusuknya dan terbangunlah Oh Sehun dalam keadaan gawat darurat namun pada kondisi tubuh yang sehat, mengerti bahwa tidak ada yang terbuang dengan menyedihkan selain dirinya. Itu sangat memalukan. Dia tidak tau lagi dimana harus menyimpan mukanya. Tidak ada yang mau menolongnya karena Oh Sehun memang tidak layak ditolong.

Sebagian besar dari gadis itu mungkin berubah, atau seluruhnya, tumbuh subur dan lebih baik, tapi Oh Sehun tidak. Fakta itu menginjak Oh Sehun sampai ke dasar, meremukkannya sampai benar-benar lumat.

Sebatang pohon tumbang dengan jutaan ranting rusak yang ditinggalkan. Bagaimana Oh Sehun bisa tumbuh? Musim semi tidak datang lagi untuknya.

Luhan telah pergi. Dan Luhan adalah musim semi bagi Oh Sehun. Dia mungkin tidak merasakan musim semi lagi seumur hidup. Bunganya telah mati sampai ke akar.

Segalanya kembali lagi menjadi desember. Segalanya membeku.

Segelas kopi dingin mengingatkan Sehun bahwa mereka pernah sepanas air mendidih. Bahwa dulu pernah hidup Luhan di sekitarnya; berbagi cinta yang manis, berpijar cerah, memeluk Oh Sehun dalam lengannya yang selalu hangat.

Oh Sehun bersumpah dia jatuh cinta.

Saat itu. Saat Luhan bergantung di punggungnya, atau ketika Luhan menjadi koala di dekapannya. Bukan hanya saat seks menjadi penyelesaian paling romantis dari sebuah pertengkaran, atau ketika Oh Sehun tidur lelap di atas payudara Luhan. Tapi saat dia menjadi titik pusat semesta bagi Luhan. Saat Luhan menganggap Oh Sehun adalah rumahnya, tempatnya kembali seberapa jauhpun ia pergi.

Oh Sehun sesak menahan rindu.

Dan ketika rindu menghantamnya, dia akan mengenang lagi.

Ciuman selamat pagi yang menyambutnya teramat panjang, gila dan menyenangkan. Luhan akan berada di atasnya, bertumpuk di antara selimut Oh Sehun dan juga potongan pakaian sisa semalam. Tangan kecilnya menarik leher Oh Sehun, meminta agar Oh Sehun segera menyeretnya ke kamar mandi sehingga mereka bisa merencanakan hal sinting lain sebelum tenggelam pada kesibukan masing-masing. Luhan menggigit telinganya setiap kali Sehun menutup matanya lagi, sampai Sehun terganggu, sampai Sehun menyerah dan menggendongnya ke dalam bath tube, dan bercumbu.

Dua puluh menit kemudian bertengkar. Pagi terlalu cepat naik dan mereka terlalu lama menggosok dinding. Luhan terburu menarik stocking-nya, marah pada Sehun yang melemparkan handuk basah ke tempat tidur. Itu akan menciptakan bau lembab. Oh Sehun tidak peduli, seperti punya ratusan penyaring bau di lubang hidungnya. Dia malah menampar pantat Luhan ketika wanita itu melotot padanya. Oh Sehun mencuri sebuah ciuman sementara Luhan tidak sanggup berbuat banyak. Napasnya jatuh begitu saja dan Oh Sehun menang. Dia menampar pantatnya lagi.

Ada hal selain handuk basah di tempat tidur yang membuat Luhan marah, sebenarnya banyak, dan abu rokok di meja depan televisi salah satunya. Mulutnya akan terus mengoceh pada Sehun yang duduk santai menonton pertanding motor GP dengan sekaleng soda dingin dan sebatang rokok yang hidup, bergerak cepat membuka jendela di setiap sudut ruangan, mengeluarkan sedikit kepalanya dan bernapas banyak-banyak.

Luhan sangat benci asap rokok sementara Oh Sehun adalah perokok yang handal.

"Bagaimana kalau kita makan malam di luar setelah aku menyelesaikan lap terakhir?"

"Terserah!"

"Telanjang disini. Kita bisa membuat sebuah orgasme yang hebat dalam lima belas menit."

"Pantatmu!"

Mulut yang kotor. Lemparan bantal.

Luhan akan berlari ke kamar dengan hentakan kaki. Sehun menyesap sisa rokoknya, menyentil ujungnya dan menaburkan abu rokok lagi di meja, Luhan akan marah lagi setelah ini dan Oh Sehun masih senang membuat wanita itu marah. Jadi dia punya alasan untuk menciumnya dan menggulungnya ke dalam selimut.

Oh Sehun pastikan Luhan sedang mengganti pakaiannya. Dia selalu mengenakan sesuatu yang bagus untuk makan malam karena Luhan tidak mau lagi memakai baju kaus dan hotpants saat Oh Sehun yang jahil memberhentikan mobilnya di Artemis, — restoran Perancis yang mewah dan terkenal, tanpa pemberitahuan.

Luhan ingin menjerit, tapi Oh Sehun malah menariknya keluar. Dia berkata Luhan cantik dengan apapun, dan Luhan menendang selangkangannya untuk memberitau Oh Sehun tentang definisi sesungguhnya dari kata cantik.

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari makan malam di luar karena mereka melakukannya hampir setiap malam, kecuali saat Sehun sedang berada dalam mode rajin di dapur ataupun ketika keduanya malas dan lebih memilih mengoder makanan.

Alasannya, dan satu-satunya alasan adalah karena Luhan tidak bisa memasak. Sangat — terlalu — payah dalam hal itu.

Dia mungkin bernilai seratus saat membacakan pasal-pasal hukum di depan klien-nya, seratus sepuluh ketika berdebat di ruang sidang, tapi Luhan bernilai nol saat diletakkan sebuah pisau dapur di tangannya. Dia didiskualifikasi bahkan sejak hari pertama mencoba membuat omelette dan hampir membakar rambutnya sendiri.

Oh Sehun harus berpura-pura tidak tertawa di kursi meja makan.

Gadis cerdas itu terlihat seperti idiot saat dia histeris membasahi kepalanya di bawah pancuran air dan berada di antara tumpukan cucian piring.

"Jangan tertawa Oh Sehun!"

"Aku tidak."

Gelas plastik kosong meluncur di samping Oh Sehun. Dia lupa kalau Luhan punya lemparan yang baik, dan gadis itu sengaja tidak mengenainya.

Huh!

Oh Sehun mengela napas. Keras. Menyesap kopi dinginnya yang pahit.

Ternyata dia memiliki semua itu tiga tahun lalu. Sebuah hubungan yang terdengar luar biasa. Sangat luar biasa. Seperti Oh Sehun terlahir hanya untuk itu dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat merampasnya, sampai Oh Sehun sadar bahwa dia telah lama kehilangan.

Sesuatu yang besar pasti telah terjadi sehingga dari semuanya hanya tersisa Oh Sehun yang terus merasa kekurangan.

Bungkus permen mint dibuka, Oh Sehun meletakkannya pada lidahnya yang sepat. Dia tidak punya lagi sebungkus rokok, dia hanya memiliki setoples permen. Itu terkadang masih tidak cukup untuk menelan amarahnya.

Oh Sehun bisa mencari Luhan, tapi dia tidak melakukannya. Salahkan dirinya yang terlalu pengecut untuk mengetahui bahwa Luhan mungkin hidup lebih baik tanpa dirinya, bahwa wanita itu mungkin tidak menanggung rindu seperti apa yang selalu Oh Sehun keluhkan. Itu terlalu berat, terlalu memalukan. Oh Sehun masih berada pada gengsinya yang tidak pernah turun. Dia tidak akan memberitahu siapapun tentang seberapa besar dia mengharapkan Luhan kembali pada hidupnya.

Menanggung semuanya sendiri membuatnya lelah bukan main, tapi setidaknya itu dapat menjadikannya kuat di depan orang-orang. Oh Sehun benci terlihat lemah.

Apa laki-laki memang begini? Begitu percaya diri pada awal perpisahan dan selalu terlambat menyadari bahwa ada bagian besar dari dirinya yang telah rusak. Perasaan laki-laki yang rusak sulit diperbaiki, dan laki-laki suka merusaknya sendiri kemudian marah karena tidak dapat menyalahkan siapapun.

Oh Sehun percaya lagi bahwa waktu akan memperbaiki segalanya, tapi seperti sebelumnya, dia kembali dikhianati.

Oh Sehun tidak baik-baik saja. Dia masih sama rusaknya seperti hari pertama dia menyadari bahwa Luhan telah menjadi kepulan asap yang lenyap, meninggalkannya dalam lingkaran yang tidak bisa dia lompati.

Dia ingin mengembalikan Luhan pada tempatnya, di sisinya, tapi Oh Sehun benci tidak sanggup berbuat apa-apa selain menyimpan perasaannya sendirian. Sekali lagi, Oh Sehun terlalu takut bahwa Luhan tidak punya pemikiran yang sama lagi.

Mungkin Luhan sudah lupa cara merindukan tempatnya kembali di sisi Oh Sehun, karena mungkin dia telah menemukan pohon lain yang lebih tegak dan rimbun, yang bisa membuatnya berteduh dan menghirup udara segar sebanyak yang dia mau.

Paru-parunya tidak perlu lagi mengkerut karena asap rokok.

Oh Sehun ingat lagi, dia hanya sebatang pohon kering yang tumbang dan hancur. Sementara Luhan adalah musim semi yang terlalu indah, dan tidak bisa memasak. Luhan sangat payah dalam hal memasak, dia sungguh berada di ambang batas kata tidak berbakat.

Oh Sehun tersenyum kecil, merasa sinting bukan main. Kenapa yang melintas di otaknya malah Luhan yang seperti idiot saat di simpan di dapur? Kalau dia bisa menyimpan Luhan yang idiot lagi di dapurnya, dan tidak pernah sekalipun mengungkit betapa parahnya — meremehkan — kemampuan memasak gadis itu, mungkin Oh Sehun punya alasan yang jelas untuk tersenyum lebih lebar.

Mungkin dia bisa lebih sinting lagi malam ini. Sepuluh gelas bir belum sanggup membunuhnya ketika Luhan yang berkeliaran dipikirannya punya peluang lebih besar mematikan.

Oh Sehun bergegas, merampas kunci mobilnya dan berlagak seperti dia tidak butuh siapapun di dunia ini.

Laki-laki bertahan hidup dengan berbohong.

.

.

.

Bar adalah tempat berkunjung Oh Sehun ketika marah dan tidak terpuaskan pada dirinya sendiri. Tempat paling tepat bagi laki-laki hancur sepertinya mendapatkan lingkungan yang sama hancurnya. Dia akan mengundang Wu Yifan dan Park Chanyeol bergabung.

Mereka tidak sepalsu Oh Sehun, meskipun sama brengseknya; mungkin karena mereka laki-laki, tapi Wu Yifan dan Park Chanyeol tentu saja selangkah lebih maju. Dalam hal meminta maaf contohnya. Mereka bisa melakukannya dengan mudah sedangkan Oh Sehun selalu merasa kesulitan.

Dia dan Luhan memang sering bertengkar, sering berselisih pendapat karena banyak sekali topik bisa diperdebatkan. Tapi itu hanya jenis pertengkaran sekali lintas. Begitu saja dimulai dan begitu saja berakhir. Tidak ada yang harus meminta maaf dan menangis. Oh Sehun pikir mereka terlalu dewasa untuk melakukannya dan karena itu pula pengalamannya terlalu minim dalam hal meminta maaf.

Oh Sehun bingung. Nyalinya tiba-tiba mengempes dan bocor. Dia terlalu pengecut untuk menemui Luhan.

Ini hanyalah permasalahan tentang harga dirinya yang telah melampaui batas.

"Aku tau kau hebat dalam hal ini. Lima gelas bir tidak akan berpengaruh banyak. Jadi dengarkan saranku, Oh Sehun," Park Chanyeol mengangkat rokok yang terjepit di jarinya. Matanya semerah api di ujung rokoknya. Dia kurang tidur. "Kau hanya butuh sebatang rokok dan juga seorang pelacur yang akan mematikkan apinya untukmu. Seks adalah solusi terbaik bagi laki-laki seperti kita. Kau butuh mulut merah seksi yang bisa mengoralmu sampai klimaks."

Oh Sehun tau. Seks adalah mimpi manis liarnya bersama Luhan. Dia paham sekali teori itu. Juga tidak ada mulut yang diinginkannya untuk membungkus miliknya sampai klimaks selain mulut kotor Luhan.

Sebelum Oh Sehun menjawab, Yifan menyambar, "Ingatanmu sangat buruk, Park." Dia meraih gelas bir dari meja dan meneguknya. Gelas ke empat. Yifan masih sadar. "Sudah satu tahun enam bulan Oh Sehun hanya menghisap permen, bukan rokok. Jangan mempengaruhinya lagi. Dia sudah menjadi orang beriman sekarang. Tapi aku setuju tentang mulut merah seksi yang bisa mengoral sampai klimaks." Senyum mengejeknya timbul.

"Orang beriman yang datang ke bar untuk minum bir." Park Chanyeol menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Berarti wanita telanjang disana adalah bidadari. Kau benar Yifan, kita sedang berada di surganya orang beriman." Katanya kemudian tertawa.

Oh Sehun tersenyum masam. "Aku hanya tidak sengaja membaca artikel tentang penyakit paru obstruktif kronik. Dan aku menjaga paru-paruku mulai sekarang, karena aku tidak mau menjadi laki-laki tua sialan yang sering batuk dan terkapar kehabisan napas saat berpetualang seksual."

Tentu saja dia tidak serius. Memangnya kapan Oh Sehun membaca artikel tentang penyakit? Luhan sering membacakan nyaring-nyaring di telinganya bangun dan sebelum tidur tentang efek samping merokok, dari yang sepele sampai kematian, dan Oh Sehun cuma menganggapnya sebagai ucapan selamat tidur dan semoga beruntung. Dia mungkin sudah sangat sinting kalau sadar hanya karena sebuah artikel.

Park Chanyeol belum menyerah. Api rokoknya di tekan ke meja hingga mati. "Oke! Lupakan sebatang rokok dan segudang komplikasinya, karena setiap perokok sudah tau hal itu Oh Sehun dan mereka hanya keras kepala, termasuk aku, keras kepala, dan juga bodoh. Aku tau bahwa benda sialan ini hanya menghabiskan uang dan membuatku lebih cepat mati, tapi otakku bahkan tidak bisa menampung nafsuku lagi. Benda beracun ini penyelamatku saat Baekhyun tidak berhenti berteriak dan melempar barang. Sumpah mati, wanita pecemburu adalah salah satu spesies paling berbahaya di dunia. Dan aku mencintainya, itu lebih bahaya dari yang terbahaya. Sialan!"

"Tinggalkan saja." Yifan memang akan selalu tepat sasaran seperti ini. Dia menarik sebelah garis bibirnya. "Byun Baekhyun seorang pecemburu hebat, sementara Park Chanyeol punya simpanan dimana-mana. Kalian seperti biarawati yang jatuh cinta dengan iblis. Apalagi yang kau tunggu? Menunggu Baekhyun menggantungmu dengan kabel charger di dahan pohon akasia belakang rumah kalian? Kalau begitu kau bisa mendapatkan sumbangan lima ribu liter bir di hari pemakamanmu dariku. Dan, tidak perlu berterima kasih. Aku melakukannya dengan suka cita."

"Sialan!" Park Chanyeol melempar puntung rokoknya dan Yifan berhasil mengelak. Itu bukan lemparan marah, tapi lemparan untuk teman yang akan mengiriminya lima ribu liter bir di hari pemakamannya. Bajingan itu. "Tunggu waktumu Wu. Permainanmu belum sampai membuatmu menggelepar saat ditinggalkan. Sebelum merasakannya, sebaiknya tutup mulutmu dengan tiga puluh batang rokok. Aku ragu itu akan berhasil padamu. Kau mungkin tidak akan pernah merasakan betapa hebatnya menjadi orang bodoh karena seorang wanita."

"Apa hebatnya?"

"Hebatnya, ini bukan hanya tentang ranjang dan seks, tapi lebih pada kepuasan batin. Oh, ini sebenarnya memalukan dan sulit menjelaskannya pada seorang amatiran. Kau bisa bertanya langsung pada ahlinya, Oh Sehun sangat ahli dalam hal—"

tersebut.

Wu Yifan dan Park Chanyeol menyadari sesuatu. Mereka lantas mengikutinya.

Oh Sehun tidak benar-benar bersama mereka. Dia duduk, tapi fokusnya jauh melompati dirinya. Jauh menyusul pada seorang wanita yang duduk menyentuh tangan seorang pria di depan meja bar dengan perhatian begitu besar.

Luhan datang kembali. Oh Sehun menemukannya lebih dulu pada titik yang tidak diharapkannya ada orang lain disana.

Apa yang harus dia lakukan agar tidak terlihat menyedihkan?

.

.

.

"Dia tidak mengerti! Kyungsoo tidak pernah mengerti! Aku bekerja sampai tengah malam, sampai tulangku mengering, mengorbankan waktu kami untuk membuatnya lebih baik, agar dia bisa makan apapun yang dia mau, agar dia bisa menggunakan pakaian apapun yang dia suka, agar dia bisa hidup dalam rumah yang layak, agar dia tidak menyesal menikah dengan pria susah sepertiku. Dan yang bisa dilakukannya untuk menghargai kerja kerasku hanyalah pikiran buruk tentang aku tidur dengan wanita lain. Aku tidak sesinting itu untuk mengkhianati istriku. Aku mencintainya! Tapi kali ini Kyungsoo melewati batas!"

Luhan tidak tau harus mulai darimana, dia duduk di kursi hitam tinggi depan meja bar sambil menyentuh kaki gelasnya tanpa niatan untuk memindahkan cairan merah muda itu ke dalam mulutnya. Dia tidak haus, tidak juga ingin minum. Tapi duduk tanpa memesan apapun akan membuatnya tampak sangat pelit.

Kim Jongin terlihat frustasi. Luhan bisa merasakan bahwa laki-laki di hadapannya tengah berada pada titik terbawah emosinya; merasa tidak terpuaskan dan tidak dihargai, dan perasaan semacamnya yang tidak menguntungkan.

Luhan mengeluarkan suara serak dari kerongkongannya dalam bentuk simpati yang dalam, lalu menatap lekat-lekat Jongin yang menunduk.

"Dengar Jongin-ssi, aku tidak ingin terlihat seperti sedang menggurui, atau berlaku sok cerdas, atau pamer pengalaman dan sebagainya. Hanya anggap aku sebagai teman yang mencoba berbagi pemikiran tentang kasus ini."

Jongin mengangkat kepala, ketika Luhan mendapatkannya dia terkejut mengenai fakta bahwa laki-laki itu menangis. Simpatinya naik satu tingkatan, diraihnya tangan Jongin yang tergeletak di meja bar. Mencoba menjadi teman sebaik mungkin untuk diajak bicara, bukan seorang pengacara yang akan memberitau kliennya apa yang seharusnya mereka lakukan nanti di ruang sidang.

"Setiap hubungan selalu memiliki fase-fase itu. Bukan hanya fase mencintai dengan serakah, tapi akan ada fase dimana ego masing-masing tidak tertahankan, kemudian mengalir menjadi pertengkaran yang jika tidak ditangani dengan hati-hati, akan berujung pada rasa tidak terpuaskan. Bosan adalah hal paling mengerikan setelahnya. Dan aku masih melihat bahwa kau masih belum berada di fase setinggi itu. Ada harapan dan cinta yang sama besarnya di matamu. Kalian masih bisa diperbaiki."

Mungkin perpisahan akan memperbaikinya.

"Aku juga berpikir demikian. Tapi hari dimana Kyungsoo membawa anakku meninggalkan rumah dan pergi ke rumah orangtuanya, kupikir itu tandanya dia menyerah. Dia melukai harga diriku sebagai seorang suami, dia membuatku seperti sampah saat aku memintanya kembali di hadapan orangtuanya yang kaya dan dia menolak. Aku berakhir menyedihkan disini."

Rasa putus asa Jongin semakin membuat Luhan linglung, jadi yang dilakukannya hanya menepuk pundak laki-laki itu, beberapa saat sebelum dia menarik tangannya karena Jongin meneguk minuman kerasnya.

"Ini mungkin terdengar jahat. Tapi cobalah mencari sisi baiknya," Luhan menumpukan tangan di pangkuannya, berada di atas tas segi empat biru dan rok pensil abu-abu yang ketat. "Di sudut pandangmu Kyungsoo memang bersalah, tapi tidak ada salahnya mencari tau dari sudut pandang lain. Kyungsoo berasal dari keluarga kaya, kupikir dia tidak memerlukan apapun lagi untuk memenuhi keinginannya selain dirimu, dan kau terlalu keras berusaha memberikan yang terbaik pada hidupnya tanpa benar-benar tau mungkin hal terbaik yang selalu Kyungsoo impikan adalah kau yang selalu di sampingnya. Perempuan memang seperti itu, terlalu membingungkan. Tapi bukan berarti kami tidak bisa dipahami."

Jongin terlihat berpikir, Luhan akan senang jika ucapannya memberi beberapa masukan positif. Mungkin itu belum terpikir di benak Jongin dan Luhan disini berusaha menyadarkannya meskipun dengan kalimat sedikit kasar.

Gadis itu melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul dua belas lewat empat. Sudah tengah malam, kantuknya mulai terasa.

"Kuharap kau bisa memikirkan semuanya dengan kelapa dingin dan positif, juga dari berbagai sudut pandang. Sangat disayangkan jika tujuh tahun pernikahan kalian berakhir hanya karena emosi sesaat. Dan juga, Taeoh terlalu kecil untuk mengerti dan menerima semua ini. Tidak ada anak-anak yang suka orangtuanya berpisah." Luhan mengemaskan diri, menyampirkan tali tas ke bahunya. "Aku akan menemuimu sebelum mediasi pertama. Sekali lagi Jongin, semua ini masih bisa diselamatkan."

Dia beranjak dari kursinya, sedikit mengangguk ketika Jongin mengucapkan terimakasih dalam suara pelan.

Luhan ingin menutup hari ini secepat mungkin. Tulang-tulangnya terasa pegal, dia butuh air hangat dan ranjang yang empuk untuk mengembalikan dirinya yang bersinar besok pagi.

Riasannya mungkin sudah luntur, tapi apa pedulinya? Dia hanya akan segera pulang.

"Luhan?"

Sayangnya, tidak bisa secepat itu. Tepukan di pundaknya menahannya.

"Chanyeol?"

.

.

.

Seharusnya Luhan lebih cepat melompat keluar. Dia terjebak pada bencana yang belum sempat diperkirakannya terjadi selarut ini, membuatnya kalang kabut meminta pertolongan dengan guncangan di batinnya yang belum berhenti.

Ketika Chanyeol menarik sikunya, Luhan tau dia sedang dihadapkan pada gempa bumi lain, menelannya sampai ke dasar lautan yang tidak tercapai.

Luhan tidak butuh seseorang menembak kepalanya dengan pistol dari jarak lima meter, dia bisa melakukannya sendiri, tepat sasaran. Setidaknya itu berguncang dalam otaknya, ketika Luhan merasa seperti seorang narapidana yang menghadapi eksekusi hukuman mati dengan cara ditembak.

Tulangnya bergetar, suhu tubuhnya jatuh gila-gilaan. Semoga Chanyeol tidak merasakannya.

Tapi Chanyeol juga kelabakan, ketahuan dari caranya membawa siku Luhan duduk di sofa kemudian mengeluarkan beberapa umpatan yang tertahan dalam rongga mulutnya. Tidak perlu banyak pengetahuan, Luhan segera tau alasan kenapa Chanyeol terlihat begitu bersalah.

Dia pernah punya harapan begitu terbuka atas keinginannya bertemu Sehun untuk sekedar saling menyapa – daripada tidak sama sekali-, tapi bukan berarti Luhan cukup siap mendapati laki-laki itu bercumbu dengan wanita pirang dihadapannya dan tampak begitu senang, terbang dalam fantasinya yang liar, mengobrak abrik harapannya, dan Luhan harus bertingkah bahwa itu bukan sebuah masalah.

Jari-jari kaki Luhan menyempit, Luhan berterimakasih pada highheel-nya yang menutupi betapa sulit keadaannya mencegah agar lututnya tidak lepas. Ototnya mengencang, tapi Luhan lemas.

"Hai Luhan. Apa kabar? Lama tidak bertemu."

Yifan menyapanya, terdengar begitu ramah sebelum Luhan menyadari terselip kilatan prihatin dari balik matanya yang bersinar. Oh, dia benci tatapan seperti itu.

"Hai. Aku baik. Sangat baik. Aku harap begitu juga denganmu."

"Tidak sebaik itu ketika disuatu pagi aku mendapatkan kabar bahwa pengacara tercantikku kabur dari firma hukumku, bahkan tanpa salam perpisahan."

Yifan berbunyi di satu sisi, sedikit menyinggung tapi berhasil menyelamatkan Luhan dari darahnya yang mulai membeku.

Dia tersenyum samar. "Kupikir aku meninggalkan surat pengunduran diri sebelumnya."

"Dengan tulisan tangan sangat rapi, memang benar. Tapi aku belum menyetujuinya kurasa. Well, aku baru saja akan menawarkan gaji dua kali lipat ketika mejamu telah bersih. Kau meninggalkanku tanpa perasaan, aku benci kehilangan pengacara tercantikku. Bagaimana kau bisa memahaminya? Itu sangat buruk."

"Bagaimana aku bisa menebusnya? Apa dengan sebuah makan malam sudah cukup?"

"Aku punya ide lebih bagus."

"Apa?"

"Kembali ke firma hukumku dan dapatkan gaji lima kali lipat dari gajimu sekarang. Bagaimana?"

"Kau memang rajanya negosiasi, Fan. Tapi aku sedang tidak berselera mengambilnya sekarang. Mungkin suatu saat nanti saat aku benar-benar butuh uang untuk membeli selusin pakaian dalam victoria's secret." Atau saat Sehun tidak punya kuasa untuk mengatur pekerjaanku di firma hukum milikmu.

"Itu menyakitkan. Tapi aku senang mendengar bahwa masih ada kesempatan. Oh, mungkin musim panas nanti kamu butuh selusin pakaian dalam victoria's secret-mu. Kau tau, aku selalu tidak sabar menunggu kabar baik." Yifan menampilkan giginya yang putih dan besar saat dia tertawa, dan dia terlihat semakin tampan, dua tingkat lebih tampan kalau rambutnya berwarna hitam, bukan silver pekat seperti itu. Tapi bagaimanapun juga, Yifan menguasai seluruh kharismatik yang diimpikan laki-laki seluruh bumi.

Luhan tidak menjawab lagi, lidahnya terasa nyilu ketika mengeluarkan gurauannya yang terdengar bodoh.

Sehun yang bercumbu di depannya sangat mengganggu. Luhan jujur kali ini. Dan itu mendorongnya jauh lebih bodoh lagi. Jika Sehun melakukan itu untuk menyakitinya, maka Luhan ingin bertepuk tangan kencang-kencang dan mengatakan bahwa dia berhasil, berjalan sangat baik. Sukses besar!

"Beri kami satu gelas wine tambahan!" Chanyeol sedikit memekik pada waitress yang melintas, memastikan bahwa pesanannya benar-benar sampai. Tapi Luhan menyela dengan cepat.

"Apa itu untukku? Kalau ya, boleh orange juice saja."

Chanyeol cemberut. "Ayolah. Kau lebih kuat dari yang terlihat." Matanya mengerling cerdik.

"Memang. Tapi aku bawa mobil. Pulang menyetir sendiri maksudku. Dan kredit mobilku belum lunas untuk ditabrakkan ke tiang listrik."

"Alasan yang cerdas nona Lu." Dia tertawa kecil, sedikit terhibur, memalingkan wajah lagi, kembali memekik "Orange juice!" dengan nyaring.

Dan Oh Sehun masih juga belum berhenti. Luhan membuang napas kasar. Rasanya lebih lelah dari berjalan maraton lima ribu kilometer. Apa laki-laki itu sengaja mendorongnya pada sisi yang akan membuatnya remuk karena marah tanpa alasan yang cukup kuat untuk berteriak? Dia benar-benar jahat.

"Jadi," Yifan kembali mengambil alih. "Yang tadi itu pacarmu?"

Alis Luhan berkerut tajam. "Siapa?"

"Laki-laki tan yang duduk disana." Dia menunjuk arah meja bar, Jongin masih duduk dengan lemas dan Luhan langsung memahaminya.

"Kim Jongin?" Tawanya terbentuk begitu cantik, geli yang disengaja. "Maksudmu aku akan duduk disini, dikelilingi laki-laki panas yang akan merontokkan air liurku, ketika ada pacar tan-ku yang seksi disana untuk diajak bercumbu? Well, sepertinya itu bukan zona aman seorang Luhan." Dia meneguk orange juice-nya ringkas. "Dia klien-ku." Lalu meletakkan gelasnya kembali. "Terkadang kau begitu lucu, Mr. Wu."

Tidak perlu waktu lama bagi Wu Yifan dan Park Chanyeol merutuki betapa bodohnya Oh Sehun. Karena secepat Luhan selesai dengan ucapannya, secepat itu pula Oh Sehun menarik kepalanya dari si pirang.

Bagus sekali! Dia tertangkap basah sedang menipu diri sendiri.

Oh Sehun mengusap sisa lipstick di bibirnya. Ketika wanita di sampingnya menarik wajahnya lagi, Oh Sehun menolak. Dia tidak ingin berbuat kasar, tapi wanita itu pergi dengan kobaran api di kepalanya saat Sehun berkata cukup. Cukup dalam terjemahan 'angkat pantatmu dari sini dan silahkan pergi'. Itu maksud sebenarnya.

Kemudian dengan tidak profesionalnya, dia membentuk kontak mata dengan Luhan. Bersembunyi di balik denyutan jantungnya yang menyiksa, merutuki betapa bodohnya dia yang ingin terlihat sehat di depan Luhan dengan cara yang salah. Dia tidak harus mencumbu si pirang hanya demi menunjukkan pada Luhan bahwa Oh Sehun bisa hidup setelah berpisah. Luhan tidak perlu tau seberapa keringnya hidup Sehun selama ini. Dan dari kebodohannya, Oh Sehun mendapatkan tatapan putus asa dari tengah mata gadis itu.

Ini tidak memperbaiki mereka. Oh Sehun merutuk kenapa dia yang selalu membuat kesalahan di awal. Mereka menjauh lagi bahkan sebelum mendekat.

"Hai, Sehun. Apa kabar?"

Sehun terjebak pada pusaran badai yang menggulung dirinya ketika Luhan memberikannya sapaan ringan dengan sebuah senyuman. Begitu banyak pertanyaan melayang di otaknya dan Oh Sehun kehilangan jawaban atas sapaan hangat Luhan. Badai masih menggulugnya. Dia baru akan menarik otot di sekitar mulutnya ketika orange juice Luhan datang dan menghentikan kontak di antara mereka sama sekali.

Luhan mungkin akan mengganggap bahwa Sehun tidak peduli tanpa benar-benar tau Sehun nyaris kehilangan dirinya sendiri karena suara tipisnya yang merdu.

Sialan! Sehun tidak mau seperti ini!

"Jadi yang tadi benar-benar bukan pacarmu?" Chanyeol masih menyerukan ketidakpercayaannya.

"Apa aku harus menjadwalkan pertemuanmu dengan dokter spesialis THT?"

"Tidak, Luhan. Terimakasih." Chanyeol meraih bungkus rokok dari meja, siap melucutinya satu persatu ketika dia tidak sengaja melirik Oh Sehun yang melotot, kemudian beralih pada Luhan yang mulai mengambil beberapa jarak. Jadi Chanyeol meletakkan kembali bungkus rokoknya dan mendesah tanpa meminta maaf. Dilarang merokok, mulutnya akan sepat. "Apa kau berkencan dengan seseorang?"

"Aku terlalu sibuk. Apakah itu bisa membantumu menarik sebuah kesimpulan?"

"Ya, terimakasih. Senang mendengarnya."

"Kenapa?"

"Karena mungkin kita bisa membicarakan jadwal kosongmu untuk berkencan denganku."

Chanyeol tidak tertarik melihat reaksi Sehun, tapi dia tersenyum geli dari ujung pendengarannya mendapatkan Oh Sehun menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa, bernapas kasar penuh permusuhan.

"Apa kau sudah putus dengan Byun Baekhyun? Jika ya, mungkin kita bisa mengaturnya."

"Aku tidak keberatan menanggung kalian berdua."

"Aku penasaran apa yang akan Baekhyun lemparkan padamu jika dia tau tentang ini."

"Sialan! Kau masih sama cantik dan liciknya seperti dulu. Jangan melapor, oke. Dia sedang berendam pada larva panasnya sekarang. Aku ketauan mencium seorang wanita dua hari lalu dan Byun Baekhyun sedang mendidih-didih. Aku tidak harus memberitahumu berapa banyak uang yang kukeluarkan demi mengganti perabot rumah yang rusak."

Luhan mengkerut, menampilkan ekspresi ibanya yang lucu pada Chanyeol.

Lututnya mulai gelisah karena panjang rok pensilnya tidak mencukupi untuk membuatnya nyaman duduk pada sofa pendek seperti ini. Apalagi dia punya kulit seputih kertas yang menarik perhatian laki-laki untuk tersenyum jahil padanya.

Kemudian dia menatap Oh Sehun, bertanya apakah dari tadi mata laki-laki itu tertancap padanya? Bolehkah Luhan berpikiran seperti itu dan bergantung lagi pada harapannya yang tinggi.

Belum selesai dia melerai pikirannya tentang tatapan Oh Sehun yang rekat seperti staples, laki-laki itu malah beranjak dari kursi, mengambil alih semua perhatian padanya. Sehun berjalan menelusuri sofa, begitu licin dan dominan.

"Mau kemana?"

Dia tidak menganggap penting Chanyeol.

"Membuang tubuhku dalam kloset." Katanya ringkas lalu melemparkan jas-nya ke pangkuan Luhan dan melangkah seperti tidak terjadi apapun.

.

.

.

Luhan cukup senang bahwa Sehun mengambil waktu cukup panjang di toilet, jadi dia tidak harus memperlihatkan kakinya yang gemetaran saat dia mengatakan akan pulang pada Chanyeol dan Yifan. Juga meletakkan jas Sehun di sofa, meminta Chanyeol menyampaikan terimakasihnya pada laki-laki itu.

Mereka berbaik hati ingin mengantarnya ke mobil, tapi Luhan menolak. Secara tegas menolak untuk dikasihani.

Lututnya telah kembali, tulangnya menjadi kuat dan kokoh ketika tidak ada aroma Sehun yang akan menumbangkannya. Ketuk tumitnya menggema di parkiran bawah tanah yang lembab.

Tangannya masuk ke dalam tas untuk mencari kunci, setelah dapat, Luhan berdiri di samping pintu mobil. Dia baik-baik saja sebelum penglihatannya jatuh pada ban mobil-nya yang kempis lalu mendadak panik.

Bagaimana karet itu bisa merosot tiba-tiba? Luhan merutuki dirinya sendiri yang melewatkan tiga kali masa service mobil karena terlalu sibuk. Apakah ini termasuk dampak buruknya?

Membuang napas kasar, Luhan meraih ponsel dari tas-nya, menghubungi beberapa nomor yang mungkin bisa memberinya pertolongan pada ban mobilnya yang bocor. Tapi sebelum ada yang menjawab, Luhan mengusap lehernya, menghilangkan pikiran ngeri begitu mendapati dua laki-laki berbadan tegap setengah mabuk berjalan mendekat.

Tubuh Luhan berputar, berusaha menghindar, pura-pura sibuk pada teleponnya yang belum juga terjawab.

"Butuh bantuan, nona rok pensil pendek yang cantik?"

Oh, Tuhan. Selamatkan dia. Luhan baru saja mendapatkan lututnya dan sekarang dia merasa lututnya akan lepas lagi.

"Tidak, terimakasih," katanya ringkas, berharap laki-laki setengah mabuk disana cepat berlalu. Tapi mereka malah bersiul, ketika Luhan meliriknya, laki-laki itu menatap bawah pada rok-nya.

Sialan! Luhan merasa terlecehkan.

Dia berharap ada seseorang yang akan membantunya disini, tapi tidak ada pergerakan apapun.

"Tolong menjauh!" Tegas Luhan, menampar tangan laki-laki berkumis tebal yang mencoba meraih wajahnya. Luhan tidak bisa merasakan tanah lagi di bawah kakinya. Dia bergetar seperti badai bergelung di sekitar tumit highheel-nya.

"Kau butuh seseorang untuk mendongkrak mobilmu, dan mengangkat rokmu tinggi-tinggi sebagai ucapan terimakasih."

Mereka tertawa begitu menjijikkan, membuat Luhan mengambil dua langkah mundur.

Berteriak! Batinnya memerintah dengan gila, tapi Luhan bahkan tidak mampu menjangkau tenggorokannya, seperti teriakannya teredam dalam darahnya yang tersumbat, itu sangat menakutkan.

"Pergi!"

Dia mencoba berteriak, tapi hasil terjauh yang didapatkannya hanya berupa cicitan. Tolong, berikan Luhan sebuah jurang di belakangnya untuk tempat dia melompat. Karena Luhan tidak butuh tembok beton menahannya disana dalam ketakutan yang berlipat-lipat.

"Tolong…" Lirihnya, mulai menangis.

Oh Sehun, tolong datang

Dia melafalkannya seperti sebuah mantra. Berulang-ulang di dadanya, memohon langit memberikan suatu pemberkatan. Dan Luhan memang selalu diberkati.

Dia berpijak pada tumitnya yang gemeteran ketika Oh Sehun benar-benar datang untuknya. Seperti angin.

Berlawanan arah, muncul dari lubang semut yang tak terlihat, keluar dari pintu mobilnya dengan begitu tampan dan sangar. Auranya gelap, seperti dia telah menelan seluruh semesta ke dalam mulutnya.

"Menyingkir! Dia wanitaku malam ini."

Suaranya tidak nyaring, Oh Sehun tidak berteriak, namun efeknya seperti petir menyambar dari celah bibirnya yang kering.

Sebelum dua laki-laki setengah mabuk di hadapannya sempat meludah ke lantai, Oh Sehun mengeluarkan kartu hitam dengan tulisan berwarna emas dari saku jasnya.

"Kalian tidak boleh menyentuh wanita milik VVIP. Itu hukum disini."

Dan mereka mundur, seperti kelelawar dikejar kobaran api yang disemburkan dari sudut neraka. Pergi tanpa pernah sekalipun melihat ke belakang. Hanya karena sebuah kartu. Laki-laki jahat dan kotor kalah karena sebuah kartu. Betapa curangnya dunia ini.

"Masuk ke mobil. Aku akan mengantarmu pulang."

Rahangnya melunak, Oh Sehun bukan lagi predator pemakan daging yang buas, tapi cukup berbisa untuk membunuh.

Luhan bisa mati terkapar dengan mulut penuh buih.

"T-tapi…"

"Masuk, Luhan! Kumohon, hanya masuk dan duduk disana!"

Dia marah. Luhan tidak tau kenapa laki-laki itu tiba-tiba marah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

½

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Cieeeeee cieeeeeee

Yang kesel karena adegan anu nya gak jadi gue masukin dalem chapter ini. cieeee yg bertanya-tanya kapan gue bakalan apdet part 2 nya. Cieeeee, yang nunggu chapter depan hunhan anuan.

.

.

(This is a little gift for ma lovely sister 'Nurul Basyariyah' yang baru aja (udah lama keles) ulang tahun tanggal 9 Agustus kemaren. Sorry baru apdet sekarang kak, soalnya baru setengah jadi. Selamat bertambah tua. Segera ke pelaminan (ke pelaminan mantan maksudnya sebagai tamu. Hahahaha)

.

.

.

Hope you guys like it. Mumumumumu

AI LOP YU :* :* :*