-Akan Kulakukan-

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T semi M (?)

Pair : GenmaKaka

Warning : Sho-ai, Typo(s), Tulisan yang berantakan, Tidak jelas, etc.


Chapter 8 - Tujuan


.

.

"Genma, jika kau benar-benar sakit aku akan memanggil dokter atau Sakura kesini. Bangunlah, mau sampai kapan kau berbaring di sana ?"

Aku membuka mata, membiarkan silaunya matahari menyerang indra penglihatku yang baru saja melihat dunia.

Ya, duniaku. Hatake Kakashi.

.

.

Di mana aku ?

Panas, seluruh tubuhku terasa seperti dipanggang, namun tetap dingin di beberapa bagian.

Sebenarnya di mana aku ?

Cahaya, aku butuh cahaya ..

Sinar yang dapat kutangkap hanya secercah kilau yang menyakiti mataku begitu saja, menyorot begitu tajam ke sisi mataku yang sedikit terbuka.

"..ma, Genma ..."

Ah, suara itu

Jadi, itu kah suara terakhir yang dapat kudengar ?

Suara yang jelas-jelas menampakkan rasa takut, sarat akan kekhawatiran, juga―

―rasa kecewa.

Sial, dia pikir siapa aku ?

"Hentikan Kakashi, aku bisa mengatasinya." Dan kulihat dia terbelalak, tanpa sadar aku menyeringai. "Maaf, tapi aku tidak selemah itu. "

"Ck, jangan bertingkah layaknya kau baik-baik saja! seharusnya―"

Bau rumah sakit ini membuatku muak, juga, kenapa pula aku harus diinfus ?

"Yare-yare Kakashi, aku bisa pulang sekarang" Aku menyibak selimut rumah sakit yang― astaga .. sampai 4 lapis ? Pantas saja tubuhku terasa seperti terbakar. Aku mencoba bangun, tapi .. "Ackk―" tubuhku tak sanggup, dan tanganku tak mampu menopang.

Kakashi spontan memaksaku untuk berbaring kembali.

"Apa yang kau lakukan ? Menyakiti dirimu sendiri ? Setidaknya bersabarlah sampai beberapa hari. Kenapa kau tidak bilang kalau kau―"

"Urusai!"

Mana mungkin aku memberitahukan penyakitku ini ? Bisa-bisa dia cemas setengah mati setiap musim hujan datang.

"Hh~ Sejak kapan kau alergi dengan musim dingin ?"

Aku tak bergeming.

"Suhu tubuh yang menurun drastis namun terasa panas yang membakar bagi si penderita. Seluruh tubuh terasa lemas dan pening menyengat yang menyerang di kepala belakang. Yah .. kurasa hanya kau yang memiliki alergi seperti ini." Si Hatake itu duduk di tepi ranjang, lalu menyamankan posisinya.

"Bukan urusanmu" Aku berbalik membelakanginya.

"Ha'i ha'i .. jika kau benar-benar ingin pulang, kupastikan besok aku yang akan menandatangani langsung surat persetujuannya. Tapi untuk sekarang, menginaplah dulu. Lagi pula ini sudah malam."

Aku tidak ingat dia se-over protective ini.

"Aku mengkhawatirkanmu, baka. Aku bisa mengatasi ini, kau tenang saja. Pulanglah, aku tidak akan kemana-kemana" Kataku sambil memejamkan mata tanpa berbalik menghadapnya.

Ingin sekali rasanya aku bangkit dan menyeret Kakashi menjauh dari bangunan berbau obat ini. Karena walau bagaimana pun, aku tahu, aku tahu dia masih ..

"Kau tahu ? Bahkan sampai saat ini aku masih merasa trauma dengan rumah sakit. Jadi .."

Tunggu, apa yang dia lakukan ?

Aku langsung berbalik dan mendapati Kakashi yang dengan seenaknya telah berbaring di ranjang yang sempit ini, bersinggungan di sampingku.

".. kau tidak keberatan 'kan berbagi ranjang denganku ?"

Wajah yang tertutup masker itu tersenyum. "Jangan berpikiran negatif, jika kau memang merasa baik-baik saja, maka anggaplah kau yang menemaniku disini, seperti dulu―"

Ck, dasar orang ini.

"―dan bukan sebaliknya."

Bisa-bisanya dia membuatku semakin mencintainya.

Aku tertawa kecil ketika Kakashi berbalik menghadap sisi yang berlawanan dariku. Tanpa ragu aku langsung memeluknya dari belakang, membenamkan wajahku di antara leher dan bahu orang yang amat kucintai ini. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Membuatnya sedikit bergidik.

Hangat, tanpa selimut. Bersuarakan dua jantung yang masing-masing berdegup tak karuan. Aku tersenyum senang, entah sudah keberapa kali. Pria yang baru menyatakan perasaannya padaku ternyata bisa semanis ini.

Aku tak menyangka, semua ini terasa seperti mimpi. Di mulai dari perasaanku yang ternyata terbalaskan, sampai Kakashi yang mulai bersikap manja seperti ini― kuralat, Kakashi memang sudah manja sejak dulu.

"Kakashi .. " Aku mulai memejamkan mata. "Aku belum menjawab pertanyaanmu kan ?"

"..."

Aku mengecup singkat bahu Kakashi, lalu mengeratkan pelukan.

"Kurasa aku tak perlu menjawabnya"

.

.

Aku mengerjap beberapa kali dan menyadari ada sosok berat yang membelenggu tubuhku seenak jidat. Untung saja aku cinta, dasar Kakashi.

Ini masih pukul empat― mungkin. Aku tak dapat melihat jam dengan jelas karena tangan Kakashi sedikit menghalangi mataku. Ini seperti mimpi, atau mungkin ini memang mimpi ? Entahlah, apapun itu aku tak peduli. Aku terlalu senang, sangat-sangat senang. Lebih-lebih ketika aku mengetahui kalau Kakashi tidak tidur.

Dia sudah bangun dan tetap memeluk tubuhku tanpa risih.

Aku berbalik menghadapnya, lalu tersenyum. Menatap kedua mata yang juga menatapku. Kening bersentuhan, oksigen saling bertukar. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan ?

"Kau yakin tak mau menjawabnya ?"

Aku tertawa kecil. Dia ragu ternyata.. "Kau sudah tahu jawabannya, Kashi.."

"Tapi aku ingin dengar langsung" Kakashi melingkarkan satu tangannya kepinggangku, meniadakan jarak hingga pelukan semakin erat. Aku menyeringai, ini kali pertama dalam seumur hidupku dia melakukan tindakan seperti ini.

Posesif

Mau tak mau aku menyeringai lagi dibuatnya. "Aku masih mengantuk Kakashi, hoamm~ nanti saja bahasnya" Aku berbalik membelakanginya hingga tubuhku tengkurap.

"Aku serius, Genma. Beri aku keyakinan, agar aku dapat mengatakan semuanya dengan mudah di depan Tsunade-sama."

Aku terbelalak.

Kuso, kenapa aku baru ingat ?

Segera aku membalikkan tubuhku untuk menatapnya. Namun tidak bisa.

Ya, Tidak bisa. Karena Kakashi langsung merengkuh tubuhku yang sedang tengkurap begitu saja. Ia memelukku dari atas seakan-akan aku adalah gulingnya yang tidak bernapas.

Aku mencoba berbalik, bangkit, dan menjauhkannya dari tubuhku. Sempurna, yang sialnya semua itu hanya sia-sia karena kondisiku yang belum sepenuhnya pulih.

"Aku kesulitan bernapas, baka. Menjauhlah."

"Tidak, sebelum kau menjawabku"

Apa ?

"Itu yang ingin aku bicarakan! Makanya menyingkirlah sebentar!"

"Jawab dulu baru aku lepaskan"

"Ck― Tak akan ku jawab sebelum kau menyingkir dari tubuhku"

"Kalau begitu kita akan seperti ini sampai pagi."

"A―" Sungguh, ini pertama kalinya dalam hidupku. Aku. Kalah. Dengan orang-orangan sawah ini!

Sial.

Aku terpojok.

"Hahhh baiklah-baiklah! Tapi biarkan aku bernapas dulu, ck."

Kemudian dia tertawa kecil, yang di telingaku lebih terdengar sebagai ejekan.

Menjauh sedikit sambil melonggarkan pelukan, pria berambut perak ini membalikkan tubuhku hingga berbalik menghadapnya.

Dia tersenyum senang.

Astaga... Kenapa dia manis sekali sih ?

Mataku melirik kesana-kemari, tak ingin menatapnya. Dadaku sesak luar biasa, mungkin, saking kencangnya, detak jantungku ini sudah didengarnya sejak tadi. Mungkin, ini juga yang dirasakan Kakashi semalam ?

Kuhirup oksigen dalam-dalam sambil menutup mata, lalu kubuang perlahan.

Aku tak bisa menghindar.

"Suki desu."

POFFF

Wusshhh~

Aku dan Kakashi mengerjap bersamaan.

Tadi itu .. apa ?

Sontak kami menoleh ke arah jendela sumber suara tadi muncul. Ada yang memata-matai.

"Kau tunggu disini"

Aku mengangguk kemudian mengucap 'hati-hati' sebelum ia pergi. Sampai Kakashi melompati jendela dan menghilang begitu saja.

.

.

Basah ..

Lengket ..

Geli ..

Dan juga aroma―

"ARRGGGHHHHHHH APA YANG KAU LAKUKAN PAKKUN ?!"

―seekor anjing.

Aku langsung membelalakkan kedua mataku ketika menyadari ada benda lunak yang lengket dan berliur sedang membasahi permukaan wajah tampanku ini dengan asyiknya. Dan aku. Masih. Tidak. Mengerti.

Kenapa aku harus dibangunkan oleh seekor anjing ? tidak, bukan itu.

Kenapa Pakkun membangunkanku dengan cara seperti ini ?

"Maaf, Kakashi menyuruhku untuk membangunkanmu, tapi aku tidak diperbolehkan untuk menyentuhmu, jadi .."

"Jadi Kakashi menyuruhmu untuk menjilati seluruh wajahku hingga aku bangun ?"

Ck. Apa-apaan dia itu. Kenapa tidak dia sendiri saja yang membangunkanku ?

Benar, jam berapa sekarang ?

"Tidak, sebenarnya aku sudah berusaha membangu―"

"Pakkun, jam berapa sekarang ?"

Anjing kesayangan Kakashi itu mengerjap. "Hampir tengah hari. Itulah kenapa aku―"

TENGAH HARI ?

"KENAPA KAU TIDAK MEMBANGUNKANKU ?"

"Kakashi bilang kau harus banyak istirahat, dan sejujurnya aku sudah berusaha membangunkanmu dari setengah jam yang lalu."

Kedua mataku melebar tak percaya. "J-jadi.. kau .. sudah menjilati wajahku s-selama .. setengah jam ?"

Kami-sama ..

Harus berapa kali wajah tampanku ini dibasuh dengan tanah hingga liur Pakkun benar-benar hilang ?

"Tidak, aku menyalakan alarm di samping telingamu, tapi kau tidak terusik sedikitpun"

E― Pantas telingaku terasa agak sakit. Tapi.. syukurlah.

Aku bangkit dan menyibak selimut. Tubuhku sudah merasa baikan, jauh lebih baik dari semalam. Tidak ada lagi efek seperti terbakar, dan tidak ada lagi tubuh sedingin mayat. Aku sudah sehat, kurasa.

Aku melirik makhluk berkaki empat yang membangunkanku tadi, dia masih menatapku dari sudut tempat tidur. "Kau bisa kembali Pakkun, terimakasih sudah membangunkanku. Ah, dan maaf aku memarahimu tadi."

"Kau yakin ?"

Ku anggukan kepala sebagai jawaban "Aku akan memanggil suster jika butuh sesuatu."

"Baiklah. Ah, iya, kumohon jangan katakan pada Kakashi kalau aku membangunkanmu dengan cara itu."

POFFF

Dan anjing itu kembali keasalnya.

Hah, lucu sekali.

Langsung aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, menggosok bagian wajah dan mencucinya berkali-kali. Aku tidak suka ada sesuatu yang lengket dan berlendir menempel di wajahku. Itu membuatku jijik. Tapi beda hal nya kalau .. Kakashi―

Aisshhh! Apa yang kupikirkan ?!

Kugelengkan kepala kuat-kuat berharap pikiran tak jernih tadi sirna. Ck, menyusahkan.

Selesai dengan urusanku, aku membuka pintu kamar mandi untuk keluar, dan langsung menangkap satu sosok yang sedang mendudukan diri di sisi ranjang sambil membaca novel.

"Baru bangun, Tuan Putri ?"

Aku memutar bola mata mendengar penekanan pada kata 'tuan putri'. "Jangan salahkan aku, bukan aku yang ingin sakit seperti ini."

"Yare yare, kau sudah boleh pulang, aku sudah menandatangani berkas-berkasnya tadi."

"Benarkah ? Bagus kalau begitu. Ayo pulang, aku lapar setelah hibernasi tadi" Aku menarik tangan Kakashi untuk membawa kami menjauh dari tempat ini, aku sudah muak mencium aroma obat-obatan.

Tapi Kakashi malah menahan tanganku dan membuatku berbalik menghadapnya.

"Kita tidak bisa langsung pulang" Ia menarikku untuk duduk di sampingnya, satu tangan memasukkan novel ke saku celana.

Aku mengerjap. "Memang kenapa ?"

"Ada yang harus kulaporkan pada Tsunade-sama, dan kau harus ikut"

Beberapa saat aku diam menatapnya, mencari kata-kata yang tepat sambil berpikir. "Baiklah, ayo"

Dan sepertinya, ini tidak akan mudah.

.

.

"Tsunade-sama" Kakashi memulai. Di dalam ruangan besar yang terdapat banyak tumpukan file ini hanya ada kami bertiga. Hokage pasti pusing dengan ribuan file di sana, namun kulihat ekspresinya sedikit lega, bagai ada sebuah beban yang diambil dari hidupnya. Apapun itu, aku bersyukur. Yah setidaknya itu membuat kami agak tenang.

"Oh, kalian. Bagaimana keadaanmu, Genma ?"

Aku sedikit terkejut ia membuka obrolan langsung denganku. "Sudah jauh lebih baik dibanding semalam"

"Baguslah. Lalu Kakashi ? ada hal apa ?" Tanya sang Godaime sambil mengerjakan beberapa berkas.

"Aku ingin membicarakan masalah pendamping."

Aku menatap tajam ke arah sang Godaime yang― bahkan sama sekali tidak menatap Kakashi maupun aku. Dia sibuk berkutat dengan kertas-kertasnya, namun dengan sedikit senyuman yang tertahan. Bukankah dia biasanya begitu sensitive jika menyangkut urusan pendamping Kakashi ?

"Kau sudah menemukannya ?"

"Ya"

"Siapa ?"

Jantungku berdegup kencang, tapi kutahu Kakashi lebih gugup dibanding aku. Meski siapapun orang yang melihat akan terkelabuhi dengan sikap tenangnya ini, tapi aku tahu, Kakashi menyimpan perasaan takut di dalam hatinya.

Aku meraih tangannya, kemudian menggenggamnya erat. Berusaha mengurangi sedikit stress dalam dirinya yang mungkin saja dapat berdampak pada jawaban Tsunade-sama nanti.

"Aku memilih Genma untuk menjadi pendampingku."

"Baiklah, akan ku urus semuanya secepat mungkin. Minggu depan kalian menikah."

"..."

"..."

"Kita tidak punya banyak waktu. Dan sampai minggu depan, status Genma masih tetap sama. Jaga dia dengan baik."

"..."

"..."

"Kalau tidak ada urusan lagi kalian boleh pergi."

"..."

"..."

"Ada apa lagi ?"

"Aku mengerti. Kami permisi"

Kami keluar dari ruang Hokage.

Dan aku, masih, tidak mengerti.

Aku langsung menoleh ke arah Kakashi yang kini sudah merosot pada dinding. Aku menghela napas. "Sudahlah, kau berhasil, Kakashi." Ujarku sambil berjongkok kemudian mengelus kepalanya dengan sedikit senyuman.

Dia menoleh, "Tidak, kita berhasil."

.

.

Kedai kare

Kurasa Kakashi berbakat menjadi cenayang sampai-sampai dia membawaku ke tempat makan ini. Bagaimana dia tahu aku sedang ingin makan kare ?

Aku memandang sekitar mencari tempat duduk sementara Kakashi memesan makanan. Ada sebuah meja yang kosong dengan empat bangku mengelilinginya. Aku berjalan kesana, namun dua orang yang kukenal dengan seenaknya menarik bangku dan duduk disana.

Apa dunia sesempit ini ? Kenapa harus mereka lagi yang kutemui ?

Ck― yasudahlah, makan berempat dengan Raidou dan Yasu juga tidak masalah.

Aku mendekati mereka, yang sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku. Tak lama Kakashi menyusul dengan nampan besar berisi dua porsi kare dan dua kaleng minuman. Kami tak bergeming, masih berdiri di belakang mereka tanpa diketahui.

"Raidou, lanjutkan ceritamu!"

"Tentu saja, dan yang kudengar pernikahannya akan diadakan minggu depan."

Pernikahan ? Minggu depan ? Mereka ..

"Cepat sekali! Aku senang mendengarnya. Akhirnya Genma-kun dan Kakashi-san akan menikah.."

Eh ? Jadi mereka benar membicarakanku ?

Tapi.. Bagaimana bisa ?

Aku mengerjap, "Oi, Kakashi, bagaimana kedua makhluk ini bisa tahu ?"

Dan dengan pertanyaanku untuk Kakashi tadi, dua insan yang sedang bergosip ria itu terlonjak kaget. Aku menyeringai puas melihat ekspresi mereka yang tertangkap basah sedang membicarakanku dan Kakashi.

"G-genma ? Kau.. s-sejak kapan berdiri di sana ?"

Mimik Raidou horror, begitu pula degan Yasu. Alih-alih menjawab pertanyaan Raidou barusan, aku malah menarik bangku dan menyuruh Kakashi duduk di sana, yang membuat mereka berdua menjadi saling tatap.

"Tangan Kakashi penuh dengan nampan makanan, aku hanya membantunya." Tatapanku datar.

Raidou dan Yasu hanya bisa menggeleng ketakutan. Mungkin masih terkejut karena kepergok tadi.

"Makan siang ?" Ucap Kakashi sambil meletakkan piring kare milikku, sementara aku menempatkan diri duduk di sampingnya, berhadapan dengan Raidou.

"E-eh ? Ah, i-iya .." Yasu tersenyum kikuk dengan satu tangan menggaruk pelipisnya. Aku jadi ingin tertawa. Tapi mengingat pembicaraan mereka tadi, ada hal yang harus kupastikan.

"Kau belum menjawab pertanyaanku Kakashi, ini pasti ada hubungannya dengan suara semalam." Mataku menatap tajam ke arah Raidou. Prediksiku tidak mungkin salah. Aku sudah mengenalnya sejak dulu.

"Yah, sesuai dengan dugaanmu, Raidou-lah si sumber suara semalam. Ia ditugasi Godaime untuk memata-matai aku. Hanya saja .. dia bimbang antara takut, kewajiban, dan rasa tidak enak karena yang dia awasi adalah aku, tapi dia tetap tidak bisa menghindar."

"Jadi itulah sebabnya ia terkesan seperti 'meninggalkan jejak' ?" Aku tak bisa menahan seringai. Rasa geli dalam perutku membuatku ingin tertawa. Kasihan sekali temanku ini.

"Yah, tepat sasaran." Kakashi ikut-ikutan menyeringai.

"M-maafkan aku." Raidou memposisikan diri membungkuk di bangkunya, diikuti Yasu yang sepertinya telah mengetahui misi yang diberikan Tsunade-sama untuk Raidou semalam, karena ia hanya senyum-senyum kaku sejak tadi.

"Sudahlah, itu bukan masalah besar." Raidou kembali ke posisi semula. "Kau tidak memesankan makanan untuk pacarmu, tuan Anbu terhormat ?"

"HEEEEE?!"

Kena

.

.

Kepalaku sakit. Ah, ini salahku karena buru-buru ingin pergi dari rumah sakit sampai tidak meminta resep obat. Kalaupun diberikan aku juga tidak akan meminumnya. Mungkin dengan istirahat sebentar kondisiku akan―

HAP

Tiba-tiba Kakashi melempar sebuah plastik berisi beberapa obat padaku yang baru saja mencoba merebahkan tubuh di kamar. Aku menatap obat di tanganku, kemudian menatap Kakashi.

"Habiskan dalam tiga hari. Mulai sekarang kita akan sibuk mengurus banyak hal, kau tidak boleh sakit."

Oh, astaga.

Aku tak kuasa menahan senyum.

"Kakashi, kau mau menikah denganku ?"

Kakashi yang mendengar itu terkejut, mungkin se-terkejut aku yang mengucapkannya. Bahkan pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Aku bangkit, berjalan untuk menghampirinya. Yang anehnya dia malah melangkah mundur dengan ekspresi sama, namun terdapat semburat merah yang dapat kulihat jelas meski wajahnya tertutup masker.

Manis sekali.

Punggungnya menyentuh dinding, dia tak bisa mundur lagi. Aku meletakkan satu tangan di samping kepalanya. Memerangkap tubuh sempurna yang terlalu berharga dari nyawaku sendiri. Menatap kedua bola mata yang sanggup membuatku larut dalam perasaan, begitu dalam hingga tak ada yang tersisa. Dan kini ku tahu, dia memiliki perasaan yang sama padaku.

Seutas senyum mewakili rasa senangku, dari degup jantung yang sama-sama cepat― aliran darah dalam tubuhku berdesir memompa seluruh adrenalin yang berteriak meminta untuk dilampiaskan.

"A-apa ?"

Tanya Kakashi dengan nada mencicit, bahkan matanya tidak mau menatapku. Kami-sama, izinkan aku memakan makhluk ciptaanmu yang begitu manis ini.

"Aku ingin menciummu."

Dia terbelalak.

Tanganku yang bebas bergerak naik menangkup pipinya, mengelus lembut dengan ibu jari. Dan dia tidak menolak seperti biasanya. Apa dia juga akan membiarkanku membuka maskernya ?

Apa dia tidak akan menolak jika kucium, seperti aku mengelus kepalanya atau mengacak rambutnya ?

Jemariku mulai menurunkan masker itu. Kakashi masih membeku. Dan kini terlihat jelas wajahnya yang merona, membuatku makin terpana untuk kesekian kali.

Aku mendekatkan wajah perlahan, meniadakan jarak antara kami, hingga kusadari kalau yang kucium adalah telapak tangan Kakashi yang menjadi pembatas dengan susah payah.

Dia mendorong pelan wajahku. Aku menyeringai, kemudian menurunkan tanganku dari samping kepalanya agar dia terbebas dari kungkungan tubuhku.

Ia mengatur napas sebisa mungkin demi berusaha menormalkan kembali detak jantungnya, lalu ia menaikkan kembali masker yang selalu ia pakai dengan benar.

"Maaf" ucapku dengan sebuah senyum kecil. Mungkin Kakashi belum siap untuk sebuah ciuman.

Aku berbalik, berjalan mengambil obat yang tadi diberikan olehnya. Ku lemparkan kembali obat itu pada Kakashi yang refleks menangkap dan langsung mematung seada-adanya.

"Aku tidak minum obat, tapi terima kasih." Yah, aku hanya butuh istirahat. Obat hanya mengingatkanku pada rumah sakit.

Sampai beberapa langkah kupijak kembali menuju kasur, aku terkejut dengan Kakashi yang tiba-tiba menarik tanganku, dan seketika mengecup pipiku.

Aku terbelalak.

"Minum obatnya. Satu kali sehari tidak apa, kumohon."

Dan ia langsung keluar dari kamarku, meninggalkanku yang masih kaget dengan apa yang dia lakukan.

.

.

"Jadi dia yang akan menikah dengan Kakashi-sama ?"

"Dia bukannya orang yang minggu lalu menjadi tahanan resmi Konoha ?"

"Cih, aku jauh lebih layak untuk mendampingi Kakashi-sama dibanding seorang pria yang bahkan statusnya saja adalah mantan narapidana!"

"Aku tidak akan menyetujui Kakashi untuk menjadi Hokage kalau begitu!"

Aku tercekat. Di sepanjang jalan yang kulalui, orang-orang terus mencibir perihal pernikahanku dengan Kakashi. Aku tahu ini tidak akan mudah, namun aku tak menyangka situasinya akan seperti ini.

Tidak masalah kalau cuma aku, tapi jangan Kakashi. Jangan libatkan persetujuan kalian dengan penobatan Hokage!

Perlahan langkahku mulai cepat, lebih cepat lagi hingga tapak demi tapak yang kupijak menjadi lari yang kupaksakan.

"Arghh sial!"

Meski aku sudah jauh berlari, namun cemoohan warga desa masih bisa kudengar. Ada apa ? Apa yang terjadi ?

DAKKK

"Ugh .." Batu ?! Kepalaku berdarah. Ada yang melempar batu.

"Kami-sama .." Sakit sekali. Pandanganku kabur. Aku mencoba melihat dengan jelas yang sayangnya pemandangan yang kulihat adalah para warga yang mulai melemparkan batu ke arahku.

"Hentikan .." Sebisa mungkin aku menghindar, aku berlari sambil menahan sakit. Hingga aku tak sadar sudah berada di mana.

Gelap, sunyi.

Setidaknya aku bisa aman dari para warga desa yang membenciku. Aku tidak mungkin melukai mereka, karena Kakashi yang akan terancam.

Tunggu, apa itu ?

Ada cahaya.. ungu.

Cahaya ungu itu menuju padaku. Cepat sekali! Aku tak bisa menghindar! Refleks aku menyilangkan kedua tangan ke depan kepala.

Dia ingin membunuhku!

"SHIDEN!"

"KAKASHIII!"

.

.

TBC