Chapter 10

Masa lalu adalah waktu yang hanya bisa dikenang, dan diambil kesalahannya.

Masa kini adalah sebuah proses mengubah kesalahan menjadi kebenaran.

Masa depan adalah waktu yang tak pasti. Namun kesalahan di masa lalu juga proses di masa kini adalah kunci utama untuk menentukan masa depan.

Hasilnya hanya bisa diketahui kelak.

Karena itu manusia berbondong-bondong untuk memperbaiki diri.

Hanya manusia itu sendiri yang bisa memilih keputusan masa depannya kelak.

Hasil yang baik atau buruk.

.

.

Hari itu pagi yang sangat cerah.

Satria bangun lebih pagi dari yang biasanya. Mbok yang selesai menjalankan salat subuh mengerjap tak percaya.

"Den, ini Den Bagus atau sosok orbs dari Den Bagus?" tanyanya terkejut. Alis Satria mengerut.

"Mbok nonton acara begituan lagi, ya? Memangnya masih ada? Orbs-orbs atau penampakan-penampakan yang begitu?" dengus Satria sambil berkacak pinggang.

Mbok terkekeh. Ia tersenyum sambil memandang Satria yang sibuk menyisir rambut hitam kelam. Penampilannya rapi, dengan jas hitam, kemeja putih dan celana bahan hitam. Tak lupa dasi merah disematkan, membuatnya semakin rupawan.

"Hari ini ya, Den?" Mbok duduk di kursi kayu dekat dapur. Satria mengangguk dengan cengiran lebar.

"Iya. Hari ini saya berulang tahun. Hehe. Semakin tua, ya, Mbok?" ujarnya sambil berjalan mendekat ke arah sosok ibu paruh baya.

"Tapi tetap ganteng kok, Den. Mbok terpukau lihat penampilan Den Bagus. Mantap jiwa." Mbok menjulurkan ibu jari ke arah Satria. Tawa Satria terdengar renyah.

Satria pun berjongkok di depan Mbok, menatapnya intens dari bawah. Jemari kusut Mbok digenggamnya erat. Sesekali digoyangkan dengan cengiran lebar masih tak terlepas di bibir merah Satria.

Mbok ikut tersenyum. "Ada apa, Den?"

"Terima kasih sudah mau menemani saya selama ini, Mbok," ucap Satria pelan. Mbok mengangkat alisnya.

"Lho, kan sudah kewajiban saya, Den. Kok Den Bagus aneh begitu bicaranya?"

Satria mencium telapak tangan Mbok penuh kasih. Terdengar jeritan melengking dari atasnya, Satria menahan seringai lebar.

"Den Bagus apa-apaan! Ih! Kenapa cium tangan Mbok! Den! Lepas, Den! Astagfirullah!" gelagap Mbok sambil menarik tangannya dari genggaman Satria.

"Tidak mau. Saya suka sama Mbok. Kawin yuk, Mbok. Kawin lho, bukan nikah," ujar Satria masih dengan raut muka serius.

"YA ALLAH YA RABBI! DEN BAGUS! IIHHH!"

Satria menatap wajah tua Mbok dengan pandangan tak terbaca. Senyum masih merekah, mata sayu memancarkan cinta. Mulut Mbok hampir berbusa, memanjat doa. Mukanya memerah hasil kombinasi panik dan malu.

"Terima kasih karena turun temurun sudah menemani saya, Nesia."

Rapalan doa Mbok terhenti. Mata hampir rabunnya menatap balik wajah tampan Satria. Jemari tangan Mbok bergetar saat mendengar nama itu diucap.

"...Den Bagus tahu?"

Satria semakin tersenyum lebar.

"Mana mungkin aku tidak tahu sosok penyayang sepertimu. Baik Nesia dulu ataupun sekarang, aku sangat tahu bagaimana pribadi kalian. Kalian memang berbeda, tapi ada satu persamaan antara Nesia dulu dan sekarang."

"..."

"Kalian selalu menyayangiku dari lubuk hati yang terdalam," Satria menempelkan jemari Mbok di pipinya. "Aku, si personifikasi Indonesia. Tempat kalian lahir dan dibesarkan. Tempat Nesia yang dulu telah meninggal. Tempat Nesia yang sekarang hidup, untuk menemaniku hingga tua."

Bibir Mbok bergemetar. Air mata berkumpul di pelupuk matanya. Ia mengangguk-angguk lalu meringkuk hingga dahi keriputnya menempel di pundak Satria. Sesekali ia terisak, namun Mbok tahan.

"Nenek... selalu bercerita mengenai Anda. Beliau bilang agar saya harus menemani Anda. I-ibu saya tak sempat bertemu dengan Anda. Ia sudah meninggal saat saya berumur enam tahun... Tapi beliau selalu mewanti agar saya bisa menemani Anda..."

Satria tersenyum. Bayangan gadis bergigi bolong dengan cengir lebar menyapa penglihatannya.

"Saya..., saya sangat bersyukur saat saya dipilih untuk menjadi pembantu Anda. Karena itu saya..., saya sangat bahagia mendedikasikan diri demi Anda."

Tak ada suara yang keluar lagi dari bibir Mbok selain isakan. Satria mengelus punggung bungkuk itu dengan sayang.

Satria tahu umur Mbok semakin menua. Ia tahu cepat atau lambat, Mbok akan pergi meninggalkannya. Seperti yang sebelumnya, orang-orang yang Satria kenal akan datang dan pergi. Seperti Nesia. Seperti tokoh-tokoh pemuka Indonesia.

Siapa pun, kapan pun, dan di mana pun ia berada.

.

.

Suasana di Istana Merdeka begitu padat.

Satria, seperti tahun-tahun sebelumnya, duduk di satu kursi paling ujung deretan jajaran tokoh terhormat. Matanya berserobok dengan mata pak Joko. Bapak Negara itu tersenyum sambil mengangguk, kemudian menatap marching band yang berkirab membawa bendera pusaka.

Pesawat tempur F-16 dan Sukhoi mengudara, menderum keras hingga memekakkan telinga. Paduan suara yang dibawakan orkestra nusantara melantunkan sejumlah lagu pembawa suka cita.

Tak bosan-bosannya Satria menatap kegiatan demi kegiatan yang dijalankan tiap tahun. Ia sangat suka menatap wajah tegang para peserta, riangnya rakyat, juga gilang-gemilang perayaan. Rakyat kecil hingga rakyat besar semuanya bersuka cita. Bersatu padu untuk membuat satu hari di bulan Agustus begitu berharga.

Tentu Satria amat sangat terharu melihatnya. Tubuhnya mengumbang mencipta rasa bahagia. Matanya berkilat-kilat saat melihat berbagai atraksi yang ditujukan.

Saat pasukan pengibar bendera berderap gagah, membawa bendera pusaka, jantung Satria berdegup talu. Jika bendera terbalik, maka celakalah paskibraka. Satria selalu tak nyaman saat pengibaran bendera dilakukan. Ia tak tega melihat jika anak-anaknya dihukum—yang memang disyukurinya karena tak pernah terjadi.

Bendera merah-putih dibentangkan, lantunan lagu Indonesia Raya mengumandang.

Semua orang membuka mulutnya, turut menyanyikan lagu dengan khidmat. Satria menatap sekelilingnya.

Tiap tahun ia selalu menyaksikan. Tiap tahun ia selalu hafal semua kegiatan. Tapi tiap tahun juga ia selalu termangu penuh kejutan.

Air mata menuruni pipi sawo matangnya. Rasa panas menyerbak dahi hingga turun ke hidung bangir. Bibir merah digigit menahan isak.

Perasaan haru membuatnya lemah.

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.

Satria ingin mengucapkan kepada seluruh rakyat. Kepada seluruh anak-anaknya. Bahwasanya ia tidak akan berdiri tegap kini jika tidak ada pengorbanan di masa lampau.

Dari lubuk hati yang paling dalam, ia sangat berterima kasih.

Kepada penggerak kemerdekaan.

Kepada pemimpin.

Kepada anak-anaknya.

Kepada dirimu.

.

.

Siang hari Satria menyempatkan untuk pulang ke rumahnya walau singkat. Karena di sore hari, ia harus mengikuti acara penurunan bendera. Ia selalu menyisihkan waktu hanya untuk sekadar melihat perlombaan tujuhbelasan.

Anak kecil melompat-lompat di karung. Makan kerupuk, gigit koin, hingga menampilkan sepeda hias sambil memutar sekeliling kampung. Satria selalu menyukai tiap perlombaan yang berlangsung.

Terutama menikmati tawa terbahak-bahak dari bapak-bapak, cekikik ibu-ibu, juga jeritan gadis dan lelaki remaja.

Pulang ke rumah, Mbok menyiapkan berbagai makanan siap lahap. Semur daging, perkedel, kroket, klappertaart, makaroni schotel dan lain sebagainya. Alis Satria berkedut pelan. Suatu tanda tanya mengapa makanan sediaan Mbok bertema sama.

Ya, makanan turunan dari seseorang. Atau lebih tepatnya senegara.

Diabaikannya 'kebetulan' yang terjadi, Satria menawarkan semua warga untuk mencicipi. Tentu semua warga berteriak senang karena perut lapar siap diisi.

Satria mengusap rambut anak kecil berambut merah sebab terbakar terik matahari. Anak lelaki itu tertawa senang sambil mengunyam kroket. Anak gadis menghampirinya untuk menyodorkan es buah di gelas plastik. Satria menerimanya sambil tersenyum lebar.

Bunyi dering telepon membuatnya menoleh ke arah rumah. Mbok sedang bercengkerama dengan ibu tetangga. Mau tidak mau Satria harus mengangkatnya.

"Halo."

Jeda sebentar membuatnya mengerut alis heran. Diulangnya lagi menyapa suara di seberang. Namun sunyi senyap yang membalas.

Menggeram kesal, Satria membuka mulut siap membentak. Namun suara berat mengumandang di telinga.

"Gefeliciteerd."

Satria termangu. Bibirnya membeku.

Dia.

Orang itu.

Lelaki posesif, berengsek, pedofil, kutil—oke, yang itu bohong— dan lain sebagainya. Lelaki tak tahu diri. Lelaki biadab.

Si Kompeni.

Satria masih terdiam seribu bahasa. Semua rasa membuncah di dada. Kesal, senang, sedih, benci, juga—

Rindu.

"Kenapa kau diam, Hindia?"

Sontak Satria tersadar lalu berteriak kencang, "Namaku Indonesia, Kompeni Sialan!"

Dengus tawa membalas teriakan Satria. Si Kompeni bergumam sesuatu, kemudian melanjutkan pembicaraan.

"Apa kabarmu?"

Satria berkacak pinggang. "Buruk. Lebih buruk saat kau meneleponku," tukasnya ketus.

"Hmm. Apa sebaiknya kututup?"

"Tutup saja! Kauhanya berani mengirim surat lewat orang lain. Kaupikir anak-anakku itu burung merpati?!"

"Tidak. Kau yang beranggapan seperti itu."

"Grrr! Lalu untuk apa kau menelepon, Kompeni!?"

Jeda lama membuat Satria gerah. Ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Kaki dihentak menahan amarah bertandang. Sebenarnya kompeni ini mau apa?

"Memberi selamat. Kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi?"

"Tidak. Aku lupa bahasamu. Yang aku tahu bahasaku. . .a. Dengar itu, Kompeni?"

Pintu di belakang tubuhnya terbuka. Sorak sorai warga yang ribut menyeruak ke pendengaran Satria.

"Ya, aku mendengarmu dengan jelas, Indonesia."

Suara berat dan serak membuat Satria menggenggam lebih keras gagang telepon di tangannya. Komentar warga yang terdengar berisik mau tak mau didengar.

'Bule tinggi besar!'

'Jambul jabrik khatulistiwa!'

'Besar anunya seberapa, ya...'

'Bang Satria punya kenalan gegana—geregetan ganteng bikin merana, enggak bilang-bilang!'

Jeritan Mbok terdengar nyaring. Mengusir kawanan tetangga penasaran yang masih berdesakan mencari gosip. Pintu pun ditutup kencang, dengan sorakan kecewa dari warga.

Dengan perlahan Satria memandang ke arah belakang. Di sanalah, bule tinggi besar berjalan mendekat.

Buket bunga mawar merah dan putih di genggaman. Koper hitam digeretnya pelan. Syal biru putih tersibak. Langkahnya tenang, setenang di masa lalu. Satria mengutuk akan sikap bak bangsawan yang masih kental di gerak gerik pria jabrik pirang.

"Kenapa kau dat—"

"Selamat atas ulang tahunmu, Satria."

Mata cokelat tua itu membelalak. Ia tertegun tak dapat berbicara. Pria itu berdiri di hadapannya, menutup pandangannya seketika. Buket bunga diserahkan ke tangan Satria. Semerbak harum mawar membuat pandangan Satria mengabur sejenak.

"Aku rindu padamu," tambah Dirc saat Satria masih terdiam.

Dikecupnya pelan bibir merah pemuda berambut hitam. Hingga binar hijau dan cokelat beradu. Sedetik kemudian semburat merah menyebar di wajah sawo matang. Seringai tipis di bibir bule terlihat.

"Da-dasar Kompeni keparaaatt!"

Buket bunga dihempas ke wajah bule tampan. Sumpah serapah dijeritkan dalam berbagai bahasa daerah. Namun bule pirang seakan tak acuh.

Ia memeluk tubuh yang lebih pendek dan kurus darinya dengan erat. Membawanya ke dekapan hingga sesak napas. Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Degup jantung bertalu tak mengucap dusta, keduanya tentu saling jatuh cinta.

"Kenapa kau tak membalas suratku?" tanya Dirc pelan.

"Aku sibuk."

"Bohong. Kau biasa makan gaji buta."

"Memangnya aku dirimu!?"

"Lalu? Apa jawabanmu?"

"..."

"Hind—"

"Sebut nama itu lagi, kupotong wilayah vitalmu."

"Jadi?"

Satria mendesah lelah. Adu mulut dengan bule keparat hanya menambah peningnya.

"A-aku mau..., hanya sebentar," cicitnya pelan.

Maka dicium lagi bibir merah dengan penuh sayang, membuat Satria menjerit tertahan karena tubuhnya terangkat.

Di nakas dekat sofa, terdapat surat putih yang tergeletak terbuka. Memperlihatkan isi yang hanya sebaris dua baris kalimat, dengan kata pembuka di bagian atas dan inisial di bagian bawah.

Dear Indonesië,

Maukah kau tinggal denganku di Belanda?

Tak masalah hanya sebulan dua bulan. Belgium menitipkan salam. Aku pun tak sabar ingin berjumpa.

DvF

END