BTS – Big Hit Entertainment
Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita.
.
.
.
.
"Aku tidak bohong!" Namjoon membanting buku bahasa Inggrisnya tak terima, "Nasi merah berasal dari beras yang warnanya merah! Hobi pasti belum pernah makan! Rasanya enak sekali!" anak laki-laki itu memanjat meja dan bersila menuding anak laki-laki lain yang sedang berjongkok menyalin tugas Matematika miliknya sambil mengulum ujung pensil.
"Warnanya betulan merah? Pasti barang langka ya?"
"Mungkin," Namjoon menopang pipinya yang bulat dengan kedua tangan, "Kata kakak itu sih harganya tidak sampai lima ribu won."
"Lima ribu won? Serius? Lebih murah dari permenku?" anak laki-laki tadi melompat turun dari kursi, lalu menatap penuh minat pada vas bunga marmer klasik di meja guru yang baru saja diganti akibat dipecahkan Namjoon tempo hari. Kaki mungilnya bergoyang ke kiri-kanan meneliti, sementara Namjoon memutar duduknya gelisah, masih menopang pipi sambil merengut malas. Kelas yang sunyi senyap dengan ditemani seorang bocah berambut hitam setelinga yang lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan salahnya kalau murid-murid lain enggan masuk kelas tiap kali Namjoon pasang wajah kusut. Hari ini bekal makan siangnya tak sesuai selera. Kendati perutnya menjerit-jerit minta diisi, tapi Namjoon tetap bergeming sampai dahinya terlipat-lipat. Anak laki-laki lainnya berkedip penasaran, lalu menyembulkan kepala dari lemari inventaris.
"Lapar sekali, Joonie?" tanyanya kasihan, "Ke kantin yuk?"
"Tidak mau," Namjoon membuang muka dengan pipi menggelembung, "Hobi saja."
"Aku sudah makan bekalmu kok."
Namjoon melongo, secepat kilat membalik badannya untuk menyambar kotak bekal yang tadi ditaruh di laci. Dan benar saja, kotak besar berlapis tiga itu kini kosong jumawa mengkilap tak bersisa, termasuk potongan seledri dan wortel yang menjadi salah satu alasan Namjoon tak mau makan siang.
"Se, sejak kapan?"
"Sejak kamu bercerita soal nasi merah. Kebetulan perutku lapar dan bekalmu tak tersentuh," tukas si pelaku tanpa rasa bersalah, "Nanti kubelikan sandwich dan bubble tea, jangan cemberut begitu, kulempar spidol nih," ancamnya melihat rengut pipi Namjoon yang makin besar, seolah ingin berkata 'aku memang tak mau makan tapi bukan berarti kau boleh makan' –padanya. Anak laki-laki itu memajukan bibir sengit. Kalau tak segera menjawab, tandanya sang sulung keluarga Kim tersebut benar-benar sedang tak mau dijahili.
"Iya deh, maaf," sergah Hoseok akhirnya, bergegas keluar dari lemari lalu berkacak pinggang di depan meja guru, "Berhenti merajuk, mukamu tidak enak dilihat."
"Hobi nakal sih."
Hoseok menjulurkan lidah, dilompatinya dua kursi sekaligus lalu duduk di samping temannya yang masih memegang kotak bekal hasil masakan pelayan rumah. Tak bermaksud bilang tidak enak, hanya saja Namjoon sedang tidak ingin makan nasi jamur siang-siang begini, sangat berbeda dengan Hoseok yang bersedia menyantap apapun kalau sedang lapar, asal bukan makanan pedas. Namjoon sengaja mengerutkan dahi dan terus membisu, tak berniat menanggapi pertanyaan Hoseok tentang apakah dia perlu meminta pelayan rumah membawakan makan siang lagi ke sekolah.
"Koki di rumahku juga bisa memasak nasi jamur," tambahnya, mencoba menawarkan.
Namjoon menggeleng, memasukkan kembali kotak bekalnya ke laci lalu melipat tangan sebal. Tungkai panjangnya menggapai dudukan kursi yang sudah berantakan di sana-sini akibat tendangan Hoseok. Namjoon berdiri bak manekin mini dengan kepala dimiringkan ke kiri dan buku jari mengerut dagu, mencoba berpikir sementara Hoseok berjongkok di atas meja. Diraihnya tas milik Namjoon lalu memeriksa kalau-kalau temannya itu membawa sesuatu yang menarik di dalam sana.
"Eh, Hobi!" panggil Namjoon begitu benaknya menemukan ide bagus, "Setelah ini jadwalnya pelajaran apa?" celetuknya sambil menarik kerah seragam Hoseok yang masih sibuk mengaduk-aduk sekat. Anak laki-laki itu memasukkan kepala ke dalam tas sambil bergumam tak peduli.
"Pengantar Bahasa Jerman."
"Bolos yuk?"
"Ha?" Hoseok sontak mendongak, "Apa?"
"Bolos yuk?" ulang Namjoon, alis bergerak-gerak bagai ulat bulu bertemu daun segar, "Nanti kusuruh Jackson memberitahu Pak Guru kalau kita sakit perut, masuk angin, atau apa saja. Dia kan suka padaku, pasti mau diakali," balasnya penuh percaya diri, hidung terangkat angkuh menandakan suasana hati yang kembali bersemangat. Hoseok buru-buru mengikuti ketika melihat Namjoon meraih paksa tas di pangkuannya, menyambar tasnya sendiri, kemudian bergegas mengekor Namjoon yang turun dari meja. Keduanya berjingkat-jingkat ke arah pintu, kepala berpendar memastikan bahwa tak ada guru yang sedang lewat di koridor maupun berjalan menuju kelas, hanya tersisa sejumlah murid sebayanya yang mondar-mandir dengan camilan dan mainan. Yakin kondisi aman terkendali, Hoseok pun menatap dari balik bahu sambil nyengir kuda.
"Joonie?"
"Ya?"
"Bisa memanjat pagar, tidak?"
Namjoon mengacungkan jempol sedetik berikutnya.
.
.
Hoseok merapatkan lidah topi dengan tak nyaman. Cuaca sedang terik sekali, tapi Namjoon justru antusias menyusuri trotoar sepanjang jalan menjauhi sekolah. Beberapa luka gores memenuhi lutut dan paha Namjoon akibat buru-buru melompat turun tanpa banyak berpikir, padahal jarak tanah dan tumpuan pagar belakang tidak bisa dibilang rendah. Hoseok tak berani menegur karena Namjoon lebih dulu menyeretnya pergi menghindari pria-pria tinggi besar yang selalu mengawal anak lelaki itu kemanapun. Namjoon memang tidak selincah Hoseok yang sanggup mengatasi tempat-tempat tinggi atau mengerjakan ide jahil. Tapi kalau bicara soal stamina dan kemauan berencana, Namjoon masih lebih unggul dibanding siapapun. Hoseok nyaris kehabisan napas begitu mereka tiba di luar sekolah.
"Sini Hobi, sini," panggil Namjoon, telapak tangannya digerak-gerakkan ke arah Hoseok yang sibuk berjongkok kelelahan di samping gerbang taman. Anak itu mengangguk singkat ketika Namjoon memberi aba-aba. Dua pasang kaki merayap masuk sewaktu penjaga taman sedang bercakap-cakap dengan rekan pengawas. Kehadiran bocah SD di jam-jam senggang memang bukan pemandangan aneh, tapi sekolah Namjoon bukan termasuk perguruan yang memulangkan muridnya di siang bolong.
Usai menghadapi semak dan rerumputan, keduanya sukses menyelinap dan langsung berlari menuju bangku terdekat untuk duduk dan menarik napas.
"Capek nih!" Hoseok protes, "Sebetulnya kita mau kemana sih?"
Namjoon tak menggubris, melepas tas punggungnya dan menaruh benda itu di atas bangku. Pun tertawa puas memergoki bagaimana botol air minum Hoseok tandas diteguk kendati pemiliknya masih haus. Sebagai karib yang bertoleransi penuh, Namjoon segera menyodorkan botol minumnya sambil berujar boleh dihabiskan. Lari membuat napas Namjoon tersengal tapi tak lantas membuatnya dahaga. Ditepuk-tepuknya kepala Hoseok yang meneguk bagai kesetanan, menawarkan botol kedua yang segera diterima tanpa banyak bicara, kemudian iseng menggoyang kaki di atas bangku sambil memeriksa jalanan.
"Biasanya kakak itu pulang jam segini lho?"
Alis Hoseok terangkat, "Kakak yang mana?"
"Yang kuceritakan tadi."
Hoseok menelan sisa air disertai mata memicing, mana bisa lupa kalau mendengar Namjoon bercerita soal, "Kakak berambut hitam baik hati dan berwajah manis," tiap hari? Jam istirahat Hoseok selalu dilewatkan dengan menyalin pekerjaan rumah dan mengangguk-angguk mengiyakan Namjoon yang berujar panjang lebar penuh puja. Bukan hal aneh melihat sahabatnya, si tuan muda berdarah biru itu dikelilingi banyak murid perempuan sewaktu berjalan, berbicara, makan siang, duduk di sudut kelas, bahkan bersin sekalipun. Tapi mendapati Namjoon yang tampak sangat antusias demi bertemu seseorang, Hoseok baru pertama kali melihatnya.
"Kalau cuma soal wajah sih, Jihoon dan Gowon dari kelas sebelah juga manis."
"Jihoonie kan suka sama Hobi," Namjoon menowel pinggang temannya yang hanya berjengit, "Aku melihatnya memasukkan cokelat valentine ke laci Hobi. Jadi populer enak ya, lacinya penuh."
Hoseok balas menyikut sewot, "Bukannya cokelat yang diberikan padamu sampai berjatuhan waktu dibawa pulang?"
"Tidak kumakan kok, kuberikan ke pelayan di rumah."
"Sama."
"Hihihihi."
Keduanya saling sikut sampai seorang gadis cantik berbaju lucu datang membawa sejumlah balon ditemani panda jadi-jadian yang membuat Hoseok terlonjak histeris. Gadis itu memberikan dua buah balon yang disambut Namjoon dengan senang. Sejumlah anak kecil bergantian lewat di depan mereka sambil menggamit balon serupa, dan Hoseok akhirnya mau menerima usai kakinya disepak Namjoon. Usut punya usut, ternyata sedang ada promosi sebuah merek susu kemasan yang dibagi-bagi gratis ke para pengunjung taman. Kedua anak laki-laki itupun menerima dua kotak susu warna merah muda yang langsung dipandangi dengan penuh minat oleh Hoseok.
"Cara minumnya bagaimana sih?" Namjoon bolak-balik memutar kotak persegi itu karena tak menemukan klip pembuka seperti yang selalu dituangkan pelayan untuknya tiap sarapan.
"Pakai sedotan, Joonie," Hoseok menjawab cepat, menyesap sedikit dengan mata berpendar menghayati, "Enak!"
"Masa?" kerjap Namjoon tertarik, jari-jarinya sudah menarik lepas plastik bening pembungkus sedotan yang menempel di salah satu sisi kotak, hendak merobek isinya saat ekor mata menangkap sosok berambut hitam yang berjalan memasuki gerbang. Sekejap, susu stoberi dan komentar Hoseok hilang dari benak Namjoon yang kini mematung memandang sosok itu dengan mulut terbuka. Ransel motif donat bergelantung rapat di kedua bahu ketika sosok itu menoleh, senyumnya tetap ramah dan masih menggamit bawaan serupa seperti terakhir kali menawarkan bekal makan siang pada Namjoon, termasuk kotak-kotak bening yang tampak bisa ditebak apa isinya. Sosok tersebut berpaling sejenak ketika seorang anak kecil tergesa-gesa melewatinya, mengikuti jejak kaki yang tercetak jelas sambil tertawa imut, lalu kembali berjalan sebelum berhenti beberapa langkah dari bangku tempatnya biasa duduk. Alis tebal menyatu bingung, mencoba mengingat-ingat dan menyapa dengan agak terkejut.
"NAMU?"
"Hyung?" tukas Namjoon perlahan, mencoba memastikan senyum itu sekali lagi lalu spontan mengeraskan suara, "Betulan hyung!"
Hoseok ikut menoleh karena posisi Namjoon nyaris menyentuh pinggiran bangku. Dilihatnya seorang pemuda berseragam merah mendekati mereka sambil tersenyum. Hoseok turun dari bangku karena instingnya berkata bahwa dia tidak boleh duduk di tengah. Ganti disikutnya Namjoon supaya bergeser dan dia pun kembali memanjat naik untuk mendaratkan pantat di bagian ujung, membiarkan kakak pendatang itu menunduk bingung karena mendapati sepasang anak laki-laki bersuspender biru sedang menempati bangku dengan empat buah balon dan kotak-kotak susu.
"Selamat siang, Namu," sapanya, menaruh bawaan dan menatap sosok mungil lain yang ikut menganggukkan kepala, "Teman?"
"Jung Hoseok, kelas lima," Hoseok menyodorkan telapak tangannya yang terbuka lebar, "Aku terpaksa menemani sebagai bayaran karena menghabiskan bekal Namjoonie meski dia sendiri yang menolak makan sambil merajuk kalau makan siangnya tidak mau diganti dan tetap murung sesiangan sampai akhirnya bolos jam pelajaran ketiga karena dia ingin bertemu dengan hyung dan aku bersedia diajak supaya Namjoonie berhenti mengoceh. Sekian. Aku main dulu ya?" Hoseok turun dari bangku sambil melompat-lompat kecil menuju sebuah pohon dengan daun berwarna kuning yang sedari tadi mengundang perhatian. Pemuda tadi membeku selama sekian detik sebelum terbahak memandang Hoseok yang mulai memanjat.
"Anak yang aktif sekali," celetuknya, duduk di sebelah Namjoon yang berdoa dalam hati agar Hoseok terpeleset. Disibaknya tali-tali balon yang dililit di kepalan tangan Namjoon, mencoba berbisik dengan suara merdu.
"Maaf ya Namu, keberatan kalau ditaruh sebentar di situ?" tanyanya menunjuk ujung bangku. Namjoon mengangguk dan membiarkan pemuda itu mengikat balon-balon di tempat yang dimaksud, juga menaruh kotak susu yang belum diminum ke tepi sandaran. Telaten, ditatanya tas Namjoon dan Hoseok serta ransel miliknya sendiri, membersihkan debu dari pahanya, lalu menatap Namjoon yang mengangkat kaki ke atas seraya duduk bersila.
"Membolos itu perbuatan yang tidak baik lho?" Seokjin memulai pembicaraan tanpa sungkan walau lawannya hanya murid sekolah dasar, "Aku tidak suka."
"Sedang bosan!"
"Tetap saja tidak boleh," pemuda itu menyentil kening Namjoon yang menggaruk-garuk luka di kakinya sambil merengut, "Apalagi mengajak teman untuk ikut kabur dari sekolah, kalau terjadi apa apa di jalan bagaimana? Tuan muda juga tidak boleh seenaknya."
Namjoon tak menanggapi, tangannya menunjuk-nunjuk benda di samping Seokjin tanpa mau menoleh, "Aku bawa ponsel kok."
"Bukan itu masalahnya," Seokjin menunduk agar bisa menatap wajah anak laki-laki itu lebih jelas, "Membolos berarti membuang-buang ilmu, selain itu kau juga membuat orang lain khawatir. Ini sudah kali kedua, lho? Kalau cuma marah gara-gara bekalnya dihabiskan, Namu bisa menegur atau meminta temannya membelikan sesuatu sebagai ganti, jangan malah diajak pergi. Kalau ternyata ada ulangan mendadak, bagaimana?" terangnya, mengelus pelan kepala Namjoon yang makin merengut, "Jangan diulangi lagi ya, Namu kan anak baik."
Mengangguk perlahan, Namjoon mendapati pemuda itu mengangsurkan tasnya, "Ini, telepon seseorang supaya ada yang tahu Namu berada di sini," pintanya, lembut namun tegas. Dan Namjoon tak punya pilihan selain mengeluarkan ponsel dan menelusuri layar selama beberapa saat.
"Tak apa-apa kok, mereka tak mungkin memarahiku," balasnya, gusar, "Kalau menunggu jam pulang, aku pasti tidak bisa bertemu hyung."
Seokjin tertawa lirih, "Kalau itu tujuannya, Namu bisa bilang padaku. Tak perlu sampai bolos segala."
"Mana bisa, aku kan tidak tahu nomor telepon hyung," Namjoon menaruh ponselnya sembari menggoyangkan kaki yang menggelantung, hanya untuk disambut oleh sebentuk lengan yang meraih benda tersebut dari pahanya, memasukkan sejumlah angka serta menyodorkannya kembali ke depan Namjoon, "Ini cukup?"
Gelembung pipi Namjoon langsung berubah menjadi cengir senang, disambarnya ponsel itu sambil mengabaikan ringis Seokjin yang terbit kala memergoki dirinya mengantongi dengan gembira.
"Siapa nama temanmu tadi?"
"Hoseok," Namjoon mengacungkan telunjuk, "Hyung boleh memanggilnya Hobi! Itu panggilan dariku karena namanya susah dieja."
Jambul Seokjin berayun, "Baiklah, tadi Hobi bilang kalau dia menghabiskan bekalmu, berarti Namu belum makan siang ya?"
Namjoon mengangguk sambil mengusap-usap perutnya yang menggerung, melirik penuh arti saat Seokjin membuka penutup kotak-kotak bening incarannya di permukaan bangku, membukanya perlahan dan aroma sedap pun segera menguar menerpa penciuman Namjoon. Dipelototinya sosis-sosis gendut berbentuk gurita di sekat kedua, bersebelahan dengan gulungan telur berwarna kuning menggoda, serbuk rumput laut, asinan lobak, dan ayam goreng keemasan yang terlihat begitu renyah. Tumpukan apel kelinci berjajar rapi di kotak lainnya, menemani potongan stoberi beserta nanas yang diiris tipis. Namjoon nyaris mengendus-endus ketika Seokjin mendekatkan kotak itu ke arahnya.
"Mau?"
Nasi berwarna kemerahan dan menebar wangi gurih memaksa Namjoon duduk menyamping dan mengangkat tangan tinggi-tinggi, "Mau!"
Seokjin terbahak lagi seraya menyerahkan sumpit dengan raut sumringah, tapi anak laki-laki di sebelahnya malah cemberut, "Tidak disuapi?"
"Aku harus mengobati kakimu. Lihat, ada darahnya," seloroh Seokjin, mengeluarkan kantong mika bergambar kepala alpaka dari lipatan ranselnya. Namjoon dapat melihat gulungan kasa, kapas, botol-botol kecil, lengkap beserta gunting mini di bagian dalam, "Kalau sudah selesai, Namu kusuapi. Bisa makan sendiri kan?"
"Tidak bisa."
Seokjin tertawa lebih keras, menggeleng-gelengkan kepala sembari menutup kotak-kotak itu supaya tidak terkena debu, "Kalau begitu tahan sebentar, tidak lama kok," sergahnya, membuka botol pertama, menyesapkan isinya ke gundukan kapas, dan tersenyum mendengar jengit kesakitan anak laki-laki itu saat lukanya diseka. Namjoon hanya bisa memperhatikan kepala Seokjin yang bergerak bergantian diantara kaki dan kantong obat, juga matanya yang memicing fokus menangani goresan di lutut Namjoon. Mirip seperti pelayan yang mengobati Namjoon seusai bermain tenis melawan Hoseok, atau tiap kali jatuh akibat dorongan Jungkook yang sekuat hercules sejak masih balita. Sekejap saja kaki Namjoon dipenuhi plester dan rasa perihnya berangsur memudar. Disadari atau tidak, Namjoon merasa pipinya panas ketika Seokjin meniup-niup luka di tempurung lutut yang sudah dibalut rapi.
"Cepat sembuh ya."
Kepala itu mendongak perlahan, tersenyum begitu manis dan Namjoon mengangguk tersipu.
"Terima kasih, hyung," gumamnya, menurut untuk berselonjor agar kakinya tidak terlalu nyeri, "Hyung seperti dokter saja."
"Jurusan sekolahku bukan ke arah sana, tapi terima kasih," ucap Seokjin, mengibas-kibaskan tangan di depan hidung lalu meringis tersanjung, gigi-giginya yang berderet besar dan putih membuat Namjoon betah mengamati berlama-lama, "Aku ingin berada di rumah dan meneruskan restoran milik nenek. Namu boleh datang kalau lapar, nanti kutraktir pancake."
"Apa aku boleh datang meski tidak lapar?" Namjoon mengusap-usap balutan kasa di lututnya dan Seokjin menarik pipi empuknya gemas. Pemuda itu memasukkan obat-obatan kembali ke ransel sembari meraih kotak bekal yang belum tersentuh. Disodorkannya sejumput nasi ke mulut Namjoon yang terbuka lebar.
"Tentu saja boleh, aku suka melihat Namu."
"Kenapa?" Namjoon berujar dengan mulut penuh nasi, mengunyah potongan telur juga sosis gurita yang masuk bersamaan, dilahapnya setiap suapan yang diberikan Seokjin sementara pemuda itu hanya sesekali mengunyah telur atau mengulum serbuk rumput laut akibat terlalu menikmati wajah gembira Namjoon yang bundar dan menggemaskan. Dipungutnya sebutir nasi di sudut bibir Namjoon lalu dimasukkan ke mulut sendiri.
"Karena Namu manis."
Namjoon sontak membusung bangga.
"Kok senang betul?" Seokjin mengunyah sepotong sosis, "Apa tak ada yang bilang begitu?"
"Tidak," balas Namjoon percaya diri, "Kakak-kakak kelas delapan dari gedung sebelah sering sekali memotretku waktu latihan tenis di lapangan, mereka bilang aku tampan, bukan manis. Bibi-bibi pelayan juga sering bilang kalau aku akan jadi model terkenal setelah besar nanti," pamernya sambil mengelus dagu dengan gaya, membuat Seokjin tak tahan untuk tidak terpingkal-pingkal dan mencubit Namjoon yang berseru kewalahan, "Sakit! Sakit! Sakit!"
"Kamu sombong sekali sih, aku jadi ingin usil," Seokjin terus menarik-narik hidung anak laki-laki tersebut memakai dua jari dan tak mau berhenti hingga yang bersangkutan menjerit-jerit sengau karena tak bisa bernapas. Ulah jahilnya meninggalkan bekas merah menyala di raut tampan Namjoon yang sibuk mengusap-usap wajah sambil mendengus.
"Sakit, hyung."
Seokjin mengulum bibir, menyisihkan kotak makan siangnya di samping tumpukan ransel dan beringsut maju. Kedua lengannya terjulur meraih kepala Namjoon yang patuh untuk mencondongkan tubuh kendati tak paham. Mata anak laki-laki itu mengerjap tak mengerti begitu pucuk hidung mereka bersentuhan, juga memperhatikan bagaimana kelopak mata Seokjin mengatup dalam gerak lambat, bagaimana bola matanya yang bening tertutup rapat, disertai helai-helai bulu mata paling bagus yang pernah dilihat Namjoon.
Pemuda itu menekan ujung hidungnya dengan sangat perlahan, mengirim gesekan lembut di kulit Namjoon yang bergeming tatkala bola mata itu kembali terbuka, memamerkan binar sejernih air yang berkilau mengagumkan, sebelum menjauh dengan gurat menawan. Rasa hangat menjalar luas memenuhi relung dadanya dan tanpa sadar, bibir Namjoon turut terangkat membentuk senyuman.
"Masih sakit?"
"Tidak," ringisnya senang, "Terima kasih, hyung."
"Nenek selalu melakukannya jika aku terkena flu dan hidungku membengkak sebesar tomat," Seokjin mengusap pipi Namjoon dan mengerling sekilas, "Kalau Namu berniat meniru, silakan bayar royalti pada nenekku."
"Hyung pelit sekali."
"Kalau aku pelit, makan siangnya tidak gratis lho?" Seokjin mencibir seraya mengangsurkan sosis gurita terakhir yang langsung dilahap Namjoon tanpa permisi, berkelit dari cubitan dan nyengir penuh kemenangan meski harus mendekat lagi karena terbujuk apel kelinci yang dipamerkan Seokjin.
"Mau itu!"
"Bilang apa dulu?"
Bibir Namjoon mengerucut gendut, pemandangan yang terlalu lucu untuk ditolak dan Seokjin menyerah usai diserbu gelembung pipi besar yang sigap merebut irisan buah tersebut dari tangannya. Namjoon pun tak buang waktu dan hendak mengambil sebuah lagi ketika didengarnya bunyi dentum familiar dari seberang.
"HOBI!" serunya girang pada seorang anak laki-laki yang baru saja merosot turun dari pohon dengan menggenggam seekor anak burung. Kaki mungilnya menghampiri Namjoon dan Seokjin yang juga menyambut dengan terperangah, "Hobi dapat darimana?"
"Di atas sana," Hoseok menunjuk salah satu dahan yang menjulur berkali-kali lipat lebih tinggi dari badannya, "Kasihan, kaki kanannya luka. Sebaiknya kita apakan, hyung?" tanyanya, memberikan hewan itu ke tangan Seokjin yang segera menangkup dengan hati-hati.
"Luka di kaki, seperti Namu ya?" gumam pemuda itu, mengelus sayang dan tergelak rendah menatap Namjoon yang pasang muka masam karena tak mau disamakan dengan anak burung, "Aku bilang ke penjaga taman dulu ya. Hobi cuci tangannya di pancuran, baru boleh makan apel. Kan tadi sudah pegang yang kotor-kotor, tisunya ada di ransel, silakan ambil sendiri," pesan Seokjin, menaruh dua tusuk gigi di kotak bekal dan beranjak melewati bangku dengan membawa anak burung itu dalam dekapan. Namjoon mendelik, telapak tangannya dikibaskan di depan mata Hoseok yang tak berkedip memandangi punggung Seokjin.
"Eh, Hobi!" dengusnya, "Jangan melihat hyung seperti itu dong!"
"Kenapa?" Hoseok menyeka bekas air di tangan lalu duduk menghadap Namjoon yang sudah mengunyah sepotong apel dengan dahi berkerut sinis.
"Pokoknya tidak boleh!"
"Kamu suka ya? Ih, ih, Joonie suka orang dewasa," sindir Hoseok tanpa melupakan cengiran lebarnya. Namjoon tak menggubris dan menggigit sepotong apel lagi sambil menyikut Hoseok keras, "Jangan bilang teman-teman lho!"
"Hm—mm," Hoseok mengangguk-angguk, "Asal aku ditraktir makan di kantin sekolah selama sebulan."
"Set A saja."
"Bonus set C."
"Rakus."
"Biar."
.
.
.
.
Berdecak, seorang pria jangkung bercambang tipis dengan lengan kemeja tergulung itu ganti berjongkok di hadapan anak kecil berambut hitam keriting yang sibuk menyembunyikan tubuh di balik pinggang pengasuhnya.
"Jungkookie..."
"Guk tidak sengaja!"
"Benar?"
"Guk tidak bohong."
"PEMBUAL!" gerutu anak lelaki lain yang masih menggelegak. Berbalut kaus mahal, sepatu tanggal sebelah, muka sembab seolah baru saja menangis, "Pasti dia sengaja melempar ponselku ke laut karena tidak ditemani bermain!"
"Tidak ada yang menyuruhmu bermain ponsel di geladak kapal, Joonie."
"Tapi aku berniat memotret lumba-lumba, ayah!" Namjoon menuding-nuding hamparan di luar yacht, sunyi melatari suasana karena penghuninya sengaja terdiam menyaksikan amarah tuan muda yang mengamuk setelah menyaksikan benda keramatnya ditampik oleh si bungsu hingga tercebur ke permukaan samudera.
"Kau bisa beli gantinya begitu kita merapat di Jeju."
"Tidak mau!"
"Bilang saja ingin model apa, atau minta bentuk yang sama. Kenapa panik sekali? Komputer dan sepedamu juga bukan barang lama."
"Tapi data dan nomor teman-temanku ada di sana, ayah! Kalau tidak ingat dia adikku, sudah kuceburkan sekalian supaya dimakan hiu!"
"KIM NAMJOON!"
"Tsk!"
Giliran adiknya yang kini menangis begitu kencang dan harus digendong oleh pria berkemeja tersebut, sementara Namjoon harus puas ditenangkan oleh para pelayan yang sibuk mondar-mandir menawari berbagai makanan manis untuk meredakan emosi. Liburan akhir minggu tak pernah terasa seburuk ini dan Namjoon menyesal tak menyeret Hoseok yang mungkin sedang berada di pusat kota.
Tidak, Namjoon tak akan berang separah itu hanya karena kehilangan ponsel maupun benda lainnya. Dia hanya butuh sebaris nomor yang baru saja mengirim pesan di tengah bunyi debur ombak, temannya bercerita selama hampir empat bulan belakangan, sosok yang berkata bila dirinya berniat berpamitan setelah kelulusan lusa depan. Sejatinya Namjoon bermaksud menggeser tombol telepon untuk menanyakan apakah masih bisa bertemu, namun lengan gemuk milik Jungkook yang terlanjur kesal karena tak kunjung diperhatikan—lebih cepat menepis gerakannya dengan kasar dan tanpa pikir panjang.
Namjoon butuh mesin pemutar waktu, butuh apapun yang bisa membuat ponselnya kembali di genggaman. Berapapun biayanya, apapun bayarannya.
Dipandanginya lautan di belakang kapal dengan napas berhembus pasrah, tak yakin Hoseok akan tertawa kendati diceritakan. Benaknya mengingat kalimat yang ditulis singkat, tentang bercakap-cakap meski telah berbeda kota, simbol telapak tangan terbuka, juga foto wajah ramah yang gembira dari kakak berseragam merah yang tak pernah memberitahu nama.
"Sialan."
Namjoon hanya ingin memberitahu bahwa dirinya tak mau dilupakan.
.
.
.
.