OUTRAGED
…
Setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua, bahkan ketika sudah terlambat. Lalu bagaimana dengan hati yang terluka? Akankah dengan maaf lalu luka bisa terhapus begitu saja?
…
Akashi terpana dengan seorang anak play group yang juga tengah memandangnya. Manik birunya, mengingatkan pada seseorang yang begitu dia rindukan. Lalu heterokrom itu, membuat Akashi menyentuh salah satu matanya. Dan surai merah itu, tanpa perlu banyak bukti, anak ini kemungkinan besar seorang Akashi.
"Siapa namamu?"
Anak berpipi gembil itu menggeleng, lalu mundur perlahan-lahan. Bukan binar ketakutan, tapi sebuah kewaspadaan.
"Namaku Akashi Seijuro."
Anak itu masih menatapnya seakan tak percaya begitu saja. Keberanian yang jelas merupakan factor keturunan.
"Ibu menyuluhku tak bebicala dengan olan asin."
'Olan asin?' Akashi tertegun separuh geli. Nadanya begitu datar meski kecadelannya menutupi sebuah ketajaman.
"Siapa nama ibumu?" Akashi tak akan kaget kalau orang itu adalah ibu dari anak yang tengah dia pandang.
"Bukan ulusanmu."
Well, untuk seluruh hartanya, dirinya berani bertaruh, anak ini jelas seorang Akashi.
"Bilang saja kau takut denganku, anak kecil." Dan dirinya tahu, bagaimana memancing seseorang yang punya kepribadian hampir mirip dengannya.
"Aku tidak takut!"
"Kau jelas takut." Akashi menyeringai, "Dan kau pasti akan menangis setelah ini."
"Kei tidak takut dan nggak nangis!"
Akhirnya, pancingannya kena. Jadi nama anak ini Kei. Akashi menyeringai lagi, dibarengi dengan si anak yang membekap mulutnya sendiri saat sadar dengan apa yang dia katakan tadi.
"Jadi, namamu-"
"Kei-kun!"
Dua orang bertemu pandang, dan tidak ada yang tahu, siapa yang membelalakkan mata paling lebar
…
Disclaimer :
Kuroko No Basuke by Fujimaki Tadatoshi
Original story by Gigi
Warning :
T
Akakuro
Shonen ai
Male Pregnant
Romance, Family, Hurt
Out of character
…
"Tetsuya?"
Keterkejutan yang tadi melanda kini sudah hilang, dan Akashi bisa mendapati kalau binar yang dia rindukan, kini kembali datar.
"Mau apa kau disini?"
"Hanya-"
"Kei-kun, bisa tinggalkan ibu duluan?"
"Ibu mengenal paman ini?"
Tetsuya mengangguk, "Kei-kun bermain di taman dulu ya," Ujarnya sambil tersenyum penuh sayang kepada anak semata wayang.
"Ung,"
"Anak pintar,"
Binar kehangatan itu, sungguh Akashi merindukannya. Entah sudah berapa lama dirinya tidak melihat tatapan yang membuat dirinya jatuh cinta.
"Jadi, apa maumu?" Binar kehangatan itu hilang. Tergantikan dengan sorot sedingin es yang memuakkan.
"Kita bisa berbicang-"
"Aku tak punya waktu."
"Tetsuya," Tangan terarah, bergerak menyentuh untuk memastikan bahwa orang yang dia cari adalah nya-
"Jangan menyentuhku!"
"Aku mencarimu! Kau menghilang, dan tak ada satupun yang memberitahuku!"
"Untuk?"
"Untuk? Tentu saja karena aku suami-"
"Kau hanya masa lalu." Tetsuya menghela nafas sebentar, "Kita sudah bercerai, kalau kau lupa."
"Aku tak pernah menandatangani surat cerai yang kau ajukan kepadaku."
"Terserah, aku tak peduli."
"Tapi aku peduli! Kau tak tahu bagaimana aku-"
"Tolong pergi. Apapun urusanmu, aku tidak ingin tahu."
"Anak tadi," Akashi menelan ludah, "Anak kita?"
"Anak kita?" Nada sarkasme disuarakan Tetsuya, "Dia milikku."
"Dia darah dagingku,"
"Jangan bercanda. Kau tak usah membual hal yang tak nyata,"
"Rambutnya, hanya seorang Akashi yang punya rambut seperti itu." Begitupun sifatnya meski masih berusia begitu belia, lanjut Akashi dalam hatinya.
"Maaf saja, aku akan mengecatnya menjadi kuning seperti papanya, saat dia berumur 8 tahun nanti."
"Papa?" Mata Akashi membulat tak percaya, "Kau menikah lagi? Disaat aku mencarimu, kau malah-"
"Tidak usah bertingkah seolah kau tersakiti,"
"Tetsuya, kau benar-benar sudah-"
"Apa? Aku yang bertingkah menyakitimu? Kau lupa, bagaimana kau mengusirku dari rumah? Kau lupa, bagaimana aku membutuhkanmu tapi kau malah sibuk dengan selingkuhanmu? Kau lupa, bagaimana kau menuduh bahwa apa yang tengah aku kandung bukan anakmu?" Akashi bisa melihat kalau binar itu kosong saat memandangnya, "Bahkan binatang tak akan melakukan itu semua. Padahal kau tahu, kau yang jadi pertama untuk segalanya."
"Tetsuya, aku menyesal,"
"Ya, dan kau boleh pergi. Jangan menampakan hidupmu di hadapan kami lagi."
"Tetsuya,"
"Aku sudah menganggapmu mati."
Akashi terdiam. Mulutnya tak sanggup membuka saat melihat luka lama yang dia torehkan kini terlihat nyata pada mata yang begitu dia puja.
"Kau boleh pergi kemanapun, dengan siapapun, Tapi tolong menghilanglah." Tetsuya berbalik membelakangi Akashi, "Karena aku tak ingin kau terlihat olehku dan Kei-kun."
Rasanya sungguh menyakitkan. Bagi Akashi, vonis ini lebih mengerikan daripada kematian. Perbuatannya memang sudah sangat keterlaluan, tapi bolehkah.. bolehkah dia mendapat sebuah kesempatan?
End?
AN :
Reader's-san, bolehkah Akashi mendapat kesempatan?
Terimakasih sudah membaca!
Sign,
Gigi.