"Begitulah, kauboleh memercayainya atau tidak. Aku bercerita apa adanya. Menipumu pun percuma. Kausudah mendengar semuanya."

Sasuke meredam rasa bersalah itu jauh dalam hati. Kenyataan inilah yang tengah Ino cari. Gadis belia itu tanpa sengaja mendengar percakapannya dengan Shion, dan berakhir mencari jawaban dari mulut Sasuke sendiri. Bukan ia bermaksud membuat gadis itu menangis, dia hanya mengungkapkan fakta tanpa niatan menutup-nutupi. Toh, semua sudah terjadi. Berbohong pun percuma, hanya akan semakin menyakiti.

Dentuman dadanya menggila. Tubuhnya bergetar. Matanya memburam nanar. Tungkai kakinya lemas. Seketika, tubuhnya ambruk lantaran tidak sanggup mendengar kenyataan. Ibunya... dengan sangat tega menjual sang ayah demi harta warisan.

"Bagaimana... dengan ayahku? Apa dia tahu?", begitu katanya. Itu pun setelah cukup lama membisu, hanya sanggup mengurai air mata.

"Perihal perceraian itu, tidak. Tapi Naruto tahu kalau aku menjamin ekonomi keluarga kalian."

"Hiks..."

Dalam kamar kedap suara itu, Ino menangis sesenggukan. Padahal ia sendiri sudah menguatkan tekad. Tapi sepertinya, kenyataan itu lebih pahit dari obat. Bagai dirajam seribu pedang, sakitnya meremukkan jantung dan tulang. Biar saja sang Uchiha itu tertawa, yang Ino butuhkan sekarang hanya mengeluarkan semua yang telah ia pendam.

Sasuke melihatnya dalam diam. Ada satu keinginan untuk merengkuh gadis itu dalam pelukan. Bagaimana pun perlakuan Ino padanya, dia tidaklah salah. Tiba-tiba mendapati sang ayah menikahi pria saja, pasti sangat melukai hatinya. Apalagi semua terjadi karena keegoisan ibunya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu sampai begitu tega menjual suaminya.

"Hiks... kenapa? Kenapa ibuku sendiri tega menjual ayah? Hiks..."

Puk.

Tidak tahan dengan air mata, Sasuke memberanikan diri mendekat. Mengusap sayang puncak kepala si pirang. "Jangan salahkan siapapun. Mungkin Shion punya alasan sendiri yang tidak ingin kautahu."

"Alasan macam apa yang mendasari perbuatannya! Ibu hanya tidak tahan hidup susah! Hiks..."

"Setelah semua ini aku janji akan mengembalikan semuanya."

Kali ini Ino menegakkan kepala. Menatap penuh pada Sasuke yang kini tersenyum padanya. Ada sebersit ketidakpercayaan, namun selebihnya ia ingin mengakui tidak ada sedikitpun kebohongan di sana. Wajah itu terlalu jujur untuk seorang yang ia sebut 'perusak rumah tangga orang'.

"Percayalah."

Lalu bagaimana ia harus bersikap. Jika hanya lelaki yang dibencinyalah, orang yang mengerti bagaimana perasaan Ino sekarang. "Kau... sungguh-sungguh?"

"Ya."

.

.

.

Istri Kedua

Naruto

Masashi Kishimoto

Narusasu/Rate T-M/BL

-af-.

.

.

.

Mengingat kembali obrolannya dengan Sasuke, Ino hanya bisa menyembunyikan muka, bertelungkup pada meja. Bagaimana dia bisa menangis di hadapan sang Uchiha. Menunjukan kelemahan, serta mudah saja menerima perlakuan lelaki bermata jelaga. Takhabis pikir, dirinya semudah itu terlena. Apakah kondisi mental memengaruhi semua? Dirinya tidak mau menerka. Lelaki yang seharusnya menjadi sosok bersalah itu, mengapa jadi seorang yang seolah paling mengerti dirinya? Ino ingin menangis saja.

"Ino-chan!"

Ck.

Ini lagi. Gadis ini sungguh bebal sekali. Tidakkah dia mengerti kalau Ino sudah mengusirnya berulang kali? Dirinya tidak butuh dikasihani. Tatapan melas dari gadis Hyuuga ini, merupakan satu dari sekian banyak hal yang Ino benci. Apalagi model manusia taktahu diri ini selalu mengikuti. Ke mana pun Ino pergi. Sekarang saja, ketika ia ingin sendiri, Hinata sudah datang menambah pelik suasana hati.

Mendengar panggilannya tidak mendapat tanggaapan, Hinata meringkuk makin dalam. Wajahnya ditelan kerah seragam sekolah. Jemarinya saling bergesek menutupi kegugupan. "Aku mau minta maaf."

Hening mengudara. Tidak adanya siswa di kelas saat itu menambah sunyi suasana. Semua siswa sudah lebih dulu lari demi mengisi perut yang orkestra. Namun tidak dengannya. Ino hanya ingin meratapi nasib lantaran telah menunjukkan sisi lemahnya. Sayang, niatan itu sirna karena Hinata mengusik waktu Ino yang berharga.

"Aku minta maaf kalau selalu mengganggumu. Aku hanya ingin berteman denganmu. Bukan karena kasihan. Aku sungguh ingin berteman denganmu. Tapi, kalau kelakuanku malah membuatmu membenciku, aku sungguh minta maaf."

Bukannya diam, Hinata makin mengoceh ke mana-mana. Ino tidak butuh maaf. Ia hanya butuh Hinata berhenti merecoki kehidupannya.

Hinata melirik sekali. Ino masih bertelungkup menyembunyikan wajah sendiri. Ingin ia menyentuh, namun takut mendapat penolakan lagi. Meski begitu, Hinata tahu gadis Uzumaki ini mendengarkannya sejak tadi.

Sedikit banyak, sebenarnya Hinata khawatir. Sejak berangkat tadi, Ino sudah berlaku ganjil. Sebagai seseorang yang duduk di sebelahnya, Hinata bisa mendengar helah nafas beberapa kali. Walau perlakuan Ino padanya keterlaluan setiap hari, sang Hyuuga tidak bisa membenci. Ino adalah orang yang ingin ia jadikan teman sejati. Sejak pertama bertemu, dirinya tahu kalau gadis pirang itu orang baik.

"Ino-chan?"

"Ck!". Muak dengan suara Hinata, Ino mengadahkan muka. Menatap nyalang manik keunguan. "Bisakah kautidak merecoki hidupku HAH!". Namun bukan sentak kaget yang ia terima. Hinata hanya melebarkan mata. Selanjutnya yang Ino ingat, dirinya sudah tenggelam dalam dada. Hyuuga Hinata memeluknya. Tanpa seizin dirinya. "Ap-"

"Ino-chan! Apa yang terjadi? Kenapa menangis?"

Menangis? Ia? Sejak kapan? Bahkan dirinya tidak sadar. Dan apa-apaan perlakuan yang ia terima. Hinata malah ikut mengurai air mata. Meski tidak melihat, sengguk itu bisa ia dengar.

"Lepas!", titahnya.

"Apa ada yang menyakitimu?". Tapi bukan Hinata kalau menurut begitu saja. Peluk itu dieratkan. Hinta mendekap penuh perasaan. Hatinya sakit melihat Ino menangis di hadapan. Dirinya tidak tahu masalah apa yang tengah Ino rasakan. Sungguh, Hinata hanya ingin jadi teman. Berperan sebagai sandaran. Karena Ino sudah ia anggap panutan. "Hiks... jangan pendam sendirian. Hiks... mengapa Ino-chan tidak mau berbagi beban. Ada aku jika kaubutuh teman. Aku ingin jadi teman Ino-chan. Hiks..."

Dan entah mengapa, di dada Hinata Ino bisa meraung sekeras-kerasnya. Apakah karena ini adalah pelukan pertama yang ia terima setelah keluarganya diguncang skandal pernikahan ayahnya. Atau karena – seperti yang Hinata katakan – dia butuh teman.

"Huaa..."

Keduanya menangis bersama. Dalam kelas yang hanya ada mereka. Mungkin tidak buruk jika ia membuka hati pada Hinata.

.

.

.

Dua hari berlalu setelah Ino mengetahui semua. Dua hari pula gadis itu berpikir dalam-dalam. Dia telah memutuskan, untuk mengawasi dan mengamati lelaki Uchiha. Memastikan semua perkataan pria itu adalah benar. Janjinya. Bahwa Sasuke akan mengembalikan kebahagian keluarganya setelah satu tahun perjanjian.

Pagi itu, dengan membuat semua orang tercengang. Ino duduk manis menikmati sarapan. Naruto sampai takjub dibuatnya. Setelah tiga bulan lebih dirinya memutuskan kembali membina rumah tangga kedua, baru kali ini Ino menyapanya. Apalagi mendudukkan diri satu meja dengan sang istri kedua. Tidak ada kelebat benci, walau canggung itu masih ada.

Naruto mengulas senyum. Sepertinya masalah Ino dan Sasuke sudah kelar, tanpa dirinya perlu ikut campur. Entah apa yang terjadi, setidaknya ketegangan keluarganya perlahan mengendur. Meskipun tidak semuanya, Naruto tetap saja mengucap syukur.

"Pagi, ayah.", sapa gadis belia itu dalam lafal pelan.

Naruto menanggapi dengan usapan. Putri kecilnya yang begitu dia sayang, taklagi menunjukkan penolakan. "Pagi."

Perubahan sikap Ino yang tiba-tiba, juga membuat kernyitan dari nyonya Uzumaki. Shion heran dengan putrinya yang kini tidak bersikap memusuhi. Terutama pada Sasuke, lelaki yang Shion tahu sangat Ino benci.

Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mungkin Ino berubah sangat tiba-tiba begini.

.

.

.

"Kupikir sikap Ino sudah lebih baik hari ini", begitu kata Naruto setelah ia mengantar putrinya ke sekolah. Sesekali melirik pada lelaki di sebelah. "Kau melakukan sesuatu padanya?"

Mobil terparkir sempurna. Naruto membalikkan badan, fokus pada jawaban pria di sampingnya.

"Kenapa aku harus melakukan sesuatu?". Melepas sabuk pengaman, Sasuke balik bertanya. Ia sudah siap turun jika saja Naruto tidak kembali berkata.

"Entahlah. Kautipe yang mudah mengambil hati orang lain."

Kali ini Sasuke menatap orang tercinta. Kata-kata Naruto meresapi dada. Kembali menghangatkan paginya setelah lebih dua bulan bersama. Lelaki ini, sejauh apa bisa membuat Sasuke jatuh cinta? Semua kata-katanya, tingkah lakunya, bahkan ketika ia hanya mengerutkan alis saja. Semuanya, mampu meluluhkan Sasuke seutuhnya.

"Jangan bicara yang aneh-aneh. Aku tidak melakukan apapun pada Ino."

"Tapi dia memang berubah kan?"

Benar. Ino memang berubah. Tepatnya semalam ketika Ino kembali mendatangi kamarnya.

"Ada apa?", tanyanya melihat gadis itu hanya diam. Sasuke tengah membenahi tempat peraduan. Malam ini giliran Naruto tidur di kamarnya.

"Apa malam ini ayah tidur di kamarmu?", Ino bertanya setelah detik berlalu dalam keheningan. Mata hijaunya tidak melirik Sasuke barang sejenak.

"Ya."

Kembali mereka dilanda kecanggungan. Tepatnya hanya si gadis belia saja. Sasuke sudah kembali ke kegiatan semula, merapihkan ranjang. Dirinya baru menaruh fokus pada putri tirinya ketika di dengarnya Ino mengutarakan tujuan.

"Aku... hanya ingin memastikan ucapanmu kemarin."

Sasuke ber-oh saja. Ino mendelik tidak suka. Katanya, "Tenang saja. Seperti janjiku, akan aku kembalikan semua. Ayahmu dan kebahagiaan keluargamu. Aku menikahi ayahmu murni karena ingin membantu."

"Hanya karena itu?"

"Apalagi? Kau mengharapkan yang lain?"

Dilihatnya Ino kembali meragu. Seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun tiada bibir itu mampu. "Apa kau mencintai ayahku?"

"Sasuke?"

Lamunan Sasuke buyar. Wajah Naruto hanya berjarak kurang dari tiga senti dedapannya. Ia mengulas senyum, mengingat kembali pertanyaan Ino semalam. Bukankah jawabannya sudah jelas. Menikmati wajah Naruto yang teramat penasaran, ingin ia tangkup dalam kedua tangan. Dan tentu saja hal itu ia lakukan. "Kausendiri?"

Jawabannya karena Sasuke mencintai pria ini dalam tahap yang sedikit lebih tinggi dari istri pertamanya. Keikhlasan.

"Hm?"

"Apa kaujuga mulai berubah padaku?"

.

.

.

Siang itu.

Setelah rutinitas Naruto yang baru – mengunjungi serta menemani Sasuke makan siang di ruangannya. Lelaki itu sempat melirik sejenak pria yang kembali tenang membuka lembar kerja. Kemudian memutuskan pergi tanpa suara. Namun urung lantaran kenop pintu lebih dulu terbuka. Seorang lain lebih muda darinya, dengan rambut kelabu masuk tanpa di minta.

Keduanya bertatap muka. Naruto tidak kenal siapa pria yang datang begitu tiba-tiba. Lelaki asing itu pun sama. Menilik Naruto dari kaki sampai kepala. Sebelum kemudian berdecak mengumbar rasa tidak suka.

Sikap macam apa itu. Sangat tidak sopan mengingat umur mereka jauh terpaut.

"Kakashi?". Adu pandang itu terputus seketika. Suara Sasuke mengembalikan mereka ke alam nyata.

Kakashi? Siapa? Apa kenalan Sasuke?

"Apa yang kaulakukan di sini?"

Pemilik nama sukses mengalihkan pandangan. Sosok lain di belakang si pirang menarik perhatian. Dia mengulas senyum samar, kemudian berjalan melewati Naruto begitu saja. Tanpa permisi, sekedar mengucap salam. Apa begitu tingkah seorang kenalan? Seperti mereka sudah kenal lama. Mungkin sahabat? Atau... apa? Naruto sedikit tidak suka dengan resah yang melanda tiba-tiba.

Rasa penasarannya mengurungkan niatan. Naruto tidak jadi hengkang lantaran merasa ada kejanggalan. Mengapa ia resah? Mengapa gelisah? Secuil rasa tidak nyaman itu menelusup hatinya. Menyentuh cubit jantung, membuatnya berdenyut menyakitkan. Kenapa dengannya? Ada suara dalam kepala yang menyuruhnya marah pada lelaki yang baru saja Sasuke panggil namanya.

"Ah iya. Kalian belum pernah bertemu bukan? Kakashi, ini Naruto. Naruto, ini Kakashi."

Entah sudah berapa cakap Naruto lewatkan. Tiba-tiba saja Kakashi sudah mengulurkan tangan. Meski rasa tidak nyaman itu masih ada, sopan santun yang ia junjung tinggi memaksanya menerima uluran. Mereka saling mengeratkan jemari pada lawan.

"Hatake Kakashi."

"Uzumaki Naruto. Suami Sasuke."

Entah mengapa ia harus menekankan itu pada pria muda ini. Seperti klaim mutlak untuk pemilik manik jelaga yang tersentak kini. Bahwa mereka sudah jadi pasangan suami istri.

"Aku tahu."

.

.

.

"Kau!". Uzumaki Shion menyalang. Perempuan yang paling dibencinya tiba-tiba ada di hadapan. Mikado Karin, saudara tiri yang membuat hidupnya berantakan. "Mau apa kau ke sini!". Dari mana Karin tahu kalau Shion sudah pindah dari rumah lamanya? Lagi pula, untuk apa? Berniat membuat dirinya murka? Karena tidak mungkin, wanita setahun lebih muda darinya itu jauh-jauh datang hanya sekedar menyapa.

Perempuan berambut merah itu melepas kacamata dengan elegan. Membalas tatapan Shion tidak kalah mematikan. Seperti mengajak untuk perang. Ditiliknya wanita pirang itu dari kaki hingga kepala. Berbeda dengan pertemuan terakhir mereka. Setahun berselang setelah ia mengumandangkan pada saudara tirinya, perihal dirinya yang jadi pewaris sah harta keluarga. Tampilan Shion sudah sangat berbeda. Setahunya, suami Shion hanyalah seorang pegawai kantoran biasa. Jadi tidak mungkin , segala jenis barang mewah melekat padanya.

Lihatlah giwang bertahtakan mutiara. Satu paket dengan kalung yang melingkari leher jenjangnya. Juga terusan pastel tanpa lengan membalut tubuhnya. Tes kecil menjadi pemanis dandanan. Belum lagi bangunan tinggi di belakang wanita yang masih saja menebar tatap penuh benci itu. Kalau tidak melihat sendiri, ia tidak akan percaya bahwa Shion bisa jadi orang borju.

Tapi, kedatangannya kali ini bukan untuk takjub dengan penampilan si saudara tiri. Tapi untuk memberi wanti-wanti. Kelakuan Shion beberapa bulan lalu sungguh membuat emosi. Seenaknya datang ke rumah hanya membuat rusuh sana-sini. Ditambah lagi membuat penyakit ayahnya kambuh lagi. Kalau bukan karena ibunya melarang, sudah Karin cabik-cabik wanita di depannya ini.

"Aku hanya ingin memeringatkanmu. Sekaya apapun dirimu, kupikir kautidak punya kewajiban untuk membuat ulah di rumahku."

"Rumah?", emosi Shion meraja. Mendengar perempuan yang ia anggap merebut haknya itu menyebut kata 'rumahku'. "Jangan bercanda Karin. Tempat yang kausebut rumah itu, jangan bangga atas apa yang sudah kaurebut dariku. Semua kemewahan yang kaupegang sekarang. Semua itu tidak lain dari barang bekas yang kaupungut karena aku telah membuangnya."

Karin tertawa. Tawa yang sungguh membuat Shion sakit kepala. "Lucu sekali. Bukan kau yang membuang, tapi kau lah yang dibuang. Setelah pergi dari rumah utama hanya untuk menikahi lelaki tidak jelas itu. Kau sudah bukan lagi bagian dari keluarga Mikado. Jadi, jangan buat ulah dengan keluargaku. Kalau bukan karena ayah, aku sudah mencakarmu dan merusak wajah cantikmu itu.

"Bukan ayah yang mengusirmu. Tapi kau lah yang memilih pergi dengan lelaki itu. Jangan memutarbalikan fakta seolah kau yang teraniaya di sini. Keegoisanmulah yang membuat ayah menyerahkan semua hartanya padaku."

"Kalau kauhanya ingin mengucapkan itu! Pergi dari sini!". Di halaman gedung mewah apartemen itu, dua kali Shion merasa kalah hanya karena sang saudara tiri.

"Aku memang tidak berniat lama-lama. Hanya ingat ini. Sekali kau membuat ayah sakit lagi, kupastikan kau mendapatkan pembalasan lebih."

Selang detik berlalu saling adu tatapan. Karin melangkah kembali dalam mobil untuk hengkang. Urusannya di sini hanya untuk memberi Shion peringatan. Meski hati gatal ingin mencakar. Namun ia ingat, bagaimana lelaki yang sudah ia anggap ayah kandungnya begitu sayang pada si wanita yang malah meninggalkan.

Deru mobil membelah jalan raya. Karin masih dengan hati membara mengingat kembali saat ia melihat keadaan ayahnya setelah ia pulang dari perjalanan bisnis lintas negara. Wajah tirus berkantung mata. Pasi layaknya boneka dalam kaca. Tubuhnya terbaring lemah, berbagai selang tertempel di sana.

Ibunya menangis saat bercerita bagaimana Shion datang dan menyebabkan semua. Setelah bertahun pergi, kembali hanya untuk mencela. Sunggh, dirinya sudah akan melabrak wanita itu jika saja ibunya tidak menahan. Demi ayahnya yang saat itu terbaring tidak sadar, Karin pendam amarah dalam-dalam.

Kemudian, ketika sang ayah siuman. Pertama kali yang dicari adalah si wanita ular. Begitu lara hati Karin mendengarkan. Begitu terluka ia saat tahu ayahnya masih teramat sayang. Kalau saja ia yang berada di posisi Shion, memiliki ayah luar biasa. Tidak akan ia lepas begitu saja.

Mengingat itu, Karin merasa sedikit lega. Telah memberikan peringatan pada saudara tirinya. Tidak akan ia biarkan Shion berbuat seenaknya. Apalagi sampai melukai hati ayahnya.

.

.

.

Marah. Murka.

Adalah deskripsi perasaan Shion sekarang. Setelah mendapati saudara tirinya datang hanya untuk melempar penghinaan. Niatnya untuk pergi hari itu batal sudah. Perasaannya saat ini tengah butuh dikeluarkan. Butuh pelampiasan.

"Wanita brengsek!". Begitu jeritnya. Menghentak kaki di trotoar. Tidak peduli pada tatap heran pejalan kaki di sekitar. Masa bodoh lah. "Sial!"

.

.

.

"Jadi, kenapa kaudatang tanpa memberi kabar?", tanya Sasuke tenang. Beberapa menit lalu ia berada pada kondisi paling krusial. Di mana Naruto dengan gamblang mengatakan bahwa mereka sudah terikat pernikahan. Untung Kakashi sudah tahu duluan. Jadi meski lelaki itu kaget atas ucap Naruto, ia tidak bertindak berlebihan.

Mereka kini tengah berdua. Naruto sudah lebih dulu pamit – dengan terpaksa – lantaran masih ada pekerjaan. Sebenarnya pun, si pirang sangat urung meninggalkan Sasuke dengan lelaki yang tidak ia kenal. Tapi mau bagaimana, ia harus profesional. Juga menaruh percaya pada istri keduanya. Sasuke tidak mungkin main belakang. Karena pemilik samudra itu tahu, lelaki berambut jelaga sangat mencintainya –

kan?

"Aku ingin mengunjungimu, apa itu salah?", Kakashi menyamankan diri pada sofa. Pria itu bersidekap dada, memandang Sasuke ragu kemudian menggantung kata. "Dan lagi..."

Manik jelaga mengerjap tanya. Menunggu Kakashi buka suara. Namun bermenit dalam hening, cukup membuat Sasuke jengah. Lelaki ini tidak bermaksud untuk membuang waktu saja kan? "Ada apa?"

Kakashi sejenak menimbang susunan kata agar tak melukai lelaki cantik di sana. Ia berucap dengan vibrasi lembut, namun masih bisa Sasuke terima. "Pulang lah Sasuke. Kakekmu, dia sedang sakit."

Iris Sasuke membeliak. Lima tahun berlalu, hubungan Sasuke dengan kakeknya retak. Pria tua itu menyalahkan Sasuke atas kematian putra tunggalnya. Mencari kambing hitam atas kecelakaan maut yang juga membuat Sasuke merana. Uchiha Madara saat itu menaruh murka. Memendam benci pada Sasuke yang saat itu masih belia. Yang hanya bisa meratapi kepergian keluarganya. Menerima bentak kasar dari lelaki yang seharusnya menjadi satu-satunya keluarga.

Lalu sekarang, saat kakeknya sakit, Sasuke harus bagaimana? Jujur ia tidak membenci Madara. Bukan tidak bisa. Setelah semua caci maki yang dulu ia terima, pantas jika Sasuke tidak suka. Namun lebih kepada tidak mau, lantaran ia masih memiliki darah Uchiha. Masih keturunannya. Mendiang ayahnya pernah berkata, kita tidak boleh saling membenci dengan keluarga. Pengajaran itu selalu ia pegang erat dalam dada.

"Dia mencarimu". Kakashi membiarkan Sasuke dengan pikirannya. Dia tahu, ada rasa takut di matanya. Sasuke takut kecewa. Takut terluka. Tidak heran, karena amarah Madara waktu itu sangat mengguncang jiwa.

.

.

.

Naruto mengernyit melihat laman pemesanan tiket pesawat ke Kyoto di laptop Uchiha muda. Seingatnya, tidak ada perjalanan bisnis yang mengharuskan lelaki berusia dua puluhan pergi ke sana. Jadi, untuk apa? Mengernyit penasaran, Naruto bersiap bertanya. Tapi urung saat ia melirik dan mendapati Sasuke hanya mengenakan handuk untuk menutupi pusar sampai paha.

Ada dentum menyesakkan yang berasal dari dadanya. Meski begitu, Naruto menikmatinya. Sebenarnya ia kaget Sasuke mempertontonkan kulit putihnya – walau tidak disengaja. Lagipula, sudah berapa kali Naruto melihat, bahkan menyentuhnya. Ia sendiri bertanya-tanya. Padahal dirinya juga punya, namun melihat tubuh telanjang Sasuke membuatnya merasakan kepak kupu-kupu dalam perutnya.

Sadar terlalu lama menatap, Naruto membuang muka. Ia berdehem sekali untuk menarik perhatian lelaki lebih muda. Pasalnya Sasuke sama sekali tidak sadar jika sejak tadi ditatap mata sebiru samudra.

"Naruto?", bulir air masih menuruni leher jenjang. Sasuke baru saja mandi lantaran tubuhnya sudah penuh keringat. Ia tidak tahu sejak kapan Naruto sudah nangkring dalam kamar. "Maaf, aku tidak tahu. Sudah lama?"

"A-aa iya. Maksudku... baru saja". Tergagap. Sial! Mengapa suara gugup yang keluar. Mati-matan menahan detak jantung yang menggila, Naruto mengalih perhatian. "Ehm... kau ada perjalanan bisnis keluar?"

"Hn?", Sasuke mendekat. Kupu dalam perut Naruto makin menggeliat. Tidak tahukah si rambut arang itu kalau feromonnya menguar ke segala tempat?

"Itu... aku melihat... kau memesan tiket ke Kyoto."

"Oh..."

Yang lebih muda melenggang tanpa merasa bahwa ada sosok lain tengah menekan hasrat. Kelakuannya malah menjadi, dengan membuka satu-satunya penutup aurat. Si pirang makin bermandikan keringat. Sesekali mencuri pandang, kemudian mengagumi betapa lelaki muda itu sangat memikat. Untuk selantunya, merasa bodoh karena sempat berpikir untuk membuat Sasuke melenguh nikmat. Kepala Naruto berasap, otaknya hampir overheat.

"Awal bulan depan ada keperluan ke Kyoto.", Sasuke sudah rapi berpakaian. Fokus mata sudah beralih pada suaminya.

Ditatp Sasuke begitu, Naruto tersentak. Kepala keluarga Uzumaki tu menggeleng, mengusir segala hal berbau ranjang. "O-oh... bisnis?"

"Bukan."

"Kaupergi sendiri?"

"Tidak. Ingat Kakashi yang minggu lalu datang?". Anggukan kepala Sasuke terima. "Aku ke Kyoto dengannya."

Kembali, resah itu datang tanpa permisi. Mendengar nama Kakashi, ada sesuatu hal yang salah yang tidak Naruto mengerti. Ia ingin mencegah, namun tidak berani. Lagi pula, Sasuke pernah bilang kalau mereka teman sedari usia dini. Meski tetap saja, ada ketidakrelaan dalam hati. Mengetahui Sasuke pergi, dengan seorang lelaki.

Lelaki dua puluhan itu heran. Respon Naruto hanya diam. Apalagi tiba-tiba, si pirang mendekat. Meretasjarak dengan wajah tertutup poni dengan sempurna. Membuat Sasuke tidak bisa menerka apa yang tengah dipikirkan.

"Sasuke.", nada rendah memanggil. Tubuh Sasuke tiba-tiba menggigil. Dibalik poni itu, mata Naruto berteriak ingin. "Malam ini, aku ingin menyentuhmu.". Tersentak, vibrasi Naruto terkesan begitu riil.

.

.

.

Bersambung...

Hai-hai, saya balik lagi dengan fic Istri Kedua. Ada yang masih nunggu? Atau udah pada lupa karena saking lamanya diangguirin? Hahaha #ketawa inosen,

Saya nggak berharap kaka-kaka masih pada inget. Saya cuma berharap, kaka-kaka yang masih mau nungguin fic ala kadarnya ini, mau memaafkan kesalahan saya karena apdet terlalu ngaret. Saya kurang bisa me-manage waktu buat nyempetin lanjut nulis fic. Ini murni kesalahan saya. Tapi kayak yang udah saya janjiin, saya bakal tetep – usahain – buat ngelanjutin fin ini sampe tamat. Yah meskipun, dari segi cerita tambah tidak karuan.

Oh ya, saya juga mau ngucapin terima kasih buat kaka-kaka yang dukung fic ini tetep lanjut. Buat selanjutnya, saya mungkin gak bisa apdet cepet karena kerjaan saya mulai numpuk. #bungkukbungkuk.

Akhir kata, semoga kaka-kaka sekalian tetep nikmatin fic ini dan masih mau ninggalin jejaknya. Sampai ketemu chapter depan...