DISCLAIMER: Naruto © Masashi Kishimoto.

RATE: M

WARNING: TYPO, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG. ^_^

.

.

~Complications~

"Heart of gold"

Tepat pukul tujuh pagi, Ino telah selesai membawa Karura berkeliling mengitari bunga tulip yang ada di taman belakang kediamannya. Kini keduanya telah bercerita banyak hal tentang bunga dan kehidupan si gadis pirang.

Karura hanya menanggapi dengan senyum dan sesekali mengusap wajah ayu didepannya. Sepertinya sang nyonyah sabaku itu sudah terpukau dengan paras dan kepribadian gadis yang dibawa oleh puntranya sebagai calon istri.

Tapi sungguh tak ada yang tau hubungan sebenarnya yang mereka jalani. Pun juga sang ibu yang menerima kebohongan status mereka.

Tak ada niatan untuk berbohong, tidak Gaara maupun Ino. Semula mereka hanya sepakat untuk membantu, menyelamatakan Gaara dari perjodohan yang ternyata dengan gadis yang menjadi kekasihnya sendiri.

Sungguh setelah tau siapa yang akan dijodohkan dengannya, tak ada sedikitpun penyesalan dihati Gaara telah menggagalkannya.

Dan setelah kebenaran tentang diri Gaara, siapa ibu kandungnya terkuak, Ino semakin terseret kedalamnya dan entah apa mereka bisa mengembalikan keadaan semula. Status mereka yang hanya sebagai seorang teman atau akan semakin rumit lagi.

Kini dari posisi Gaara yang sedang menikmati kopinya ia bisa dengan leluasa memandang sang ibu yang terlihat begitu menyukai sosok Yamanaka Ino. Tak ada yang perlu dikhawatirkan seandainya gadis itu memang benar kekasihnya, tapi setelah semuanya yang ada Gaara semakin kalut.

Melihat sang ibu yang teleh menunjukan perubahan sejak pertama mereka datang dan sekarang karena sosok sang gadis. Lalu bagaimana apabila ibunya tau yang sebenarnya? Bisa jadi sakitnya akan tambah para. Dia juga tak mungkin meminta Ino untuk terus membantunya.

Sebuah helaan napas terdengar dari Gaara.

Ia tersenyum ngejek dirinya sendiri, sebab kedekatan Ino dengan sang ibu berbanding terbalik dengan dirinya. Karena pada saat ini pun ibunya masih dingin terhadap dirinya. sedangkan libur musim panas mereka akan segera berakhir.

Tapi tak apa, paling tidak ia telah melihat ibu kandungnya dan setelah ini berakhir ia berharap akan kembali normal. Meski dalam hati ia begitu ingin membawa pulang sang ibu ke Jepang hidup bersamanya dan bisa melihanya setiap hari. Tapi keinginanya itu seolah hanya berakhir diujung lidahnya.

Lagi-lagi pemuda berambun maroon itu menghela napas.

Sampai terdengar suara seseorang yang baru masuk kedalam rumah mengalihkannya.

"Tadaima!" Seru sosok itu.

Kedua pasang mata berbeda warna, Jade dan coklat saling bertemu. Menatap satu sama lain seolah mencari jawaban siapa sosok didepannya kini.

Sosok yang masih berdiri itu tersenyum kecil.

Namun Gaara malah memicing menampakan wajah dinginnya.

"Sasori, kau sudah sampai?" Tanya Chiyo yang datang dari arah dapur dan mendapati cucu satu-satunya telah tiba di rumah.

Sasori melebarkan senyumnya kala mendapat sapaan. "Bagaimana keadaan nenek?" Sapanya kemudian.

"Aku baik." Jawaba Chiyo singkat.

"Dimana ibu dan ibu Karura?" Tambah Sasori, mengabaikan sosok Gaara yang tengah mengamati sosoknya.

"Ibumu sedang memasak, dan Karura-sama ada ditaman belakang."

"Hm." Angguk Sasori paham. Namun sebelum ia beranjak dari sana neneknya menambahkan kala mata tuanya melihat ketidak mengertian Gaara.

"Oya, ayo ikut aku." Ajak sang nenek melangkah mendekati pemuda rambut maroon yang sejak tadi ada tak jauh dari mereka.

Setelah ia membawa langkahnya mengikuti sang nenek yang berdiri tepat pada sofa dimana sosok pemuda yang baru ia temui saat memasuki rumah sepanjang hidupnya.

"Gaara-sama, kenalkan dia cucuk saya, Sasori." Chiyo memperkenalkan dirinya pada pemuda yang baru ia dengar namanya. Gaara?

Sepertinya namanya tak asing dan lagi neneknya memanggilnya dengan sebutan sama. Apa dia orang penting disini? Dalam hati ia bergumam.

Tanpa repot berdiri dan memasang senyum, Gaara hanya menganggukan kepalanya pelan. Pun juga tak perlu bertanya untuk sekedar basa-basi. Karena ia memang tak suka basa-basi.

Yang mungkin akan menimbulkan kesan arogan dimata orang, dia sedikitpun tak peduli. Dia juga tak pernah mengingikan pandangan baik dari orang, dia tak membutuhkan pencitraan untuk membuat orang menyukainya.

Karena memang dirinya seperti ini.

Sedangkan pemuda yang menjadi objek perkenalan tersenyum tipis dan sedikit berojigi. Meski ia besar di Belanda ia tak pernah melupakan dari mana ia berasal. Karena dalam lingkungan keluarganya mereka masih menggunakan bahasa Jepang dalam keseharian, namun lain lagi bila ia sudah di luar itu.

"Dia adalah putra dari Karura-sama." Terang Chiyo yang membuat Sasori memicing.

Rambut merah? "Oh..." responya kemudian. Pantas nama dan cirinya sepertinya tak asing.

Namun sepertinya ia berbeda dengan sosok ibunya dan lebih merip dengan sang ayah. Dingin dan arogan. Karena ia beberapa kali pernah bertemu sang tuan besar itu saat beliau masih sering mengunjungi istrinya disini.

Ia berpikir tambah miris dengan keadaan Karura, karena dikelilingi orang-orang seperti ini dalam hidupnya. Jadi tak salah bila wanita malang itu menjadi seperti sekarang ini.

Perkenalan singkat yang penuh kediaman itu kemudian dipotong oleh pertanyaan Sasori.

"Dimana ibu Karura? Aku ingin menemuinya."

Ucap sasori yang langsung menimbulakn reaksi pada Gaara.

'Ibu?' Batin Gaara.

Kenapa orang asing bisa selancar itu menyebut ibu, sedangkan dirinya saja masih kaku memanggil ibu pada ibu kandungnya sendiri. Alhasil ia hanya tersenyum miring.

"Dia ada di taman belakang."

Setelah mendengar jawaban neneknya, ia langsung menuju tempat yang dimaksud.

Namun langkahnya memelan saat melihat sosok gadis rambut pirang yang tengah berbicara dengan antusial pada wanita lemah itu. Sasori kembali merubah wajahnya, siapa lagi sosok ini dalam hati ia bertanya.

Namun sosok itu tak membuat ia menghentikan langkahnya dan menebak lebih lama, karena pasti ia akan tau jawabannya nanti.

"Ohayou...?" Sapa Sasori setelah ia sampai diantara dua orang itu.

Ino mengdongak melihat dan mengamati sosok yang baru datang itu. Ia tak pernah bertemu dengan sosok berambut merah, seperti sosok temannya namun lebih terang.

Sosok itu tersenyum Ino pun ikut tersenyum.

"Sasori?" Gumam Karura yang membuat fokus Sasori dan Ino beralih padanya.

'Sasori? Jadi nama pemuda ini Sasori?' Pikir Ino dalam hati.

Senyum cerah sasori berikan pada wanita yang menyapanya itu. Ia menundukan badannya untuk sejajar dengan Karura yang duduk pada kursi rodanya. Sebuah kecupan ringan mendarat pada pipi kanan wanita itu.

"Bagaimana kabar ibu?" Tanyanya kemudian.

Dan tanpa mereka sadari Gaara sejak tadi telah mengamati Sasori dan tindakannya itu membuat Gaara semakin memicing karenannya.

'Ibu?' pikir pemudah yang notabene adalah putra kandungnya. Statusnya pun tak membuat ia selancar itu menyebut kata ibu. Dan sejak saat itulah Gaara memutuskan membenci pemuda yang baru ia temui beberapa menit yang lalu itu.

Ia tak perlu waktu lama untuk memutuskannya. Alasannya simple karena Sasori adalah tipe yang tidak ia sukai.

"Kau baru datang, bagaimana kuliahmu?" Karura begitu lugas bertanya pada sosok bersurai magenta itu.

Seolah Karura yang seperti mayat hidup telah lenyap. Karena wanita ini tidak pernah menjadi manyat hidup hanya ia yang menginginkannya seperti itu.

Tindakannya pada Sasori membuat Ino berasumsi, bahwa pemuda dengan rambut merah wajah khas orang asia mengingatkannya pada putra kandungnya, Gaara.

Ya mungkin saja seperti itu.

"Maaf minggu lalu aku sangat sibuk jadi tidak bisa pulang. Aku sangat lelah dengan kuliahku." Terang pemuda itu dengan lembut.

Seolah Sasori mengeluh pada ibunya sendiri.

Sejenak Ino tersingkirkan.

Iris coklat itu melirik sosok gadis yang diam tak jauh darinya. "Dan dia ini siapa?" Tanyanya kemudian.

Karura menoleh. "Dia Ino." Terang wanita cantik itu.

Ino tersenyum dengan mengangguk kan kepalanya pelan.

Namun cara Sasori berbeda, tangannya terulur.

"Sasori." Katanya memperkenalkan diri.

"Yamanaka Ino." Mau tau mau, Ino harus menjabat tangan pemuda yang lebih tua darinya itu.

"Kau bisa berkebun?" Sasori menambahkan, saat melihat apa yang sedang dikerjakan oleh gadis itu.

Obrolan ketiga orang itu tanpa sadar membuat seseorang marah. Meski tak bisa dilihat dari perubahan raut wajahnya yang selalu datar, namun Chiyo yang melihat hal itu sudah bisa paham.

"Gaara-sama?" Panggil wanita yang akrab dipanggil nenek itu.

Namun Gaara enggan menoleh, meski ia mendengar panggilannya, merespon panggilannya pun tidak.

Membuat ketiga pasang mata menoleh kesumber suara, karena memang jarak posisi mereka tak terlalu jauh.

Setelah pergi meninggalkan kediaman sang ibu, ia tak tau kemana tujuannya. Saat memutuskan pergi tadi, ia hanya berharap agar hatinya tenang. Kenapa sekarang semuanya seolah sulit, Tuhan telah mengejeknya. Ibunya sendiri menolak kehadirannya dan hari ini ia melihat bahwa sang ibu yang katanya gila ataupun tidak gila itu, entah yang mana yang benar, telah menunjukjan kasih sayangnya pada pemuda lain.

Senyum sarkas menghiasi wajah datarnya.

Musim panas dibelahan bumi barat terasa tak asing dengannya, ya karena ia besar di Amerika dan Belanda tak jauh berbeda dengan negara tersebut. Dan ia selalu sendiri selama ini. Apa hal ini membuatnya sedih? Sama sekali tidak.

Menghabiskan musim seorang diri selama hidupnya, yang ia tau hanya orang tuanya yang jauh, dan tak pernah kekurangan uang. Mencari teman sangat mudah untuknya selama ia memiliki teman. Itu dulu dan telah menjadi kehidupannya.

Tapi kali ini ia merasa setimentil dengan keadaan?

Menbawa kakinya menyusuri jalan yang dikelilingi kanal kecil. Entah sudah sejauh mana ia berjalan?

Sweter dan celana kain yang ia kenakan membuat kesan bangun tidurnya ketara. Dan sepertinya ia engan kembali untuk sarapan.

Sampai ia menemukan sebuah caffe pagi, tak perlu berpikir terlalu lama, ia segera menuju kesana. Yang memang sedang tak ramai pengunjung.

Memesan kopi dan sebuah sandwich untuk sarapannya pagi ini. dan ia memutuskan disinilah ia akan menghabiskan waktunya kali ini.

Menghiraukan ponselnya yang sejak tadi berdering dan ia tau siapa yang menelphonenya. Dan benar Ino, temannya itulah pelakuknya saat ia melihat nama kontak yang muncul pada display ponselnya.

Gadis itu memang sangat pandai beradaptasi dan pandai membuat orang jatuh hati, berbeda dengan dirinya. Jadi tak heran bahwa Ino-lah mudah dekat dengan ibu kandungnya yang seperti mayat hidup dan pemuda yang baru datang tadi pun sepertinya juga.

Tak herankan, wajah yang cantik dan pembawaanya yang menyenangkan. Siapa yang tak ingin memilikinya? Bukankah Gaara juga sudah jatuh cinta sejak pertanya kali melihatnya?

Konyol.

Complications

Berkali-kali Yamanaka Ino telah menghubunginya, namun tetap saja teman rambut merahnya itu tak mau menjawab. Sebenarnya apa yang ada dipikiran Sabaku Gaara, meninggalkan rumah sejak pagi tak ikut sarapan dan makan malam, bahkan waktu telah menunjukan pukul sembilan lebih, pemuda itu belum pulang juga.

Bukankah Gaara kemari memiliki tujuan, bukan untuk berlibur?

Lalu apa yang Gaara lakukan sejauh ini untuk tujuannya?

Tidak ada.

Pemuda itu terkesan diam dan dan acuh dengan keadaan. Meski Ino tak tau apa yang ada dipikiranya.

Namun sungguh Ino tak habis pikir, kenapa Gaara tak berusaha mencoba bicara dengan ibunya?

Memang tak akan mudah bicara dengan orang yang telah menilai buruk tentang kita. Tapi cara Gaara seperti ini juga tak akan lebih baik.

Sudah hampir tiga hari mereka disini sedangkan libur musim panas akan segera berakhir yang itu tandanya mereka harus kembali kerutinitasnya kembali. Yaitu pulang ke Jepang dan bersekolah.

Meninggalkan Belanda, yang artinya juga meninggalkan ibunya Gaara.

Lalu apa tujuan Gaara menemui ibunya kalau sperti ini?

Apa hanya ingin melihat keadaanya saja? Apa hanya itu cukup?

Ino juga tidak tau apa yang membuat Gaara tiba-tiba meninggalkan rumah tadi pagi dan belum kembali sampai saat ini.

Pemuda itu memang sulit untuk beradaptasi dan memulai bicara, Ino sudah paham itu, tapi menghidar tak membuatnya lebih baik.

Helaan napas panjang Ino ambil. Gadis pirang itu masih memandangi ponsel pintarnya. Duduk sendiri di ruang keluarga bertujuan menunggu sang teman yang belum datang.

Jam makan malam telah lewat dua jam yang lalu dan penghini rumah yang lain telah beristirahat menyisakan dirinya seorang diri.

Begitupula dengan sang nyonyah Karura. Setelah makan malam, Ino telah mengantarnya untuk istirahat ke kamarnya.

Berkali-kali menghela napas tak membuatnya lebih baik.

Sampai suara seseorang menyapa gendang telinganya.

"Kau belum tidur?" Akasuna Sasori, pemuda yang datang tadi pagi.

Wajah baby yang menyembunyikan umur aslinya itu tersenyum kearahnya. Tak lupa dengan mengangkat sebuah botol sampanye dan dua gelas bening.

"Kau minum?" Lanjutnya bertanya setelah mendudukan dirinya pada salah satu sofa.

"Terimakasih." Jawab Ino, saat satu gelas tersodor kearahnya.

"Apa tunanganmu itu belum pulang?" Kembali Sasori membuka suara.

Ia sudah menebak bahwa gadis ini adalah kekasih Sabaku Gaara alias putra kandung dari nyonyah rumah ini, sejak Sasori melihatnya pagi tadi.

Namun ia tak pernah berpikir bahwa hubungan kedua remaja ini lebih dari itu. Tunangan atau calon istri. Bagaimana mungkin pemuda seperti Gaara bisa berkomitmen, karena Sasori tak bisa melihat itu padanya.

Dirinya yang lebih dewasa dari mereka saja masih enggan berpikir untuk menikah muda.

Kecuali kalau mereka dijodohkan. Siapapun bisa beranggapan seperti itu. Apa lagi dengan kesan dingin Gaara dengan gadis ini dan ibunya. Tapi kembali lagi Sasori tidak pernah tau yang sebenarnya dan ia juga tak mau tau.

"Entahlah, aku sudah mencoba menghubunginya, aku tidak mengerti jalan pikirannya." Kembali menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. "Dia memintaku ikut dengannya untuk menemui ibunya tapi sejak menginjakan kakinya disini aku belum pernah tau Gaara berbicara dengan ibunya." Tambahnya panjang lebar.

"Dia seperti ayahnya." Celetus Sasori setelah menyesap minumannya.

Ino menatapnya. Tidak salah jawabnya dalam hati.

"Sasori-san?" Panggil Ino.

"Hm?"

"Kau besar disini, benar?" Sasori mengangguk. "Tapi kau masih bisa sangat lancar berbahasa Jepang?"

Pertanyaan yang membuat Sasori tertawa sebelum menjawab. "Bukankah semua keluargaku orang Jepang dan disini kita selalu menggunakan bahasa ibu. Kecuali saat diluar dan dikampus." Terangnya.

Membuat Ino mengangguk-angguk.

"Dan kau sendiri, kau seprti bukan keturunan Jepang asli, hafu kah?"

Kali ini, Ino yang ganti tertawa. "Tidak, tentu saja ayah, ibuku asli Jepang." Mata birunya menatap Sasori yang sedang berpose berpikir. "Untuk wajahku anggap saja ini anugrah." Tambahnya dengan senyum mengejek kearah sang pemuda.

Sasori lagi-lagi tersenyum. "Ya, anugrah terindah yang pernah ada. Maka dari itu aku ingin menciptakan sebuah seni yang paling indah yang pernah aku buat. Agar bisa dikenang dan dienak dipandang."

"Kau seorang seniman, apa kau bisa melukis?" Kini Ino tambah antusias.

Obrolan mereka membawa waktu semakin larut tanpa mereka sadari.

"Seni apa yang ingin kau buat, patung, lukisan atau hal lain?"

Cerocos Ino tanpa henti.

Dan Sasori selalu dibuat tertawa akan hal itu.

Orang Jepang tidak selamanya kaku.

Sampai sebuah deheman dari seseorang mengintrupsi obrolan asik mereka.

Pukul sebelas malam, Gaara baru saja pulang dan melihat keduanya sedang bercanda. Mata dari kedua orang yang berbeda itu menatapnya.

Dan apa yang dilihat matanya membuatnya tidak senang. Ia tak tau pasti tapi sekali lagi ia merasa cemburu dengan pemuda asing itu. Tanpa basa basi ia ingin kembali melangkah meninggalkan keduanya.

Namun suara Ino menghentikannya.

"Gaara kau dari mana?" Tanya gadis pirang.

Sebelum menjawab Gaara melirik Sasori. Pemuda yang lebih tua dari mereka itu seolah paham akan lirikan tidak suka dari sang Sabaku muda.

"Baiklah, aku mau istirahat dulu." Sasori memilih beranjak dari duduknya. "Senang mengobrol denganmu Ino-chan." Tambah Sasori sebelum benar-benar beranjak dari sana.

Bukannya ia takut akan Gaara, tapi ia memang tidak suka ikut campur urusan orang dan lebih memilih menghindari perdebatan yang tak penting. Bagaimanapun juga mereka adalah tamunya.

Tujuannya memang ingin menemani gadis itu menunggu tunangannya yang pergi entah kemana tadi. Dan sekarang pekerjaannya telah selesai karena yang ditunggu telah datang.

"Terimakasih atas minumanya" Ucap Ino merespon dan tersenyum.

Kini ia kembali menghadap temannya yang baru datang beberapa detik yang lalu. Masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.

"Kau belum tidur?" Namun sebuah pertanyaan lain yang malah keluar dari bibir sang pemuda.

Bukankah sudah jelas seperti yang terlihat. Ino masih disini, belum tidur karena menunggunya yang entah darimana.

"Kau dari mana Gaara?" Kembali Ino mengulangi pertanyaan yang sama.

Meski sebenarnya enggan menjawab pertanyaan gadis didepannya, tapi pada akhirnya bibirnya bergerak untuk menjawab.

"Jalan-jalan." Singkatnya.

Ino menghela napas dan kembali menghenpaskan pantasnya pada sofa. "Kau tau tujuanmu datang kemarikan?" Ino kembali bertanya disela memutuskan menuang kembali sampanye pada gelasnya.

Hal itu membuat Gaara memutuskan mengikuti Ino duduk pada sofa yang ada.

"Maaf." Ucap Gaara kemudian. Ia sebenarnya juga tidak tau kenapa ia langsung memutuskan pergi tadi dan malah pulang sampai larut seperti ini. Dan malah meninggalkan gadis yang menjadi penolongnya sendiri.

Mungkin karena kekecewaannya pada dirinya sendiri membuat ia langsung memutuskan membenci pemuda yang bernama Sasori dengan cepat.

Bukankah dia seperti anak kecil?

"Liburan kita akan segera habis," Ino kembali memulai berbicara, meski wajahnya tak menatap pemuda yang duduk disebelahnya. "Kau lihat kondisi ibumu?" Kali ini wajah ayu itu menoleh, menatap sang pemuda.

"Kenapa kau tidak mencoba untuk bicara padanya?" Kini kedua mata berbeda warna itu saling menatap.

"Dia menolakku kan?" Pertanyaan sekaligus pernyataan yang terlontar dari mulut Sabaku Gaara.

"Kenapa kau tidak mencobanya lagi?" Jeda sejenak menunggu jawaban. "Kau tau apa yang aku lakukan, beliau bukanlah siapa-siapaku Gaara dan seharusnya ini bukan urusanku, tapi aku berusaha untuk dia menerimaku." Lanjut Ino yang menunggu Gaara tak kunjung bersuara.

"Apa kau keberatan menolongku?"

Celetusan Gaara membuat alis pirang nya mengerut.

"Tentu saja bukan masalah keberatan." Jeda kembali Ino ambil. Entah pertanyaan Gaara membuat terdengar ia bukan orang yang tulus. "Tapi bagaimana kalau ibumu tau yang sebenarnya?"

Tak ada komentar dari sang pemuda selain hanya memberi tatapan datar kearahnya.

"Tau kalau kita bukanlah sepasang kekasih. Kita telah membohonginya, sedangkan ibumu sedang sakit. Apa hal itu tidak membuanya bertambah parah?"

Terang gadis bersurai pirang itu panjang lebar.

Ino tidak salah, saat mengatakan ibunya sedang sakit. Tapi entah Gaara malah tak bisa menerima hal itu. Cukuplah ayahnya dan keluarga Sabaku yang beranggapan ibunya gila.

"Jadi kau juga menganggap ibuku gila?" Kali ini Gaara memilih menyuarakan pikirannya.

Dan Ino kembali dibuat mengerutkan alis pirang pucatnya. Ahh, sudahlah. Mungkin temannya ini lelah. Percuma bicara dengannya. Toh Ino paham Gaara tak pandai berbicara. Dia tau betul tipe pemuda seperti apa Sabaku muda itu.

Setelah menghela napas pendek, Ino kembali bersuara. "Sudahlah, kau mungkin lelah, aku juga mau istirahat." Setelahnya gadis beriris aqua itu beranjak dari sana.

Pergi meninggalkan pemuda yang masih diam ditempatnya, menuju kamar yang ia tempati selama ia berada di Belanda.

Tanpa mereka tau sosok yang sejak tadi melihat dan mendengar pembicaraan mereka.

Ruangan itu memang tak terlalu terang, karena hanya beberapa lamu saja ya dibiarkan menyala dan cahaya dari layar televisi.

Jadi sosok yang duduk pada kursi rodanya itu tak terjangkau oleh kedua pasang mata remaja terebut.

Karura yang tak bisa tidur memutuskan keluar kamar untuk mencari udara segar di teman belakan yang memang tak jauh dari kamarnya. Namun baru saja ia keluar dari pintu kamarnya ia melihat televisi menyala dan dua orang yang ia kenali. Putranya dan sang tunangan.

Bukan bermaksud menguping pembicara sepasang kekasih itu, tapi sungguh terdengar jelas pada telingnganya apa yang menjadi topik obrolan keduanya.

Kecewa. Kata itulah devinisi untuknya saat ini.

Jadi ini semua hanya omong kosong?

Wanita paru baya itu tersenyum.

Dan dia juga bisa melihat apa yang dilakukan Gaara saat ini. Putranya itu menendang meja kaca didepannya, untuk melampiaskan kekesalan. Apa yang ada dipikiran sang putra, Karura tak pernah tau.

Putranya dididik seprti apa, tumbuh menjadi pemuda seperti apa, ia juga tak pernah tau. Bahkan sifat dinginkanya membuat Karura ingat akan sosok ayahnya.

Wanita satu orang anak itu memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya.

Heart of gold

Sudah hampir pagi Gaara memutuskan kekamarnya namun disana pun ia tak kunjung mengantuk. Dan tau-tau suara Chiyo telah memangunkannya untuk sarapan.

Langkahnya memelan saat melihat Ino sedang mendorong kursi roda ibunya menuju ke tempat makan.

Gadis itu sudah bersikap biasa. Dan nanti ia akan meminta maaf pada temannya itu. Gaara tau dirinya yang salah, karena terus menerus menghidar dan malah membuat gadis yang ia sukai itu berjuang sendiri.

Setibanya di tempat makan, Ino segera menyodorkan gelas berisi susu pada Karura. Namun tindakannya itu ditolak sang wanita.

"Apa ibu mau makan dulu?" Pikir positif sang gadis bertanya. Dan lagi tak ada jawaban seperti sebelumnya.

Chiyo mengenali perubahan raut wajah sang majikan.

Sasori yang juga ada disana sedang menikmati kopinya juga ikut menatap wanita yang telah ia anggap ibu.

Sedangkan Gaara yang tak menyadari apapun perubahan sang ibu, memilih menyeret satu kursi untuknya duduk. Kursi yang berdekatan dengan kursi Ino. Disana sudah terhidang kopi untuknya dan sandwich.

"Nenek Chiyo aku ingin makan di kamar." Terang Karura kemudaian, mengabaikan tawaran Ino padanya.

"Ibu baik-baik saja? Biar aku antar."

Namun lagi-lagi Karura malah memanggil Chiyo. "Nenek Chiyo?"

Merasa tak mendapat respon seperti kemarin, membuat Ino mengalah saat nenek Chiyo memutar kursi roda sang nyonyah dan tersenyum kearahnya dengan tulus.

Chiyo sangat paham nyonyahnya ini dalam keadaan kecewa. Tapi ia belum tau apa yang membuatnya kecewa. Apa yang membuat Karura kembali berubah?

Ino membalas senyum nenek Chiyo sekilas sebelum memutuskan menghela napas diawal paginya.

Sasori ikut tersenyum dengan tingkah gadis Jepang itu. Menyodorkan susu pada sang gadis. Namun Ino menolaknya dan memilih menyesap kopi.

"Kau suka kopi juga?" Tanya Sasori melihat tindakan Ino.

Ino mengangguk.

"Pantas kau begitu kurus, aku pikir kau memiliki pekerjaan sebagai model." Celetuk Sasori yang membuat Ino tertawa kecil.

Gaara mengabaikan segala obrolan dua orang tersebut. Ia diam dengan sarapan didepannya, tak ada suara sampai ia telah menyelesaikan. Dan memutuskan untuk berdiri dari kursi tanpa suara.

Tindakannya membuat dua pasang mata memandangnya diam.

Ino tak berkomentar, Sasori pun juga tak ingin memberi penilaian karena ia tau seperti apa Sabaku itu kan seharusnya.

Tanpa mereka berdua sadari, Gaara melangkah menuju kamar ibunya. Ia bukan seorang pecundang sebelum ini, yang takut akan sebuah penolakan. Bukan, karena memang sebelumnya ia tak pernah tertolak.

Dan seharusnya ia tau kenapa ibunya menolaknnya. Mungkin saja ibunya juga kecewa padanya dan seharusnya Gaara lebih mengerti itu.

Ia melangkah kedalam kamar yang hanya disinari mentari pagi. Mengabaikan Chiyo yang juga ada disana.

Gaara mendekat dan langsung suara Chiyo menyapanya.

"Gaara-sama sudah selesai sarapan?"

"Hn." Jawaban datar Gaara berikan.

Chiyo hanya mengangguk mengerti, ia memutuskan untuk pergi dari kamar sang nyonyah.

Setelah kepergian nenek Chiyo, kamar itu diisi dengan kesunyian kembali. Tadi sebelum pemuda itu datang, Karura sedang bercerita tentang apa yang ia lihat kemarin pada nenek Chiyo.

Wanita itu sungguh tak mengira bahwa putrannyalah yang akan masuk ke kamar. Ia pikir malah gadis pirang itu yang akan mendatanginya.

Namun beberapa saat waktu terlewat Gaara masih belum membuka suara. Karura pun juga diam menikmati kesunyian yang ada. Ia paham bagaimana sifat alami putranya itu. Pendiam dan dingin jadi biarkan Gaara menyelesaikan apapun yang akan ia mulai.

Ia tak tau apa yang akan dilakukan oleh putranya itu mendatanginya.

"Mari ikut aku pulang ke Jepang." Suara ajakan yang terdengar mencekap itu mengalun kedalam telinga tuanya.

Karura membentuk senyum miring. Namun tak menanggapinya.

Gaara menghela napas,. "Aku tak pandai bicara." Jelasnya, karena mata jade itu menatap intens sosok ibunya yang tak sedikitpun melihatnya.

"Aku tau ibu mendengar apa yang kukatakan." Tambahnya lagi. Kali ini dengan panggilan ibu yang membuat Karura diam.

"Aku tak pernah tau yang sebenarnya," Kini air mata telah lolos dari mata teduhnya. "Maafkan aku." Ucapan maaf yang keluar ia barengi dengan berlututnya Gaara yang sejak tadi berdiri. Memberi pelukan pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu.

Seumur hidupnya ia tak pernah mengangis dan tak pernah ia menunjukan air matanya pada orang lain. Tidak sebelum ini dan tidak akan pernah.

Tangan lemah itu mengusap surai merah yang sedang menunduk. Ia seharusnya menyadari bahwa putranya tidak bersalah, dan tidak tau apapun yang sebenarnya terjadi. Tapi kembali lagi ia hanya bisa menyalahkan semua orang dan membuat ia bertabah terpuruk dengan keadaannya.

Air matanya pun ikut jatuh.

"Aku berjanji akan mengembalikan apa yang telah hilang dari ibu." Celetuk Gaara disela isakannya, mata yang telah dipenuhi air mata itu saling berpandangan.

Karura menggeleng. "Aku sudah tak menginginkan semua itu lagi."

"Apa ibu membenciku?"

Karura kembali menggeleng. "Semua orang menganggapku gila."

Kini Gaara yang menggeleng. "Maafkan aku, tinggalah bersamaku di Jepang." Ajaknya lagi.

Sang ibu masih diam dengan tawaran putranya.

"Besok aku harus kembali ke Jepang, karena aku mempunyai kehidupan baru disana. ikutlah denganku pulang."

Tangan pucat itu merangkum wajah tampan sang putra. "Apa kau bahagia dengan kehidupan barumu? Apa ayahmu menekanmu?"

"Tidak." Langsung ia menjawab. "Mengetahui ini rasanya menyakitkan." Lalu menambahkan.

"Maafkan ibu yang tak bisa memberimu kebahagian." Sebuah helaan napas kecil terdengar. "Aku sudah meninggalakn semuanya di Jepang, tidak ada lagi yang ingin ibu dapatkan lagi disana."

Gaara menggeleng. "Aku ingin sekali tinggal bersamamu, tapi aku juga tak bisa meninggalkan Jepang." Gaara kembali menyuarakan hatinya.

"Karena gadis itu?" Sang ibu bertanya.

Pemuda bermata Jade itu tak serta merta menjawabnya. Ya, mungkin itu salah satu alasannya. Bukankah memang gadis yang ia sukai tinggal disana?

Melihat Gaara yang diam, sang ibu menambahkan lagi. "Siapa sebernarnya Yamanaka Ino itu?" sebelum Gaara menjawab, buru-buru Karura menambahkan. "Ibu sudah mendengar semuanya tadi malam."

Mata hijau teduh itu sedikit melebar. Semuanya? Tentang kebohongan yang ia dan Ino lakukan? Hubungan mereka? tapi ibunya masih baik-baik saja. Dan apa karena ini ibunya tadi menolak gadis pirang itu?

Segala pikiran Gaara berkecambuk.

"Gaara, kau menyukainya?" Karura kembali bertanya.

"Apa karena ini, ibu menolak Ino tadi?"

Karura tersenyum, dan menjawab. "Kebohongan yang dia buat membuatku senang."

Gaara diam.

"Bukankah semua orang senang mendengar kebohongan selama tidak tau kebenarannya?"

"Maaf, telah membohongimu."

Sekarang apa lagi yang harus ia tutupi dari wanita ini. Kalau sang ibu telah mengetahui semuanya.

"Padahal aku sudah dibuat kagum olehnya." Komentar sang ibu. "Dan percaya dengan hubungan kalian, tapi sayang sekali." Bibir pucat itu tersenyum kecil.

"Hubungan kami memang kebohongan," Jeda sejenak. "Tapi tidak dengan perasaanku padanya." Kalimat Gaara mampuh membuat mata Karura menatap sang putra dalam.

"Dia gadis yang bisa dengan mudah membuat semua orang jatuh cinta." Gaara memberi tambahan. "Hatinya seolah terbuat dari emas, dia mengalali kekecewaan dalam hidupnya tapi ia masih bisa membuat orang tesenyum."

Dan ibunya menyadari itu. Menyadari begitu besarnya cinta putranya pada sang gadis pirang. Dan Karura juga membenarkan kalimat yang baru ia dengar lolos dengan datar.

"Kau mencintainya?" Karura akhirnya bertanya.

Kedua mata berbeda warna itu saling memandang. Jejak air mata masih membekas disana.

"Ya." Jawab pemuda bersurai maroon itu akhirnya. Tak ada yang perlu ia tutupi dari sang ibu, tentang semua dan ia juga tak ingin menambah kebohongannya lagi.

"Kenapa kau tak berusaha untuk menjadikannya milikmu yang sebenarnya?"

"Apa ibu menyukainya?" Sebelum mendengar jawaban Karura, Gaara menambahkan. "Apa ibu mau menerimanya sebagai menantu ibu?" Bukan sebuah keterangan bahwa gadis itu tidak mencintainya, karena Gaara yakin bisa menjadikan Ino miliknya dan yang paling penting adalah sang ibu menyukainya

Wanita yang sudah bertahun-tahun tak pernah memberikan senyum pada siapapun, untuk waktu ini ia berkali-kali mengukir senyum pada wajah ayu pucatnya.

Putranya ini sangat seperti ayahnya, dan tentu saja berbanding terbalik dengan gadis yang sedang mereka bicarakan ini. Tapi pertanyaan yang diajukannya lah yang membuat wanita berumur hampir setengah abad itu tersenyum.

"Apa kau bersedia bila dijodohkan?"

Gaara menggeleng. "Aku tidak akan mau menghabiskan sisa hidupku dengan orang yang tidak aku sukai." Terang Gaara. "Apa ibu tidak menyukai Ino?" Tambahnya polos.

"Buat ibu bahagia dengan cara melihatmu bahagia Gaara." Senyum kembali menghiasi wajahnya. "Bila Ino adalah kebahagianmu, maka raihlah." Jeda sejenak. "Hiduplah dengan bahagia dan seringlah berkunjung kemari dengannya." Tutup Karura dengan senyum dan air mata pada wajahnya.

Karena rasanya cukup berat harus kembali berpisah dengan sang putra.

Mendengarnya membuat Gaara menyimpulkan, ibunya tidak ingin kembali ke Jepang. Dan mungkin itu lebih baik untuk saat ini.

Dan kebahagiannya adalah kebahagian ibunya.

Heart of gold

Sehari setelah pengakuan Gaara pada ibunya, liburannya pun selesai. Kedua pasangan itu kembali ke negaranya, dan akan memulai kembali rutinitas setelah libur musim panasnya berakhir.

Setelah mereka kembali yang tentu tidak akan sama dengan sebelum ini.

Ino pun tak pernah tau, bahwa ibu dari sahabatnya itu telah mengetahui statusnya yang sebenarnya. Waktu berpamitan untuk yang terakhir kalinya, gadis bermata aqua itu masih menunjukan sikap peduli dengan asik berbohong. Tanpa sadar tiga orang telah tau yang sebenarnya.

Tapi tidak ada yang mempermasalahkan kehobongan itu. Termasuk Gaara yang lebih tenang saat ibunya mengetahui yang sebenarnya.

Saat mobil mewah yang mengantarnya itu berhenti tepat di depan rumah minimalisnya, Ino menghela napas sebelum memutuskan untuk turun.

"Terimakasih telah membantuku." Gaara yang berada dibelakang kemudi membuka suara. "Dan sampai jumpa di sekolah besok."

Setelah sampai di bandara Narita, Gaara tak perlu repot untuk meminta seseorang menjemputnya. Karena pemuda itu membiarkan mobil mewahnya berada di parkiran bandara kemarin..

Ino mengangguk. Ya, besok mereka memang sudah kembali ke sekolah lagi, setelah libur panjang. Dan mereka tak akan pernah tau apa yang akan terjadi disekolah besok dan hari-hari selanjutnya.

Saat Ino turun, Gaara juga ikut turun untuk membawakan koper milik gadis itu.

"Maaf merepotkanmu Ino."

"Aku senang mengenal keluargamu." Sebuah senyum terukir disana.

Setelah insiden pertengkaran mereka di Belanda malam itu, tak lama, ia melihat perubahan ibu Gaara dan Gaara sendiri. Gaara yang telah memanggil ibu dan Karura yang telah menerimanya. Tentu itu menandakan bahwa temannya ini telah berusaha cukup keras. Dan mungkin berhasil. Sayangnya ia belum sempat bertanya soal ini pada temannya itu.

Ino percaya Gaara pasti bisa melakukannya.

Perpisahan mereka di senja hari di musim panas.

Mungkinkah akan membawa harapan baru, hati yang baru dan perasaan yang baru, dan yang belum mereka tau.

Mobil yang dikendari sang pemuda telah berjalan meninggalakan jangkau matanya, dan Ino membawa kakinya untuk masuk kedalam kediamannya.

"Tadaima."

To Be Continue...

Akg... akhirnyaaaa...

Maaf telah sangat sangat sangat lelet sekali untuk bisa melanjutkan chapter ini. *sembahsujud.

Dan terimakasih sudah membaca, menunggu dan meninggalkan jejak di fic acakadul ini.

Aku balas review untuk semua yang meninggalkan jejak disini.

Cloesalsabilaahh : Hai Cloe-san, mungkin chap depan Sasuke mulai galau. Kan chap depan mereka bakalan balik ke sekolah, Tungguin ya dan makasih deh udah rnr. XD

Ms. Hatake Yamanaka : Cerita ketiganya masih berlanjut. Sabar ya... tungguin chap depan. Makasih udah rnr.

Kwonie Minorichi : Hy... dichap ini masih belom ada Sasuke, maaf ya. Mungkin di chap depan. Thanks udah rnr.

Hid-chan : Makasih udah rnr ya Hid-chan, semoga masih mau baca dan nunggu next chap ya.

Xoxo : Aku juga rindu. Makasih xoxo-san udah selalu dan selalu rnr. *hug

Fahrina : Maaf ga bisa update cepet. Tapi ini usaha biar bisa update. Makasih ya udah rnr.

Sasuino351 : Yup bener banget, apa lagi bagi orang-orang yang malas buat bicarain masalahnya. Semoga chap ini memuaskan, tapi maaf dichap ini masih belum muncul Sasuke. terimakasih ya Sasuino-san atas semua doanya, maaf menunggu lama, ini sudah up kok dan moga bisa puas.

Febrichan2425: Yuhu... karena Karura dianggap mandul. Semoga bisa diterima ya sama febri-chan. thanks udah rnr.

Kyudo YI : XD Di chap ini Karura udah tau, tapi belom untuk Rasa. Hihihi untuk Sasuke mungkin di chap depan, maaf membuatmu menunggu lama. Thanks udah rnr.

Noor wahdah : Ya akhirnya topeng Karura lepas X). Semoga chap ini bisa diterima ya, maaf membuatmu menunggu.

Aliaros : Hay kak alia... jeng jeng di chap ini juga masih tentang GaaIno. Makasih udan selalu baca dan ninggalin jejak buatku, makasih juga sudah menunggu. :* love you.

Frutarian addict : Hahaha sabarnya nanti dapat siapanya ada di ending. Makasih udah rnr.

Azurradeva : Kangen juga, maaf updatenya lelet. Makasih udah rnr.

: Makasih, makasih, makasih. Iya pasti dilanjut kok dan maaf baru bisa update.

Inochan : Ok maaf sebelumnya siapapun anda yang mengunakan nama Inochan, dan apapun yang anda lakukan, saya tidak pernah menyuruh anda untuk membacanya fic Complications. Dan sudah jelas di awal cerita saya sudah memperingatkan dengan warning cukup besar untuk dibaca, "JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI." Jadi kalau membaca ini membuat mata anda iritasi jangan mengulanginya lagi. Nanti perih. Makasih ya udah rnr.

Sasuino351 : Hmmmm... makasih Sasuino-chan, yang mau repot-repot menjawabnya, aku jadi merasa terbela. Bahaha... kadang semua orang tak sepengertian km padahal sudah jelas di warning kan? Pokok iloveyou full :*

Miss cry : Hahaha makasih ya udah rnr. Dan makasih gue suka kata-kata km :*

Luna : Makasih sudah rnr Luna-san. aku juga suka ino tersakiti tapi nanti dapet bahagian diakhir XD. Ini sudah dilanjut. :*