"Chained To You"

Disclaimer : The story belongs to Summer Plum. Nama-nama yang tercantum dalam cerita sepenuhnya milik mereka.

Genre : Romance, Drama-Hurt, Little Bit Action

Main Casts : Kim Tae Hyung x Jeon Jung Kook

Other Casts : Kim Nam Joon | Kim Seok Jin | Min Yoon Gi | Jung Ho Seok | Park Ji Min

Rated : M

Warning : Top!Kim Taehyung x Bottom!Jeon Jungkook

YAOI, BoyxBoy, dan sejenisnya

Typo everywhere

Chapter 18 : Answer (Last Chapter)

Ingatan samar-samar akan masa lalu memenuhi kepalaku.

Gadis itu. Anak kecil itu memiliki senyum yang sangat indah. Bagiku ia akan selalu menjadi gadis kecil termanisku yang tak bisa digantikan oleh siapapun. Aku benar-benar beruntung bisa memilikinya dan hadir di kehidupannya.

Aku mencoba mengingatnya dengan baik. Ia suka menggunakan sepatu balet berwarna ungu muda. Selaras dengan penampilannya yang sangat anggun, gadis itu juga menyukai rok tutu dan dress berenda yang kubeli dari gaji pertamaku. Meski awalnya ia tak tahu dari mana asal uang yang kudapat, ia selalu berterima kasih dan memberikan kecupan di pipi hingga pelukan hangat. Entah bagaimana, semua barang yang kubelikan untuknya rasanya selalu pas saja. Entah memang aku hapal betul seleranya atau ia hanya tak enak menolaknya. Kurasa yang benar adalah opsi pertama.

Gadis itu, dengan berbagai cara uniknya selalu membuatku tersenyum bak idiot. Ia kerap menulis sesuatu di buku diary-nya. Ia juga suka mencetak foto kecil untuk ditempelkan di beberapa lembar diary tersebut. Saat kutanya apa saja yang ia tulis di sana, ia dengan sukarela menyerahkan buku itu untuk kubaca. Tak ada rasa malu sama sekali untuk berbagi rahasia dengan sang kakak.

Gadis itu, juga dengan ketulusan hatinya, selalu mengingatkanku untuk menghabiskan makananku. Selalu membawakan payung lipat ke dalam tas dan juga diam-diam menyelipkan cokelat batangan miliknya di antara buku sekolahku. Aku tidak terlalu suka cokelat. Bagiku substansi itu terlalu manis untuk dijadikan camilan. Tapi jika ia yang memberikannya, aku tak sanggup menolak atau membiarkannya begitu saja. Pasti selalu kuhabiskan.

Di detik lain, kepalaku memberikan gambaran lain di mana gadis kesayanganku muncul dengan luka di sekujur tubuhnya.

Bekas sayatan, pukulan, tusukan, dan berbagai hal keji lainnya tertoreh di kulit pucatnya. Gadisku yang selalu tersenyum itu kini diam saja. Ia terbujur kaku di dalam boks besi yang berada hanya sejengkal dari kakiku.

Gadisku yang punya senyuman secerah mentari itu telah memejamkan matanya. Tak ada guratan sedikitpun di wajahnya. Apakah itu tandanya ia telah tertidur dengan tenang? Apa ia sudah tak merasakan sakit lagi?

Pada waktu itu aku benar-benar berharap Tuhan menjemputku saja.

Bagaimana bisa ia, yang tidak tahu menahu mengenai masalahku, malah harus menerima konsekuensinya? Bagaimana bisa gadisku yang disukai semua teman sekolahnya kini harus meregang nyawa di tangan biadab tak berperasaan itu?

Yang lebih penting lagi, bagaimana bisa aku membiarkannya begitu saja? Di mana aku saat ia membutuhkanku? Apa perananku sebagai pelindungnya? Apa selama ini aku benar-benar melindunginya atau bermain aman semata?

Di saat-saat seperti itu, hanya satu yang benar-benar ada di kepalaku.

Aku harus menemukan bajingan itu dan meremukkan jantungnya dengan telapak tanganku sendiri.

.

.

.

Untuk ketiga kalinya dalam sehari ini, aku mengeluarkan muntahan kering.

Dokter Min memijat tengkukku perlahan sembari menyodorkan beberapa lembar tisu. Ia dengan sabar merawatku semenjak Seokjin hyung tak pernah lagi datang ke rumah. Tak mampu berucap terima kasih lagi saking lemasnya, aku hanya bisa membersihkan mulutku dengan air dan berjalan ke luar kamar mandi dengan dipapah dokter itu.

Sudah dua minggu ini tubuhku tidak bisa diajak kerja sama. Demam, mual, muntah, dan pusing adalah makanan sehari-hari. Aku sangat khawatir dengan Taeguk karena jika aku makan sedikit saja, pasti akan langsung keluar. Rasanya seperti tubuhku ini tidak bisa menerima supan makanan sedikitpun. Baru semenjak kemarin aku mengetahui penyebabnya. Dokter yang memeriksa mengatakan jika aku mengalami anemia.

Ia berkata, anemia untuk ibu hamil adalah sebuah penyakit yang berbahaya. Jika tidak ditangani dengan baik maka penyakit ini bisa berdampak buruk bagi bayi dan ibunya. Atas dasar itulah, dokter suruhan ayah itu melarang keras keinginanku untuk hadir dalam persidangan.

Sudah tiga kali ini aku melewatkan persidangan. Aku tak tahu sudah sejauh mana perkembangannya. Sejujurnya, selama dua minggu ini aku hanya bisa berdiam diri di kamar seperti orang bodoh.

"Selamat pagi."

Dokter Min dan aku menoleh pada sosok wanita yang berdiri di ambang pintu. Wanita itu memakai jubah putih khas dokter. Dengan tangan yang merogoh tas yang dibawa, ia mengeluarkan kotak persegi panjang dengan senyum tipis.

"Saya dokter Jisoo. Dokter kandungan."

Perkenalan singkat itu membuat Dokter Min mengangguk. Ia mempersilakan wanita itu masuk dan duduk di tepi ranjangku.

"Tuan Jeon yang memilihmu langsung?"

Wanita itu meletakkan kotak persegi panjang dipangkuan lalu membukanya. Dalam sepersekian detik yang diisi keheningan, ia menembakkan pistol yang diambilnya dari kotak itu ke bagian dada Dokter Min.

Jika aku tak jeli melihat pergerakannya, maka wanita itu sama sekali tak terlihat seperti baru saja menghabisi nyawa seseorang.

"Kau—"

"Omitter," potongnya. Ia bangkit dan mengeluarkan beanie dan masker dari saku jubahnya. Dilemparkannya benda itu ke arahku. "Kenakan sekarang. Ayo pergi."

Aku membelalak dan melirik tubuh Dokter Min yang tergeletak begitu saja di lantai. Anehnya, tak ada sedikitpun darah yang keluar dari dadanya yang baru saja ditembak. Bahkan saat wanita itu melepaskan tembakannya saja tak terdengar suara sama sekali. Seperti tak terjadi apa-apa.

"Jungkook, aku tak punya banyak waktu."

Tersadar seketika, akupun mengenakan atribut itu tanpa banyak kata. Aku tak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Lebih baik segala pertanyaan itu kusimpan saat situasinya sudah aman.

Meski aku tak yakin apakah akan pernah aman.

Wanita yang mengenalkan diri sebagai Jisoo itu mendekati jendela. Ia menempelkan alat kecil di beberapa sudut jendela dan bunyi kaca yang pecah menjadi pertanda bagiku untuk mengikutinya.

Ia melangkah melewati jendela yang sudah bolong dengan gerakan cepat. Aku melakukan hal yang sama dan sekarang pertanyaannya adalah…

"Kenapa ada—"

"Ikuti gerakanku."

Jisoo mendudukkan diri di sebuah balon berbentuk perosotan yang menghubungkan balkon kamarku dengan tanah. Entah siapa yang memasang dan kapan benda itu terpasang di sana, aku sama sekali tidak menyadarinya.

Wanita itu duduk dengan menyilangkan tangan di dada. Di detik berikutnya, tubuhnya telah meluncur ke bawah dengan gerakan cepat. Saat kutolehkan kepala ke arah bawah, di sana sudah ada Daniel Kang, Omitter yang menyamar sebagai anggota kepolisian waktu itu dan seorang pria yang mengenakan anting salib dengan topi hitam yang menutupi separuh wajahnya.

"Ayo, Kook."

Sebersit kenangan saat melompati jembatan bersama Taehyung dan Hoseok di malam hari memenuhi benak.

Tanpa menunggu aba-aba lagi, aku melakukan hal yang sama dan berhasil mendarat dengan aman. Dengan tangan bergetar, aku mengelus perut yang menyembunyikan sosok kecil di dalam sana.

"Bertahanlah, Taeguk." Bisikku sebelum berlari mengikuti ketiga orang itu.

.

.

.

Bising bunyi di belakangku terhenti saat sosok pria bertopi hitam menutup pintu mobil di belakangnya. Aku duduk di kursi belakang sementara Jisoo dan Daniel Kang duduk di depan. Pria di sebelahku itu memakaikan sabuk pengaman dan langsung menyodorkan kantung kertas kepadaku. Tanpa menunggu aba-aba lagi, kumuntahkan begitu saja isi perutku yang semenjak tadi tertahan. Ia mengambil kantung dari tanganku dan membuangnya begitu saja dari jendela.

"Namaku Mino. Kami akan membawamu ke markas Hollow."

Detik itu juga mobil berputar dan Daniel menginjak pedal gas kuat-kuat.

Aku melirik ke belakang dan mendapati beberapa orang tengah baku hantam dengan para penjaga rumah. Lima orang mengejar mobil kami sementara tubuhku terpelanting ke kiri menghantam kaca karena Daniel menginjak rem tiba-tiba.

Mino menundukkan kepalaku. Ia menelungkupkan tubuhnya menutupiku. Samar-samar kulihat Jisoo menembakkan beberapa peluru melalui jendela.

Aku yang merasa semua ini terjadi terlalu mendadak, sebisa mungkin merapalkan doa-doa yang kutahu. Aku memeluk perutku dan mencoba melindungi nyawa lain yang menempel pada tubuhku.

"Terus menunduk."

Tembak menembak terjadi selama beberapa waktu hingga akhirnya Mino berujar 'clear' dan Daniel mulai menyetir gila-gilaan. Mobil kami menabrak pagar rumah dan melaju membelah belasan orang yang menghalangi jalan.

Tiga Omitter itu saling memandang berkeliling dengan tatapan waspada. Pada akhirnya Mino menarikku untuk duduk dengan normal karena katanya situasinya sudah aman.

"Apa yang terjadi? Mau dibawa kemana aku?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku mencengkeram erat-erat sabuk pengaman yang mengelilingi perutku. "Kau juga membunuh dokterku."

Jisoo yang menjawabnya dengan napas terengah-engah. "Aku tidak membunuh doktermu. Hanya menyetrumnya sedikit supaya ia pingsan."

"Maaf Jungkook. Kami harus membawamu ke Hollow."

.

.

.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dibawa ke sini?"

Setelah satu jam berkendara dengan kecepatan di luar batas, kami akhirnya tiba di markas besar Hollow. Di sinilah aku bisa melihat beberapa Omitter berkumpul di sebuah ruangan serba putih dengan dominasi aroma vanilla dan musk yang sangat kuat. Enam atau tujuh Omitter tengah mendiskusikan suatu hal sementara tiga yang lain bergegas mendatangiku. Tiga orang itu sudah kukenal dengan baik.

"Hyung—"

"Maaf harus menjemputmu paksa seperti ini, Kook. Tapi kau harus diamankan sesegera mungkin," Namjoon hyung menuntunku untuk duduk di sebuah kursi metalik dengan bantalan berwarna hitam. Ia mengulurkan sebotol air mineral yang langsung kuteguk habis tak bersisa. "Kau baik-baik saja? Perutmu tidak kenapa-napa?"

Aku mengangguk. Raut wajah Omitter yang satu itu terlihat khawatir.

"Kami harus menjemputmu ke sini karena kau sedang sangat dibutuhkan."

"Dibutuhkan untuk apa?"

Namjoon menggigit ujung kukunya sembari menatapku dengan tatapan yang tak terbaca.

"Katakan saja, sunbae. Jungkook harus tahu," ujar seorang gadis berambut panjang dengan highlight hijau di beberapa bagian. "Sudah sejauh ini. Jika kau tak memberitahunya maka akan sia-sia pelarian kali ini."

Hoseok menyerahkan beberapa lembar tisu yang kugunakan untuk menyeka dahiku. "Jennie benar. Beri tahu saja sekarang."

Dengan satu tarikan napas, Namjoon hyung mengatakannya. "Ayahmu menculik ibumu. Ia mengancam akan membunuhnya."

Namjoon hyung menjelaskan jika ibuku diculik oleh anak buah ayahku yang menyamar sebagai tamu di markas Hollow. Mereka mengelabuhi banyak orang dan menculik ibu yang kala itu tengah tertidur di kamar. Para Omitter tahu jika nyawa ibuku dalam bahaya karena para penculik itu meninggalkan secarik kertas berisikan ancaman pembunuhan. Mereka meminta supaya Hollow tidak ikut campur mengenai persidangan Taehyungie.

Tapi kurasa Hollow benar-benar menepati janjinya. Ketika Taehyungie memutuskan akan bergabung kembali pada organisasi, nyawa dan keberadaannya adalah hal penting untuk dijaga. Itu sebabnya, menurut Namjoon hyung, aku terpaksa dibawa kemari untuk membantu menyelamatkan ibuku, pemegang kunci kasus yang satu ini.

Dan tak ada alasan bagiku untuk menolaknya.

.

.

.

"Kumohon, biarkan aku keluar sebentar. Aku harus menemani Jungkook."

"Sunbae, jangan konyol. Belakangan ini kau diawasi lebih ketat dari biasanya. Namjoon sunbae saja sampai tidak bisa mencari celah untuk mendatangimu di penjara. Kali ini ikuti saja skenario yang dibuat Hollow. Jungkook akan aman, percaya saja."

Joohyuk, pengacara jadi-jadian yang sejak kemarin tersudut oleh statement-statement tajam dari pengacara ayah Jungkook, kali ini melepas dasinya dengan asal. Ia menyodorkan botol minuman isotonic untukku yang sama sekali tak kubuka. Tidak berminat meminumnya dalam suasana se-chaos ini.

Bagaimana aku bisa tenang kalau Jungkook sedang menghadapi bahaya di luar sana?

"Hollow akan selalu menepati janji. Jika bilang mereka akan melindungi Jungkook, maka itulah yang saat ini terjadi. Kita hanya perlu tenang dan tidak bertindak gegabah."

"Tapi bagaimana jika Jungkook kenapa-kenapa? Dia sedang hamil dan sakit. Kau sendiri yang bilang jika ia selalu muntah belakangan ini. Dia harusnya di rumah saja dan tidak mengambil resiko sebesar itu!"

"Sunbae, sadarlah. Jika Tuan Jeon membunuh ibu Jungkook, kau pikir apa yang akan terjadi? Kau akan selamanya terjebak di sini! Ibu Jungkook adalah saksi kunci yang kuat! Dengan kesaksiannya maka kau nanti bisa dibebaskan."

Joohyuk meletakkan lunch box di atas meja sebelum ia merapihkan beberapa kertas yang berserakan di sana. "Maaf aku membentakmu, sunbae. Aku berjanji akan membantumu membalas perlakuan Tuan Jeon."

Aku terkekeh mendengar janji yang diucapkan juniorku itu.

"Bukan dia yang ingin kuhabisi, tapi Junsu," aku membuka minuman isotonik yang tergenggam di tangan. "Sebelum ia di penjara, pastikan aku punya kesempatan untuk menghajarnya."

.

.

.

Sewaktu kecil ayah sangat suka mengajakku berjalan-jalan ke pantai. Kurasa setiap pantai yang ada di Busan sudah pernah kami datangi berdua. Seingatku ayah selalu mengajakku mendatangi pantai setiap libur sekolah ataupun ketika Chuseok. Di saat itulah aku akan dengan senang hati menghabiskan sebagian besar hari liburku dengan melakukan berbagai hal seru di pantai, mulai dari berkemah, bermain istana pasir, berenang, dan main berbagai water sport yang menantang.

Seusai puas bermain di pantai, ayah akan mengajakku untuk mengunjungi rumah nenek. Nenek selalu jago dalam membuat hidangan dengan cita rasa lezat. Apalagi makanan yang berhubungan dengan seafood. Nenek adalah jagonya.

Aku jadi rindu masakannya.

"Jungkook, merapat."

Aku membuyarkan lamunanku dan membawa diriku kembali pada realitas saat ini.

Namjoon hyung, Mino, dan Daniel berjalan mengendap-endap di depanku. Di belakangku, mengekori dengan sangat hati-hati, adalah dua orang Omitter yang katanya bernama Yugyeom dan Jinyoung. Sementara itu, di sebelahku Lisa yang memiliki tatapan tajam melirik ke arah sekitar, memastikan jika tak ada yang curiga dengan kedatangan kami.

Saat ini kami sudah tiba di sebuah gedung tua dimana kata Namjoon hyung, ayahku menyekap ibu kandungku. Gudang tua itu berjarak sekitar lima puluh menit dari markas Hollow. Tersembunyi di antara hutan di daerah pinggiran, kami terpaksa harus menghentikan mobil setidaknya lima ratus meter lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Jika tidak begitu, maka kedatangan kami bisa diketahui ayah dan anak buahnya.

Setibanya di pekarangan gedung, beberapa Omitter dengan cepat menyebar ke berbagai sisi bangunan tersebut. Semuanya membawa perlengkapan lengkap seperti senjata, rompi anti peluru, dan berbagai benda tajam lain. Aku juga memakai rompi. Namjoon hyung menyuruhku untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada peluru menyasar seperti tempo waktu lalu.

Mino memberikan sinyal jika pintu di depan kami sudah aman. Kami berlari kecil dan membuka pintu itu. Tiga orang Omitter telah melumpuhkan setidaknya lima orang berbaju serba hitam dengan tattoo di wajah dan lengan mereka. Namjoon hyung menyuruh kami untuk berlari mengikutinya.

Aku mengamati isi gedung tua tersebut. Sepertinya gedung ini adalah pabrik. Bekas pabrik yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Dugaanku diperkuat dengan adanya berbagai mesin yang memenuhi sudut-sudut ruangan berdebu ini. Di langit-langitnya yang terbilang tinggi, terdapat kotoran dan jarring laba-laba yang bercampur sehingga membentuk seperti gulungan benang berwarna abu-abu. Aku menahan napas dan memeluk perut sebelum sebuah tembakan berderu memekakkan telingaku.

Daniel dan Yugyeom langsung menarikku untuk berlindung di balik brangkas tua di sisi ruangan ini. Keduanya melancarkan tembakan ke segala arah sementara aku berlutut sembari mencoba bernapas sebisaku. Tangan kananku kulingkarkan menutupi kepala sementara yang kiri kupakai untuk melindungi perutku.

Deru tembakan masih memenuhi ruangan ini. Begitupula teriakan dan jeritan dari beberapa orang. Aku tak berani menengok sama sekali dan hanya bisa menggigit bibirku kuat-kuat, menahan diri supaya tidak pingsan.

"Jungkook, ikuti aku."

Mino menarik tanganku untuk berlari. Ia menundukkan kepalaku sementara tangannya menembakkan peluru ke arah belakang. Di depanku sudah ada Namjoon hyung yang sedikit menyeretku untuk berlari dan Jinyoung yang berjaga di sisi kiriku.

Mereka bertiga membawaku melewati orang-orang suruhan ayah hingga kemudian kami tiba di sebuah ruangan dimana suara teriakan ibuku terdengar jelas di sana. Namjoon hyung menendang pintu kayu berwarna cokelat dengan kaki kanannya hingga pintu rapuh itu ambruk begitu saja.

Dan di hadapanku, terpampang nyata situasi genting dimana ayah tengah menendang wajah ibuku yang sudah berlumuran darah. Pria tua itu memandang wajahku dengan gurat terkejut

"Ayah, hentikan!"

Enam orang, masing-masing membawa senjata laras panjang, menodongkan senjata itu kepadaku. Tanpa menolehpun aku tahu jika Namjoon hyung, Jinyoung, dan Mino tengah melakukan hal yang sama di belakangku.

"Tahan!" Teriak Ayah.

Ke enam senjata itu tak bergeming, namun tidak turun satu sentipun.

"Hentikan semua ini, Yah. Aku sudah Lelah."

Aku memandang ibuku yang tergeletak dengan darah yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Ia terduduk di sebuah kursi dimana kedua tangannya terborgol ke arah belakang dan kedua kakinya terikat kuat dengan tali tambang. Tubuhnya sudah ambruk. Hatiku begitu teriris saat melihatnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Ayah nyaris berbisik.

Aku maju tiga langkah dan saat itu juga bisa kurasakan senjata yang mengelilingi semakin siap membidikku.

"Ku mohon berhenti. Jangan sakiti kami lagi," aku menunduk dan membuang pistol yang semula tersimpan rapat di balik kaus kakiku. Hal yang sama juga kulakukan dengan belati yang tadinya menempel di balik lengan atasku. Aku mengangkat kedua tangan ke udara dan berujar dengan suara bergetar. "Berhenti menyakiti keluargaku."

Mata ayah, bisa kurasakan, juga bergetar.

"Sudah cukup kau membunuh ayah kandungku. Cukup juga kau membuatku terpisah dari ibu kandungku. Sudah terlalu banyak omong kosong yang kau jejalkan padaku. Hidupku selama ini hanya lelucon buatmu. Benar bukan, Yah?" aku terkekeh mendengar ucapanku sendiri. Saat ini aku merasa begitu konyol. "Bahkan kau bukan ayahku yang sebenarnya. Bagaimana bisa aku memanggilmu Ayah?"

Pria yang hampir seumur hidupku ini menjadi pelindung sekaligus pembuat luka dalam, maju selangkah dari tempatnya berdiri. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menatapku dengan sedikit nanar.

"Kau tidak tahu apa yang kau katakan, Jungkook. Kau tidak memahami situasinya."

"Situasi apa? Situasi macam apa yang tidak kupahami?" teriakku nyaris hilang kendali. "Kau membunuh ayahku. Kau membuat ibuku tidak bisa kembali ke sini dan kau menghilangkanku dari dunia ini!" aku memukul dadaku berkali-kali untuk mengurangi sesak yang kurasa. Tiba-tiba saja semua ini terasa konyol dan menyakitkan di saat yang bersamaan. "Aku bukan Jeon Seokmin. Kau tak akan pernah bisa merubahku menjadi anakmu sudah yang meninggal!"

Ayah, atau orang yang bernama Jeon Wonwoo itu menjatuhkan senjata yang sedari tadi tergenggam di tangan kanannya. Mata orang itu mulai berair. Aku tak tahan memandang wajahnya. Wajah garangnya yang terhias peluh terasa begitu menyedihkan dengan adanya air mata yang menumpuk di pelupuk.

"Aku menyesal karena ternyata hidupku selama ini hanya penuh dengan kebohongan. Aku menyesal karena aku begitu menyayangi orang yang kuanggap sebagai ayah. Aku terluka karena harus tahu keadaan yang sesungguhnya ternyata tak seindah yang kurasa. Jadi kumohon, hentikan, Yah. Kau sudah menyakiti keluargaku sejauh ini."

Orang itu seketika menangis. Ia jatuh bersimpuh dan menangis tersedu-sedu. Sosok pria itu begitu terlihat tak berdaya di hadapanku.

"Kau anakku, Jungkook. Kau akan selalu jadi anakku walau kau bukan darah dagingku," ujarnya sembari terisak. Ayah menggelengkan kepalanya sekali lagi dan mengusap air matanya dengan kasar. "Ayahmu.. ibumu.. mereka orang brengsek. Mereka tak akan bisa merawatmu dengan baik. Kau jauh lebih bahagia jika jadi anakku. Ayah tidak akan pernah membuat masa depanmu sulit—"

"Kaulah orang brengseknya!" teriakku. Aku melangkah mendekatinya dimana kini hanya berjarak sejengkal saja dari hadapanku. Aku menunduk dan mencengkeram kerah kemeja putih yang dikenakannya. Kemeja itu adalah salah satu baju yang jadi kesukaannya. Aku bisa mengingatnya dengan jelas dimana ia kerap mengenakan kemeja itu jika hendak menghadiri rapat penting. Entah mengapa kali ini kemeja itu malah dipakai untuk nyaris menghabisi nyawa orang lain.

Kuguncangkan tubuhnya berkali-kali. "Apa yang dilakukan Ayah tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ayah sudah menghancurkan keluargaku!"

Ia benar-benar terisak tanpa tahu malu. Bahunya bergetar hebat dan ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan kanannya.

Di belakangnya, aku bisa melihat dengan samar-samar, tiga Omitter tengah berjalan mengendap-endap dengan senjata yang menempel di dada. Mereka terlihat berpencar di tengah gelapnya ruangan. Mereka berjalan tanpa suara mendekati anak buah ayahku yang masih berdiri mencengkeram senjata di sisi kanan dan kiriku.

Aku harus mengambil inisiatif. Ku ulurkan tangan untuk mengusap bahu ayah yang berguncang karena isakannya. Dengan nada terlewat pelan ku ucapkan sebuah kalimat penenang untuknya. "Kau ayah yang hebat, maafkan aku yang harus mengakhirinya dengan cara seperti ini."

Tangan kananku mencoba meraih senjata yang berada di dekat kaki ayah. Hingga benda dingin itu menempel di telapak tanganku, aku meraihnya dengan pelan namun ayah tiba-tiba saja menjegal tanganku hingga kini pistol itu beralih di genggamannya.

"Kau akan membunuh ayah?"

Mata ayah berkilat saat pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Sungguh aku tidak berniat melukai ayah. Aku hanya ingin menjauhkan senjata itu darinya supaya ia tidak nekat menembak siapapun.

"Tidak, aku hanya—"

"Omong kosong. Kau sudah terpengaruh oleh orang-orang busuk itu, Jungkook."

Dalam satu atau dua detik, kuharap aku bisa mengubah nasib kami pada hari itu. Kuharap aku bisa melukiskan akhir yang bahagia tanpa ada yang terlukai lagi. Namun nyatanya, sebuah teriakan lolongan lolos saat ayah menembakkan senjata itu ke arah ibuku.

.

.

.

Aku pernah mendengar ungkapan yang menyebutkan jika "Dunia hanyalah panggung sandiwara, dan sebagian besar dari kita sama sekali tidak dipersiapkan.". Kalau tidak salah, itu adalah quotes yang diucapkan oleh Sean O'Casey.

Dulu, saat aku baru mendengar kutipan tersebut, kurasa aku tidak terlalu mempercayainya. Bagaimana bisa kita tidak disiapkan untuk panggung yang sejatinya adalah milik kita sendiri?

Kita, manusia, adalah pemeran utama dalam kehidupan kita masing-masing. Kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan jika ada tekad dan usaha yang cukup untuk membuktikannya. Memang, dunia ini ibaratnya adalah sebuah panggung dimana kita bisa bersandiwara atau bertuturkata dengan berbagai cara. Karena kita adalah tokoh utamanya, maka tentu kita sudah dipersiapkan, atau setidaknya, bisa menyiapkan diri sebaik mungkin

Akan tetapi, kini kurasa aku bisa lebih memahami kutipan itu. Sedikit banyak bahkan setuju.

Di beberapa kesempatan, kita memang bisa saja dihadapkan dalam situasi di luar dugaan. Situasi itu bisa saja mengubah hidupmu dalam waktu singkat. Namun, jika kita sudah tahu situasi tersebut, bukankah setidaknya kita bisa bersiap untuk menghadapi badai yang akan datang?

Jadi kurasa kutipan itu ada benar dan salahnya. Cobalah melihat dari berbagai sisi untuk bisa memahami rumitnya kehidupan ini.

Aku menggoreskan kalimat terakhir pada buku diary usang yang menjadi saksi bisu kisahku kali ini.

Seluruh proses panjang telah kami lalui. Aku telah memberikan kesaksian atas kejadian penculikan yang menggemparkan masyarakat setahun yang lalu. Begitupula Hoseok yang menjadi saksi dengan mengutarakan keberanian yang sebelumnya kuragukan. Aku tak menyangka jika dia seberani itu dalam memberikan kesaksian. Kurasa didikan yang ia peroleh selama bergabung di Hollow cukup membentuk keberaniannya.

Proses persidangan ini adalah proses yang rumit, membingungkan, dan melelahkan. Puluhan pertanyaan yang ditanyakan penyidik, pengacara, wartawan, teman, dan tetangga nyaris membuatku menggila. Orang-orang tersebut nyaris menelponku setiap hari dan malam selama persidangan berlangsung.

Untungnya di sampingku ada ibu yang selalu mendukungku setiap waktu.

Ibu, di saat yang bersamaan, juga telah memberikan kesaksiannya sedetail mungkin. Walaupun sempat terkena tembakan, namun ia bisa pulih dengan cepat berkat bantuan banyak dokter kompeten yang direkomendasikan Hollow.

Dengan hati yang lega akhirnya aku bisa tahu alasan ibu tidak bisa kembali ke Korea untuk menjemputku. Jadi, entah bagaimana ceritanya, ayah—Tuan Jeon, membunuh ayah kandungku di apartemen miliknya. Pada waktu kejadian, aku dan ibu ada di sana. Tuan Jeon langsung mengambilku dari gendongan ibu dan memutarbalikkan fakta di mana ia mengancam akan menjadikan ibuku sebagai pelaku utamanya. Tuan Jeon, dengan pengaruh kuat yang dimilikinya, mengirim ibuku ke Amerika. Di sana, ibuku terjebak dalam kasus penipuan di Amerika yang sama sekali tidak diketahuinya. Ia membuat ibuku di tahan selama dua belas tahun dan beberapa tahun berikutnya sebagai tahanan rumah. Itu sebabnya ia tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkanku yang kemudian diakui sebagai anak Tuan Jeon.

Ah, sulit bagiku untuk memanggil pria yang kuanggap sebagai ayah itu dengan sebutan Tuan Jeon.

Walau bagaimanapun, aku harus mulai membiasakannya.

Paman Junsu, dan Jongin beserta antek-anteknya, sukses ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penculikan, pemerasan, serta percobaan pembunuhan. Sementara itu, Tuan Jeon dinyatakan bersalah atas semua tuduhan, di antaranya adalah pembunuhan, penipuan, pencemaran nama baik, penculikan, pemalsuan data, hingga korupsi. Aku benar-benar tidak menyangka jika kejahatannya bisa sebanyak itu. Apalagi ternyata ia juga yang membunuh Seokjin hyung. Sebagai akibatnya, ia dan setidaknya empat puluh dua anak buahnya, harus bersedia mendekam di balik jeruji besi hingga puluhan tahun mendatang.

Selain ibuku, satu orang lagi yang menjadi kekuatanku adalah ia, yang telah dibebaskan dari segala tuduhan, termasuk tuduhan kekerasan seksual yang nyaris menjeratnya. Sungguh aneh kala aku menyadari sosok yang semula sering kuumpati dalam hati dan kukutuk cepat mati itu adalah sosok yang selalu kunanti.

Siapa yang menyangka jika kami harus dipertemukan dalam cara yang tidak biasa untuk saling mengasihi? Siapa yang menyangka jika lewat penculikku ini nyatanya kebenaran bisa terungkap? Meski harus melewati sakit hati dan berbagai kepedihan, nyatanya ia adalah sosok yang benar-benar kusayang.

Ia, adalah pria yang memiliki senyum terlebar dengan gurat kesedihan di wajahnya, kala ketukan palu hakim membebaskannya.

Taehyungie berlari ke arahku dan memelukku sangat erat.

Ia menangis, tersedu, dan menenggelamkan wajahnya di perpotongan leherku dalam-dalam. Ia mengabaikan puluhan pasang mata orang yang hadir di persidangan akhir ini dan semakin mengeratkan pelukannya.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku," bisik Taehyungie di telingaku. Ia sedikit mengendurkan pelukannya dan menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang hangat. "Mulai sekarang aku akan selalu melindungimu dan Taeguk."

Janji itu kemudian dijaga dan dibuktikan olehnya.

Kami menikah sebulan setelah ia dibebaskan. Pernikahan itu dilaksanakan di tepi pantai di Busan yang memiliki pemandangan paling indah dan ombak dengan deburan yang menenangkan. Beberapa Omitter hadir, kecuali Seokjin hyung. Berkali-kali aku meminta maaf pada Namjoon hyung atas kematian pasangannya itu. Aku merasa begitu bersalah, namun Namjoon hyung bilang jika ia sudah bisa mengikhlaskan kepergian Seokjin hyung. Setiap bulan aku dan Taehyungie selalu mengunjungi makam Seokjin hyung dengan membawa seikat bunga lili yang jadi kesukaannya.

Aku dan Taehyungie tinggal di sebuah rumah yang berjarak tak jauh dari markas Hollow. Dari penuturan Taehyungie, rupanya tetangga kami sebagian besar adalah keluarga anggota Hollow. Menurutnya, rumah yang kami tinggali ini adalah yang teraman. Aku bahkan berkenalan dengan istri Daniel Kang yang tinggal persis di sebelah rumah. Selain istri atau suami Omitter yang jadi tetangga, ibu juga tinggal beberapa blok dari rumahku. Aku senang sekali karena kami jadi lebih sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Dari sepengamatanku, ibu kini mulai melukis lagi dan membuka exhibition pertamanya yang ramai dikunjungi pecinta seni dari berbagai penjuru Seoul. Rupanya pengagum karya seni orang tuaku masih sama antusiasnya seperti dulu, begitu yang diceritakannya.

Taeguk lahir beberapa bulan kemudian. Bayi mungilku yang cantik dan manis menangis sangat kencang ketika menyambut dunia. Taehyungie mendapat keringanan untuk bebas tugas selama sebulan demi membantuku mengurus bayi kami. Setelah masa liburan itu usai, untungnya ibu datang dan membantuku mengurus Taeguk, cucu cantik yang sangat ia sayangi.

Taehyungie memang kembali bekerja di organisasi tersebut, namun ia tidak henti memberikan perlindungan terbaik bagi keluarga kecil kami. Tempat tinggal kami dirahasiakan dan tidak ada yang tahu selain orang-orang Hollow. Aku dan Taeguk sesekali berkunjung ke markas besar. Taeguk sangat suka saat diajak berkeliling dengan menggunakan kereta kuda. Ia jadi tamu terfavorit di Hollow.

Aku merasa sangat terberkati dengan kehidupan baruku ini.

"Masih menulis, hm?"

Aku tersenyum sangat tangan Taehyungie memeluk pinggangku perlahan-lahan. Ia melesakkan kepalanya dan mengecup leherku dari arah belakang.

"Sudah selesai," jawabku. Aku membalikkan badan dan mengalungkan lenganku di lehernya. "Kenapa belum tidur? Besok 'kan kau harus ke Moscow."

Taehyungie menggeleng ringan. "Aku belum mengantuk. Ingin meminta sesuatu pada mommy."

Aku berdiri supaya bisa memeluknya dengan lebih nyaman lagi. Mata indah Taehyungie kembali menghipnotisku. Ketika memandang netranya, aku kembali teringat pada malam-malam yang kami habiskan di kamar tempatku disekap. Sedikit menyakitkan, namun membuat nyaman.

"Poppy minta apa?"

Pria yang resmi menjadi pasangan hidupku itu kemudian memiringkan kepalanya sedikit sebelum berkata dengan suara rendah. "Ayo buat adik bayi lagi."

Mataku mengerjab mendengar permintaannya. Terkadang bahasa yang ia gunakan sedikit menggelikan. Aku benar-benar tidak menduga jika mantan penjahat yang satu ini bisa bersikap terlewat menggemaskan.

"Tae—"

Aku melirik ke arah tangannya yang meremat pinggangku lembut. Pria itu mencuri sebuah kecupan kecil sebelum tersenyum dengan tatapan nakal.

Aku tahu malam ini akan jadi malam yang panjang bagi kami berdua.

.

.

.

.

.

.

EPILOG

10 tahun kemudian

"Pita ini akan cocok dengan bajumu. Kau akan terlihat anggun saat mengenakannya."

Aku menerima jepit pita berwarna putih susu itu dari tangan Namjoon hyung. Di sebelahku, gadis yang sedari tadi diajak berbicara oleh Namjoon hyung itu tersenyum dan bertepuk tangan antusias.

"Mommy, pakaikan di rambutku, ya?"

Mengulas senyum simpul, aku mengangguk dan berjongkok. Gadis cilik itu berdiri membelakangiku dan tertawa riang. Aku menyelipkan pita itu ditengah-tengah kuciran rambut yang membelah setengah rambutnya. Aku selalu menyukai rambut hitam legam anakku. Dengan rambut yang selembut sutera itu, aku bisa membelikannya berbagai hiasan puncak kepala yang disukainya.

"Sudah selesai. Coba berkaca."

Taeguk sedikit berlari mendatangi cermin besar di sudut ruangan. Ia tersenyum lebar sekali dan melembarkan dua buah jempol ke arahku dan Namjoon hyung yang berdiri di belakangnya.

"Cantiknya, uri Googie," puji Namjoon hyung. Ia menepuk puncak kepala Taeguk dan membalas senyumannya. "Nanti Paman Joon belikan lagi jepit rambut yang banyaaaak untuk Taeguk."

"Asyik! Terima kasih Paman Joon!"

Taeguk memeluk pria yang dipanggil dengan nama Paman Joon itu. Setelahnya ia pamit padaku untuk menemui teman-temannya yang mulai berdatangan.

"Ini jepit rambut ke sebelas yang kau berikan untuk Taeguk, hyung. Dia selalu suka pemberianmu," ujarku seraya mengeluarkan semangkuk besar sup buah dari kulkas. Namjoon hyung membantu menata beberapa gelas di meja dengan gerakan yang sedikit kikuk. "Gomawo, Paman Joon."

"Tak apa. Aku suka memberikan ponakanku banyak hadiah. Dia ponakan tercantik yang pernah kupunya," jawabnya sembari tertawa. "Sebenarnya jepit rambut itu adalah pemberian Seokjin. Ia membelikannya sesaat setelah tahu jika kau hamil anak perempuan. Katanya, pita itu pasti akan cocok dengan wajah anakmu dan Taehyung yang sudah pasti sangat cantik."

Tanganku secara otomatis terhenti begitu saja setelah ucapan tersebut. Ini adalah kali pertama aku dan Namjoon hyung membicarakan tentang Seokjin hyung setelah kematiannya 10 tahun yang lalu. Selama ini ia selalu menghindar dan tidak berkomentar apapun terkait meninggalnya pasangan hidupnya. Selama itu pula kami tidak pernah melibatkan nama Seokjin hyung dalam percakapan jika tengah bertemu.

"Aku tahu Seokjin pasti akan bangga memiliki ponakan yang begitu jelita. Jika ia masih ada, mungkin ia akan sangat klop jika tengah bermain dengan Taeguk."

Kami beranjak dari dapur menuju ke halaman belakang rumah. Hari ini adalah ulang tahun ke-10 Taeguk. Jika di ulang tahun sebelum-sebelumnya selalu dirayakan oleh keluarga inti saja, kali ini Poppy-nya membolehkan Taeguk untuk mengundang teman-teman sekolahnya. Tentunya Taeguk sangat antusias karena untuk pertama kalinya, teman-temannya boleh main ke rumah.

Karenanya kali ini setidaknya tiga puluh orang tengah berkumpul sembari menyantap hidangan yang telah aku dan ibuku siapkan. Aku meletakkan mangkuk sup buah yang kubawa di atas meja. Dengan gelas-gelas yang dibawa Namjoon hyung, aku menuangkan minuman manis itu sembari mengulas senyum.

"Aku tak tahu jika kau mengundang Jimin."

Suara husky yang selalu menjadi kesukaanku itu menyapa gendang telinga. Aku memandang Taehyungie yang menyambar segelas sup buah dengan wajah cemberut.

"Poppy bilang aku dan Taeguk boleh mengundang maksimal tiga puluh orang. Jimin dan Dokter Min adalah tamu ke dua puluh sembilan dan ke tiga puluh."

Aku mengekori pandangan Taehyungie yang menatap tajam pada sosok pria yang nyaris menjadi pendampingku. Park Jimin, berdiri di sebelah Kim Taeguk yang bibirnya mencebik. Entah apa yang mereka bicarakan, namun sepertinya Taeguk agak kesal karena setelahnya ia berlari menjauhi Jimin dan Dokter Min.

"Kenapa pula sih harus ada dress code segala? Bajuku kan jadi mirip dengan yang dipakai Park itu."

"Itu kan permintaan Taeguk. Kau tahu sendiri ia sedang menyukai karakter dari buku dongeng yang kau berikan padanya. Dan baju yang dikenakan—"

"Iya iya aku tahu. Tapi aku masih kesal karena mommy mengundang tamu yang tidak diharapkan." Potong Taehyungie.

Aku hanya dapat membalasnya dengan senyum singkat sebelum menggodanya. "Apa poppy masih marah kalau mommy memberikan hadiah?"

Mendengar pertanyaan itu, pria yang usianya sudah memasuki kepala empat tersebut langsung menatapku penuh tanda tanya. "Hadiah apa? Apa mommy mau memberikan satu jam ekstra penuh kenikmatan buat nanti malam?"

Aku memukul pundaknya secara otomatis. Wajahku memanas mendengar ucapan nakal dari pikiran kotor seorang Kim Taehyung.

"Bercanda, sayang. Aww! Sakit—"

"Kau ini dasar!" omelku. Aku berdehem dan tersenyum kikuk pada Dokter Min yang melambai di ujung sana. Dokter manis itu sejak lima tahun yang lalu telah resmi menjadi pasangan Jimin hyung. Aku memberikan isyarat supaya ia mau menunggu dan anggukanlah yang jadi jawabannya. Aku melirik gugup ke arah Taehyungie sebelum berujar lagi. "Ah, sayangnya bukan itu hadiahnya. Apa kau masih akan tetap suka, ya?"

"Ah, mommy, kasih tau sekarang!" gertak Taehyungie dengan nada main-main. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatapku dengan tatapan kesal yang dibuat-buat.

Terkadang aku heran bagaimana bisa manusia menggemaskan sepertinya malah jadi pembunuh bayaran yang tak segan-segan menghabisi nyawa orang tanpa kompromi.

Tangan kananku merogoh ke arah saku dan kukeluarkan sebuah kotak kecil berwarna cokelat dengan pita putih di atasnya.

"Bukalah."

Pria kesayanganku itu membukanya dengan sedikit tergesa. Saat tutup box kecil itu terbuka sepenuhnya, ia mengeluarkan alat pipih panjang yang menampilkan dua garis biru di bagian atasnya.

"Kau… hamil?"

Aku mengangguk perlahan.

Saat itu juga Taehyungie mengangkat dan menggendongku dalam pelukannya. Kami berdua tertawa dan tak menghiraukan orang-orang yang menatap dengan pandangan heran. Taehyungie mengangkatku tinggi-tinggi lalu menurunkan dan memelukku erat. Ia menjauhkan kepalanya sejenak tanpa melepaskan eratnya tangan yang melingkar di tubuhku. Kami bertatapan selama beberapa saat sebelum bibir hangatnya menyentuh bibirku. Aku meremat surainya dan memejamkan mata kala bibirnya semakin kuat beradu dengan milikku.

"Mommy! Poppy!"

Panggilan Taeguk memutus kecupan kami. Ia menatap kami dengan tatapan nyalang sebelum melipat tangannya di dada. Persis seperti saat poppy-nya sedang marah.

"Kenapa Googie tidak diajak? Googie juga mau dipeluk!"

Sang ayah dengan sigap menggendong Taeguk dalam pelukan lalu memutar-mutar tubuh mungil itu ke udara. Anakku tertawa kencang sementara ayahnya malah menambah kecepatan putaran itu dengan senyum kotak yang terkembang.

Aku mengambil lolipop yang terjatuh dari genggaman Taeguk. "Poppy, sudah. Nanti Taeguk pusing."

Taehyungie lalu menghentikan aksi putar-memutar yang dilakukannya. Pasangan ayah-anak itu tertawa riang seolah tak ada beban yang menumpu pundaknya.

"Googie sayang poppy dan mommy!"

"Mommy juga sayang Googie." Jawabku seraya memberikan permen itu kembali untuknya.

Taehyungie berjongkok dan berbisik di hadapan anak perempuannya. "Apalagi poppy," ia mengacak surai hitam Taeguk yang dibalas dengan finger heart dari jemari mungilnya. "Lihat, itu Paman Hoseok dan Tante Ryujin!"

Taeguk menolah ke arah belakang dan berlari kencang menemui salah satu paman yang ia sayang.

Aku merasakan genggaman di tangan kananku. Melirik kecil, aku bisa melihat Taehyungie menggengam tanganku sambil tersenyum hangat. "Terima kasih sudah mau memberikan Taeguk adik, Jungkook. Aku akan selalu melindungi keluarga kecil kita."

Meraih pelukan Taehyungie, aku mencium aroma tubuh yang jadi kesukaanku. Aroma aftershave Taehyungie akan selalu membiusku kapan saja. Begitupula suaranya yang menenangkan.

"Terima kasih sudah jadi suami dan ayah yang hebat, Taehyungie."

.

.

.

END

.

.

.

Akhirnya cerita ini selesai juga. Apa masih ada yang baca? hehe

Salam hangat untuk semua yang masih mau baca tulisan Summer Plum :)