TARAXACUM

.: Chapter 1: This Thing of Ours :.

Sebuah jam berukuran besar dengan gaya klasik yang diletakkan di ruang tengah mansion megah tersebut baru saja berdentang sebanyak enam kali. Pagi ini, matahari sudah naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan hari-hari lainnya di sepanjang tahun. Biasanya, sang pemilik rumah tidak akan terjaga dari tidurnya dengan mudah di pagi hari hanya karena sinar mentari yang menyusup melalui celah jendela kamarnya, mengingat tugasnya yang terkadang berakhir dini hari. Akan tetapi, beberapa hari terakhir ini, ia kerap diganggu oleh mimpi yang serupa secara berulang setiap kali dirinya terlelap. Dan sialnya, mimpi tersebut kembali mengganggunya pagi ini, memaksanya untuk segera terbangun dari bunga tidurnya.

"Fuck—" Namanya adalah Park Chanyeol. Benar, dialah pria yang baru saja mengumpat saat pelan saat mencoba mengubah posisinya di atas ranjang. Pasalnya, tidak hanya mimpi yang mengganggu, pening di kepala juga kerap menyertai kegiatan bangun tidurnya tersebut. Ia baru saja kembali ke mansion beberapa jam yang lalu, tidak mendapatkan tidur yang nyenyak karena mimpi sialan tersebut, dan harus terbangun dengan rasa sakit luar biasa yang menjalar di setiap bagian tempurung kepalanya.

Chanyeol bukan pria yang lemah—ia selalu mengingat itu di dalam benaknya dengan baik. Bermanja dengan matras ketika sakit melanda sama sekali bukan khas dirinya. Maka hal selanjutnya yang dilakukan oleh pemilik bangunan megah tersebut adalah beranjak dari ranjangnya dan berjalan dengan sedikit tertatih untuk meninggalkan kamar yang biasa ia gunakan untuk beristirahat. Selain karena pusing, Chanyeol juga harus bertarung melawan rasa lelah di sekujur tubuh dan bekas luka tembak yang mungkin hampir kering di bahu kirinya. Dapur adalah tujuan yang dipilih oleh sang adam.

Seperti pagi-pagi lainnya, Chanyeol sudah menemukan sesosok wanita familiar yang sibuk berkutat di dapurnya. "Selamat pagi, Ahra." Suaranya terdengar serak dan rendah—khas seseorang yang baru saja bangun tidur.

Wanita yang disapa Chanyeol itu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. "Oh, selamat pagi," balasnya dengan senyum tipis di bibirnya. "Akhir-akhir ini, kau rajin bangun pagi, Chanyeol." Ahra berkomentar seraya mematikan kompor di hadapannya.

Chanyeol hanya membalasnya dengan gumaman seraya mendudukkan tubuhnya di atas kursi. Tangannya tergerak untuk memijat pelipis kepalanya. Ia enggan mengatakan bahwa tidurnya terganggu hanya karena sebuah mimpi. Itu sama saja artinya dengan menunjukkan sisi lemahnya dan ia membenci hal tersebut.

"Kau ingin kubuatkan kopi sekarang?" Ahra menoleh sekali lagi ke arah Chanyeol dengan tatapan menyelidik—berniat mengamati raut masam yang tercetak di paras menawan milik kepala keluarga Park tersebut.

"Yes, please?" Chanyeol menjawab tanpa melirik sedikitpun ke arah wanita yang sudah cukup lama bekerja kepada dirinya tersebut. Ia yakin, Ahra tidak akan tersinggung atas perlakuan sang adam.

Áhra tidak memberikan respons berupa ucapan, melainkan segera melaksanakan keinginan Tuan-nya. Ia mulai meracik espresso yang menjadi favorit Chanyeol tersebut. "Kudengar dari para penjaga, kau baru saja tiba. Kenapa tidak istirahat saja?" Ahra mungkin hanya seorang pembantu di mansion mewah milik Chanyeol. Namun bagi Chanyeol, wanita itu adalah bagian dari keluarga. Sehingga ia tidak menemukan masalah untuk berbincang santai seperti saat ini.

"Tidur terlalu membosankan untukku." Chanyeol bukan tipikal pria yang sering bercanda, akan tetapi, sekali atau dua kali, pria tersebut pernah melontarkan candaan hanya untuk mencairkan suasana dengan orang-orang yang mengenalnya dengan baik seperti saat ini.

Ahra merespons ucapan Chanyeol dengan kekehan ringan yang menyatu dengan angin pagi yang berembus memasuki dapur besar tersebut melalui jendela yang sudah terbuka lebar.

Chanyeol hanya mengulum senyum tatkala mendengar reaksi yang diberikan oleh wanita yang beberapa tahun lebih tua darinya tersebut.

"Omong-omong, Dokter Zhang menelepon tadi pagi."

Chanyeol menatap punggung Ahra lekat-lekat, seolah menantikan penjelasan lanjutan dari sang puan. "Bukankah pertemuanku dengannya adalah besok malam?" Lelaki dengan tinggi di atas 180 sentimeter tersebut menaikkan sebelah alisnya dengan penuh tanya. Ia memang kerap bertemu dengan Zhang Yixing—dokter asal China yang sudah lama mengabdi pada keluarganya—untuk mengobati luka-luka yang bersarang di tubuhnya.

Ahra mengangguk sekali. Ia membalik badannya seraya mengaduk segelas espresso di tangannya dan menghampiri Chanyeol. "Dokter Zhang harus pergi ke Shanghai malam ini dan tidak yakin bisa kembali ke Seoul besok malam, jadi dia memutuskan untuk bertemu denganmu pagi ini," jelas sang puan sebelum meletakkan secangkir espresso di hadapan Chanyeol.

Chanyeol terdiam sejenak, mengingat apakah dirinya memiliki kegiatan yang penting pagi ini. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas informasinya, Ahra." Lelaki itu meraih cangkir di hadapannya dan segera menenggak cairan berwarna hitam pekat tersebut. Ia memang selalu menyukai kopi dalam suhu yang masih cukup panas.

Ahra menepuk pelan bahu kanan Chanyeol yang telanjang—tidak terbalut kain apapun atau perban. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Ada pekerjaan lain yang harus kukerjakan," ucap sang hawa sebelum benar-benar pergi meninggalkan Chanyeol seorang diri di dapur.

"Aku tidak menyangka kau lebih tunduk kepada Wu sialan itu." Mengucapkan sambutan kepada orang-orang yang membuatnya merasa kesal bukanlah hal yang perlu dilakukan oleh lelaki bermarga Park tersebut. Bahkan kepada Yixing—pria yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri—Chanyeol tidak pernah merasa perlu melakukan basa-basi seperti itu.

Yixing berusaha menahan tawa seiring dengan langkah yang diambilnya untuk memasuki ruang kerja Chanyeol. "Aku tidak menyangka kau menyambut tamumu dengan bertelanjang dada seperti itu," balasnya dengan gurauan. Tanpa menunggu dipersilakan, Yixing segera menuju sofa yang tersedia di dalam ruang kerja tersebut dan meletakkan tasnya di atas meja.

Chanyeol mendesis pelan. "Itu salahmu karena mengunjungiku di pagi hari," balasnya jengah. Pria jangkung itu lantas beranjak dari singgasananya dan menghampiri sofa yang saat ini sedang diduduki oleh Yixing. "Jadi, ada masalah apa di Shanghai?" tanyanya sembari menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Jika yang kaumaksud dengan Wu sialan adalah Wu Yifan, maka jawabannya adalah tidak. Wu yang mengundangku datang ke Shanghai adalah saudara perempuanmu sendiri, Chanyeol." Yixing menggelengkan kepalanya tidak percaya sebelum berkutat dengan tasnya yang berisi dengan sejumlah keperluan medis untuk memeriksa luka tembak di bahu Chanyeol.

Chanyeol menghela napas kasar.

Sementara Yixing sibuk tertawa. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Yoora saat mendengarmu menyebut suaminya sebagai seorang sialan." Yixing memberikan gestur kepada Chanyeol untuk bersandar pada sofa dan rileks.

Pria itu mematuhi Yixing dan mulai memejamkan mata—bersiap menahan rasa sakit yang akan segera menyerangnya dengan lebih dahsyat. "Ada apa dengan Yoora?" tanyanya sedikit penasaran. Sejak memutuskan untuk pindah ke Shanghai, Yoora cukup sulit dihubungi oleh Chanyeol.

"Tidak ada apa-apa." Yixing membuka perban Chanyeol dengan telaten. "Mertuanya hanya mulai merajuk karena tidak mendapatkan perawatan yang membuatnya merasa nyaman," jelasnya dengan konstentrasi yang tertuju pada perban milik pria bersurai merah menyala tersebut.

"Dasar pria tua bangka." Chanyeol mendecih pelan. Jika dirinya harus mengakui, klan Wu adalah klan yang amat profesional. Chanyeol menghormati mereka sebagai seorang rekan kerja, tetapi tidak sebagai bagian dari keluarganya.

"Kalau kau lupa, kau juga tua, Chanyeol." Yixing lagi-lagi tertawa. Kali ini, perban yang membalut bahu Chanyeol sudah terlepas dan pandangan sang dokter terpusat pada jahitan pada luka tembak Chanyeol yang mulai mengering.

"Aku tidak tua, Yixing." Chanyeol membalas ucapan Yixing dengan tenang.

"Kau tua. Akui saja itu." Yixing membubuhkan cairan pada bahu Chanyeol yang terluka, sehingga sang pemilik bahu tersebut harus meringis menahan sakit. "Kau dan Yeonseok tidak jauh berbeda. Yang membedakan adalah dia sudah menikah dan memiliki anak, sementara kau belum," tambah Yixing seraya menyimpan botol berisi cairan yang berbau tidak sedap itu ke dalam tasnya kembali.

Chanyeol menghela napas panjang. "Aku tidak akan. Tolong jangan memulai perdebatan ini, Yixing."

Yixing mengangkat bahunya acuh. "Aku tidak ingin berdebat denganmu, Phoenix. Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa kau membutuhkan seorang pendamping hidup. Kau lihat bagaimana Yeonseok dan Yifan sekarang?" Pria berdarah China tersebut mulai mengemasi barang-barangnya. "Kehidupan mereka jauh lebih baik semenjak mereka menikah."

Chanyeol terkekeh—merasa ucapan Yixing adalah sesuatu yang konyol. "Apanya yang jauh lebih baik? Jika menjadi budak cinta adalah sesuatu yang lebih baik, seperti yang kau maksud, maka jawabanku adalah tidak untuk semua saranmu itu, Zhang Yixing."

Yixing tertawa lepas, terlebih saat mendengar istilah budak cinta yang meluncur dari lidah sang Phoenix. "Terserah kau saja. Jika suatu saat nanti, kau menjadi budak cinta, jangan pernah memanggilku karena aku sama sekali tidak bisa membantumu untuk urusan yang satu itu," balasnya dengan nada bercanda. "Lukamu sudah cukup kering. Mintalah bantuan pada Ahra untuk membalutnya lagi dengan perban nanti. Besok, kau bisa benar-benar terlepas dari perban itu," tuturnya menjelaskan. "Kau tidak memiliki tugas berat malam ini, bukan?"

Chanyeol membuka matanya dan menatap Yixing seraya menggelengkan kepala. "Mungkin aku akan istirahat atau bersenang-senang malam ini," balasnya. "Kalau begitu, terima kasih."

Yixing mengangguk singkat dan bersiap untuk beranjak dari atas sofa jika saja Chanyeol tidak memanggil namanya.

"Yixing."

"Ya?" Yixing memandang Chanyeol sekali lagi.

"Apakah kau mengenal seorang psikiater yang dapat dipercaya?"

Seperti yang sudah ia katakana kepada Yixing, Chanyeol tidak berencana untuk menjalankan tugas berat malam ini. Setelah mencoret opsi istirahat, pemilik rambut berwarna merah menyala tersebut menjatuhkan pilihannya pada opsi bersenang-senang karena ia sadar bahwa frasa istirahat tidak lagi memiliki makna berarti bagi dirinya. Itu artinya Chanyeol akan menghabiskan malamnya di salah satu klub favoritnya dengan ditemani beberapa botol minuman dan seorang wanita cantik yang akan melayaninya.

Sebelum tengah malam, Chanyeol sudah tiba di klub langganan yang dikelola oleh salah satu anak buahnya. Seperti biasa, Chanyeol selalu mendapatkan pelayanan terbaik. Segala kalimat yang diucap olehnya merupakan perintah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang berada di dalam klub tersebut.

Chanyeol sedang menikmati red wine di tangannya dengan wanita bertubuh molek yang duduk di atas paha kanannya yang kokoh, ketika salah seorang pengawalnya yang bertugas malam ini datang menghampirinya. "Pastikan kau membawa kabar yang penting atau aku akan memenggal kepalamu." Suara Chanyeol memang rendah, namun orang-orang yang berada tidak jauh darinya sanggup mendengar kalimat bernada ancaman tersebut di tengah suara musik yang menghentak telinga. Pria itu bahkan sama sekali tidak merasa terganggu saat mengetahui ekspresi ketakutan samar yang terlukis di wajah wanita di atas pangkuannya.

"Kami mendapat kabar dari Tuan Park Byungchul, Phoenix." Pengawal tersebut berujar dengan gugup, namun sepertinya bukan karena aura mengerikan atau ancaman yang diberikan oleh atasannya, melainkan karena hal lain.

Pupil mata Chanyeol refleks membesar saat mendengar nama sang Paman disebut. "Ada apa dengannya?" Nada bicara sang adam terdengar tidak sabar dan menuntut.

"Falcon baru saja menemukan beliau dalam keadaan tewas."

"Phoenix." Lelaki dengan rambut jingga dan bahu lebar tersebut membungkuk hormat saat mengetahui kedatangan Chanyeol di dalam ruangan yang sedang ia singgahi saat ini.

Chanyeol mengabaikan sambutan yang diberikan kepadanya dan segera menghampiri satu-satunya ranjang di dalam ruangan tersebut. Kepala keluarga Park itu tanpa sadar sudah duduk bersimpuh di samping ranjang dengan geraman rendah yang lolos dari bibirnya. "Sialan. Siapa yang berani melakukan ini padamu, Paman?" Chanyeol mengerang frustasi dengan tatapan kosong yang tertuju pada jasad Park Byungchul yang sudah tertutup oleh kain putih tipis.

Pria lain yang berada di dalam ruangan tersebut menatap ke arah Phoenix dengan raut datar. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia mampu merasakan kesakitan yang harus ditanggung oleh pria bersurai merah tersebut. "Anak buahku sedang berusaha mengusut kasus ini, Phoenix." Lelaki itu akhirnya angkat bicara dengan hati-hati.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Sehun?" Chanyeol bertanya lirih kepada pria yang dipanggilnya Sehun.

"Sepekan yang lalu, Tuan Park menghubungiku dan memintaku untuk menarik seluruh pengawal dari rumahnya dengan alasan ingin menghabiskan waktu dengan tenang bersama istri dan anaknya tanpa pengawalan yang ketat." Sehun menjelaskan dengan tenang. "Kemudian malam ini, pembunuhan itu terjadi." Suaranya lebih rendah saat mengucapkan kalimat tersebut. Seolah, pria itu turut merasakan sakit atas kepergian Park Byungchul.

"Bagaimana dengan istri dan anaknya?" Chanyeol kembali bertanya.

"Istrinya juga tewas pada saat yang sama." Sehun menarik napas dalam-dalam. "Sementara putrinya kebetulan sedang bermalam di rumah Bibinya. Kami sudah memastikan bahwa putri Tuan Park dalam keadaan aman."

Chanyeol terdiam dan merasa frustasi seketika, tetapi ia tidak seharusnya bersikap demikian saat ini. "Di mana jasad istrinya sekarang?"

"Jasadnya berada di ruangan lain, Phoenix."

"Bagaimana dengan putrinya? Apakah dia mengetahui tentang kematian kedua orang tuanya?"

"Belum." Sehun mengambil jeda singkat. "Kami berusaha menjaga kabar ini agar tidak tercium oleh pihak lain untuk sementara waktu. Itu terlalu berisiko." Pria yang lebih muda dibanding Chanyeol tersebut mengamati bosnya dengan lekat. "Lagipula, kurasa, kaulah sosok yang paling tepat untuk memberitahukan kabar ini kepada putrinya, Phoenix."

Chanyeol meremas helai rambutnya yang berkelir merah itu demi menyalurkan segala perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia marah, depresi, sedih—dan entahlah. Chanyeol tidak tahu, seperti apa dirinya harus menggambarkan perasaannya saat ini. Ia kacau dan itu sudah terlihat jelas.

Chanyeol menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan dirinya. "Sehun, tinggalkan aku sendiri di sini."

"Baik, Phoenix." Sehun membungkuk hormat pada pria yang sedang memunggunginya tersebut sebelum pergi meninggalkan ruangan dan menutup pintu dengan perlahan.

Begitu Chanyeol mendengar suara pintu yang ditutup, lelaki jangkung tersebut meluapkan emosinya dengan menangis. Ini adalah tangisan pertamanya sejak kepergian sang Ayah untuk selamanya.

"Aku turut berduka atas kepergian Pamanmu, Chanyeol." Oh Yeonseok menatap prihatin ke arah Chanyeol yang sedang berdiri di dekat dinding kaca.

Pria bermarga Park itu hanya terdiam dengan tatapan kosong yang tertuju pada rerumputan hijau jauh di bawahnya.

Yeonseok merasa tidak keberatan sama sekali dengan sikap Chanyeol. Ia memahami suasana hati sang adam yang sedang sangat terpukul setelah kehilangan sosok yang dianggapnya sebagai seorang Ayah selama ini. Yeonseok juga merasakan hal serupa karena mengenal Byungchul sejak lama, meskipun kepedihan yang dirasakan olehnya mungkin tidak sedalam yang dirasakan Chanyeol.

"Aku harus membalaskan dendam Paman." Chanyeol berujar lirih dengan telapak tangannya yang terkepal kuat. Ia seperti sudah siap untuk menghancurkan kaca di hadapannya kapan saja.

Yeonseok menghela napas. Ia menyerah setiap kali ia harus berhadapan dengan jiwa pendendam yang bersemayam dalam tubuh sang Phoenix. "Sebelum itu, ada beberapa hal yang membutuhkan campur tanganmu dengan segera."

Chanyeol menoleh ke arah Yeonseok yang sudah terduduk di atas sofa di dalam ruangan bergaya klasik tersebut.

"Ini mengenai sepupumu, Chanyeol."

Chanyeol mengernyit. "Maksudmu, putri Pamanku?"

Yeonseok mengangguk.

Karena duka yang mendalam, Chanyeol melupakan beberapa hal penting, termasuk mengenai anak tunggal dari Park Byungchul yang masih hidup. "Apakah dia masih baik-baik saja?" Chanyeol mengalihkan pandangan dari sosok Yeonseok. Ia terlihat sedang menerawang pada masa lalunya—masa di mana ia pernah berjumpa dengan putri dari Pamannya tersebut.

"Tentu." Yeonseok menjawab dengan mantap. "Tetapi, aku tidak yakin, kondisinya akan bertahan lama, Chanyeol," tambahnya dengan nada muram. "Kita harus segera mengambil langkah cepat untuk menyelamatkannya dari segala ancaman. Bagaimanapun juga, dia adalah bagian dari keluarga."

Chanyeol terdiam selama beberapa detik. "Apakah aku juga harus mengabarkan tentang kematian kedua orang tuanya ini?"

"Kau adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh gadis itu. Kau adalah satu-satunya yang berhak untuk mengatakannya." Yeonseok berkata dengan bijaksana. "Atau kau bisa meminta bantuan Yoora untuk mengatasi hal ini. Kupikir, dia akan bersedia membantu."

Chanyeol menghela napas panjang. Ia yakin, ia tidak akan sanggup untuk memberitahukan kabar memilukan itu kepada sepupunya. Ia tidak sanggup diingatkan kembali kepada bayangan ketika dirinya harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia kehilangan Ayahnya untuk selamanya. "Aku akan mengaturnya dengan Yoora. Untuk sementara waktu, kita hanya perlu mengamankannya saja, bukan?"

"Kau benar." Yeonseok mengangguk, meskipun sang lawan bicara tidak menatap langsung ke arahnya. "Kusarankan kepadamu untuk membawanya ke mansionmu. Mansionmu adalah satu-satunya tempat yang paling aman untuknya saat ini."

Chanyeol berbalik dan menatap Yeonseok lekat. "Tidakkah itu semakin membahayakannya?"

"Tidak, Chanyeol." Yeonseok beranjak dari sofa. "Jika Pamanmu terbunuh, itu artinya dunia luar sama sekali tidak aman bagi gadis itu."

"Kenapa kita tidak meletakkan penjaga untuk mengawasinya seperti yang biasanya kita lakukan?"

"Ini bukan hal biasa, Phoenix." Yeonseok melangkahkan kakinya, menghampiri Chanyeol di dekat dinding kaca. "Gadis itu adalah bagian dari keluarga, tetapi dia sama sekali tidak mengetahui hal yang berhubungan dengan pekerjaan Ayahnya," tambahnya menjelaskan. "Kita juga tidak akan leluasa menjaganya, jika dia berada di bawah pengawasan orang lain. Kondisi seperti ini terlalu berbahaya, jika aktivitas kita tercium oleh pihak kepolisian."

Chanyeol menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menjernihkan pikirannya saat ini dan mengambil keputusan yang tepat. "Baiklah, kalau begitu. Bawa dia ke mansionku. Biarkan Sehun mengurusnya."

"Tapi, Phoenix." Yeonseok segera memotong ucapan Chanyeol. "Ada satu hal krusial yang perlu kauketahui."

"Apa?" Chanyeol mengerutkan dahinya dengan serius.

"Pernikahan Pamanmu dengan istrinya tidak sah secara hukum, sehingga kau tidak bisa mengklaim hak asuh atas gadis itu karena kau adalah keluarganya. Dengan kondisi seperti ini, kau akan kalah dengan keluarga istri Pamanmu dalam hal hak asuh." Yeonseok menjelaskan dengan tak kalah serius.

Chanyeol menggertakkan giginya dengan jengkel. Masalah yang dihadapinya kali ini sangat pelik. "Jadi, kau memiliki rencana lain agar aku bisa mendapatkan hak asuh atas dirinya?"

Yeonseok menampilkan senyum asimetris kepada pria yang lebih muda. "Tentu." Ia mengangguk singkat.

Chanyeol menaikkan sebelah alisnya, penasaran dengan usul yang akan diberikan oleh pria di hadapannya.

"Kau harus menikahinya. Kau harus menikahi Byun Baekhyun."

TO BE CONTINUED

Note:

Halo. Gue author baru di sini! Panggil aja Mochi, ya. Gausah panggil 'thor', 'min', dsb L

Oke, ini sebenernya bukan fanfiction pertama gue, but this is my first time to post it here. Gue akhirnya memutuskan buat nulis di sini karena … beberapa fanfiction ChanBaek favorit gue itu lamaaaa banget update-nya. Terus gue juga lagi seneng banget sama mafia!au, jadilah gue nulis fanfic ini hohoho.

Sooooo, salam kenal, ya! Dan semoga kalian suka sama fanfic ini dengan baca chapter pertamanya hehe. Berhubung ini otak gue lagi lancar-lancarnya dan gue juga lagi jadi pengangguran karena nungguin masuk kuliah, kayaknya gue bakal fast update. Jadi, jangan bosen liat gue nongol terus L

Cukup segini deh cuap-cuapnya ya. Sampai ketemu di chapter berikutnya.

Last but not least, review?