Di usianya yang ke 17 tahun, Baekhyun menyadari ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ia dapat mersakan hal itu. Sangat jelas. Di setiap aliran darahnyaㅡbahkan sampai ke tulang.

Malam itu, jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Ketika melewati gang yang agak sempit untuk pulang ke flatnya, Baekhyun berjalan kaki sendirian. Ia tinggal bersama kakak laki-lakinya yang bernama Baekbeom beserta istrinya.

Cahaya yang cukup gelap karena hanya ada satu lampu gantung di rumah orang membuat lelaki manis itu kesulitan melihat. Hanya cahanya bulan purnama yang sedikit banyak bisa membantunya.

Baekhyun merupakan siswa menengah akhir sebuah sekolah di Manhattan. Karena teman-temannya mengajaknya keluar makanya ia pulang selarut itu. Saat ia berjalan cepat tiba-tiba saja kakinya tersandung, membuatnya jatuh dan lututnya terluka. Hingga bersarah karena ia hanya menggunakan ripped jeans.

"Ah, damn it."umpatnya pelan sambil merogoh tasnya. Mencoba mengambil ponsel yang sialnya ia baru sadar kalau baterainya low.

Tidak mungkin bisa menghidupkan flash dengan ponsel yang hampir mati seperti itu. Angin mulai berhembus menambah hawa dingin di pertengahan musim gugur. Padahal flatnya hanya tinggal dua tiga blok lagi.

Lampu gantung di sana tiba-tiba meredup. Baekhyun menengok dan mulai was was. Hampir-hampir ia mengabaikan rasa sakit di lututnya. Dan hal yang ditakutkan lelaki itu terjadi. Lampu gantung tersebut mati, membuat Baekhyun harus menutup mata. Napasnya sedikit tersenggal karena demi tuhania benci gelap.

Hal yang tak disangka Baekhyun adalah,

Tiba-tiba tangannya mengeluarkan cahaya ketika ia merasakan silau mengenai matanya.

"A-apa ini?"

Baekhyun panik. Ia lalu menggenggam tangannya yang kemudian membuat lampu gantung itu kembali menyala. Ia melakukan hal itu beberapa kali sambil bergumam,"t-tidak mungkin." dari bibir tipisnya.

Sret!

Ia segera masukkan ponselnya ke dalam tas dan menutup resleting tasnya. Dengam sekuat tenaga ia berdiri dan berlari menjauh dari sana menuju flatnya yang mulai terlihat oleh mata sipitnya. Tanpa ia sadari sepasang mata tengah mengawasinya. Bersembunyi dari balik tembok.

"Ya, aku yakin sekarang kalau dia mutan."ujar seseorang dengan mata sekelam malam itu pada suara di ujung telepon.

Kemudian orang itu berlari dan menghilang begitu saja.

{ matriX: The Light and Shade }

.

Chanyeol x Baekhyun

Suho

Luhan

let's find out?

.

Chaptered/Yaoi/AU/Dldr

inspired by marvel and 20th century fox's x-men, and also exodus.

. . .

"May the bridges, I burn light the way."

c h a p t e r : I

Sekolah dengan bangunan bergaya neoclassic itu masih berdiri kokoh. Masih terlihat sedikit ramai. Padahal matahari sudah hampir terbenam. Bangunan yang cukup luas itu terletak di Westchester County, New York dengan nama Xavier's School for Gifted Youngster. Tulisan itu pula yang berada di tembok gerbang sebelum memasuki sekolah tersebut. Dengan aksen British yang kental, sekolah itu lebih terlihat seperti museum atau rumah tua ketimbang sekolah.

Suho—yang merupakan generasi ketiga belas dari keluarga besar Xavier, adalah kepala sekolah di sana. Bisa dibilang kini lelaki berdarah Korea-Amerika itulah yang mewarisi sekaligus bertanggung jawab atas sekolah tersebut. Dulunya, bangunan itu merupakan mansion keluarga Xavier yang kemudian oleh kakek Suho diubah menjadi sebuah sekolah. Bukan sekolah biasa, namun sekolah khusus mutan. Tempat dimana mutan-mutan bisa berlindung dengan aman, tempat tinggal bersama menjadi keluarga.

Mutan.

Mutan adalah subspesies manusia yang terlahir dengan kekuatan super. Namun, di bumi, mutan merupakan istilah untuk manusia yang berevolusi pada usia remaja. Di mana kekuatan yang dimiliki jauh melebihi manusia biasa. Berbeda-beda pada setiap orang.

'Mutatis Mutandis' yang berarti mengubah apa yang perlu diubah adalah motto sekolah tersebut. Hal itulah yang dipegang teguh oleh Suho. Apa yang diajarkan oleh orang tuanya, gurunya, keluarganya selalu ia patuhi. Tak ayal, ia merupakan seorang mutan yang hebat dengan kemampuannya memanipulasi air dan telepati.

Namun seiring berjalannya waktu dengan bertambahnya jumlah manusia yang berevolusi menjadi mutan, manusia biasa menjadi merasa terancam. Dan itu dilakukan oleh pemerintah dengan membuat organisasi anti-mutan. Hal itulah yang tengah diperjuangkan Suho. Kesetaraan antara mutan dan manusia. Ia sangat ingin menciptakan kehidupan yang selaras antara mutan dan manusia. Seperti cita-cita kakeknya dulu.

"Luhan? Kau baik?"tanya Suho khawatir pada salah satu rekannya itu. Setelah mengajak semua murid untuk makan malam, Suho tak sengaja menemukan rekannya itu tengah duduk sendiri di pantry sambil memijat kening.

Lelaki bernama Luhan itu menggeleng pelan. Kemudian tersenyum sambil berkata,"aku baik. Hanya sedikit pusing. Mungkin, karena telekinesisku akhir-akhir ini yang kurang stabil."

Suho mengangguk lalu menyuruh Luhan untuk beristirahat. Xiao Lu, atau biasa dipanggi Luhan merupakan lelaki berdarah China. Suho bertemu dengannya saat bersama-sama menempuh pendidikan formal di salah satu universitas di Inggris.

Luhan memiliki kemampuan telekinesis yang hebat. Ia juga dapat bertelepati walaupun tidak sehebat telekinesisnya. Mengingatkan Suho kepada salah satu rekan mendiang kakeknya dahulu. Hal itu pula yang membuat Suho mengajak Luhan untuk menjadi salah satu guru di sekolahnya.

"Oh, iya. Bagaimana keadaan muridmu?"tanya Luhan sebelum benar-benar beranjak dari dapur untuk kembali kamarnya.

"Masih sulit, tapi akan terus kucoba."jawab Suho sambil menuang segelas air putih, lalu meneguknya. Luhan mengangguk paham.

"Selamat malam Suho."pamit Luhan lalu meninggalkan Suho yang kini sendirian di dapur.

"Profesor?"

Suho menoleh dan mendapati salah satu anak didiknya berdiri di belakangnya.

"Ada apa Nancy? Kau sudah makan malam?"tanya Suho lalu menghampiri gadis manis itu. Seorang mutan berusia dua belas tahun.

Gadis itu mengangguk. "A-aku takut tidur di kamar karena.."

"Teman sekamarmu yang tidak bisa tidur dengan lampu menyala?"

Suho tersenyum melihat gadis itu mengangguk pelan-pelan. Lelaki itu pun langsung menggandeng tangan Nancy menuju kamarnya di lantai dua. Beberapa kali ia membisikkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Begitu membuka ruangan yang berisi empat tempat tidur itu, Suho disuguhkan pemandangan ruangan gelap serta teman-teman Karin yang sudah terlelap. Lelaki itu pun langsung menyuruh Nancy untuk berbaring.

"Tidurlah. Aku akan menemanimu di sini." Suho menunjuk sofa di ujung kamar tersebut.

Nancy pun mengangguk. Gadis itu langsung berbaring di tepat tidurnya. Setelah Suho merapikan selimut untuk si mutan kecil, lelaki itupun langsung duduk di sofa. Jendela di kamar itu sudah tertutup tirai putih. Menghalangi pandangan Suho keluar.

Diam-diam dia masih memikirkan bagaimana cara melindungi mutan-mutan di sekolahnya. Muridnya. Keluarganya saat ini. Tak bisa dipungkiri bahwa ia sedikit takut apabila tim anti-mutan dari pemerintah tiba-tiba mengetahui identitas asli sekolahnya.

Suho menghela napas, membawa pandangannya menuju Nancy lalu setelahnya ia ikut terlelap di sofa.

-

Baekhyun mengunci dirinya di kamar. Napasnya tersenggal. Akibat berlari dengan lutut terluka serta rasa ketakutan. Untungnya Baekbeom dan istrinya sudah tidur, tentu saja. Lelaki manis itu terus menggigit bibirnya. Panik. Bingung. Entah kata apalagi yang bisa mendieskripsikan perasaannya.

Kamarnya masih sama seperti tadi tadi pagi sebelum ia berangkat. Berarti Baekbeom maupun istrinya tidak masuk ke kamarnya sama sekali. Masih gelap.

Lelaki bersurai hitam dengan sedikit highlight merah itu kembali melihat tangannya. Lalu mengalihkan pandangannya menuju lampu meja di atas nakasnya. Secara ajaib, lampu itu langsung menyala. Baekhyun melebarkan mata bulan sabitnya.

"I-ini.. tidak masuk akal."gumamnya.

Setelah menaruh tasnya di meja belajar, tanpa berganti pakaian lelaki itu pun langsung menuju ke tempat tidur. Ya, ia berusaha melupakan kejadian yang menimpanya malam ini. Berharap ia hanya berhalusinasi akibat terlalu banyak meneguk vodka. Ia memakai selimut tebal untuk menghalau hawa dingin yang tanpa sadar membuat lukanya bergesekan dengan kain itu.

Baekhyun mendesis pelan. Sambil memejamkan mata, pelan-pelan ia mengusap lututnya yang sakit. Sepertinya darahnya sudah mengering. Yang ia harapkan saat ini, bahwa ini semua hanya halusinasinya semata. Besok pagi, ketika ia membuka mata pasti semuanya akan baik-baik saja.

-

Suho terbangun saat matahari masih malu-malu untuk muncul menyapa wilayah utara New York itu. Ia sedikit merenggangkan badannya yang terasa sedikit pegal akibat tidur dengan posisi duduk. Karena kelas baru dimulai jam 7, Suho memutuskan untuk tidak membangunkan Nancy dan teman-temannya. Ia membawa kakinya menuruni tangga, menuju dapur kemudian melihat Kyungsoo dengan apronnya yang sudah berkutat dengan alat masak dan bahan makanan untuk menyiapkan sarapan.

"Hey."sapa Kyungsoo yang menyadari ada getaran yang berasal dari belakangnya. "Mau waffle?"tawar Kyungsoo.

Suho menggeleng, lalu tampak berpikir. "Mungkin secangkir kopi. Aku akan mandi dulu, Soo."

"Akan aku antar langsung ke ruanganmu, Prof."balas Kyungsoo.

Setelah Suho pergi, beberapa murid datang untuk membantunya memasak dan menata sarapan ke ruang makan bersama. Kyungsoo bertemu Suho ketika ia tersesat di New York. Ia merupakan mutan yang dapat memanipulasi tanah, termasuk batu dan pasir. Ketika ia dan keluarganya berlibur ke bukit Hollywood, gempa tiba-tiba datang.

Ketakutannya untuk mengendalikan kekuatan mutannya saat itu membuat ia dan keluarganya tertimbun tanah. Kyungsoo takut, bagaimana nasibnya jika keluarganya tahu anak bungsu mereka bukan 'manusia normal'. Entah mengapa ia selamat dan terbangun di rumah sakit. Lalu ketika ia ingin mencari keluarganya, ia pun bertemu Suho. Dengan bantuan cerebro dan kekuatan milik Suho ia mengetahui bahwa keluarganya tidak selamat, Suho pun menawarkan Kyungsoo untuk tinggal di mansionnya—sekolah mutan ini, dan menjadi salah satu guru di sana.

"Soo?!"

Kyungsoo menoleh dan mendapati seorang wanita cantik dengan rambut blonde berdiri di belakangnya. Di samping wanita itu berdiri seorang lelaki tinggi dengan kulit yang sedikit kecoklatan. Sangat eksotis. Kyungsoo pun langsung mematikan kompornya, melepas apronnya dan langsung menghampiri si wanita blonde tersebut.

"Irene? Kau? Sejak kapan kau ada di New York?!"tanya Kyungsoo.

"Pagi ini, oh, Kyungsoo perkenalkan ini kendaraanku, Kai."jawab Irene. "—dan Kai, ini Kyungsoo. Salah satu guru di sekolah ini."

"Hai."sapa Kyungsoo yang dibalas anggukan oleh Kai.

"Anyway, di mana Suho? Ada hal penting yang harus aku bicarakan. Apa dia di ruangannya?"tanya Irene.

"Dia bilang masih mandi, tapi kau bisa menunggu di ruangannya, ah, tunggu sebentar." Kyungsoo mengambil nampan lalu menaruh beberapa waffle dan tiga cangkir kopi. Kemudian ia memberikan nampan itu pada Irene. "Kau bisa membawa ini ke sana."

Irene berdecih namun tangannya masih menerima nampan tersebut. "Thankyou so much, Soo." Irene berkata sambil membuang muka. "Ayo Kai."

Sementara Kyungsoo malah terkikik. Mengerjai Irene yang sudah lama tak ia lihat membuatnya senang. Ada hiburan juga pagi-pagi, batinnya.

-

"Baekhyun, semalam kau pulang jam berapa?"tanya Baekbeom sambil menyantap bacon-sandwich dan telur mata sapi buatan istrinya, Nicole.

"A-aku pulang jam.." Bola mata Baekhyun bergerak ke kiri dan kanan. "Uh, jam 9 hyung."jawabnya asal.

Nicole yang mendengarnya tersenyum geli.

"Oh ya? Aku tidur pukul 10 ngomong-ngomong."balas Baekbeom menatap si bungsu tajam.

"Sebelas hyung, maafkan aku." Baekhyun menunduk.

"Sudah kubilang, tidak lebih dari jam 9 Baekhyun! Kenapa kau suka sekali membantahku? Kemana kau pergi bersama teman-teman kurang ajarmu itu?"

Nicole menatap Baekbeom tak percaya. Baru kali ini suaminya marah seperti itu pada Baekhyun. Wanita cantik itu tahu, akhir-akhir ini Baekbeom memang terlalu banyak pikiran namun ia tak menyangka suaminya akan meluapkannya pada Baekhyun.

"Katakan padaku, Baekhyun. Apa kau pergi ke club?"tanya Baekbeom lagi.

Baekhyun terdiam menatap makan dipiringnya. Selera makannya meluap begitu saja. Baekbeom berdecih.

"Sudahalah, Baekbeom."ujar Nicole.

"Kalau tidak di beritahu seperti ini, dia pasti akan mengulanginya lagi, Nic."balas Baekbeom. "Baekhyun, mulai sekarang kau akan berangkat dan pulang bersamaku. Kalau sampai aku masih melihat kau berteman dengan anak-anak yang tidak tahu aturan—"

"TEMAN-TEMANKU TIDAK SEPERTI ITU, HYUNG!"

Bum!

Baekhyun berteriak sambil berdiri spontan. Lampu gantung yang ada di ruangan itu langsung meledak. Ketiga orang itu langsung menengok ke arah lampu yang sekarang tinggal kabelnya saja sementara pecahan kaca dari lampu itu berceran di lantai.

Mata sipit Baekhyun sedikit membola. Jantung lelaki manis itu berpacu kencang. Antara meluapkan amarah kepada kakaknya, dan kaget karena ternyata efek yang semalam masih ada. Baekhyun lantas menunduk melihat lututnya. Bersih tanpa luka apapun. Bodohnya ia baru menyadari sekarang, pantas saja sedari tadi ia mandi tak ada rasa sakit di kakinya. Padahal ia yakin lututnya tergores jalan cukup keras.

"I-ini bukan mimpi?"gumamnya lalu menatap ke tangannya. Baekhyun pun langsung menyambar tasnya dan meninggalkan flat itu. Mengabaikan teriakan Baekbeom dan Nicole yang memanggil-manggil namanya keras.

'A-apa yang sebenarnya terjadi padaku?'pikir Baekhyun sambil terus berlari.

)( tobecontinued )(

a/n: hai halo! ini adalah ff kedua aku, and this is chaptered. anw, ff ini terinspirasi (of course) dari x-men apocalypse terutama wkw dan exodus semoga kalian gak bingung ya? jadi chapter pertama ini masih dikit wordsnya takut klean gumoh/ngaaaa hehehe dan settingnya dunia setelah para mutant awal itu udah mati (prof. x, magneto, mystique) jadi ini semacem generasi baru mutant gitu lah ya.

daaan buat yang udah review di ff aku yg hopeless, I'm really thankyou! Makasih buat kritik dan sarannya, ada sih niat mau di sequel/dichapterin juga tapi masih nyari2 ide dolo yak.

soooooooo buat kritik dan saran, mohon reviewnya?