Tittle: Black Brothers
Summary: Ketika seorang Draco Malfoy tidak lagi sepaham dengan ayahnya, dan Harry Potter kehilangan kepercayaannya pada orang-orang yang ia anggap keluarga. Takdir baru tercipta dan sisi lain terbentuk.
Disclaimer: This story is mine. But not with the characters.
Warning: Typos, OOC, absurd, etc.
Genre: Fantasy, Adventure.
.
.
.
Black Manor, French.
Manor itu benar-benar sangat besar dan indah. Draco ingat kenangan-kenangan masa kecilnya ketika ia berada di sini dulu. Benar-benar kenagan yang indah. Namun kini, ia nampak menghiraukan semua itu. Pandangannya yang kosong mengarah pada peti mati yang dibuat dengan baik dihadapannya. Bukan peti matinya yang menyebabkan semua itu sebenarnya, lebih karena sosok yang terbaring di dalamnya.
Di sana terbaring seorang wanita berambut pirang dengan beberapa helai berwarna hitam, dan menggunakan gaun putih bersih yang begitu indah. Ia begitu cantik, bak ratu atau dewi yang kerap dikisahkan dalam dongeng.
Draco nampak meletakkan seikat bunga mawar putih yang dengan hati-hati dalam genggaman sang ibu. Ya, wanita itu adalah ibunya, Narcissa Malfoy. Seorang ibu yang luar biasa menyayanginya, bahkan rela menyerahkan nyawanya sendiri untuk kebebasannya. Untuk keinginannya.
Mengingat semua itu, membuat Draco mengepalkan tangannya erat. Rambut pirang platinum yang biasanya tertata rapi itu kini nampak berantakan akibat gelombang sihirnya yang agak tidak terkendali. Bibir tipisnya nampak pucat dengan membentuk garis lurus menandakan kekesalannya. Manik aquamarine-nya nampak memancarkan kesedihan yang luar biasa, namun di saat yang bersamaan terpancar tekad yang kuat untuk membalas kepadanya. Kepada sang ayah, Lucius Malfoy, yang telah membuat ibunya sebegini menderita.
Draco ingat dengan jelas apa yang membuat semua ini terjadi. Hari itu ia diajak oleh pergi ke sebuah desa kecil penyihir di pinggiran kota London. Semua itu berjalan lancar pada awalnya, namun berubah menjadi malapetaka ketika seorang bocah muggleborn menabrak ayahnya lalu menumpahkan seluruh jus labu yang dipegangnya ke jubah mahal milik sang ayah.
Tentu ayahnya langsung kesal dan melemparkan mantra Crucio pada sang bocah malang. Ia tahu apa yang ayahnya lakukan itu adalah perbuatan yang tidak benar. Jadi Draco berusaha menghentikannya. Draco melemparkan mantera pelucut, namun gagal karena sang ayah sudah terlebih dahulu menyadarinya.
Draco pun berusaha memohon pada ayahnya. Hal itu malah membuat mereka jadi pusat perhatian warga desa. Ayahnya nampak luar biasa marah kepadanya. Kesempatan itu digunakan Draco untuk menyuruh sang bocah kabur. Dengan itu sang bocah pun lolos, tetapi bencana untuk Draco.
Saat itu, sang ayah langsung menggeret tangannya dengan kasar dan ber-disapparate kembali ke Malfoy Manor. Sesampainya di sana, Draco langsung dihadiahi mantera Cruciatus berkali-kali. Tentu hal itu membuat Narcissa kaget bukan main. Ia dengan cepat menghentikan Lucius, namun serangan Lucius malah berbalik ke arahnya. Kali ini bukan hanya Crucio yang didapat Narcissa, namun juga mantera pemotong dan lain-lain. Lucius terus-menerus menyalahkan Narcissa tentang bagaimana pengkhiatan Draco terhadap nama Malfoy dan dirinya.
Draco pun berusaha menghentikan sang ayah dengan melempar buku yang ada di rak di dekatnya, dan berhasil. Segera dihampirinya sang ibu yang sudah tak berdaya karena kehilangan banyak darah akibat luka potong yang dideritanya. Draco ingat saat itu ayahnya mengatakan, "Jadi begini caramu mendidik anakmu? Kau benar-benar mengecawakanku Narcissa. Kalian seperti aib bagi keluarga ini sekarang. Untuk itu, aku akan segera mengakhiri pernikahan kita. Dan untukmu Draco, aku akan menghapus namamu dari keluarga ini. Kini Narcissa, kau bisa kembali ke keluargamu yang telah hancur berantakan anak tidak berguna itu bersamamu. Kurasa keputusanku untuk menikahi Ariana Trancy adalah keputusan yang bagus. Dia dan anaknya lebih dari apa kalian sekarang ini. Jadi, segeralah pergi dari hadapanku! Aku tak sudi melihat wajah kalian lagi." Dengan itu Lucius pergi dengan senyum sinis di wajahnya.
Draco memeluk ibunya yang nampak benar-benar sudah sekarat saat itu. Air mata terus mengalir dari kelereng aquamarine yang begitu persis dengan miliknya. Ibunya tersenyum, lalu mengangkat tangannya untuk mengelus pipi Draco sayang. Senyum indah terlukis di wajah cantiknya.
"Draco..."
Draco rasanya ingin menangis ketika melihat ibunya yang terlihat begitu kepayahan. Tapi ia tetap menampilkan senyum khasnya."Ya, Mother?"
Narcissa tampak melepas kalung perak dengan batu obsidian hitam dari lehernya, lalu menyerahkannya pada Draco.
"Draco, ambil kalung ini. Ini adalah portkey menuju Black Manor di Perancis. Bawa ibu ke sana. Paswordnya adalah Tojours Pur. Ingat baik-baik, itu adalah motto keluarga Black..."
Draco menerima kalung itu, menggenggamnya bersama tangan halus sang ibu yang mulai mendingin.
"Draco, son... Kau pasti akan mengalami kesulitan setelah ini. Untuk kehilangan nama keluargamu. Klaimlah nama Black, itu akan membantumu nanti. Tetapi, son... bolehkah ibu meminta padamu?"
Mendengar itu, Draco segera mengangguk. Dieratkannya pelukannya pada tubuh sang ibu.
"Hidupkanlah nama Black sekali lagi, son. Bawalah nama keluarga kita pada kejayaannya. Buktikan pada ayahmu, buat ia menyesal. Ibu percaya kau pasti bisa."
Draco kembali mengangguk. Kali ini disertai perasaan penuh tekad dan keyakinan. Kebanggaan itu mengalir dalam dadanya. Ia adalah seorang Black.
Melihat itu Narcissa tersenyum, napasnya mulai melemah. Kebahagian itu datang menghangatkan hatinya. Ia bisa mengandalkan Draco.
"Ingatlah, son... Ibu selalu bangga padamu. Apapun yang terjadi, ingatlah..."
Mengambil napas panjang, sekali lagi Narcissa tersenyum lembut penuh kehangatan kepada sang anak.
"I-bu... sela-lu... men-cintai... mu...Draco. Tojours Pur."
Dan mereka pun ber-disapparete menuju Black Manor.
Saat mereka tiba di sini, sang ibu telah tiada. Dari situ, Draco menyiapkan pemakaman sang ibu dibantu Claude, seorang butler yang telah mengabdi lama pada Lord Black. Dan kini mengabdi kepadanya.
"Mother..."
Draco nampak menghela napas dalam-dalam. Lidahnya kelu dan terasa begitu pahit. Kematian sang ibu benar-benar memukulnya dengan begitu hebat. Namun dari sana juga muncul tekad dan harapan, milik sang ibu yang kini diwariskan padanya.
"...Aku akan mewujudkan semua keinginanmu, Mother."
Ekspresi Draco melunak, seiring dengan senyum lembut yang terukir di wajah tampan nan aristokrat miliknya.
"Young master~"
Seorang pria tampan berpenampilan ala butler nampak berada di ambang pintu. Dengan rambut hitam lalu manik keemasan yang kini menatap Draco.
"Pemakamannya telah siap."
Draco mengangguk, membiarkan Claude menyelesaikan pemakaman ibunya. Dengan itu, ia segera menuju ke ruang belajarnya. Bagaimanapun, banyak yang masih ia harus lakukan setelah ini. Salah satunya, mencari anggota keluarga Black yang masih tersisa. Selain itu, ia masih harus menyusun berbagai rencana untuk ke depannya. Mengingat ia bukan seorang Malfoy lagi, ia harus merencanakan semuanya dari awal. Hah, Benar-benar.
.
.
.
Harry benar-benar lelah. Seluruh tubuhnya rasanya benar-benar sakit dan remuk. Musim panas ini benar-benar musim panas yang buruk. Harry diharuskan menjalankan banyak tugas dari Aunt Petunia. Belum lagi emosi Uncle Vernon yang tidak terkendali, membuatnya menjadi sasaran pukul hampir setiap hari. Ditambah permainan 'Harry hunting' yang masih saja dimainkan oleh Dudley dan kawan-kawan.
Jadilah ia kabur dari Privet Drive. Dan tidak tahu ingin pergi ke mana, padahal ini malam hari. Saat ini saja ia sedang beristirahat di bangku taman dengan Hedwig yang terkurung dalam kandang di atas kopernya. Ia berusaha mangatur napasnya agar tubuhnya berhenti bergetar.
Rasanya Harry tidak mengerti dengan alasan Dumbledore menempatkannya di sana. Demi keamanannya? Omong kosong. Bisa saja Harry aman dari gangguan luar. Tapi dari dalam? Bahkan Harry sendiri tidak yakin ia bisa bertahan sampai tanggal 1 September atau tidak. Sungguh 12 tahun terakhir adalah sebuah keajaiban.
Mengingat semua itu, membuat Harry mengingat pengkhianatan terhadapnya yang dilakukan orang-orang yang ia anggap keluarga dan teman.
Harry nampak melangkah dengan cepat menuju kantor Dumbledore. Harry tidak sabar untuk bertemu dengan keluarga Weasley lagi, dan melihat keadaan Ginny. Hermione bahkan sudah berada di sana. Saat sudah sampai di depan Gergoyle, Harry dengan segera mengucapkan password-nya.
"Lemon drop."
Dengan begitu, patung Gergoyle itu pun berpindah dan menunjukkan tangga menuju ke atas, ke kantor Dumbledore. Tanpa menunggu waktu lagi, ia pun menaiki tangga ke atas.
Namun di tengah ketergesaannya itu, Harry mendengar percakapan yang membuatnya terhenti mematung di depan pintu.
"Dumbledore aku rasa sudah cukup, aku tidak bisa membiarkan anak-anakku dalam bahaya karena Potter itu. Sudah cukup Ronald dan Ginny, besok siapa lagi? Fred? George? Percy?" Itu suara Mrs. Weasley.
"Molly tenanglah." Mr. Weasley terdengar menenangkan si ibu yang emosi.
"Bagaimana aku bisa tenang? ANAK ITU BENAR-BENAR MEMBAWA PENGARUH BURUK BAGI ANAK KITA!"
"Molly, apa kau serius?" Terdengar suara Professor Dumbledore. "Kau benar-benar ingin menyia-nyiakan kesempatan ini?"
"Professor Dumbledore benar Mom, kalau bukan karena Harry, mana bisa aku menjadi terkenal? Aku masih ingin jadi pemain Quiditch terkenal, Mom. Harry akan mempermudahnya." Ini Ron.
Keheningan nampak mengisi ruangan itu. Sejenak tak ada orang yang berbicara. Tiba-tiba Ginny memecah keheningan.
"Mom, lagipula kau juga sudah berjanji akan menikahkan aku dengan Harry bukan?"
"Tapi.."
"Tapi apa, Mom? Bayangkan kekayaan yang akan kita dapat!" Ron dengan cepat memotong perkataan Mrs. Weasley.
"Aku setuju dengan Ronald, Mom. Hidup kita akan serba enak. Kita tidak perlu kesulitan lagi. Kita tinggal memanfaatkan kekayaan Potter, jika Ginny benar-benar menikah dengan anak itu." Suara Percy terdengar membuat Ginny puas.
"Arthur?"
Mendengar suara Molly, Arthur segera menjawab. "Apa yang dikatakan anak-anak benar, Molly. Aku pun benci menempatkan anak kita dalam bahaya. Tapi kita tetap harus memerankan peran ini."
Dumbledore terdengar senang, "Mrs. Grangger?"
"Aku akan tetap menjadi temannya..."
Di sini Harry tampak begitu bahagia, akhirnya ada yang berpihak padanya. Harry mendengarkan Hermione lebih jauh lagi.
"... kesempatan untuk menjelajahi perpustakaan keluarga Potter, tentu saja tidak bisa dibiarkan. Bayangkan seberapa banyak pengetahuan yang bisa aku dapatkan dari sana. Bagaimanapun kau sudah berjanji padaku Professor Dumbledore."
Harry kembali mematung mendengar pernyataan itu. Sudah cukup dengan keluarga Weasley, Hermione juga, lalu Dumbledore. Semuanya...
Dumbledore tertawa kecil mendengarnya, "Bagus sekali, Mrs. Grangger. Aku berharap banyak darimu."
"Apa kalian ingin menambahkan, William? Charlie? Atau Fred dan George?"
Keheningan kembali melanda. Bahkan Harry menahan napasnya. Bersiap untuk apapun yang akan datang.
"Tidak..."
Terdengar beberapa orang terkejut di dalam.
"...Aku tidak akan mengikuti kalian. Jika Harry benar-benar membutuhkan teman, atau seorang kakak, maka aku akan ada di sana untuknya. Tanpa meminta balasan sedikitpun. Jadi maaf."
Bill terdengar dengan tegas menyampaikan maksudnya. Charlie menambahkan tak kalah tegas, "Aku pun begitu. Dan tak ada yang bisa mengubah keputusanku."
"William, Charlie, mengapa...?"
"Jangan tanya mengapa Professor-
"-bukankah sejak awal-
"-kami berempat sudah tidak-
"-setuju dengan rencana kalian?"
Fred dan George berbicara dengan bersahutan.
"Tapi-
"Tidak Professor Dumbledore! Maaf." Charlie memotong perkataan Dumbledore, kemarahan tersirat dengan jelas di sana. Setelah itu keheningan kembali memenuhi kantor itu.
Di depan pintu, Harry nampak sudah menangis. Tubuh mungil itu bergetar. Bibir plum itu nampak sudah memerah dan berdarah karena digigit terus menerus oleh Harry. Kedua manik emerald-nya nampak mengisyaratkan kesakitan yang sangat.
Mengapa? Mengapa mereka mengkhianatinya? Mengapa Dumbledore memperalatnya? Mengapa bahkan Mr. Dan Mrs. Weasley juga ikut serta?
Setidaknya Harry masih bersyukur, masih ada yang menyanyanginya dengan tulus. William, Charlie, Fred dan George. Harry akan mengingat nama mereka.
"Terima kasih."
Dengan itu Harry segera berlari keluar dari kantor Professor Dumbledore.
Mengingat semua itu, hanya menambah kesakitannya. Bahkan sekarang tubuh mungil itu tambah bergetar hebat. Air mata terus menerus mengalir dari manik emerald bak boneka itu. Bibir plumnya juga nampak memerah, walau tidak berdarah.
Tangan kecilnya nampak berusaha menghapus air matanya, pipinya sudah kemerahan. Harry juga masih harus menahan sakit dari luka di sekujur tubuhnya. Beberapa tulangnya bahkan mungkin telah bergeser, retak atau bahkan patah.
Merlin, ini sakit sekali.
Meski begitu, sebuah senyum kecil juga hadir di bibirnya. Sebenarnya saat ia membersihkan kamar Aunt Petunia beberapa hari yang lalu, Harry menemukan catatan yang merupakan milik ibunya, Lily. Hebatnya catatan itu bukan hanya di tulis oleh ibunya, tetapi juga ditulis oleh ayahnya, Sirius, Remus, dan Peter.
Dari sana Harry mendapatkan banyak fakta tentang kedua orang tuanya, the Merauders dan kejahilan mereka, bahkan dirinya.
Harry baru tahu bahwa ibunya ternyata bukan seorang muggleborn, melainkan seorang pureblood. Saat itu orang tua Lily tewas karena kecelakaan saat di desa kecil muggle, jadi ibunya diserahkan di panti asuhan lalu diadopsi oleh keluarga Evan. Nama asli ibunya adalah Lilieth Elizabeth Midford.
Jadi secara teknis, Harry tidak ada hubungan darah dengan Aunt Petunia. Yang artinya Blood Ward ini selama ini sia-sia. Jadi Harry rasa tidak ada gunanya juga ada di sana. Dan ia seorang pureblood. Haruskah ia gembira?
Selain itu, Sirius Black juga mengganggu pikiran Harry. Kabar kaburnya tahanan si pembunuh massal Black mau tak mau membuatnya penasaran. Akhirnya Harry pun mulai mencari tahu melalui Daily Phropet. Mengingat itu satu-satunya penghubung antara dirinya dengan Wizarding World. Berdasarkan pernyataan di sana, Black ditangkap karena membunuh Peter Pettigrew dan 13 muggle lainnya melalui ledakan. Selain itu, ia juga didakwa mengkhianti kedua orang tuanya sebagai secret keeper, dengan memberikan rahasia alamat rumahnya yang berada di bawah Felidius Charm kepada Voldemort.
Tetapi, berdasarkan catatan kedua orang tuanya Sirius Black bukanlah secret keeper mereka. Melainkan Peter Pettigrew. Dan Sirius adalah ayah baptisnya.
Merlin, ia punya ayah baptis.
Jadi ada kemungkinan Sirius tidak bersalah. Bahkan mayat Peter Pettigrew tidak ditemukan, kecuali potongan jari miliknya. Ini meningkatkan kecurigaan Harry. Lagipula Harry seakan tahu bahwa semua itu bukan ulah Sirius melalui penglihatan yang entah mengapa terus mendatanginya akhir-akhir ini.
Harry harus segera mendapatkan bantuan. Harry tidak mau satu-satunya keluarganya, ayah baptisnya, menderita karena tuduhan tak berdasar. Tapi kepada siapa ia harus meminta bantuan? Apa salah jika Harry berharap mengenai Sirius? Ia harap tidak.
Rasanya Harry benar-benar ingin berubah. Ia akan membuktikan bahwa dia bukan Harry yang dulu lagi, Harry yang lemah. Harry yang sekarang akan menjadi jauh lebih baik dan berbeda. He is his own man, after all. Dan hal itu akan dimulai dengan mencari kebenaran tentang Sirius Black. Ia akan membanggakan orang tuanya. Tidak peduli sebagaimana sulitnya.
Harry rasa Wizarding World perlu bersiap untuk dirinya yang saat ini. Ia sudah bertekad, dan tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Kalau dipikir lagi, keputusan sorting hat untuk menempatkannya di Slytherin adalah keputusan yang benar. Sungguh sebuah ironi ia lebih memilih Gryffindor saat itu.
Kelelahan berpikir, Harry pun tertidur di bangku taman itu. Tanpa menyadari sesosk bayangan hitam pekat yang mengintainya sedari tadi.
Akhirnya bayangan itu mendekat ke arah Harry, menunjukkan sosok aslinya. Pria itu terlihat begitu tampan bahkan terkesan bukan manusia dengan rambut hitam kelam dan manik ruby yang nampak bersinar di kegelapan.
Tersenyum sedih, ia menyelimuti tubuh mungil Harry dengan selimut tebal yang entah ia dapatkan darimana.
"Ternyata Anda disini, young master. Saya sudah mencari Anda ke mana-mana."
Sosok itu nampak meggendong tubuh Harry dengan mudah sambil membawa kopernya. Berusaha selembut mungkin sehingga Harry tidak terbangun. Lalu secepat kilat pergi dari sana.
To Be Continued...~