Grave Robbers: Side Story

Wu Xie / Zhang Kylin

Disclaimer: I don't own the grave robbers' chronicles and casts. This is just a fanfic of grave robbers chronicles film and novels.

Enjoy.

Chapter 1

.

.

Aku seorang pengusaha. Bisnisku berhubungan dengan barang antik, terutama penemuan sejarah karena dulunya aku belajar untuk menjadi seorang arkeolog. Bakat itu turun temurun dari keluargaku, entah sejak kapan. Namun aku tidak memilih untuk menjadi seorang arkeolog seperti anggota keluargaku lainnya. Cukup bagiku untuk menjadi seorang pengusaha, meneliti asal-usul dan memperkirakan segala kemungkinan harga yang dapat diberikan. Memang sebagian besar barang-barang tersebut akan berada di tempat pelelangan.

Hari ini pun, aku juga berada di toko bersama seorang pegawai yang kupekerjakan sebagai asisten, mengingat aku butuh dan ia juga sedang belajar di bidang arkeolog. "Tuan Wu Xie, klien kita, Chen Ah menginginkan kita untuk membawakan bebatuan perunggu peninggalan Dinasti Qing ke kediamannya malam ini."

Asistenku, Lao Yang juga menjadi manajer bagiku. Mengatur jadwalku untuk bertemu dengan setiap klien. "Malam ini? Jam berapa?" tanyaku.

"Jam delapan."

Aku mengecek pesan dari pamanku, Uncle Three yang menyuruhku untuk datang ke rumahnya malam ini. Setengah Sembilan, harusnya sempat kalau Bapak Chen itu tidak menyuruhku hal lain.

Aku memberi tanda oke dengan jari jempolku pada Lao Yang.

Bapak Chen Ah adalah seorang kolektor barang antik yang ia dapatkan dari lelang. Meski dia tidak tahu rincian barang antik yang dimilikinya, ia cukup telaten untuk memastikan keasliannya. Di rumahnya, koleksi miliknya sudah terpajang sejak dari koridor pintu masuk.

"Selamat malam, Pak Chen," ujarku bersama Lao Yang.

"Wu Xie! Akhirnya kau datang," seru bapak tua itu.

Ya, dia sudah 70 tahun lebih. Tapi dia lebih suka dipanggil bapak daripada kakek. Bersama istrinya, Nyonya Chen ikut duduk di ruang tamu setelah menghidangkan kami cemilan serta teh Cina.

"Saya sudah bawakan batu perunggu Dinasti Qing yang bapak minta. Silahkan di cek kembali."

Memakai jas ke rumah seorang klien sebenarnya hanyalah formalitas bagiku. Kakek Chen Ah itu memperhatikan bebatuan perunggu yang kubalut dengan kain. "Hmm, tidak ada perbedaan dengan yang kulihat. Aku bisa menjamin keasliannya, Wu Xie?"

"Tentu saja pak, saya akan mengembalikan bayaran anda jika perunggu itu palsu," ucapku meyakinkan.

Kakek Chen beserta istrinya terlihat puas. Senang rasanya satu lagi barang antic terjual pada seorang kolektor sejati. Aku bisa menjamin keamanan barang tersebut.

Tidak basa basi, kami berjabat tangan dan menandatangani bukti transaksi. Aku segera melucur ke rumah pamanku mengingat janji kami pukul setengah sembilan malam. Aku menyuruh Lao Yang untuk menutup toko dan pulang.

Sesampai di rumahnya, pamanku sudah menunggu kedatanganku. "Wu Xie! Kau hampir terlambat, nak," kata pamanku.

Aku mengerutkan kening. Memang, jika di pesan ia memberi peringatan seperti 'ASAP' atau 'urgent' dan lainnya pasti ada hal penting. Lewat dari jam janji, pasti benda yang ingin ditunjukkan padaku sudah tidak ada.

"Ini pas setengah sembilan."

"Ya. Kau datang tepat waktu."

Pamanku seorang arkeolog. Benar-benar arkeolog sejati sampai mendatangi dan mencari barang-barang peninggalan yang ada selain mengajar sebagai dosen. Ia tidak menjual barang peninggalan sepertiku. Ia hanya mempelajarinya dan memastikan asal-usulnya. Aku biasa membawa barang penemuan yang kutemui dari berbagai klien ke pamanku untuk ia teliti latar belakangnya.

"Jadi, kali ini ada barang apa yang ingin kau tunjukkan, paman?"

Uncle Three, namanya Wu Sansheng tapi yang lainnya memanggil pamanku dengan 'Master Three' sehingga aku menjadi juniornya jika ada rekan kerja pamanku datang. "Tidak ada."

Aku terdiam. "Tidak ada?"

"Ya, aku menyuruhmu ke sini bukan untuk memperlihatkanmu sesuatu tapi memperkenalkan seseorang."

Adik ayahku ini, yang selalu tergila-gila dengan peninggalan zaman dulu tiba-tiba memperkenalkan seseorang?

"Jangan menganggapku sebagai orang aneh, Wu Xie. Aku tahu isi pikiranmu."

"Maaf, tapi semua orang di dekat paman adalah rekan kerja yang bahkan jarang kutemui. Mereka berkenalan denganku karena kebetulan, bukan paman yang memperkenalkan."

Ia tertawa kecil. Dengan senyum khasnya, ia membalas, "Kau benar. Dia bukan rekan kerjaku dan kurasa akan lebih baik jika dia bersamaku ketimbang denganku yang pergi dan pulang tidak jelas kapan."

Ternyata pamanku sadar akan hal itu. Tapi, bukan rekan kerja? "Jadi, siapa?"

Saat itu juga, pintu depan rumah pamanku terbuka. Aku menoleh untuk melihat siapa yang datang.

"Ah, itu dia orangnya."

Saat pamanku mengatakan bahwa dia yang di ambang pintu yang akan dikenalkan padaku, aku sudah terdiam duluan melihat sosok pemuda tersebut. Ia melepas sepatu boot kulit yang dikenakannya. Semuanya berwarna, dari ujung kepala sampai kaki. Tatapannya dingin, hampir tidak ada ekspresi. Dan kenapa dia pakai sarung tangan?

"Wu Xie, kenalkan. Dia anak dari kenalan lamaku, Zhang Kylin. Master Zhang, ini Wu Xie keponakanku yang akan mengurus keperluanmu selama kau di Beijiing."

Apa katanya? Master Zhang? Mengurus apa?

Aku menatap ke arah pamanku kebingungan. "Maksudnya?"

"Ah, maaf Master Zhang. Aku belum menjelaskan apapun padanya. Mari kita bahas ini sambil minum." Pamanku tiba-tiba bicara dengan formal. Tidak biasanya dia bersikap seperti ini bahkan pada klienku sekalipun. Apakah dia orang yang special?

Laki-laki berpakaian serba hitam itu duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Benar-benar seperti patung. Aku heran melihatnya, apa dia tidak kepanasan di musim panas seperti ini berpakaian tebal?

"Jadi Wu Xie, dia akan tinggal bersamamu selama dia di sini dan Master Zhang juga butuh keperluan sehari-hari. Kupikir kau bisa membantunya untuk hal ini mengingat aku sangat sibuk."

Oke, dia akan tinggal bersamaku sudah cukup mengejutkan. Mari kita tanya sampai kapan dia akan di rumahku.

"Sampai kapan, paman?" ini yang paling penting karena biasanya pamanku…

"Tidak tahu. Bisa sebentar, bisa juga bertahun-tahun sesuai keadaan Master Zhang." Pamanku selalu tidak bisa diprediksi.

Shit.

Aku segera berdiri, menarik pamanku untuk bicara empat mata menjauhi sementara sang Poker-face. Lihat saja, ekspresinya tidak berubah sama sekali.

"Paman, kau serius meninggalkan orang itu di tanganku?" Aku bertanya dengan penuh keraguan. Paman Three hanya mengangguk. Matanya serius, sangat yakin. "Ya, kau tidak ada masalah untuk menampung satu orang lain di rumahmu kan? Kau tinggal sendiri dan sahabatmu juga jarang menginap."

Tak percaya dengan kenyataan ini, aku kembali bertanya, "Siapa memangnya dia? Master Zhang atau si Poker-face itu, apa dia orang penting?"

Tiba-tiba saja paman Three menutup mulutku untuk bicara lebih jauh. "Dengar Wu Xie. Aku memang tidak tahu apapun tentangnya selain nama. Tapi, dia anak dari kenalan lamaku dan aku berutang budi yang seharga dengan nyawaku saat itu."

"Kalau begitu, kenapa harus aku yang mengurusnya?"

Pamanku diam sejenak. "…karena Master Zhang juga bukan orang biasa. Dia punya kekuatan yang—Nanti kau akan lihat sendiri."

Paman Three tidak mengatakan lebih lanjut. Sejujurnya aku tidak mempermasalahkan dia di rumahku, tapi masalahnya adalah waktu dia di rumahku dan identitasnya. Karena paman Three yang membawanya, harusnya aku percaya saja, ya sampai ada masalah baru kulaporkan pada paman.

Kami kembali duduk dan aku mulai membuka pembicaraan. "Jadi, namamu Zhang Kylin? Aku Wu Xie." Mengulur tangan untuk menjabat tangannya, dia tidak langsung bereaksi. Ada jeda beberapa detik sebelum dia akhirnya membalas uluran tanganku.

Rasanya canggung sekali. Dia sama sekali tidak punya ekspresi! "Berapa usiamu? Aku 28 tahun," tanyaku. Dia tidak menjawab.

"Umm… apa pekerjaanmu sampai butuh waktu lama? Kau dari mana?"

Aka memberi pertanyaan lain, tapi dia tidak membalas. Sial, kau membuatku semakin canggung. Meski kau pendiam, jangan acuhkan… "Jadi—kau bisa panggil aku Wu Xie, bagaimana aku harus memanggilmu?"

Paman saja memanggilnya Master Zhang. Artinya dia memang orang penting. Bagaimana cara aku memanggilnya?

"Kylin—kau bisa panggil namaku saja."

Itu kalimat pertama yang kudengar dari mulutnya. Suaranya dalam dan tenang. Benar-benar… poker-face yang hebat. Untung saja aku tidak kebablasan memanggilnya seperti itu. Syukurlah dia membiarkanku memanggilnya seperti biasa.

Paman Three tersenyum lebar. Seolah-olah aku berhasil menemukan benda peninggalan yang sangat ingin ia temukan. Apa itu maksudnya. Jadi, yang kutahu benar-benar hanya namanya saja, aku tidak berhasil mencari tahu tempat asalnya bahkan usianya. Kuperkirakan usia kami tidak beda jauh.

"Master Zhang, setelah ini langsung ikut Wu Xie ya. Wu Xie, aku percayakan Master Zhang padanya," kata pamanku dengan penuh kelegaan. Seperti mengantar kepergian anaknya saja… Oh, tidak. Kebebasanku…

Zhang Kylin—Master Zhang sang poker-face itu totally stranger. Aku tidak mengenalnya sama sekali, begitu pula dengan pamanku. Apa jaminan bahwa dia bukan buronan dan aku akan aman jika dia tinggal bersamaku?

Mendesah panjang, aku hanya bisa menerima kenyataan itu. Kuharap selain dia sangat irit bicara, dia tidak akan bertindak aneh.

Sepanjang perjalanan menuju rumahku, dia hanya duduk diam tanpa sepatah katapun. Aku sesekali melirik ke arahnya. Bagaimana bisa aku benar-benar membawa orang asing ke rumahku? Kurasa efek dari pamanku bekerja dengan baik.

Rambut dan matanya hitam legam, jernih. Master Zhang, dia terlihat seperti bangsawan Cina zaman dulu. Mungkin sepulang ini aku harus mencari tahu identitasnya lewat internet. Memparkirkan mobilku di garasi, aku mengajaknya masuk ke rumah portable ku. "Silakan, Kylin. Ini rumahku."

Oh, kecanggungan ini semakin menjadi-jadi. Apa ya berikutnya? Ahh—house tour. "Err… ini ruang tengah, biasa menjadi tempat berkumpul. Ini dapur, yah aku tidak masak banyak. Biasanya pesan atau kawanku datang memasak."

Setelah itu, aku menunjukkan kamar mandi, ruang kerja dan kamar tidurku. Terakhir, aku menunjukkan kamar kosong di sebelah kamarku yang akan menjadi tempat tinggalnya sementara waktu.

"Biasanya ada sahabatku yang suka menumpang di sini. Tapi karena kau akan tinggal di sini, ini menjadi ruanganmu."

Aku mengaharapkan suatu ekspresi di wajahnya. Tapi, lagi-lagi datar. Aku otomatis cemberut karena geram. "…Terima kasih."

Dia mengatakan terima kasih? Aku membulatkan mataku, menatapnya penuh kekejutan. "Aku akan merepotkanmu untuk sementara waktu. Karenanya, bertahanlah."

Poker-face itu mengatakan seolah-olah dia akan menyiksaku. 'Bertahanlah?' Dengan kehadirannya?

Tapi aku hanya tersenyum manis. "Sama-sama. Taruh saja tasmu lalu kita makan malam."

Poker-face langsung menaruh tasnya di atas kasur. Kemudian kembali padaku seolah mengatakan, "Ayo makan," lewat tatapan datarnya.

Aku berjalan menuju meja makan di mana aku hanya perlu memanaskan makanan sisa tadi siang. Sebenarnya aku mau membeli makanan lain karena Poker-face. Takut sisa makanan tidak cukup. Ternyata aku tidak perlu. Ia makan lebih sedikit dari yang kupikirkan.

Poker-face, Zhang Kylin makan dengan tenang, elegan bak benar-benar seorang bangsawan. Tidak mengucapkan apapun. "Apa makanannya cocok dengan lidahmu?" Dia hanya mengangguk.

Oh, kumohon setidaknya katakan sesuatu. Lama-lama aku bisa mengiramu bisu kalau tidak bicara. Di pikir-pikir, dia hanya bawa tas. Tidak mungkin dia bawa pakaian dan lain-lain. Niatku untuk menyuruhnya mandi dan berisitirahat dari perjalanan jauh sirna. Dia menggeleng ketika kutanyakan apakah dia punya pakaian ganti.

Perlukah kupinjamkan pakaian untuknya? Apakah kami perlu belanja untuk kebutuhkannya. Paman Three, sekarang aku mengerti kenapa kau menyuruhku untuk mengurus Master Zhang ini. Kau tidak bisa sabar menghadapi sikap Zhang yang kelewat dingin, benarkan?

Zhang Kylin terlalu tenang, seperti air danau. Tidak tahu dalam atau dangkal; ada isi atau tidak… Aku berakhir meminjamkan pakaianku padanya. Dia lebih sering tidak membalas, namun aku bisa mengerti seperti telepati. Aneh. Sungguh.

Aku juga mandi di kamar mandi satu lagi, kamarku sendiri. Segar rasanya ketika air panas menerpa tubuhku. Kepalaku terasa segar kembali karena pancuran air, kepenatanku lenyap untuk sementara.

Sementara, karena aku kembali bingung dengan situasi saat ini. Di saat aku hendak menggantung handuk di beranda, aku menemukan Zhang Kylin tertidur di sofa dengan rambut yang masih basah, menutupi sebelah matanya. Deru nafasnya sangat tenang. Bisa kuyakini dia sejak tadi kelelahan karena perjalanan jauh.

Positive thinking, bisa jadi dia tidak terlalu paham bahasa Mandarin karenanya tidak banyak bicara. Mungkin dia lebih ahli bicara logat daerah yang bahkan tidak kumengerti.

"Hei, Kylin. Bangun. Tidurlah di kamarmu." Aku membangunkannya. Dia membuka matanya perlahan, berdiri dengan limbung. "Kau pasti capek." Aku menuntunnya untuk tidur ke kamarnya. Dan dia tertidur pulas begitu tubuhnya terbaring. Tak kusangka dia bisa secepat itu menuju alam mimpi.

Aku menyelimuti tubuhnya, keluar untuk membiarkannya tidur. Lalu kembali bekerja di depan laptop, mengecek email klien dan lain-lain. Lao Yang memberiku pesan bahwa dia sudah membuat jadwal untuk bertemu klien keesokan harinya.

Besok ayahku akan datang, saat itu juga aku baru akan memberitahunya tentang Master Zhang.