Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing : Narusasu
AU!Fairytale, OOC
#BirthdaySasuke2017 #NarusasuFaitytale
"Hanya sebuah fanwork, tidak mengambil keuntungan material apa pun dalam pembuatannya."
.
.
.
Sangkar lebah. Rumahnya. Lagi.
Dua hari berikutnya Naruto mendekam lagi di sini. Sekarang adalah hari keempat dan dia kembali ke sangkar lebah tepat saat Ino memergokinya bersama Sasuke. Gadis peri itu menjebloskannya ke sangkar berlendir dengan kemarahan yang menakutkan. Naruto dijebloskan dengan tuduhan berniat melenyapkan pangeran, padahal saat itu dia hanya bermaksud membantu memberikan minum.
Ngomong-ngomong soal itu, bagaimana keadaan Sasuke?
Pria itu terlihat kesakitan saat Naruto melihatnya terakhir kali. Sekarang sudah terlewat dua hari.
Setelah itu Ino juga berkali-kali datang ke sangkar lebah menanyakan perihal pengakuan Naruto. Pria itu bungkam. Entah kenapa mulutnya terus mengatakan bahwa dia akan menguasai Viridean.
Itu hanya membuat Ino semakin marah dan pergi.
Di hari yang sama pada hari itu, malam harinya, papa peri laki-laki terlihat berhamburan dari selatan portamortalis. Berbondong-bondong melewati sangkar lebah sehingga Naruto menyaksikan. Mereka terlihat tegang saat menuju ke bagian istana utama.
Saat melihat satu peri sendirian, Naruto memanggilnya, "Hei, kau, apa yang terjadi? Kenapa semuanya terlihat panik?"
Awalnya peri itu ragu untuk mendekat, namun dia terpaksa. Dia bertengger dekat dengan tangan Naruto.
"Manusia menebangi pohon-pohon di Natura. Mereka menggunduli hutan. Kami semua dalam bahaya," kata peri laki-laki itu. "Apakah kau tidak bisa memberi tahu mereka untuk berhenti? Kau bagian dari mereka bukan? Apa kau berniat untuk balas dendam?"
Naruto mengangkat sebelah alisnya; sepasang sayap peri itu terlihat agak pudar. Dilihat dari sudut mana pun, peri itu terlihat sangat lemah.
"Sebenarnya apa itu Natura?"
Peri itu menggeleng; enggan bercerita, namun merasa tertekan. "Hutan suci adalah bayangan dari Natura. Manusia tidak akan bisa melihat dunia ini tanpa kehendak kami," dia memulai. "Dewa Hutan memaksa kami melayani penduduk Sanktan karena sebuah perjanjian. Kami dituntut untuk rela menahan penderitaan ketika pohon-pohon kehidupan kami diambil hasilnya. Sejak dulu, peraturan selalu dibuat dan dipertegas, akan tetapi para penduduk seringkali melewati batasan. Kami, para peri, sudah memeringati pangeran agar memberi sanksi kepada mereka, namun pangeran adalah orang yang baik hati. Dia mengambil rasa sakit kami dan membiarkan dirinya sendiri terluka."
"Maksudmu, mengambil hasil alam hutan suci sama saja melukai kalian?"
"Ya. Dulu seperti itu."
"Jadi yang kau katakan tentang pangeran yang mengambil rasa sakit kalian itu artinya—"
"Cukup," peri itu tiba-tiba berseru. "Jangan membuat kami lebih tertekan lebih dari ini. Sudah cukup lama kami para peri kecil dilahirkan dan diberitahu bahwa rasa sakit itu ada, namun pangeran mencabutnya dari setiap kami lahir."
Naruto merasa agak prihatin. Ia bertanya, "Apa kau punya orangtua?"
"Setiap peri lahir dari tunas pohon baru. Jika ada pohon yang baru tumbuh dari dalam tanah, satu peri akan terlahir di Natura," Dia menceritakan ini sambil bergetar. "Saat itu juga pangeran membimbing kami menuju ruang bakat. Membiarkan kami memilih satu dari sepuluh bakat peri pohon."
"Kenapa? Kenapa Sasuke melakukan itu?" Naruto meralat cepat-cepat, "Maksudku kenapa Sasuke mengambil rasa sakit kalian dan mengorbankan dirinya?"
Peri itu terlihat marah. "Kau tidak akan mengerti! Manusia seperti kalian yang hanya ingin kebahagian tanpa bisa merasa puas tak akan bisa mengerti. Kalian menguras hasil pohon, membiarkannya menjadi kering tanpa mengurusnya. Kalian pasti akan—"
Terdengar sebuah jeritan dari dalam istana. Si peri buru-buru menjauh dari jaring sangkar; berniat pergi ke sumber suara. Naruto cepat-cepat menahan.
Sasuke?!
"Tolong," kata Naruto, "pasti kau bisa membuka jaring ini."
"Tidak. Aku tidak punya waktu—"
"Aku bisa menolong Sasuke!" potongnya tergesa, dia tidak tahu bagaimana caranya, tapi dia yakin bisa melakukannya. "Aku pasti bisa menolongnya, kami punya tubuh yang sama besar."
"Tubuh besar bukan sebuah jaminan. Kau hanya manusia biasa, apa yang bisa kau lakukan untuk para peri?"
"Memang belum terpikirkan olehku, tapi aku yakin aku bisa membantu kalian."
Peri itu sebenarnya tidak percaya. Seharusnya dia tidak boleh memercayai manusia. Mereka sudah banyak dikhianati oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
"Katakan dulu, apa yang bisa kau lakukan untuk kami?"
Si blonde kelimpungan. Dia buntu rencana. Namun dia merasa harus melihat Sasuke. Kalau dipikir-pikir sudah beberapa hari dia menghilang di hutan, para pengawal pasti kebingungan mencarinya. Mungkin saja, penebangan hutan yang terjadi ...
Tidak, Naruto tidak mau memikirkan apa-apa.
Otaknya macet.
Si peri akhirnya luluh, dia tahu ada satu cara yang bisa dilakukan. "Sebenarnya ada satu cara yang bisa kau lakukan," katanya. "Tapi, aku harus meminta persetujuan dari para selir pangeran."
"Lakukan apa pun, asalkan kau bisa membebaskan aku dari sini!"
"Asal kau berjanji mengatakan pada Ino dan Sakura bahwa aku membebaskanmu karena kau punya rencana."
Naruto menggusak rambutnya. "Tapi aku tidak punya rencana!"
"Aku punya," peri itu menyentuh jaring, menariknya ke sisi berlawanan dengan sangat mudah. Lalu terbuka. "Hanya kau yang bisa melakukan rencana itu."
Pintu ganda terdorong ke dalam. Peri yang membebaskan Naruto masuk terlebih dahulu. Keduanya melangkah terburu-buru melewati foyer utama menuju pilar-pilar tinggi berwarna putih berdiameter 80 sentimeter. Pilar tersebut menjadi cakar bangunan utama di lantai dua.
Sempat kagum, Naruto menaksir arsitektur bangunan mewah tersebut. Desainnya begaya klasik kolonial seperti kebanyakan istana pusat kota Civalot. Ayahnya punya manor yang mirip-mirip seperti ini. Biasanya bangunan depan memiliki ciri khas berupa pilar bermahkota ukir, memiliki joglo atau balkon tinggi di dekat menara.
Dan istana ini punya banyak menara dengan genting yang mengerucut. Alih-alih terkesan mistis seperti cerita dongeng sihir kebanyakan, tempat ini mungkin pantas dikatakan surga.
"Sai!"
Naruto menoleh, mendengar wanita berteriak. Ternyata Ino, dengan wajah yang awalnya terlihat tegang berubah marah.
"Sai," dia terlihat sulit berkata, "apa-apan ini? Kau menyelamatkannya dari sangkar lebah?" tunjuknya pada Naruto.
Sai membawa Ino menjauh. Berbisik sesuatu, tapi Naruto masih mendengar. "Dia bisa membantu kita, Ino."
Peri ini bernama Sai. Naruto membatin.
"Kau tahu siapa dia, bukan? Dia yang menyebabkan kutukan ini. Dia manusia yang berasal dari Civalot." Ino menggeleng lelah. "Dia dan teman-temannya telah merusak Natura. Rumah kita, Sai!"
Sai memegang bahu Ino cepat-cepat. "Dengarkan aku, Ino. Dia bisa membantu kita. Dewa Hutan berada di Sanktan, dia bisa menyampaikan pesan kita pada Dewa Hutan."
"Percuma," lirih Ino, "segel hutan suci telah dirusak. Portamortalis tidak akan bisa kita buka."
"Apa? I-Itu tidak mungkin."
"Apanya yang tidak mungkin? Kita akan mati dan terjebak di sini!"
Naruto merasakan atmosfer putus asa pada kedua peri ini. Dia berinisiatif untuk berbicara. Tangannya mengepal. Tepat ketika itu juga, teriakan terdengar lagi. Seperti jerit kesakitan. Dan itu berasal dari kamar pangeran.
"Tunggu, dengarkan aku," cegar Naruto, buku jari memutih karena tangan dikepal kuat. "Pasti ada yang bisa aku lakukan. Tolong percayalah padaku."
Ino dan Sai saling bertatapan.
"Aku menghilang dari hutan suci berhari-hari. Aku yakin pengawal dan bahkan ayahku sedang mencari keberadaanku. Mereka mungkin saja murka karena aku tidak ditemukan dimana pun. Aku bisa kembali ke sana, aku bisa menghentikan mereka."
Ya, rencana, Naruto mendapat rencana.
"Portamortalis tertutup. Manusia-manusia itu merusak segel di hutan suci," sahut Ino. "Dan itu karenamu!"
"Pasti ada cara. Aku mohon, pertama-tama pertemukan aku dengan Sasuke."
Naruto terus berdiri bodoh laksana bawahan tak berguna menunggu perintah ketika Sai dan Ino tak mengatakan sepatah kata pun. Mereka bertiga hanya mendengar teriakan pilu pangeran dengan dada berdentam.
"Kita tak punya banyak waktu," Naruto memohon pada detik-detik tegang. "Ino, kau berkata akan membebaskanku jika aku berjanji untuk menjauhi Viridean."
Ino menatapnya.
"Aku akan melakukannya. Tapi, izinkan aku membantu kalian," sambung Naruto, memohon dengan sangat memohon.
Jeritan pangeran terus terdengar, bahkan tangisan Sakura juga. Ino merasa tak punya pilihan lain. "Ikut aku ke kamar pangeran."
Saat mereka menaiki tangga, ada satu peri menghampiri mereka, dia memakai jubah cokelat dan memiliki tubuh kecil seperti peri yang lain. "Ada apa, Kotetsu?" tanya Sai, tegang.
"Mereka berniat membakar Natura."
Ino menutup mulut dengan tangannya. Terkejut. Lalu menatap Naruto dengan tatapan kebencian. Gadis peri itu tahu siapa yang dimaksud mereka oleh peri laki-laki bernama Kotetsu. Untuk informasi, Kotetsu adalah salah satu penjaga portamortalis.
Di atas, Sakura berteriak, "Ino, cepatlah! Pangeran tidak bisa menahan ini lebih lama lagi."
Ino terbang melesat ke atas, disusul Sai. Sedangkan Naruto berlari ke tangga memutar di atas foyer, tangga yang langsung menghubung ke kamar Sasuke.
Sampai di kamar, Naruto tertegun, dia merasakan panas saat memasukinya. Dia melihat tubuh Sasuke menggeliat di ranjang dengan sebagian kulit yang membiru seperti lebam. Sakura beberapa kali mencoba mendekat, tapi sepertinya gadis peri itu ketakutan. Ino juga terus meneriakinya agar tak menyentuh Sasuke.
"Dia kesakitan, bagaimana ini?" isak Sakura.
Sai akhirnya berkata, "Berapa banyak pohon yang tumbang? Mau berapa banyak lagi?"
Ino berteriak lagi saat melihat Sakura hampir menyentuh Sasuke. Peri itu mengatakan kalimat seperti 'tertular atau semacamnya' yang bisa Naruto tangkap. Tanpa sadar, justru Naruto yang mendekat pada Sasuke. Berlutut di samping ranjang saat Sasuke berhenti menggeliat.
"Apa sudah selesai?" Sai melihat keliling atap, seolah memprediksi keadaan di hutan suci.
"Tidak, mereka hanya berhenti. Dan kuharap benar-benar berhenti."
Sakura kembali terisak di pelukan Ino. Perlahan—dengan sangat perlahan—mereka mendekat pada Sasuke. Sesungguhnya Naruto tak mengerti apa yang dilakukannya. Instingnya mengatakan bahwa dia harus mendekat.
Dan dia menyentuh tangan Sasuke.
"Sial. Panas," keluh Naruto, menggengam makin erat. Panas merambat pada tangannya yang terhubung dengan jemari pangeran.
"Lepas," kata Sasuke lemah, suaranya tak lebih dari bisikan. Pangeran itu melepas tangannya dari Naruto, namun pria itu menangkapnya lagi.
"Apa yang kau lakukan?!" jerit Ino, mendekat. "Kau tidak bisa menyembuhkannya dengan cara seperti itu. Kau justru membahayakan dirimu sendiri."
Akhirnya Naruto mengerti tentang kata yang diteriakkan Ino pada Sakura. Jadi, beginilah, dia tertular. Naruto bahkan terkejut mengetahui bahwa kutukan peri bisa terjadi pada manusia. Kemudian Naruto memilih untuk menggenggam lebih kuat. Sasuke meronta terus menerus. Diabaikan.
Suasana menjadi amat tegang saat mereka menyaksikan kutukan mulai menjalar hingga siku. Naruto nyaris tidak kuat menahannya, dia terjerembab ke bawah.
Sai berteriak ketika Naruto berniat meraih tangan Sasuke lagi, "Jangan lakukan itu?! Kalau kau ikut terkena kutukan, siapa yang akan membantu kami?"
Ino menatap Sai minta penjelasan, namun Naruto buru-buru mengunci pandangan Sai. Lucunya, Naruto justru tiba-tiba menyemburkan tawanya; tawa yang keras.
"Bisa kau tinggalkan kami berdua?" pinta Naruto.
Ketiga peri pengawal itu saling menatap satu sama lain. Saat itu, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak mungkin meninggalkan Sasuke bersama manusia yang jelas-jelas dalang dari kejadian naas ini.
"Aku akan tetap berada di sini." Ino pertama kali membuka suara, memang gadis inilah yang terlihat terang-terangan menentang.
Naruto menatap Sasuke, seperti memohon. Dan Sasuke mengabulkannya dengan memerintah Ino untuk keluar. Ino tentu menolak, namun Sai dan Sakura menariknya keluar. Suara protesan Ino terdengar hingga benar-benar keluar pintu.
Sedikit mengingat, Sasuke telah menyelamatkan nyawa Ino dulu; mengambil rasa sakit, meniupkan pipa perdamaian, dan memberikan perlindungan.
Ino menyebut Sasuke "Pangeran Hijau yang Perkasa", dan selalu berlutut di hadapannya. Sasuke sangat menyukai hal itu, jadi Ino merasa sangat bangga menjadi bawahannya selama ini. Dialah selir pertama yang selalu mengatur segala keperluan Sasuke. Apalagi dalam keadaan mendesak seperti ini.
"Maaf karena aku harus mengusir mereka," sesal Naruto, meraih tangan Sasuke, ditolak lagi mentah-mentah.
Akan tetapi Naruto adalah bocah keras kepala.
Naruto menggenggam tangan Sasuke dengan kedua tangannya. Dia merintih karena panas terus menjalar. Meski begitu diciumnya tangan itu, meresapi hawa baik yang mengalir di tengah kacaunya kutukan. Dia berpejam mata, membiarkan tangan yang satu terjangkit.
Mata birunya terbuka. "Jangan menahan semuanya sendiri," katanya.
"Aku gagal," sahut Sasuke, lemah. "Semua sudah terlambat."
Kedua saling menatap. Naruto menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu?"
"Semua yang kulakukan tidak ada gunanya. Natura, para peri, hutan suci dan aku ..."
Naruto memotong, mencengkeram bajunya. "Apa maksud ucapanmu, brengsek?! Kau menyerah? Hah?"
Angin di waktu malam itu kebetulan terasa sesak. Jemari Naruto kebas hingga kelingking. Gerak-gerak gemetar dalam genggaman. Kilas balik berputar dalam bayang bawah sadarnya. Semuanya bergulir, memaksanya bertaruh.
Hanya beberapa hari di sini, namun Naruto merasa sudah lama sekali. Pertemuannya dengan Sasuke, hidup di Natura, perjuangan para peri, nikmatnya madu di sangkar lebah.
Naruto mungkin tak akan melupakannya. Naruto tidak akan membiarkan Sasuke membuatnya lupa.
"Pasti ada yang bisa kulakukan," dia agak mendesak. "Kau ... Apa kau mau mendengar ceritaku? Ya. Aku tahu ini mungkin terlambat. Tapi sepertinya hatiku telah terbuka."
Naruto tersenyum miris.
"Ayahku berkata, sewaktu aku kecil, aku sudah bercita-cita menjadi seperti dirinya; menguasai ladang bisnis dan pasar serta membeli apapun dengan uang."
Jeda, napas Naruto mengembus bagai ban bocor.
"Aku tidak pernah hidup dalam kesulitan. Tidak merasakan sakit. Penderitaan. Dan aku tidak mengerti, entah mengapa, melihat kalian berjuang hidup demi pohon-pohon itu ... Berbagi rasa sakit yang biasa aku berikan pada orang lain, aku ingin merasakannya juga. Aku ingin berbagi. Aku ingin kau berbagi padaku. Manusia asing dan serakah ini."
Di sini, meskipun dengan mata terbuka dan sibuk memimpikan siksaan-siksaan yang akan diterima, Naruto justru merasa lega. Bagian dalam dirinya seolah menyongsong satu langkah dan langkah lainnya. Naruto sudah menggambarkan betapa peristiwa malam ini lebih pantas disebut pembantaian daripada perjuangan hidup. Ada satu orang yang wajib bergerak menumpas akar masalah.
Dan mungkin itu adalah tujuan dia berada di sini. Setelah renungan dalam gelap, Naruto mengerti bahwa tujuannya selalu berbelok tajam.
Hari ini, malam ini, Natura bagian darinya. Seluruh isinya.
"Sasuke, aku pasti bisa melakukan sesuatu, kan?" Suara Naruto melirih.
"Lepaskan tanganku. Kau akan terkena kutukan lebih banyak."
Naruto menggenggam lebih kuat. "Itulah bodohnya dirimu, yang masih bisa bersikap kasihan pada jenis makhluk yang melukai tubuhmu separah ini," katanya, gelisah. "Hei, kau peri 'kan? Ha? Katakan padaku? Kau yang menggodaku dengan tipuan rakyat jelata di hutan suci waktu itu. Kau yang membawaku kemari. Kau yang menunjukkan betapa hidup sebagai pohon lebih diprioritaskan. Lebih berguna dan unggul."
"Hentikan ucapanmu."
"Natura membutuhkanmu; para peri—Sakura, Ino dan yang lainnya. Mereka membutuhkanmu—kau telah membuat mereka membutuhkanmu."
Ucapan itu benar-benar menyengat saraf Sasuke; membuat jari jemarinya berkedut, dan di malam hari setiap kali dia memikirkan para perinya itu memang tidak ada yang sia-sia. Selama Sasuke hidup, dia berpikir bahwa para peri akan tersiksa ibarat singa dalam kurungan. Walau sebaliknya dia yang memberi nikmat berlimpah pada peri-peri kecil itu.
"Apa maksudmu mengatakan semua ini padaku?"
"Manusia itu mencariku, Sasuke. Manusia yang marah karena aku tidak ditemukan dimana pun. Ayah pasti mengutus mereka ke sini; merusak Natura. Aku memang salah, tapi manusia di luar pun murka karena kesalahanmu. Karena kau mengurungku."
"Aku melakukannya karena kau berniat menyakiti para peri."
"Ya, benar seperti itu. Dan aku yakin pasti ada cara untuk menebusnya, kan?"
Sasuke berdiam cukup lama, hingga Naruto berpikir mungkin memang tidak ada yang bisa dilakukannya.
"Ini tidak benar," racaunya.
"Makan beri merah itu, sebelum kau terjangkit lebih jauh. Kau tidak bisa membantu kami jika ikut terkena kutukan."
Wajah Naruto berseri tiba-tiba. "Apa itu artinya kau percaya padaku?"
Sasuke tidak menjawab, namun Naruto mengambil beri merah yang dimaksud—yang letaknya berada di meja. Saat Naruto memakannya, rasanya lumayan asam. Dia mendengar Sasuke berkata,
"Ada satu cara untuk bisa keluar dari Natura. Dan hanya aku yang bisa melakukannya."
Sasuke bangkit dari posisinya. Terduduk.
"Kau akan pergi dengan keadaanmu yang seperti ini? Apa aku tidak bisa pergi sendiri saja?" kata Naruto, memakan semakin banyak beri merah dan membuat kutukannya memudar. "Kau tidak memakan buah ini?" tawarnya.
Sasuke menggeleng. "Sudah terlambat bagiku untuk memakannya." Dia bangkit berdiri dengan susah payah. "Aku ingin kau ikut denganku, kita akan membuka lubang iblis."
Hal selanjutnya yang mereka lakukan adalah pergi ke portamortalis. Jauh sebelum ini Naruto sama sekali tak memerhatikan. Perjalanan mereka terasa agak jauh karena hanya mengandalkan satu kuda dengan menopang dua orang. Sayap Sasuke telah terjangkit, sebagian rusak dan tercabik. Kutukan itu lebih mengerikan dari apa yang bisa Naruto bayangkan.
Saat tiba di pintu portal, Naruto tidak melihat apa pun, Sasuke mengatakan bahwa pintu itu telah tertutup rapat. Tidak ada yang bisa membukanya kecuali Dewa Hutan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan Sasuke adalah dengan membuat lubang iblis.
"Apa yang akan terjadi jika lubang iblis terbuka?" Naruto hanya sekadar bertanya, dan dia punya insting buruk.
"Dampaknya tidak akan seburuk ketika hutan suci dibakar."
"Apa maksudmu?"
Sasuke tak langsung menjawab. Dia agak kesulitan menuruni kuda karena tubuhnya melemah.
"Mau kebantu?" tawar Naruto.
Sasuke tak sempat menolak. Naruto mengangkat tubuhnya dan melompat dari kuda. Saat kakinya menapak tanah dengan goyah, dia segera membuat segel pada portamortalis dan mengerahkan tenaganya pada jalur yang dibuat.
Segel itu menghamtam portamortalis, dan—di luar dugaan—segel itu hanya mampu membuka kecil sekali lubang iblis. Dari dalam Naruto mendengar raungan, seperti geraman serigala. Permukaan lubang itu hanya terlihat hitam. Naruto membayangkan betapa seramnya berada di tempat itu.
"Lubang ini terhubung dengan area terlarang Viridean," jelas Sasuke, namun Naruto langsung menarik tangannya untuk masuk ke dalam. "Tunggu. Biar aku saja yang masuk."
Naruto menyipit bengis. "Apa maksudmu?! Kita yang akan masuk."
Resiko masuk ke dalam lubang iblis adalah yang terfatal. Sasuke tahu benar bahwa tidak selain dirinya akan kuat berada di dalam. Tubuh manusia tidak akan mampu menahan tekanan hawa iblis lebih lama.
Akan tetapi Sasuke tidak akan membiarkan itu terjadi.
Sasuke menarik tali pakaian di bajunya. Tali itu dililit kuat ke sebagian tangan Naruto, membuat kain tipis itu sobek dan memamerkan dadanya.
"Apa-apaan kau?" protes Naruto, hampir mencegah. Sasuke menahannya.
"Iblis sangat benci dengan manusia. Kalian adalah makanan empuk bagi mereka."
Tali melilit kuat. Naruto merintih sedikit. "Lalu apa gunanya kain ini?"
"Pakaianku akan mencegah iblis mencium baumu."
Baru setelah itu, mereka benar-benar melompat ke dalam. Naruto berpikir bahwa mungkin di dalam tidak terlalu menyenangkan—dan nyatanya seperti itu. Hawa iblis begitu kuat, dan membuat kulitnya terasa panas. Dia seperti terserap ke dalam lubang hitam. Bekas kutukan yang menjalar ke sikunya terasa sangat terbakar.
Detik demi detik berlalu. Ruang gelap mulai berubah. Naruto merasa melayang, matanya terpejam. Tangannya mengikuti impuls untuk meraih Sasuke—memeluknya. Sekarang baru dia sadari bahwa tubuh Peri Pohon itu sangat ramping dan seringan kapas.
Serta merta, angin berembus seperti tanda badai. Kaki mereka menapak tepat pada permukaan tanah basah. Dan ... pasir.
Naruto melihat itu, laut. Mereka mendarat di tepi laut. Apakah ini wilayah terlarang Viridean?
Dan di tengah kebingungan, Sasuke ambruk ke pasir basah, napasnya lemah dan putus-putus.
Bulan merangkak di langit berawan ketika Naruto keluar dari pinggir pantai Viridean, siap menjalankan misinya yang penuh resiko. Malam itu bukan malam yang disukainya. Dia berharap bisa terbang, namun realitanya dia harus membopong pangeran peri yang tidak sadarkan diri di punggungnya. Dalam suasana segelap itu, dia berkali-kali tersandung. Namun, dia benar-benar menjaga Sasuke agar tidak terbanting ke tanah.
Peri itu bernapas sangat lemah di lehernya. Kepalanya terkulai begitu saja di bahu.
Misinya memang hanya satu; berbicara kepada orang-orang gila yang mungkin sedang ada di perbatasan hutan suci. Lebih bagus kalau masih bisa menahan mereka untuk tidak membakar pepohonan.
Dan hutan suci ternyata tak sejauh itu. Naruto berhasil mendarat di dekat sana dengan selamat. Dia mendengar suara riuh, seperti puluhan orang sedang melakukan orasi. Maka Naruto buru-buru mendekat, sambil sesekali memanggil Sasuke agar tersadar. Karena tak juga sadar, Naruto menurunkan Sasuke darinya sambil meringis pelan. Kulit lengannya ditarik oleh ikatan kain yang masih melilit di sana.
"Sasuke," Naruto menepuk pipi peri itu, rasanya panas. "Sasuke bangunlah. Kita sudah tiba."
Astaga, apa dia mati?
Naruto panik.
Dia berusaha menyadarkan Sasuke, tapi nihil.
Sembari melepas tali yang mengikatnya, mata Naruto mengitar. Orang-orang yang berkumpul memang tampak lebih dari puluhan orang. Mereka membawa obor yang semakin membuat tubuhnya makin panas. Kutukan yang menjangkitnya tidak membantu. Dalam keadaan krusial itu, Naruto mencari ayahnya. Dan melihatnya ada di dekat pintu rumah doa. Ternyata mereka juga merusak tempat itu.
Tangan Naruto mengepal, dia merasa marah. "Ayah!" teriaknya.
Dia berlari cepat ke arah rumah doa disambut wajah kaget sang ayah. Alih-alih memeluknya, Naruto langsung menyemburkan laharnya.
"Ayah, apa-apaan ini? Apa yang akan mereka lakukan di sini?" protesnya.
Namikaze Minato, ayahnya, memegang bahunya. "Kau baik-baik saja? Dari mana saja kau selama ini? Kami semua mencarimu!"
Naruto melepas tangan ayahnya. "Aku hanya menghilang selama empat hari, Ayah. Kenapa kau berniat membakar tempat ini?" Naruto melihat orang-orang yang tengah menyiapkan api. "Ayah, tolong hentikan mereka. Ada kehidupan yang kita lukai dengan melakukan hal ini."
Minato menatap anaknya seolah-olah adalah alien.
"Apa maksudmu empat hari?" Minato mengguncangnya. "Kau menghilang selama empat bulan. Kau tidak tahu bagaimana perasaan ibumu di rumah? Dia sangat mengkhawatirkanmu!"
Empat bulan?
"B-Bagaimana mungkin? Aku tidak pergi selama itu?" Saat itu Naruto melirik ke tempat Sasuke berada, pria itu masih pingsan.
Naruto tidak mendengar lagi apa yang dikatakan ayahnya. Dia menghampiri Sasuke; mengguncang tubuhnya. Namun peri itu tak juga bangun.
Lalu Naruto teringat akan sekumpulan orang yang akan membakar hutan. Keadaan Sasuke mungkin akan memburuk jika hutan terbakar habis. Maka sebelum hal itu terjadi dia akan menghentikannya.
"Tunggu! Hentikan!"
Naruto menjerit; berdiri di depan barisan. Tangan kosong.
Sebagian orang-orang itu Naruto kenal sebagai pengawalnya. Mereka saling berseru ketika melihat Naruto.
Beberapa tidak.
"Aku sudah kembali." Suara Naruto masih lantang. "Tolong jangan bakar hutan ini."
"Tuan muda, kau kah itu?" kata seorang pengawal.
"Tuan muda, kau berhasil selamat hingga kembali ke sini," kata seorang pengawal lain. Itu adalah pria yang bersamanya sebelum dirinya masuk ke hutan suci. "Tapi bagaimana bisa?"
"Yaa, kau menghilang berbulan-bulan lamanya," kata yang lain.
Naruto tidak bisa menjawab, dia juga tidak mengerti. Zona waktu bumi dan Natura pasti berbeda.
"Aku bisa jelaskan itu nanti. Tapi, pertama-tama hentikan semua ini."
Seseorang berteriak, "Kalian jangan mau tertipu!" Atensi seratus persen teralih. "Tuan muda kita menghilang secara misterius di dalam hutan kutukan ini selama empat bulan. Bagaimana mungkin dia bisa kembali secara tiba-tiba?"
Semua yang berada di sana berbisik. Sebagian membenarkan.
"Dia pasti siluman hutan ini yang menyamar! Jangan percayai dia!"
Naruto gelagapan. "Apa? Hei!"
Semua orang mendadak terpicu. Dengan seruan berang para pengawal itu menyongsong si blonde. Langkahnya nyaris tak terbaca. Naruto hanya melihat flash yang dihasilkan obor-obor dalam pegangan. Namun secepat kilat—lebih cepat dari itu, tanpa terduga keadaan justru berubah. Angin badai muncul entah dari mana, mengempas semua orang—termasuk Naruto.
"GYAAAH!"
Semua orang terpental.
Dan suara api yang menyala bahkan lebih menakutkan dari itu. Suaranya menggelitik, membakar daun-daun batang kering, lalu menjalar ke pohon. Api besar. Di atas sana Naruto melihat ada makhluk besar lain. Terbang diatas ketinggian seratus kaki di atas kepalanya.
Makhluk apa itu?
Dia menggumam berkali-kali.
Yang tampak adalah makhluk besar perpaduan hewan melata dan sayap. Kepaknya menghasilkan tiupan angin kencang. Makhluk itu besar, kira-kira setengah dari kapal pesiar di lautan.
"Sasuke!" teriak Naruto. Dia mendesis, "Sasuke di sana, di tubuh itu!" Entah pada siapa.
Orang-orang pembawa obor kabur berbondong-bondong menjauhin hutan. Namun bahkan makhluk besar di atas sana tidak peduli.
Tiba-tiba saja api menyembur ke arahnya. Tak sempat menghindar, Naruto hanya refleks melindungi kepalanya dengan tangan. Namun, ternyata dia justru terbang karena ada seseorang yang menariknya menjauh.
"Kau, kan ... penjaga gunung itu?" kata Naruto kaget. "Hatake Kakashi."
Mereka terbang ke batang pohon. "Kau harus menjauh darinya. Dia tidak mengenalimu. Dia dikuasai iblis," bisik Kakashi.
Naruto memberontak. "Tidak! Biarkan aku berbicara padanya!"
"Kau tidak akan bisa mengalahkannya. Iblis telah menguasai pangeran."
Naruto kaget karena Kakashi juga tahu bahwa Sasuke adalah pangeran peri. Tapi dia tidak mengatakannya.
"Lalu bagaimana caranya?!" desak Naruto.
Kakashi terdiam sejenak sebelum berkata, "Aku bisa menyucikannya. Sebaiknya kau menjauh dari sini, agar aku bisa berfokus untuk menangkap tubuh iblisnya itu."
Naruto mengusap wajahnya, tak mau pergi kemanapun Kakashi memintanya.
Suara ledakan api lagi-lagi menggetarkan tanah. Asalnya dari atas, atau tepatnya dari semburan iblis itu. Meskipun sebagian tubuh iblis telah menelan Sasuke, tapi Naruto masih bisa melihat wajahnya, masih melihat matanya terbuka.
"Sasuke!" Naruto berteriak lagi.
Makhluk itu menengok ke arahnya. Naruto merasa sekujur tubuh langsung meremang. Dan ketika mengingat bahwa itu adalah Sasuke, dia tidak gentar lagi.
"Turunkan aku! Turunkan!" Dengan sekuat tenaga Naruto memberontak hingga akhirnya terlepas. Dia terjatuh dan berguling ke tanah.
Seperti tak kehabisan tenaga, dia kembali berlari menuju makhluk itu. Semburan api terus berjatuhan. Naruto berhasil menghindar dengan berguling cepat. Meski begitu dia tetap lari.
"Sasuke!" teriaknya di tengah lari. "Dengarkan aku! Dengarkan aku, bodoh!" Naruto memanjat pohon yang belum dilalap api, memanjat setinggi mungkin dekat dengan makhluk itu.
Setelah yakin telah begitu dekat, Naruto berteriak lagi. Lebih lantang. Tidak ada gunanya. Makhluk itu diam seperti patung. Naruto menjaga sikap waspada akan api yang akan disemburkannya tiba-tiba.
Tapi, ini Sasuke!
Naruto yakin Sasuke tidak akan melakukan itu padanya.
Dan, ya, dia benar. Akan tetapi makhluk itu membelok tajam. Terbang dengan kecepatan yang tak main-main melewati Naruto begitu saja. Naruto membelalak; menengok ke belakang dan melihat makhluk itu menuju ke arah sang ayah.
Naruto menjerit. "SASUKE! A-AYAH! SASUKE—TIDAK! AYAAAH!" Naruto melompat turun dari pohon. Berlari lagi. "TIDAAAK! SASUKE!"
Makhluk itu berhenti—tepat di depan wajah ngeri ayahnya. Kakashi sebelumnya telah tiba di sana, memegang bahu ayahnya. Namun, dia ikut membeku melihat iblis itu berhenti.
Di sisi lain, Naruto tetap berlari. Dia melihat pohon di dekatnya—memanjat lagi. Tanpa perhitungan melompat ke punggung si iblis, memeluk lehernya.
"S-Sasuke, h-hentikan!" serunya, kesulitan.
Tubuh besar iblis itu bergetar meronta. Sayapnya mengepak cepat, membawanya terbang sambil menggeram. Naruto nyaris jatuh. Ini benar-benar kacau—tidak ada suara yang lebih memekakkan bagi Naruto selain suara iblis menggeram ini. Naruto bersumpah, tidak akan ada yang bisa melukai tempat ini lebih parah lagi.
Tidak pula Sasuke.
Lubang iblis itu pasti yang menyebabkan semua ini. Pasti ada yang merasuki Sasuke.
"D-Dia bisa terbakar!"
Naruto mendengar ayahnya berseru. Pegangannya pada Sasuke makin kuat. Dia mengatakan, "Aku tidak akan terbakar!" dengan berteriak.
Iblis membawanya terbang meluncur seumpama roket. Mereka berdua meliuk di antara badai angin. Bekas cengkeraman Naruto pada iblis itu terasa panas seperti api. Pada ketinggian mencakar langit, iblis itu berhenti, sesaat, Naruto berpikir semuanya akan selesai.
Nyatanya dia salah besar.
Kepala makhluk itu berputar ke bawah; siap menjatuhkan diri. Naruto berteriak. Hampir terbawa angin.
Naruto memeluk leher si iblis kuat-kuat. "Sasuke! Sasuke! Hei! Aku bisa mati!"
Tak terjawab. Mereka di atas angin.
Naruto tiba-tiba ingat janjinya. Dia ingat janjinya untuk melakukan sesuatu demi kedamaian Natura. Dibiarkan kepalanya menyentuh cakar makhluk itu. Tubuhnya meliuk, merambat dan berputar. Posisinya kini berada di bagian depan tubuh itu—melihat Sasuke.
Sebelum jatuh, sebelum terlambat.
Hening setelah itu.
Dia berpegangan makin erat.
"Sebelum kita menjatuhkan diri," katanya dengan pasrah. Didengar atau tidak, dia pasti akan tetap jatuh. "Aku ingin kau mengingat ini. Sedikit memalukan, tapi, sejujurnya aku menyukaimu."
Jeda.
"Ini bukan rayuan rakyat jelata. Hanya saja, mengenalmu empat hari—ya, katakan empat bulan di bumi—aku rasa tidak begitu konyol untuk suka padamu." Dia terkekeh. "Peri itu bukan manusia. Mereka tidak mempunyai jenis kelamin, kan?"
Pegangannya hampir merosot, Naruto panik, menarik diri mendekat.
"Wow! Itu nyaris!"
Tanpa sadar wajah mereka berdekatan. Mata hitam di hadapannya memang kosong, tapi Naruto yakin mata itu melihatnya.
"Sasuke ... Setelah kita jatuh, ingatlah Natura, ingatlah para peri yang menunggumu." Diam sejenak. "Kakashi berkata bahwa dia bisa menyucikanmu—tadi dia berkata begitu. Kalau kau sudah kembali ..." Naruto mendesah. "Ingatlah aku juga."
Tangan menarik sepasang pipi yang perlahan tertanam dalam daging iblis. Bibirnya mempertemukan kasih keduanya dalam sentuhan. Semakin dalam, semakin ke dalam, hingga bibir itu benar-benar tertanam.
Untuk pertama kalinya Naruto menangis.
"Kakashi bisa menyelamatkanmu. Kakashi pasti bisa."
Terjawab udara kosong lagi.
Dada Naruto linu. "Aku yakin, Kakashi bisa membuatmu mengingatku. Aku pastikan bahwa—"
Semua mendadak kosong; mata, pikiran, perasaan.
Naruto merasa jatuh—melayang dengan tangan menggapai ke atas. Kenapa semua melambat? Kenapa dia merasa sangat ringan?
"Naruto!"
Ayahnya juga berteriak.
Ada apa? Kenapa?
Naruto memandang lurus, melihat ke depan dengan senyum paksa. Iblis itu juga meluncur—meraih tangannya.
Meraih?
Apa-apaan?
"Naruto!" Sebuah suara. Merdu. "NARUTO!"
"Ah!"
Langit mencerai berai. Berpusar dengan zona waktu yang mendadak cepat. Kemudian tiba-tiba bumi berhenti. Gerakan tangan melambat—linu hingga ujung kaki. Naruto saat itu hanya melihat satu, yaitu Sasuke—melompat ke arahnya dalam efek daging yang tercerai berai menjadi partikel kecil yang terserap ke pusaran hitam.
Dia melayang, menyentuh jemari yang lembut. Lalu merasa pinggangnya dicengkeram oleh sesuatu yang kuat di tengah kebit angin.
Ada suara berkata, "Dasar makhluk-makhluk menyusahkan."
Lalu gelap.
Naruto terbangun di pagi harinya; merenggangkan tangan, menengok jendela kamarnya yang entah kenapa terasa asing. Dia baru saja bermimpi panjang. Mimpi tegang yang menakjubkan mengenai rumah para peri.
"Mimpi yang aneh."
"Kau mimpi apa?"
Naruto melihat ayahnya datang melalui pintu yang berderit. Rumah yang kumuh. Sejak kapan dia jatuh miskin?
"Ayah, kenapa rumah kita jelek sekali? Kau jatuh miskin?" tanyanya.
Sebelum ayahnya menjawab, seseorang masuk lagi. Sepertinya mendengar ucapannya barusan, karena dia (dengan gigi bergemeretak) langsung berkata, "Maaf, jika rumah ini tak sebesar istanamu di Civalot."
"Ayah, kenapa si penjaga gunung sombong ada di sini?!" Naruto menyipitkan mata.
"Itulah ucapan yang akan orang kaya katakan pada penyelamatnya."
Naruto kebingungan. Lalu serta merta merasa ditampar.
"S-Sasuke!" Dia menjerit tiba-tiba. "Jadi, itu bukan mimpi. Semalam, aku—dan Sasuke." Naruto kesulitan melanjutkan. "Sasuke! Dimana Sasuke?"
Pintu berderit.
"Aku di sini," kata sebuah suara yang sangat dikenal Naruto. Dia menoleh patah-patah, melihat siluet pria berpakaian putih tengah melipat tangan di dada sambil menyandar di pintu. "Kau tidur seperti orang mati saja."
"Sasuke," Mata biru itu berbinar. "Sasuke!"
Sasuke menggerutu karena ditubruk pelukan. Dia meronta. "Jangan memelukku sembarangan."
"Ini bukan mimpi! Ya, Dewa, aku senang bertemu denganmu, Sasuke!"
Kakashi dan Minato menghela napas. Tanpa izin pamit, pergi keluar secara diam-diam. Namun Naruto mengetahuinya, dan segera menarik Sasuke duduk di ranjang. Tersenyum sangat lebar.
Naruto memutar-mutar tubuh Sasuke. "Kau ... kau baik-baik saja, kan? Tidak terluka, kan?"
Tak ada jawaban. Sasuke hanya menatap Naruto dalam diam sembari mengingat peristiwa malam itu; tentang bagaimana Naruto menariknya kembali dari tubuh iblis jahat, tentang Natura, tentang janji Naruto dan ... ciuman itu.
"Kau menciumku."
Naruto meringis, ikut mengingat hal itu. Lalu tertawa kering.
"Bagaimana dengan ... Natura?" Naruto mengubah topik. Lagi-lagi Sasuke diam, ekspresinya tak menunjukkan apa pun. "Katakan, Sasuke."
"Kami harus membangun kembali hutan suci," kata Sasuke.
Bagaimanapun, hutan itu memang sudah terlalap api. Bagian itu adalah saat-saat menyakitkan bagi keduanya.
"Aku ingin melihatnya," pinta Naruto. "Antar aku ke sana."
Dengan enggan Sasuke menuruti kemauan Naruto. Mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Selama perjalanan, Sasuke menceritakan semua yang Naruto lewatkan karena pria itu tak sadarkan diri malam itu. Sasuke bilang, Kakashi telah menyucikannya—Naruto baru mengetahui bahwa Kakashi sebenarnya adalah Dewa Hutan. Wujudnya yang sekarang hanya wujud sementara.
Setelah ritual penyucian malam itu, Sasuke terpaksa memulihkan diri dan membiarkan Dewa Hutan yang membuka pelindung yang dibuat Sasuke khusus untuk para peri di Natura. Mereka semua berhasil diselamatkan. Hebatnya, Dewa Hutan juga mencabut rasa sakit dari Sasuke.
Resikonya, Sasuke tidak bisa menggunakan kekuatannya sementara waktu—kecuali untuk masuk ke portamortalis.
"Benar-benar habis," komentar Naruto ketika melihat hutan suci. Tempat itu tampak mengerikan, tidak hijau lagi.
Sasuke tak berkata apapun. Dia segera menutup mata Naruto, mereka mendarat di Natura bersama—kedua kalinya.
"I-Ini?" Naruto menatap Sasuke, minta jawaban. "Natura tidak rusak?"
Sasuke menggeleng. "Hutan suci adalah bayangan dari Natura. Meskipun pohon-pohon di hutan suci ditebang, Natura memang terpengaruh, namun dampaknya tidak terlalu buruk."
Ah, ya, Sai pernah mengatakan itu.
Naruto ingin menduga bahwa itu hanya tipuan. Rasa sakit yang dialami Sasuke bahkan sangat parah hingga dia tak mau membayangkannya lagi. Terlalu mudah untuk berkata bahwa dampak semacam itu tidak buruk. Tentu saja, dia tak mungkin mengatakan hal itu juga.
Diam-diam Naruto meraih jemari Sasuke dengan malu-malu. Mereka berjalan menuju istana yang sama seperti waktu itu, melewati sangkar lebah dan memerhatikannya.
"Aku tidak mau masuk ke sana lagi?" gerutu Naruto.
"Aku sih tidak akan melakukannya, mungkin Ino, nanti."
Keduanya terkekeh. Kemudian, Naruto berdiri di depan Sasuke, tidak terlalu jauh; membungkuk untuk memberi hormat di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sasuke.
"Aku tidak pernah memberi salam yang layak pada pangeran," Naruto menyeringai. "Jadi, mau menerima hormatku?"
Tangan tan itu terjulur menegadah ke depan, dan Sasuke menyambutnya, tapi kemudian mengempas tangan itu.
"Memalukan! Berdirilah!" kata Sasuke, namun kemerahan merambah ke pipinya.
"Aku akan membelok. Mulai sekarang ambisiku adalah menaklukan pangeran di Natura." Naruto berceloteh. "Karena sepertinya aku mulai jatuh cinta dengan pangeran."
Dan Naruto tahu bahwa yang akan didapatkannya hanya sebuah pukulan di kepala.
"Mau kukurung di sangkar lebah lagi?"
"Eh?"
END!
.
Yosha! ini ending yg ewh~ maaf ya, saya kan gabisa bikin romance. Tapi ini udah berusaha kok!
But...
Happy birthday Sasuke, brondongnya tante *
Review?