Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : Narusasu

AU!Fairytale, OOC

#BirthdaySasuke2017 #NarusasuFaitytale

"Hanya sebuah fanwork, tidak mengambil keuntungan material apa pun dalam pembuatannya."

.

.

.

Desa Sanktan, Pulau Viridean.

Cerita yang memulai kisah leluhur suci.

Tersebutlah sebuah gunung asri yang melegenda, yang mana angin mengembus hangat dengan kebit daun-daun hijau yang membawa wewangian rumput dan pasir. Gunung penuh kehijauan di tengah-tengah pulau Viridean. Sebuah wilayah yang menyucuk ratusan jiwa penduduk terisolasi—menaungi desa kecil bernama Sanktan.

Menurut cerita para pendahulu, Sanktan adalah desa yang dilindungi Dewa Hutan. Penduduknya menganut paham religi yang kuat terhadap alam dan bermukim jutaan tahun di kaki gunung Viridean.

Konon; desa kecil yang didirikan penjaga gunung muda, Senju Hashirama, beberapa ratus tahun silam itu, telah terikat dengan rantai kuat yang diikat langsung dengan Dewa Hutan. Keduanya membuat perjanjian abadi sehingga keadaan gunung tersebut tetap hijau meski diserang pergantian empat musim.

Desa tersebut memiliki kekayaan alam berlimpah yang tiada ituyang membuat bangsawan dari segala penjuru berlomba-lomba mengambil alih wilayah. Meskipun diceritakan pada akhirnya tak ada satupun yang berhasil membawa surat kepemilikan pulau tersebut seberapa keras mereka berusaha.

Pulau yang menarik menurut Uzumaki Naruto, si bocah kaya raya yang gila bisnis.

Aroma pasir seperti menantang adrenalinnya untuk meraih kajayaan Viridean. Bagi pria yang lahir dari keluarga bangsawan seperti dirinya, ini mungkin hanya sebuah permainan.

Menurutnya, mereka hanya belum merasakan indahnya limpahan uang. Orang-orang desa kumuh dan tolol itu—mungkin sebentar lagi akan mabuk iming-iming uang jumlah besar yang akan ditawarkannya.

Apa yang tidak bisa dibeli oleh uang?

Sebagai pria yang lahir dari keluarga kaya raya di pusat kota Civalot, dunia ini bahkan diwariskan Tuhan untuknya.

Naruto berani berbangga diri. Diketahui dia punya pembendaharaan ilmu berjalan yang selalu mengikutinya kemana pun. Sumpahnya, dia sudah bertaruh untuk lahan ini. Semua data statistik wilayah sudah tercatat; mulai dari tinggi, diameter, ceruk, lonjakan bahkan luas pulau tersebut. Semua peran dalam bisnis tak pernah main-main buatnya.

"Eksekusi lahan?" suara tebal seorang pria bermasker hitam itu memenuhi ruang pertemuan yang berkomponen kayu jati kuat.

Uzumaki Naruto melipat kaki elegan. Di depannya sudah ada si penjaga gunung Viridean. "Aku membutuhkan lahan kosong untuk pembangunan pusat perbelanjaan yang merambat hingga ke wilayah ini. Setiap tahun beberapa juta jiwa manusia bertambah. Aku bermaksud untuk memperluas bidang usahaku."

Naruto ingat nama pria itu, Hatake Kakashi.

Naruto juga banyak mendengar tentang betapa kerasnya Hatake Kakashi memertahankan pulau Viridean ini dari para penjilat bisnis. Tak jarang pria yang berusia sekitar tigapuluh lewat itu menjadi target kejahatan para pebisnis yang ditolak. Namun, entah kenapa dia selalu bisa meloloskan diri dan hidup sehat sampai sekarang.

"Lalu, apa tujuanmu mengatakan hal itu padaku?" tanya sang penjaga gunung, dingin.

"Aku ingin menguasai pulau ini."

Rahang Naruto memaksa senyum. Jemarinya terjentik sarat perintah. Dua orang pembawa kopor alumunium membuka brankas kode dan menampilkan tumpukan uang yang tak main-main di dalamnya.

"Kebetulan ini hanya uang muka yang bisa kubawa," katanya agak sombong. "Kalau jumlahnya masih kurang, kau bisa mengatakannya padaku."

Satu biji mata si pria bermasker itu menatap tumpukan kertas di kopor dengan enggan. Pandangannya beralih pada sekat gerai bambu yang disisipi sinar matahari.

"Pulau ini tak bisa kau beli dengan uang," katanya. "Sekarang pergilah."

Si bangsawan berdeham canggung. "Sebutkan saja berapa—"

"Pintu ada di belakangmu. Berdiri dan melangkahlah ke belakang," Kakashi memotong.

Dua penjaga yang memegang kopor terpancing dan menyaruk lantai hampir meraih Kakashi, tapi Naruto dengan cepat menahan keduanya.

"Jadi, ini bukan soal uang?" tanya Naruto, makin tertarik.

Kakashi tak menjawab.

"Apa kau mau memberikan penjelasan? Mengapa kau menolak uangku?" Naruto melanjutkan.

"Kami dan para leluhur telah bersatu dengan dewa. Penduduk adalah bawahan yang melayani para peri suruhan dewa untuk menjaga keasrian wilayah ini." Kakashi memulai. "Keseluruhan wilayah hanya milik penduduk Sanktan. Orang asing tidak diizinkan masuk dan merusak."

Memang cukup konyol saat mendengar kata dewa dan peri. Naruto tidak percaya pada hal gaib semacam itu. Mungkin saja sebentar lagi pria ini akan mendongeng tentang para penyihir, siluman dan semacamnya.

Apanya yang peri? Apanya yang tidak mengizinkan orang luar wilayah masuk?

Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Naruto bisa saja menaklukkan pulau ini dengan mudah.

"Jangan berpikir untuk melakukan cara kotor." Itulah yang dikatakan Kakashi saat melihat ekspresi sang tuan muda bangsawan. Sama seperti pebisnis lain yang dulu pernah datang kemari, dia yakin Naruto pasti memikirkan cara itu.

"Tidak, tidak," sahut Naruto, "aku hanya merasa sedikit tertarik dengan dongengmu. Kau ceritakan sedikit lagi, mungkin aku akan tertidur."

Alih-alih marah, Kakashi menyemburkan tawa remeh. Naruto menanggapi dengan wajah datar yang sinis.

Kakashi sama sekali tidak ragu ketika membalas tatapan dingin Naruto dengan pandangan absolut. Biji mata keduanya beradu dalam sekian detik. Naruto membuang muka pertama kali.

"Besok aku akan datang lagi dengan uang yang lebih dari ini."

"Memangnya apa yang bisa dilakukan bocah kota selain membawa uang, hm?" Kakashi menatapnya. "Tidak ada, bukan?"

Sunyi senyap.

"Kau membawa seluruh kekayaanmu kemari tidak akan merubah apapun. Aku tetap tidak akan menyerahkan Viridean."

"Aku bisa mendapatkan Viridean. Aku pastikan itu."

Kakashi sedikit terkejut dengan kilat mata di lensa biru. Merasa bahwa bocah kota ini pasti akan bernasib sama dengan para penjilat bisnis yang pernah kemari.

Mereka pasti akan menjilat ludah sendiri.

"Cara kotor, eh?" katanya, lagi, tanpa ragu.

Naruto tersenyum. "Tidak ada yang bisa menahanku melakukan apa yang kusuka. Itu cukup menjelaskan semuanya untukmu."

Saat Naruto berdiri, dia mendapati bahwa pandangan Kakashi menerobos lensanya tanpa lepas sedikit pun, sambil berkata,

"Aku berharap kau tidak benar-benar melakukan cara kotor. Aku khawatir para peri kami akan menyakitimu nanti."


Uzumaki Naruto, si penghalal segala cara.

Besoknya dia benar-benar kembali ke Viridean secara sembunyi-sembunyi. Ada penginapan kecil di dekat sungai, katanya, Naruto bergegas ke sana untuk menginap (serta menyamar menjadi penduduk desa). Dia berniat menggunduli lahan sendiri. Berniat membuat si penjaga gunung kelimpungan karena berani menolak permintaannya.

Naruto sudah menolak beberapa pengawal yang memaksa ikut. Akan tetapi, dia terpaksa membawa dua bodyguard untuk menjaga barang bawaannya selama dia melakukan misi.

Kakashi jelas menantangnya. Pria itu sudah pasti adalah pria miskin yang meremehkan kerja uang.

Akan tetapi berani meremehkan Uzumaki Naruto bahkan dampaknya akan lebih mengerikan dari pada mati.

Naruto memang santer mendengar legenda dari penduduk bahwa hutan ini pemberian Dewa Hutan. Secara turun temurun penduduk Sanktan percaya bahwa ada banyak peri-peri yang bertugas menjaga wilayah ini sehingga lahan dibiarkan subur dan lebat. Katanya, beberapa pebisnis yang nekat melewati pagar suci yang dibuat oleh Dewa Hutan, akan dipertemukan oleh para peri.

Resiko fatalnya mereka akan diusir secara paksa. Dan mendapatkan hukuman kecil dari para peri.

Naruto tidak percaya semua itu.

Sebabnya, dia pergi ke sungai dan menemui anak-anak kecil pinggiran sungai yang bermandi telanjang, demi informasi. Dan ikut mandi barang sebentar. Ujung kaki Naruto mulai menyentuh permukaan air yang beriak. Airnya terasa hangat-hangat kuku. Rasanya tidak buruk. Meskipun tidak ada yang jauh lebih baik dari sabun floral yang dicampur ke dalam bathtub oleh para pelayannya.

Dari cerita anak-anak, dia digiring untuk bertemu dengan penjaga rumah doa tempat dimana penduduk melakukan ritual permohonan, namun anak-anak itu tidak bisa menjelaskan letak tempat itu.

Sewaktu Naruto pergi ke kedai kecil yang menjual berbagai macam jenis hidangan sayuran, paman si penjual kedai menunjukkan rumah doa itu tanpa menaruh curiga. Naruto beralasan bahwa dia agak lupa arah menuju ke sana. Naruto bahkan rela dihadiahi dongeng kecil membosankan yang diceritakan paman itu dengan sangat fasihnya.

Katanya, Viridean adalah warisan dari Dewa Hutan. Dewa itu sendiri hidup dari setiap permohonan para penduduk yang berkunjung setiap harinya di rumah doa yang menyerupai bangunan kecil seperti kuil. Tumpuk bebatuan kali dibentuk sebagai rumah kecil dengan patung harimau bersayap yang ada di dalamnya.

Penduduk Sanktan percaya bahwa itu adalah perwujudan dari Dewa Hutan.

Setiap hari, tanpa terlewat, penduduk memohon kesuburan dan hasil panen melimpah pada dewa tersebut. Bahkan sebagai bentuk terima kasih atas limpahan sumber daya alam, para penduduk biasanya memberikan makanan di bawah kaki patung untuk persembahan para dewa dan peri.

Bertahun-tahun berikutnya, dimulai kepercayaan baru lagi, yaitu larangan untuk menebang pohon di sekitar batas pagarsuci menuju hutan. Penduduk boleh memanen hasil alam, termasuk dedauan kering dan getah pohon, tapi mereka dilarang keras mengambil batang kayu.

Disebutkan bahwa siapapun yang melanggar larangan tersebut akan dimangsa Peri Pohon dan dikutuk menjadi pohon-pohon cabang baru di hutan tersebut.

Peri Pohon sendiri digambarkan bertubuh kecil memakai pakaian hijau dengan sayap transparan berwarna keemasan. Bentuk mereka cantik. Banyak lukisan yang telah divisualisasikan sebagai perwujudan mereka dan dipajang di dinding tempat masuk rumah doa.

Mereka percaya; menebang pohon sama artinya dengan membuat Peri Pohon terluka.

"Tuan muda, biar kami yang menemani anda," tawar salah satu pengawal yang dibawa Naruto.

Naruto menggeleng. "Tugasmu adalah berjaga di sini. Dalam satu jam jika aku tidak kembali, carilah aku di dalam."

"Tapi—"

Naruto mengangkat tangan, meredam protes para pengawal. "Aku hanya ingin memastikan legenda hutan suci. Akan kubuktikan kalau peri itu tidak ada," celotehnya.

Para pengawal menatapnya dengan sorot cemas. Belum pernah seumur hidupnya Naruto bepergian tanpa ditemani pengawal. Namun, kata paman kedai (bermaksud menakuti), jika ingin melihat peri datanglah sendiri dengan menunjukkan perlawanan. Peri akan menunjukkan dirinya pada orang yang benar-benar menantangnya.

Tapi dalam wujud yang mengerikan.

"Persetan! Hanya orang bodoh yang percaya hal itu," rutuknya, dan orang bodoh itu adalah dirinya. "Apa yang sebenarnya kulakukan?" Ditatapnya kapak tajam di tangan. "Ya, tentu saja, menantang peri dan menyingkirkannya dari tempat ini. Lalu pulau ini akan jadi milikku."

Angin mulai berdesing. Naruto mendongak ke atas dan menemukan tali semacam tambang terikat memanjang di dua batang pohon. Ada kertas-kertas tipis tergantung. Bertuliskan sesuatu. Mungkin kode morse, pikirnya.

Kata paman kedai, melewati tanda berupa tali itu artinya kau sudah masuk wilayah hutan suci. Rumah para peri. Tempat dimana semua pohon lebat telah dimantrai secara gaib. Naruto meneguk ludah. Dia melangkah tanpa menengok ke belakang.

Tak terasa apa-apa.

Hanya ... lebih sejuk.

Tubuhnya merasakan adrenalin yang memacu kian kuat. Lama-kelamaan seperti ada angin yang membelainya dingin. Bukan hening yang kosong, tapi ketenangan yang mendayu.

Naruto mengencangkan ransel. Untuk pertama kalinya melangkah, dia menoleh ke belakang, dan penjaganya tak terlihat dimana pun. Dia seperti telah melangkah jauh. Di atas kepala, Naruto melihat kanopi hidup yang diselipi sinar kuning si gagah oranye. Terdengar pula kicauan burung. Kicauan yang indah.

"Ini benar-benar surga," Naruto mengakuinya dengan sinis. "Memiliki pulau ini benar-benar surga."

Dari seluruh pulau mengagumkan yang ada, tempat ini adalah yang paling nyaman dan sejuk. Kau akan merasa tidak pernah mempunyai beban hidup ketika menyerap udara masuk ke hidungmu. Menakjubkan.

Naruto bergegas pada pancuran air sederhana yang terbuat dari bambu hijau yang tebal. Kilau dari air yang mengalir seumpama permata yang sering diperlihatkan ibunya pada gaun-gaun di lemarinya. Gudang buah-buahan lengkap penjuru dunia seolah berpindah ke sini. Hewan-hewan jinak seperti monyet, kalkun, kelinci dan lainnya hidup berdampingan memanen makanan.

Terlena sejenak, Naruto teringat tujuannya.

Segera setelah itu, dia membawa kakinya menapak cepat menuju pohon di kanan. Pohon itu besar. Satu-satunya yang terbesar. Ujung batangnya tak terlihat lagi bagaimanapun dia mendongak. Pohon itu pastilah sangat tinggi mencakar langit. Naruto menyentuhnya, lalu terkejut karena merasakan sedikit getaran.

Naruto buru-buru menancapkan kapak pada batang pohon. Angin tetiba berhembus kencang. Dia mendengar suara sumbang yang aneh, tapi tak terlalu memikirkannya. Butuh waktu yang cukup lama untuk menebas sampai ke tengah, namun nyatanya dia berhasil.

Yang aneh adalah ketika ada sesuatu yang terjatuh dari atas.

Naruto terpental kaget karena jatuh benda itu tak jauh darinya. Entah bagaimana dia langsung menebak bahwa yang jatuh barusan adalah manusia. Hantu tidak mungkin datang siang hari. Dan peri tidak seperti itu—dia bahkan tak memiliki sayap.

Dengan tegang, dia menghampiri sosok yang tergeletak tengkurap di tanah. Ingin memastikan bahwa sosok itu adalah manusia, dengan wajah manusia.

"Hei," Naruto menoel bahu sosok berbaju hijau tersebut. Rambutnya yang hitam menjuntai menutupi wajah ketika Naruto melongok.

Mendekat skeptis beberapa senti, Naruto menarik bahu orang itu. Lebih kuat. Tubuhnya berbalik. Hampir menjerit, tapi alih-alih, Naruto menemukan raut wajah dengan lensa hitam yang menatapnya dengan kaget.

Posisi itu bertahan beberapa detik. Naruto tak tahan. Komat kamit mengucap syukur karena tidak bertemu hantu dan membantu orang itu duduk. Anehnya tubuh yang dipapahnya terasa sangat ringan.

"Kenapa kau ada—" Naruto terjerembab sebelum kalimatnya tuntas. Dia didorong. Si baju hijau mundur menjauh kesusahan. Naruto mendekat. "Hei, jangan takut."

Sosok itu beberapa kali mengucap sesuatu, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wajahnya terlihat tegang. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Dan dia terus memegangi lehernya.

"Kau mau kemana?" tegur Naruto cepat.

Naruto bergegas membantu si baju hijau yang merangkak menuju genangan air pada wadah bambu. Dan melihat sosok itu menyiduk air dengan tangannya. Air tumpah sebelum dia dapat membawanya. Di tengah kebingungannya, Naruto melihat seberkas cahaya aneh yang asalnya dari pohon yang baru ditebasnya. Pohon itu tak bergerak sedikitpun, namun dikelilingi cahaya aneh.

Cahaya yang meredup.

Sebelum ini tidak ada cahaya apapun di pohon itu.

Tiba-tiba kaki dicengkeram, Naruto jatuh. Wajahnya terpaksa berhadapan dengan si baju hijau. Saat itu juga dia merasakan getaran yang sama ketika menyentuh pohon besar yang dia tebas. Atensi Naruto terserap oleh wajah yang menatap dengan dengan ekspresi datar yang keras. Terpaksa terlena oleh kagum.

"Dia wanita," gumamnya.

"Aw!" Naruto mengaduh. Kepalanya dipukul menggunakan tangan kurus itu. Sial. "Kenapa kau memukulku?!"

Sosok itu jatuh sebelum sempat menjawab. Naruto refleks menangkap bahunya. Tubuhnya masih sangat ringan bagai kapas. Dia mengatakan sesuatu, tapi Naruto tidak mengerti.

"Apa? Ha?" Naruto menggaruk kepalanya. "Apa, sih? Kau mau pulang? Mau pup? Mau naik pohon? Mau uang? Atau bagaimana? Aish!"

Bahasa isyarat yang tak dimengerti Naruto terus berlanjut sampai keduanya lelah. Naruto melihat tangan lemah itu akhirnya menunjuk pohon. Gerakannya lambat. Ketika tangan itu jatuh, Naruto menggenggamnya.

"Pohon itu?" tanya Naruto.

Anggukan. Mulut mungil mengucap, Naruto memerhatikan.

"A-ir?" tirunya.

Anggukan lagi.

"Ya ampun. Kukira apa! Kau haus?" Ransel dibuka. Naruto merogoh ke dalam dan menemukan perbekalan air yang dibawanya. Moncong botol segera diarahkan pada orang itu, tapi ditolak. "Kenapa? Bukankah kau butuh air?"

Tangan pria itu menunjuk pohon. Naruto diam sebentar.

"Kau mau aku memberi pohon itu air?"

Lagi-lagi Naruto menerima anggukan.

Sorot mata Naruto saat ini seperti menaruh keraguan. Tangannya membimbing si baju hijau menyandari di pohon lain. Naruto langsung berdiri. Dia berbalik, membawa botol menuju ke pohon.

"Aku harusnya berhati-hati saat menebang pohon. Sepertinya dia jatuh karena ulahku," gumam Naruto. "Lagipula kenapa wanita naik ke pohon seorang diri? Kalau celaka bagimana?" lanjutnya menggumam.

Naruto menyiram air minum miliknya pada batang pohon. Dia setengah memerhatikan, tapi tahu ada yang aneh dengan pohon itu. Dengan perlahan bekas dimana dia menebas, tertutup. Sedikit demi sedikit.

"Tambahkan air suci ini, bodoh."

Naruto menengok dan melihat sosok tadi berdiri dengan kakinya yang ternyata sehat. "Hei, siapa yang kau bilang bo—KAU LAKI-LAKI?!"

"Siapa yang mengizinkanmu menebang pohon?" Wanita—atau yang kini pria, memunggungi Naruto menuju ke pancuran air dan menyiduk air di gayung. Menyiramkannya pada pohon tadi. Bekas tebasan menutup sempurna. "Siapa yang mengizinkanmu melukai pohon di Natura?"

"Apa? Natura ... apa maksudnya?"

Naruto terpaksa memasang sikap defensif saat pria itu mendekat. Hidungnya mengendus aroma yang nikmat. Wewangian yang belum pernah dihirupnya.

Apa pun pikiran buruk Naruto, nyatanya pria itu tidak berniat melukainya. Hanya diam saja di depannya. Seperti patung.

Naruto sadar bahwa pria itu berwajah sangat tampan. "A-Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya.

"Kita lihat, apa yang bisa kulakukan."

Pandangan Naruto menggelap. Sebuah tangan menyentuh matanya. Ada sensasi dingin yang menjalar dari kepala hingga kaki. Tersentak, dia merasa baru saja jatuh dari ketinggian. Pandangannya terbuka lagi.

Saat itu pula dia membelalak. Kalau dia bisa menggambarkan situasinya pada lembar kertas kosong, Naruto serius akan melukis dunia lain yang belum pernah dilihatnya di dunia mana pun.

Apa ini? Tempat macam apa?

Sejauh mata terlihat maple lebat, rumah-rumah kayu di batang pohon, kantung bunga yang dikelilingi makhluk-makhluk kecil seperti lebah. Tapi, mungkin saja bukan lebah—sesuatu di punggungnya mengedip dan mengepak.

Peri ...

"Dimana ini?" tanya Naruto.

"Natura."

Terjawab dengan tegas.

Gegas aktifitas lain menarik atensi Naruto. Ternyata cahaya berkedip dengan banyak pelangi bukan hanya satu. Ada lebih banyak makhluk kecil bertindak bagai lebah pada bunga raksasa yang mekar.

Tepatnya bukan bunga raksasa, tapi makhluk-makhluk bersayap itu yang berukuran abnormal.

Atau memang tubuh Naruto membesar?

"Kita menjadi titan?"

Kepalanya dipukul bagian belakang. Dia mengaduh seperti perjaka yang melepas kesuciannya di malam pertama. Hendak memukul balik ke pelaku, namun urung. Pikirannya menggerundal, masih tak percaya gender makhluk di sebelahnya ini.

Dua makhluk mini bersayap menghampiri mereka. Warna keduanya berbeda; yang satu merah muda, satunya kuning terang.

"Pa—"

"Sakura, kenapa angin di sini agak lambat?" potong si baju hijau cepat-cepat.

Makhluk kecil merah jambu, entah kenapa, tersipu. Dia menjawab, "Ada yang memanen buah di selatan Natura."

"Berapa kantung?"

"Lima kantung," sahut Sakura, "Ino sudah mengonfirmasinya."

Ternyata, si Ino, adalah makhluk mungil yang berwarna kuning.

"Manusia-manusia serakah itu tidak pernah ingat tentang peraturan hutan suci. Padahal sudah jelas mereka hanya diperbolehkan memanen tiga kantung." Ino menyambung.

Kedua peri bertengger di sisi kanan dan kiri pria itu.

"Pangeran, sampai kapan kita harus melakukan ini? Mereka menyakiti kami semua," gerutu Sakura.

Percakapan berlanjut tanpa Naruto ikut andil. Diam-diam, pandangan jatuh pada si pria hijau. Ngomong-ngomong, dia belum tahu siapa nama pria itu. "Hei, siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.

Diskusi panas terputus. Dia dihadiahi tatapan sinis dari kedua makhluk berkepak sayap.

"Sasuke."

"Hanya itu?"

"Ya," sahut pria bernama Sasuke—yang bagi Naruto memang tak terlihat seperti manusia. Pria itu memang berpostur layaknya manusia, namun ada hal yang membuat Naruto yakin bahwa dia bukan manusia. Dan kini pria itu tengah menculiknya ke suatu tempat di antah berantah, entah dimana, menjebak.

Naruto menyipitkan mata. "Bisa kau jelaskan padaku, apa kau ini peri?"

"Kenapa kau bertindak tidak sopan pada pemimpin kami?!" kata Sakura agak ketus.

"Pemimpin?" Naruto blank. Menatap Sasuke. "Kau—"

"Sakura, Ino," potong Sasuke cepat-cepat, tapi tubuhnya malah terhuyung ke depan. Naruto menahan lengannya.

"Pangeran, kau terluka," jerit Ino, dia melompat turun dari bahu Sasuke bersama dengan Sakura. Mereka mendekat pada sisi pipi pria itu.

Naruto kelimpungan. Lengannya menahan kedua bahu Sasuke, membantunya berdiri tegak. Dia tidak mengerti bagian mana pria ini terluka. Apakah karena terjatuh tadi?

"Aku tidak apa-apa," kata Sasuke.

"Penjaga portamortalis melapor bahwa seseorang berniat menebang pohon di hutan suci," lapor Ino. "Kau tak mungkin baik-baik saja."

"S-Siapa?" Sakura hampir menangis. "Siapa yang melakukan hal sekeji itu?"

Masih ingat tentang kapak tajam yang dibawa Naruto? Rasanya bocah kaya raya itu mulai menyadari apa maksud percakapan mereka.

Sasuke memaksakan langkah menuju kuncup bunga terdekat. Naruto diam di tempat sambil memerhatikan. Kemudian, kuncup bunga itu terbuka karena sentuhan. Partikel-partikel kecil menyerupai serbuk berterbangan di sekitar Sasuke.

Dia menoleh. Pada Naruto.

"Bawa dia ke sangkar lebah," Sasuke berkata, nadanya dingin.

Benar juga, sejak awal Sakura dan Ino tidak tahu siapa pria berambut kuning yang dibawa pemimpin mereka. Pria itu jelas-jelas bukan berasal dari Natura.

Sakura mendekat; mengendus-endus tubuh Naruto hingga empunya kebingungan. "Kau bukan penduduk Sanktan," katanya.

"Dari mana kau berasal?" tanya Ino.

Sejak Sasuke memberi perintah yang berhubungan dengan sangkar lebah. Itu artinya adalah hukuman. Adalah penjara. Sangkar lebah seringkali digunakan untuk menghukum para manusia yang melewati batasan mereka. Biasanya mereka akan diberi waktu lima hari untuk membersihkan niat jahat mereka dari ambisi terhadap Viridean.

Jikalau sangkar burung tidak berhasil, mereka akan dikutuk menjadi pohon-pohon kecil yang berjajar di portamortalis.

"Aku berasal dari Civalot."

Keduanya tidak terkejut, mereka justru tertawa.

"Orang-orang Civalot banyak menjadi pajangan di hutan suci," jelas Ino jenaka. "Mereka adalah orang-orang serakah yang melukai pangeran."

"Apa maksud—"

"Ino!" tegur Sasuke memeringati. Ino segera mengikat benang kasat mata dan membuat Naruto tak bergerak.

"Hei," jerit Naruto, "apa-apaan ini?"

Tubuh Naruto terbang sekitar sepuluh kaki. Sementara rontaan yang dilakukan tak berarti apapun. Dia tetap digiring. Tiba pada sebuah lubang besar yang kosong. Tercium bau madu yang manis. Ketika kaki Naruto menapak di tanah, dia menginjak sesuatu yang licin seperti lendir.

"Yucks, ini seperti sperma," keluhnya. Tubuhnya didorong sampai sudut. Pakaiannya menempeli lendir coklat lain.

"Kau akan berada di sini selama lima hari. Jika setelah itu kau berjanji akan meninggalkan Viridean sejauh mungkin, kau akan dibebaskan," jelas Ino, menoel lendir coklat dan mengulumnya. "Ini adalah makananmu selama di sini."

Ino melangkahi ceceran madu. Ada penutup seumpama jaring yang membungkus pintu masuk sangkar lebah. Naruto meraihnya, benda itu lengket.

Dia terkurung. Dikunci.

"Aku tidak akan meninggalkan Viridean sebelum aku bisa mendapatkannya," teriak Naruto. Pria itu mencoba menarik jaring dengan hasil nihil.

Di balik bahunya, Ino menyeringai. "Coba saja. Kalau kau berniat menjadi pohon abadi."

Naruto memukul tembok dengan kepalannya. Kentalnya madu masuk ke sela jari. Kalau boleh jujur, sebenarnya dia masih tidak mengerti situasi macam apa ini?

Kenapa dia dikurung dalam sangkar lebah penuh madu yang berada tepat di dekat bangunan megah di dekatnya?

Istanakah? Istana apa?

Semuanya benar-benar membuatnya sakit kepala.

"Sial!"


Parade musim semi di Natura.

Ini adalah hari kedua Naruto di sini, di kurungan. Musim sudah berganti sebegitu cepatnya. Namun, tak ada yang berubah. Hijau sepanjang penglihatan. Hanya saja, bunga mulai mekar yang kemarin masih berupa kuncup.

Dari celah yang sempit ini, parade besar dimulai. Tidak seperti yang ada dalam bayangan Naruto. Sekumpulan peri berbaris memanjang ke belakang dengan meniup daun dan bunga. Suaranya apik. Meski nada yang terdengar hanya berupa daun bergesek. Suaranya bergoyang, tapi merdu.

Dalam barisan itu Naruto melihat Sasuke. Pakaian yang dikenakannya berbeda dengan kemarin. Pria itu memakai mahkota hologram yang punya sejuta warna. Permata kecil bertengger di tengah, warnanya hijau berkilau. Baju yang dipakai seperti baju kebesaran raja. Naruto terkadang melihat ayahnya memakai yang mirip seperti itu. Dengan celana menggebung bagian paha dan lutut. Pakaian yang terlihat lembut berwarna hijau pekat. Di bahunya terdapat seperti wadah lencana, tapi bagian itu fungsinya untuk perhiasan di sekitar dada.

Dan punggungnya ...

Naruto melihat itu ... punggung bersayap ...

Berwarna hijau muda.

Kelap-kelip dengan partikel cahaya.

Diam. Naruto blank. Meraih jaring penjara sekejap mata. Berteriak, "SASUKE!"

Barisan peri tiba-tiba bertubrukan karena pangeran berhenti. Namanya terpanggil di kejauhan, Sasuke menengok pada sangkar lebah yang berada tak jauh dari istana peri. Percayalah, mata dari kaum mereka mampu melihat dalam kejauhan sangat jelas. Apalagi hanya wujud kecil yang jauh seperti Naruto.

Mendengar teriakan berani seperti itu, barisan berbisik-bisik kecil. Lebih kepada mencibir tahanan yang baru itu. Sasuke tak menghiraukan. Kembali menapakkan kaki kuda putihnya.

Akan tetapi, barisan itu ternyata menuju ke istana, bubar. Sepertinya sengaja dibubar tiba-tiba, di kejauhan Naruto melihat sesuatu mendekat kemari—sesuatu yang cepat. Dan tiba-tiba ada di depannya.

"Kau harus ikut parade," kata sebuah suara, Naruto terbengong.

Yang ada di hadapannya adalah Sasuke—dalam bentuk lain; mewah, berkelas, tampan, indah dan ... bersayap.

"Kau peri!" tuduh Naruto.

"Tidak ada yang boleh absen dari parade," jawab Sasuke, melenceng.

"Untuk apa aku mengikuti parade dari penipu sepertimu. Kau tidak ingat, hei, wahai peri—atau siluman (yang sayangnya tampan, Naruto membantin yang ini) bahwa kau menggodaku dengan menyamar sebagai rakyat jelata yang terluka di hutan. Dengan liciknya menggunakan cara rendahan itu untuk menculikku dan membawaku ke sini?"

"Aka kubuka pintunya," Sasuke membuka jaring dengan kekuatannya. Naruto yang bersandar di sana terjatuh.

Naruto mengaduh.

"Hei, dengarkan aku berbicara," serunya, tapi Sasuke berbalik cepat setelah berkata,

"Kau ikut di barisan depan sebagai pengawalku."

"Hah?"

Naruto menuangkan minum pada cawan, minuman itu lalu diberikan kepada pangeran Sasuke.

Ya ampun, apa yang aku lakukan? Aku bukan budak!

Naruto menggebrak meja. Kerah pakaian Sasuke dicengkeramnya. Namun, saat ingin meledak, dia tidak bisa. Dia selalu merasakan getaran saat menyentuh pria itu.

Sial. Aku benar-benar tergoda pria berwajah wanita ini.

"Apa yang kau lakukan pada pangeran?!"

Puluhan tombak teracung padanya. Naruto tertawa remeh pada tombak-tombak sekecil jarinya tersebut. Rasa tusukannya pasti tidak sakit.

Dan dia memang tertusuk. Tapi setelah itu dia jatuh pingsan.

"Shikamaru, kau menaruh racun lagi di tombak itu?" tegur Sasuke.

Yang disebut nyengir. "Hanya sedikit ramuan untuk tidur."

Sasuke menghadiahi peri bernama Shikamaru dengan hukuman kecil. Dan menyuruh yang lain membawa Naruto ke kamar kosong. Biasanya ramuan Shikamaru suka menimbulkan efek yang tidak baik.

Seperti muntah-muntah misalnya.

Dan saat sadar, itulah yang terjadi.

"Apa aku masuk angin?" keluh Naruto. Apa yang terjadi?

Samar-samar dia mendengar percakapan seru dari balik pintu. Ketika membuka sedikit celah, Naruto melihat bahwa pintu itu berada dekat dengan ruangan besar yang menyerupai tempat bersantai.

"...mereka terus memanen dalam jumlah banyak. Mereka bahkan tak segan-segan berebut hasil alam di hutan suci, Pangeran. Ini tidak bisa dibiarkan."

Naruto melihatnya; yang barusan bicara adalah peri laki-laki dengan jubah coklat, sekitar hidungnya terbalut perban. Bukan untuk menutupi luka, mungkin semacam mode.

"Kurangi jumlah panen di Natura. Kau bisa melapor pada penjaga gunung agar memperingatkan penduduk Sanktan." Sasuke berkata.

Si peri cokelat merasa keberatan. "Kami sudah melakukannya. Sai, Shino, Kiba, dan Lee sudah diutus untuk melapor pada Tuan Kakashi, tapi kejadian ini terus menerus terulang. Kita harus memberi mereka hukuman."

Sasuke terdiam cukup lama. Lalu berkata, "Manusia adalah makhluk yang tidak pernah bisa merasa puas. Kita tidak boleh menantang mereka, karena kita juga melayani mereka."

"Tapi, Pangeran," seru peri itu, frustasi, "kami semua akan terluka lebih parah jika hasil panen diambil secara berlebih."

"Aku akan mengambil rasa sakit itu darimu, Kotetsu."

"Pangeran—"

"Percayalah padaku."

Si peri itu pergi dengan perasaan yang tidak lebih baik. Memang peri itu bermaksud berbuat kebaikan demi para kerabatnya, akan tetapi Sasuke juga harus memikirkan manusia. Karena mereka, para peri, sudah terpilih oleh Dewa Hutan untuk melayani kebutuhan sumber daya alam para manusia.

Sasuke mendesah. Setelah laporan dari peri itu, artinya dia harus membuat ritual untuk menarik rasa sakit para peri. Sebelum itu, dia akan memeriksa kamar Naruto dulu, untuk melihat apakah dia sudah terbangun.

Tepat saat Sasuke berdiri, Naruto buru-buru kembali berbaring—pura-pura tidur.

Pintu kamar berderit—benar-benar berderit karena dibuka. Tidak ada langkah. Naruto hanya merasa angin sedikit kacau.

Dan sesuatu mendekat. Hanya sesaat, kemudian suara dan hawa angin menghilang. Naruto enggan membuka mata, sampai dia jatuh tertidur.

Ketika terbangun lagi, langit tetap sama. Di sini benar-benar tak berawan. Tirai dibiarkan terbuka entah sejak kapan. Melirik ke meja, ada suguhan makanan yang bentuknya aneh—seperti lendir-lendir madu.

Apa dia makan itu lagi?

Dunia macam apa ini? Yang penduduknya dibiarkan mengonsumsi madu setiap hari seperti lebah. Karena itulah Naruto jadi merasa telah lama terjebak meskipun dia hanya baru dua hari.

Apa pun itu, dia harus memikirkan cara untuk keluar. Mungkin ini hanya mimpi—dan dia hanya harus bangun dari mimpi.

Tapi dia mengaduh ketika mencubit pipinya; artinya ini nyata, dia benar-benar di dunia peri.

Saat itu pula, Naruto mendengar suara rintihan. Keluar dari kamar, suara itu menggiringnya sampai ke tempat dimana dia melihat Sasuke berbincang dengan satu peri. Cepat-cepat Naruto menghampiri suara yang ternyata berasal dari sang pangeran.

Naruto melihat pangeran itu meringkuk di karpet merah. Tubuhnya berkeringat. Dia terus merintih dan menggeliat. Nampak kesakitan.

"Hei, ada apa?" Naruto mengguncangnya, tapi menjauh spontan karena tubuh itu terasa sangat panas. "Hei, Sasuke! Sasuke!"

Naruto melihat ke sekitar. Sepi sekali. Dia berteriak meminta pertolongan namun tidak ada yang mendengarnya. Dengan penuh usaha dia mengangkat tubuh Sasuke ke sofa. Berlari cepat-cepat menuju kamar dan mengambilkan bantal.

"Sasuke, kau mendengarku?" tanyanya, sedikit panik.

Sasuke berkata sesuatu, suaranya tidak terdengar.

Ini déjà vu.

"Air?"

Naruto mendapatkan anggukan, dia mengambil air dalam kamar. Karena terburu-buru, dia tersandung dan terjatuh. Gelasnya ikut pecah.

Ketika Naruto membersihkan pecahan kacanya, Ino tiba-tiba datang dan mengikatnya dengan benang-benang kasat matanya lagi.

"Apa yang kau lakukan pada pangeran?"

"Aku membantunya! Dia kesakitan!"

Ino melirik Sasuke, terkejut. "Kau ... Kau berniat membunuh pangeran!"

"Tidak! Hei! Lepaskan!

Naruto tak dibiarkan melawan. Dia digiring menjauh dari ruangan itu tanpa bisa melepaskan diri. Sebelum benar-benar pergi, Naruto melihat ke arah Sasuke, dan melihat mata hitam pria itu—seperti memohon.

Tbc.