.

.

.

Ten Years Gone.

.

.

Pair: Haehyuk

Rate: T

Warning: BL/Romance/Three Shot

Summary: Hanya sekejap Hyukjae memejamkan mata tapi sepuluh tahun telah terlewat. Dan kenapa orang yang sama sekali tak mencintainya kini justru hidup bersamanya?

.

.

.

.

Tangannya menggenggam erat tas berisi tremos ditangannya. Senyumnnya merekah disetiap langkah yang ia ambil. Sudah tidak terasa lagi dinginnya udara karena salju turun lebih cepat. Bahkan malam ini terlihat lebih indah menurutnya.

Tadi salah satu temannya yang satu faklutas dengan Donghae mengatakan jika kekasihnya itu sakit dan tidak mengikuti jam kuliahnya hari ini. Itu menjelaskan Donghae yang tak membalas pesannya seharian ini. Bukan hal baru Hyukjae menjadi orang terakhir yang tahu segala sesuatu yang terjadi pada Donghae.

Hyukjae mempercepat langkahnya saat gedung apartement tempat Donghae tinggal terlihat. Senyum terus merekah saat Hyukjae keluar dari lif lalu berjalan menyusuri lorong apartemen hingga sampai tepat di pintu yang begitu ia hafal. Dengan cepat Hyukjae menekan kata sandinya membuat pintu terbuka. Hyukjae mendapatkan sandinya dari ayah Donghae bulan lalu.

Donghae hanya tinggal dengan sang ayah karena ibunya sudah lama meninggal. Ia juga merupakan anak tunggal, membuat apartemen ini selalu sepi karena ayahnya yang begitu sibuk bekerja. Jadi saat Hyukjae mendengar suara seorang wanita disana, dahi Hyukjae mengernyit.

Siapa?

Dengan pelan Hyukjae mendekati satu-satunya ruangan yang diterangi lampu, kamar Donghae. Dan Hyukjae terdiam saat iris hitamnnya melihat sosok wanita itu disana. Berdiri menatap Donghae yang duduk sembari tangannya memegang erat tangan kecil wanita itu. Seakan tak ingin melapaskannya, seakan tak ingin kehilangannya.

Ini bukan hal asing, dan bahkan jika Hyukjae sudah berkali-kali menyakinkan diri sendiri bahwa Donghae adalah miliknya. Pada akhirnya kenyataan akan mengatakan sebaliknya. Realita akan menyadarkannya.

Bahwa hati laki-laki itu bahkan tak terjangkau olehnya.

Bagaimana saat ini Donghae dengan teguh menggenggam erat tangan wanita itu. Mengatakan perasaannya yang terdalam. Tentang hatinya yang digenggam erat oleh wanita itu. Tentang cintanya hanya untuk wanita itu.

Lalu bagaimana dengan Hyukjae?

Bagaimana dengan dirinya?

Apakah waktu yang mereka habiskan bersama tak ada artinya sama sekali? Apakah cinta Hyukjae untuknya tak berharga sama sekali? Sedangkal itukah hati Hyukjae untuk Donghae? Yang bahkan tidak dilihat apalagi dirasa. Yang tak dianggap dan dibiarkan begitu sama.

Keduanya terkejut karena termos ditangan Hyukjae jatuh menghantam lantai. Terkejut saat melihat Hyukjae yang terdiam di ambang pintu. Tapi Hyukjae tahu jelas apa yang Donghae rasakan sekarang. Tahu jelas apa yang begitu diinginkan laki-laki itu sekarang.

Karena sama sekali tak ada penyesalan diiris cokelat itu. Tak ada rasa takut saat Hyukjae mendengar pengakuannya untuk orang lain, tentang hatinya untuk wanita itu. Seakan itu adalah sebuah penegasan bahwa ia memang tak mencintai Hyukjae. Hatinya tak pernah untuk Hyukjae.

Tak pernah sekalipun.

.

.

.

Hyukjae membuka matanya, mengerjap untuk membiasakan bias cahaya yang masuk kematanya sebelum benar-benar terjaga. Ia bermimpi aneh, namun tidak tahu tentang apa. Ia langsung melupakannya begitu bangun. Meski ia mencoba mengingatnya pun percumah, hanya nyeri aneh didadanya yang tersisa.

Hyukjae akan berniat kembali tidur, tapi suara samar-samar yang terdengar ditelinganya membuatnya kembali terjaga. Perlahan Hyukjae mencoba bangun, duduk melihat sekitar sembari menguap. Jam berapa sekarang?

Sebelahnya sudah kosong dan dingin, menandakan Donghae sudah bangun berjam-jam yang lalu. Seperti orang linglung Hyukjae celingukan mencari asal suara yang menganggu tidurnya. Membuat helai rambutnya yang mencuat kemana-mana khas bangun tidur bergerak seirama.

"... ne terima kasih. Maaf sudah merepotkan."

"Gwencana, Hyung. Kalau begitu aku pergi dulu."

"Ya hati-hati dijalan."

Setelahnya Hyukjae mendengar deru mesin mobil yang melaju sebelum disusul suara pintu yang tertutup. Terlihat Donghae yang muncul dari arah pintu depan, mendorong dua koper besar di kedua tangannya. Agak terkejut saat mendapati Hyukjae sudah terjaga.

"Sudah bangun?"Hyukjae hanya mengangguk lalu telunjuknnya mengarah pada dua koper yang di bawa Donghae.

"Apa itu?"

"Barang-barang keperluan kita. Aku menyuruh salah satu asistenku membawanya kemari."

Itu menjelaskan siapa yang Donghae telpon semalam dan suara asing diluar rumah barusan. Tapi tunggu, jika itu adalah barang-barang mereka berarti Donghae berencana tinggal disini dengannya lebih lama bukan? Pikiran Hyukjae terpotong saat Donghae memberikan handuk bersih padanya.

"Kita akan mencari sarapan diluar, jadi segeralah mandi!"

Sebenarnya Hyukjae ingin bertanya, namun saat melihat Donghae yang mulai sibuk membongkar koper mereka ia urung. Orang yang baru bangun dari koma itu justru terdiam melihat Donghae mengambil sepasang baju lalu menaruhnya disampingnnya, itu pakaian Hyukjae. Laki-laki itu bahkan terlihat begitu teliti memeriksa barang-barang Hyukjae dari pada miliknya sendiri.

Perlahan Hyukjae beranjak kekamar mandi untuk membersihkan diri. Ia kembali diam didepan wastafel saat melihat ada sikat gigi lain yang diletakkan berdampingan dengan miliknya. Bahkan ia dapat melihat pakaian kotor Donghae tersampir di balik pintu kamar mandi.

Rasanya sangat aneh.

Kehadiran Donghae dalam hidupnya kini terasa sangat aneh. Dengan statusnya sebagai suaminya. Dengan seluruh kepeduliannya. Sesuatu yang dulu hanyalah mimpi belaka. Mustahil diwujudkan meski sekeras apapun Hyukjae berusaha.

"Kenapa kau melakukan semua ini Donghae?"

Itu yang Hyukjae tanyakan semalam, namun tak ada jawaban yang Donghae lontarkan untuknya. Laki-laki itu justru memeluknya dan dengan pelan mengatakan bahwa Hyukjae perlu istirahat. Bahwa Hyukjae tak perlu memikirkan apapun selain kesehatannya.

Suara ketokan pintu dari luar mengejutkan Hyukjae. Terdengar suara Donghae yang bertanya apakah dia baik-baik saja dengan nada khawatirnya. Sepertinya kesunyian dikamar mandi yang terlalu lama membuat Donghae berfikir yang tidak-tidak.

"Aku tidak apa-apa." Dan hanya itu yang bisa Hyukjae katakan.

Hyukjae segera mandi dan membersihkan diri. Memakai pakaian yang sudah Donghae siapkan untuknya. Donghae terus saja bertanya ini dan itu padanya. Bertanya apa Hyukjae merasa nyaman dengan pakaiannya atau tidak, atau apa Hyukjae merasa kedinginan atau tidak. Membuat Hyukjae menggerutu dalam diam.

Demi Tuhan ini bahkan sudah hampir jam sembilan pagi ditengah musim panas, siapa yang akan kedinginan? Hyukjae tak habis pikir. Sepuluh tahun ternyata cukup untuk merubah Donghae menjadi secerewet ibunya.

Audi putih itu melaju dijalanan yang mulai ramai. Melewati bangunan-bangunan asing disepanjang jalan yang akrab, hal itu sangat aneh dimata Hyukjae. Hal-hal berubah di dasar yang begitu Hyukjae kenal. Dengan cepat Hyukjae menggelengkan kepala mencoba melupakan waktu yang sudah berlalu begitu cepat.

Iris hitam Hyukjae bergeser melihat Donghae disebelahnya. Yang terlihat begitu santai menyetir dengan figurnya yang telah dewasa. Jangankan tempat tinggalnya, orang disebelahnya ini juga sudah banyak berubah. Hyukjae hampir tak mengnalinya saat pertama kali melihatnya setelah bangun dari koma.

Tapi meski begitu, Hyukjae tetap tak bisa membaca apa yang orang ini pikirkan.

Mobil itu berhenti disepanjang jalan pertokoan. Dahi Hyukjae mengernyit merasa sekitarnya tak asing. Keduanya keluar dari mobil sebelum Donghae menggiring Hyukjae masuk disebuah kafe yang ada disana. Tunggu, sepertinya Hyukjae mengenal tempat ini.

Mereka duduk disalah satu bangku. Diantara orang-orang yang terlambat sarapan seperti mereka. Hyukjae ingat sekarang, tempat ini adalah kafe faforitnya dulu. Hampir setiap akhir pekan ia akan datang kemari. Meski sekarang jauh lebih besar dari yang Hyukjae ingat.

"Tunggu disini."

Iris hitam Hyukjae melihat Donghae yang berjalan menuju deretan cake yang dipanjang di etalasi pendingin. Laki-laki itu terlihat bicara dengan pelayan disana. Ia beralih melihat keluar, melihat pertokoan dan orang berlalu lalang sebelum suara kursi yang kembali ditarik menyadarkannya.

Donghae kembali denan nampan penuh makanan dan minuman. Tersenyum senang sembari memberikan sepotong cake untuk Hyukjae beserta cokelat panas.

Tunggu, Hyukjae tak asing dengan cake didepanya. Strowberry chese cake yang begitu familiar. Alasan kedatangan Hyukjae hampir setiap akhir pekan ke cafe ini. Alasan ia rela kelaparan untuk menghemat uangnya demi sepotong cake ini.

"Kenapa diam? Bukankah ku sangat menyukainya dulu?"

Hyukjae hanya menatap Donghae, tak ada kata yang terucap darinya.

"Ada beberapa kue dan cake disini yang masih sama seperti sepuluh tahun lalu, beberapa yang menjadi faforit tetap dipertahankan."

Donghae benar, bahkan dekorasi kuenya pun masih sama persis seperti yang Hyukjae ingat. Perlahan tangan pucat itu menggenggam garpu. Memotong cake didepannya sebagian lalu melahapnya. Hyukjae terdiam setelahnnya. Iris hitamnnya mengabut tiba-tiba.

Sama. Rasanya masih sama seperti yang ia ingat.

Senyum itu terukir tampa Hyukjae sendiri menyadarinya. Baginya ini bukan hanya strowberry chese cake kebanyakan, ini lebih dari itu. Sebuah potongan waktu yang ia rindukan. Sebuah potongan kehidupan yang ia kenal.

"Enak?"

Dengan mata yang berkaca-kaca Hyukjae mengangguk dalam, membuat Donghae tersenyum. Laki-laki itu hanya menatap Hyukjae yang kini begitu senang memakan cakenya.

Tak ada yang mengatakn apapun setelahnya, bahkan hingga Hyukjae menghabiskan potong terakhir dari cakenya. Meski keduanya diam namun suasananya tidak buruk, sama sekali tak buruk.

.

.

.

"Ingin jalan-jalan?"

Hyukjae menghentikan langkahnya, ia menengok pada Donghae yang ada dibelakangnya.

"Apa?"

"Jalan-jalan sebentar, kita bisa meninggalkan mobilnya disini."

Dahi Hyukjae mengernyit sebelum melihat Audi putih tak jauh darinya lalu kembali melihat Donghae. Namun sebelum ia bisa mengatakan apapun, tangan hangat itu meraih jemarinya. Donghae berjalan sembari menggandengan tangannya menyusuri trotoar. Iris hitam itu menatap punggung kuat didepannya sebelum melihat kedua tangan mereka yang saling bertaut.

Dulu saat mereka masih sekolah, Donghae jarang menemaninya berjalan-jalan dikota. Laki-laki itu terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Mereka hanya akan bertemu disekolah dengan intensitas yang begitu rendah. Namun saat itu Hyukjae terlalu dimabuk cinta, terlalu buta untuk melihat. Yang penting saat itu untuknya adalah Donghae bersamannya. Itu saja.

"Sejujurnya tak ada yang berubah dari tempat ini."Ucap Donghae sembari mensejajarkan langkah mereka. Ia tersenyum saat melihat mata Hyukjae yang mengerjab tak mengerti.

"Lihat semua toko ini."Mata Hyukjae mengikuti telunjuk Donghae yang mengarah pada jajaran toko di sana.

"Hampir sebagian besar masih menjual hal yang sama. Hanya sedikit dekorasi yang membuatnya berbeda tapi didalamnya tetap sama tak ada yang berubah."

Iris hitam itu kembali menatap mata sendu beriris cokelat didepannya.

"Entah itu sepuluh tahun lalu atau pun sekarang, segalanya tetap sama."

Dapat Hyukjae rasakan remasan lembut tangan Donghae pada jemarinya saat mengatakan hal itu. Bahkan mata itu menyiratkan sesuatu yang Hyukjae sama sekali tak pahami. Kenapa Donghae melihatnya seperti itu? Kenapa ada rasa yang mengganjal dihati Hyukjae saat menatapnya?

Hyukjae menggelengkan kepalanya, ia tak ingin memikirkannya sekarang. Kakinya terus melangkah mengikuti kemanapun Donghae membawanya. Namun langkahnya terhenti saat melihat kemana Donghae berencana membawanya. Bahkan mata Hyukjae membulat melihat gedung didepannya. Donghae tersenyum melihatnya.

"Aku dengar ada film bagus yang sedang diputar akhir-akhir ini, reviewnya juga sangat bagus. Jadi kurasa kita harus menontonnya. Bukankah kau sangat suka menonton film?"

Hyukjae memang suka menonton film, ia bahkan punya puluhan koleksi film dulu. Tapi yang jadi masalah sekarang adalah orang disebelahnya ini. Donghae bukannya tidak menyukai film, Donghae hanya tak suka pergi ke bioskop. Menurutnya menonton dengan banyak orang disatu ruangan sangat tidak nyaman. Jadi bukan salah Hyukjae jika ia terkejut mendapati laki-laki ini mengajaknya ke bioskop.

"Ayo, kujamin kau akan menyukai filmnya."

Dan seperti yang sebelumnya, Hyukjae tak akan bisa menolaknya. Ia hanya bisa mengikuti langkah Donghae tanpa bisa melawan. Hanya diam tak menanggapi saat Donghae dengan antusias mengatakan sinopsis film yang akan mereka tonton setelah membeli tiket.

Mereka menonton film romantis, itu mengejutkan. Bukan berarti Hyukjae tak menyukainya, ia terkadang juga menonton film seperti ini. Hanya saja ini sangat bukan Donghae sekali, bukan film yang akan ditonton laki-laki ini setahu Hyukjae. Tapi nyatanya Donghae terlihat tak keberatan. Terlihat antusias menonton tanpa diduga. Dan dengan tangan hangatnya yang terus menggengam jemari Hyukjae bahkan hingga film berakhir.

"Bukankah filmnya bagus?"

Hyukjae hanya mengangguk tanpa melihat Donghae yang berjalan disampingnnya saat mereka keluar bioskop. Meski sejujurnya ia tak begitu mengerti jalan ceritanya karena ia lebih fokus pada tingkah laku Donghae yang tak biasa.

"Hyukjae."

Menghentikan langkahnya, iris hitam itu lantas melihat laki-laki berstatus suaminya. Melihat iris cokelat dikedua mata sendu itu. Melihat tatapan lembut yang seakan menggegam erat hatinya.

"Jika kau ingin pergi kemanapun hanya katakan padaku, aku akan membawamu kemanapun yang kau inginkan."

Untuk sesaat Hyukjae disadarkan akan alasan ia mencintai laki-laki ini dulu. Alasan ia rela tersakiti terus menerus hanya untuk bertahan menggenggam erat laki-laki ini.

"Hanya jangan pergi dariku seperti itu lagi."

Mencintai laki-laki ini hingga seperti ini.

.

.

.

Jatuh di lubang yang sama.

Dia benar-benar menghindari hal itu sejak awal tapi Donghae seakan menariknya kembali di jerat pesonanya. Seakan merayunya untuk kembali melakukan kesalahan yang sama. Itu mengerikan.

'Kenapa sangat mudah untuk jatuh cinta padanya?"

Gumanan itu terdengar ditengah kesunyian kamarnya dulu yang kini kosong tak ada apa-apa. Hyukjae berbaring dilantai kayu, melihat langit-langit disiang hari yang panas.

Mudah untuk jatuh cinta dengan seorang Lee Donghae, bahkan jika orang itu bersikap sangat dingin pun Hyukjae tetap jatuh hati. Namun sayangnya tak mudah untuk mencintai seorang lee Donghae. Membutuhkan hati berlapis baja untuk bertahan. Membutuhkan kesabaran tak terbatas untuk bertahan.

Helaan nafas itu kembali terdengar.

"Hanya jangan pergi dariku seperti itu lagi."

Ia mengacak-acak rambutnya sendiri saat mengingat kata-kata Donghae hari yang lalu. Kenapa Donghae harus mengatakan hal seperti itu padanya? Kenapa orang itu harus melambungkan hatinya sedimikian rupa? Kenapa? Kenapa?

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Astaga!" Hyukjae begitu terkejut mendapati Donghae diambang pintu kamarnya.

Tahu saja orang ini jika sedang ia pikirkan. Kenapa cepat sekali orang ini kembali dari pergi berbelanja? Mencoba mengurangi kegugupannya, Hyukjae hanya menunjuk kamar kosongnya acak.

"Aku hanya sedang merindukan kamarku yang dulu."

Bukannya meninggalkannya sendiri, Donghae justru ikut masuk kekamarnya. Mengamati sekitarnya.

"Dulu temboknya biru bukan?"

"Ya."

"Kau ingin aku mengecatnya biru kembali?"

"Ya. Eh tunggu, apa?!"

Donghae hanya tersenyum melihatnya panik. Dengan santai melangkah keluar kamar.

"Aku akan beli cat dulu, aku akan segara kembali."

"Apa?!" Hyukjae melotot, apa Donghae serius?!

Tubuh kurus itu langsung beranjak mencoba mengejar Donghae. Hyukjae hanya beralasan saja tadi, ia tidak menyangka Donghae menganggapnya serius. Namun Donghae akan tetap menjadi Donghae. Ia tak akan bisa dihentikan jika sudah memiliki kemauan. Tidak akan menyerah jika sudah bertekad.

Jadi tidak heran jika satu jam berikutnya Hyukjae sudah melihat sumaminya itu berkutat dengan cat tembok dikamarnya. Sibuk sendiri dan melarang Hyukjae untuk membantu. Tangan pucat itu kembali mencoba meraih kuas cat.

"Hyuk! Harus berapa kali kukatakan, tak usah lakukan apapun! Pergi kebawah! Makan sesuatu lalu minum obatmu dan istirahat!"Hyukjae diusir keluar kamar setelah Donghae mengatakan itu.

Akhirnya dengan cemberut dan bersungut-sungut Hyukjae berjalan menuruni tangga. Sesekali ia akan melihat ke lantai dua dengan tak rela. Hyukjae memang baru bangun dari koma, tapi bukan berarti ia sakit-sakitan! Harus berapa kali Donghae diingatkan tentang itu! Dengusnya.

Iris hitamnnya menangkap plastik-plastik putih berisi bahan makan didapur. Donghae yang membelinya tadi. Tangan pucatnya mengeluarkan bahan-bahan makanan disana. Ada buah, sayur, daging ham siap makan, roti, dan selai. Jadi tanpa pikir panjang Hyukjae segera mengolahnya.

Meski ia tak bisa membantu mengecat tembok kamarnya, namun setidaknnya ia bisa membuat makan siang untuk mereka berdua. Meski hanya roti isi daging dan sayur yang sederhana, tapi Hyukjae tulus membuatnya. Ia menaruh sepiring roti isi di atas lantai kayu. Duduk tenang disana sembari menunggu Donghae turun.

Bahkan jika perutnya sudah berbunyi sejak tadi, ia tak menyentuh makanannya. Ia harus makan dengan Donghae. Karena ia membuatkannya untuk Donghae.

"Hyukjae?"

Senyum Hyukjae tanpa sadar merekah saat mendapati Donghae akhirnya turun dari lantai atas, dengan bercak cat disana sini. Tangannya dengan semangat mengulurkan sepiring roti itu pada Donghae. Membuat dahi suaminya mengernyit, mata sendunya melihat roti isi didepannya.

"Kau belum makan?" Ada keseriusan di nada bicara Donghae, seakan Hyukjae baru saja melalukan kesalahan fatal.

Dengan ragu Hyukjae menggeleng.

"Aku membuat roti isi untuk makan siang kita, kupikir akan melelahkan mengecat seluruh tembok kamar sendirian jadi... jadi emm...maaf."

Entah kenapa Hyukjae begitu susah menjelaskannya, padahal ia tak merasa melakukan kesalahan. Tapi cara Donghae melihatnya membuat Hyukjae merasa bersalah entah mengapa. Ia hanya bisa menunduk dalam sebelum tangan hangat itu mengusap kepalanya lembut. Hyukjae mendongak.

"Aku senang kau membuatkan kita makan siang, tapi kau tak perlu menungguku. Ini sudah lewat jam makan siang, kau juga pasti belum minum obatmu bukan?" Hyukjae bungkam yang berarti membenarkan semua perkataan Donghae.

Laki-laki itu menghela nafas sebelum membagi roti isi didepannya menjadi potongan yang lebih kecil hingga mudah dimakan lalu memberikannya pada Hyukjae.

"Makanlah dengan teratur dan minum obatmu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik."

Iris hitam itu hanya bisa melihat Donghae yang mulai memakan roti isinya sendiri. Dadanya terasa geli karena semua yang Donghae ucapkan. Seakan-akan kesehatan Hyukjae adalah hal terpenting untuknya. Seakan-akan Hyukjae adalah prioritas utamannya.

Selesai makan siang, Donghae kembali kelantai atas untuk menyelesaikan pekerjaannya, tentu sebelumnnya ia memastikan Hyukjae beristirahat dan tak melakukan apapun. Membuat istrinya itu kini berbaring bosan karena ia sama sekali tak mengantuk. Demi Tuhan, semalan Donghae membuatnya tidur terlalu awal, dan sekarang ia sama sekali tak bisa memejamkan mata apalagi tidur.

Mata hitamnya menangkap ponsel Donghae yang tergeletai disampingnya. Ia menimang sejenak sebelum perlahan tangan pucatnya meraih benda itu. Sempat kebingungan diawal karena alat digenggamannya terlalu canggih, namun pada akhirnya ia bisa mulai memahaminya.

Isi ponsel Donghae sangat biasa, monoton kalau boleh Hyukjae katakan. Bahkan galeri fotonya kosong tanpa ada apapun. Hanya daftar lagunya saja yang membludak, mungkin karena pekerjaannya. Satu-persatu Hyukjae memutar daftar lagunya, mendengarkan nada-nada lembut yang begitu menenangkan dengan volume yang kecil.

Hyukjae sangat menikmatinya, bahkan ia tak sadar jika sudah belasan lagu ia putar.

"Kau menyukainya?"

Terkejut, Hyukjae reflek bangun dan melempar ponsel Donghae ke lantai. Astaga, kenapa Donghae suka sekali mengagetkannya seperti itu? Tangan besar itu perlahan mengambil poselnya yang tergelatk tak berdaya di lantai.

"Jika kau menyukainya, kau boleh memilikinya."

Dengan cepat Hyukjae menggeleng. Benda itu milik Donghae dan Hyukjae tahu betapa tak sukanya Donghae jika Hyukjae meminjam barang pribadinya. Dulu saja Donghae pernah begitu marah padanya karena Hyukjae memegang kamera kesangannya. Kesayangan karena merupakan hadiah dari wanita itu.

Suasana menjadi hening dan aneh setelahnya. Seakan jarak diantara mereka semakin diperjelas. Tembok diantara mereka semakin ketara.

"Kamarmu sudah selesai dicat, kau ingin melihatnya?"Donghae tersenyum mencoba meringankan suasana diantar mereka.

Keduanya perlahan menaiki tangga, berjalan menuju pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Donghae membuka pintunya lebih lebar sehingga ia bisa masuk dengan luluasa. Langkahnya terhenti seketika. Mata hitamnnya terbuka lebar melihat sekitaranya.

Biru langit. Sama persis seperti yang ia ingat.

Bahkan jika kamar ini kosong tanpa perabotan tapi Hyukjae seakan kembali ke waktu dimana seharusnya ia berada. Tempat yang begitu dikenalnnya. Sepuluh tahunnya yang hilang.

"Kita bisa tinggal disini jika kau menginginkannya."

Suara rendah itu membuat Hyukjae melihat Donghae disebelahnnya. Melihat betapa lembut iris cokelat itu kini melihatnya.

"Mwo?"

"Aku tak keberatan jika kau ingin kita pindah kemari."

Tatapan sendu yang selalu mampu membuat hati Hyukjae luluh tak berbekas.

"Aku tak keberatan jika itu memang keinginanmu."

Yang akan selalu dengan mudah membuat Hyukjae mencintainnya.

"Apapun keinginanmu, Hyuk."

.

.

.

Hati itu tak bisa dikendalikan.

Bahkan jika pernah terluka parah sekalipun, hal itu tak akan membuatnya jera. Selama sang pemilik masih bernafas maka hati tak akan pernah berhenti mencari kasih sayang. Tak peduli apa yang di korbankan, tak peduli apa yang harus di pertaruhkan.

Cinta memang menakutkan.

Dan hal itu benar-benar Hyukjae rasakan sekarang. Dimana dia menatap dengan takut-takut bekal di atas meja. Bekal buatannya sendiri, dengan jiri payahnya sendiri. Tapi alasannyalah yang membuatnya takut saat melihatnya.

Hatinya yang tak bisa dikendalikanlah yang menuntunnya membuat kotak bekal itu. Hatinya yang tak bisa dikendalikanlah yang kini membuatnya berganti pakaian hingga lima kali hanya untuk memastikan penampilannya menarik.

"Kenapa aku melakukan semua ini?!"

Hyukjae berjongkok di samping meja makan sembari mengacak-acak rambutnya sendiri. Tanpa sadar ia kembali terbawa perasaannya. Tanpa sadar kembali menjajaki kisah cintanya yang jelas-jelas menyedihkan. Kembali mendamba Donghae dengan segala pesonanya.

"Apapun keinginanmu, Hyuk."

Kata-kata Donghae hari itu kembali terngiang di kepalanya. Dimana laki-laki itu sukses kembali membuat jantung Hyukjae berdetak tak terkontrol. Kembali merasakan gelinya kupu-kupu di perutnya. Meski pada akhirnya Hyukjae menolak tawaran itu dan mereka memutuskan kembali lagi ke Seoul, cara Donghae memperlakukannya waktu itu masih membekas begitu dalam dan tak bisa ia lupakan.

Saat itu untuk sejenak Hyukjae merasa bahwa Donghae adalah miliknya.

Untuk sejenak terasa hati itu memang untuknya.

Jadi dengan malu-malu dan berdebar ia keluar dari apartement. Berbekal GPS Hyukjae berjalan ke halte untuk menuju kantor Donghae berada. Mudah baginya menyesuaikan diri dengan teknilogi sekarang, karena ia memang tipe yang terbuka tentang hal-hal seperti itu sejak dulu.

Kenapa tidak langsung bertanya pada Donghae? Atau mengabari Donghae terlebih dahulu?

Jawabannya hanya satu, canggung. Masih ada sekat diantara mereka yang Hyukjae sendiri tak tahu bagaimana menjelaskannya. Membuat Hyukjae sulit bahkan untuk bicara pada orang yang menikahinya secara sepihak itu. Seakan tembok yang begitu tinggi dibangun diantara mereka berdua.

Alhasil saat sampai di gedung besar milik salah satu manajemnet terbesar di Korea itu, Hyukjae hanya bisa celingukan seperti orang hilang di tengah loby utama. Kaki kurusnya perlahan berjalan mendekati bagian resepsionis tak jauh dari sana. Seorang wanita cantik berpakaian rapi segera menyambutnya dengan senyuman menawan.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Hyukjae mengigit bibirnya dengan tanganya yang mencengkram kuat sekantong bukusan berisi makanan. Apa yang harus ia katakan? Istri Lee Donghae ingin bertemu suaminya, begitu? Gila saja!

"Bisakah..."

"Ya?'

"Bisakan aku bertemu dengan Lee Donghae?"

"Lee Donghae-shi?"

"Iya, bisakah aku bertemu dengannya sekarang?"

"Anda sudah membuat janji?"

Janji? Dengan polos Hyukjae menggeleng pelan. Wanita itu tersenyum kembali, entah kenapa hal itu bukanlah pertanda baik untuk Hyukjae.

"Maafkan saya tuan, tapi kami tidak bisa menemui Lee Donghae-shi tanpa janji."

"Tapi aku-"

"Hyukjae Hyung?"

Panggilan seseorang memotong perkataan Hyukjae yang siap mengajak wanita resepsionis itu berdebat. Ia melihat seorang laki-laki lebih muda darinya berjalan mendekatinya dengan rambut cokelat terang yang begitu mencolok.

"Hyukjae Hyung, apa yang kau lakukan disini?"Dahi Hyukjae mengernyit.

Siapa orang ini? Apa ia mengenal orang ini?

Melihat wajah kebingungan Hyukjae, laki-laki itu hanya tersenyum maklum sebelum mengatakan pada wanita itu bahwa Hyukjae adalah kenalannya dan mengajak istri Donghae itu menaiki lif menuju lantai atas gedung itu.

"Oh Sehun, asisten Donghae Hyung. Kita sudah beberapa kali bertemu sebelumnya. Mungkin Hyung tak ingat karena waktu itu kau masih koma."

Saat orang itu memperkenalkan diri Hyukjae jadi teringat sesuatu. Suara orang ini tak asing. Ia ingat sekarang, Suara orang ini sama persis seperti dengan suara orang yang mengantar barang-barangnya dan Donghae saat di Mokpo. Tidak salah lagi! Dengan segera Hyukjae membungkuk sopan.

"Senang bertemu dengamu, maaf jika aku sering merepotkanmu."Entah kenapa Hyukjae merasa orang ini pasti kerap ia repotkan saat ia masih koma.

Sehun tertawa ringan menanggapinya.

"Tidak perlu seformal itu, seperti Donghae Hyung, kau juga sudah kuanggap kakakku sendiri."

Perkataan orang ini bukannya membuat Hyukjae nyaman tapi justru menjadi semakin segan. Ia tak pernah bicara dengan orang ini tapi sudah dianggap kakak sendiri? Bukankah itu aneh?

Mereka tiba dilantai 7 lalu berjalan menyusuri lorong dengan orang yang berlalu lalang. Sehun segera menggiringnya di balkon besar tempat itu. Ada deretan kursi dan meja yang ditata apik disana.

"Tunggulah disini. Donghae Hyung sedang ada rapat diruangannya, tapi sebentar lagi juga selesai."

"Ah, ne."

Tunggu dulu. Dari mana Sehun tahu ia ingin menemui Donghae? Hyukjae akan bertanya namun asisten Donghae itu sudah menghilang dari sana. Hyukjae cemberut, apa ketara sekali dari wajahnya kalau ia ingin menemuai suaminya? Apa tertulis jelas dikeningnnya?

Awalnya Hyukjae memainkan ponselnya sembari menunggu Donghae, tapi bermenit-menit setelahnya ia mulai merasa bosan duduk sendiri di balkon luas yang begitu sepi. Mau menelphon Donghae pun ia takut akan mengganggu.

Iris hitamnnya beralih pada bukusan berisi bekal makan siang untuk Donghae. Ia tersenyum, teringat pada Donghae yang menghabiskan roti isi buatannya saat di Mokpo. Laki-laki itu terlihat menyukai makanan buatannya, membuat dada Hyukjae menghangat dengan cara yang tak biasa..

Suara percakapan di dalam lorong itu membuat Hyukjae mendongak. Dapat ia lihat dari pintu kaca Donghae yang membungkuk sopan pada segerombolan laki-laki yang akan memasuki lif. Mereka merjabat tangan sejenak sebelum orang-orang itu memasuki lif dan pergi, meninggalkan Donghae berdiri seorang diri di lorong itu.

Hyukjae segera beranjak, senyumnya merekah saat itu berjalan membuka pintu kaca akan menghampiri Donghae.

"Donghae!"

Tidak. Itu Bukan Hyukjae. Yang berjalan menghampiri Donghae dengan senyum menawan itu bukan Hyukjae. Yang kini di balas Donghae dengan senyum lembut itu juga bukan Hyukjae.

Karena Hyukjae kini diam ditempatnya. Termangu diam menyaksikan semuanya.

"Sungmin Nonna? Kau sudah selesai recording?"

"Tinggal sedikit, asistenku akan menggurusnnya. Lihat ini!" Sungmin mengakat kotak-kotak pizza ditangannya.

"Kau pasti belum makan siang, benarkan?" Donghae hanya mengusap tengkukknya. Tampak sedikit malu dengan senyum tak enak.

"Kajja! Kita makan bersama ke ruanganmu!"

Tangan putih itu merangkul lengan Donghae. Laki-laki itu tak menolak saat kembali digiring ke ruangnnya. Keduanya malah bercanda dan tertawa disepanjang lorong dengan akrab. Sama sekali tak tahu bahwa satu hati tengah retak dengan serpihan yang tak bisa disatukan.

Satu hati tengah siap dengan kerusakan yang parah.

Bekal itu terjatuh dilantai tak berdaya. Hyukjae bahkan sudah tak merasakan apapun lagi sekarang. Ia hanya diam dengan semua kebodohannya.

Kebodohan untuk kembali jatuh dilubang yang sama.

Untuk kembali mempertaruhkan hatinya yang sudah rusak.

Hatinya yang keras kepala. Hatinya yang tak pernah mau mendengarkan akal sehatnya. Selalu menganggap Donghae adalah miliknya, Donghae adalah untuknya. Tak peduli jika kenyataan berkata sebaliknya. Lelaki itu, yang menggengam hatinya erat tak akan pernah membalas cintanya. Tak akan pernah memberikan hatinya pada Hyukjae.

Alasannya masih sama.

Karena Donghae tak akan pernah mencintainya.

.

.

.

Suara tawa renyah segara menyambut Sehun saat memasuki ruangan Donghae. Dua produser handal perusahaan ini sedang bercengkramah sembari menikmati pizza ditangan mereka. Namun dahinya mengernyit saat merasa ada yang janggal disana.

"Dimana Hyukjae Hyung?"

Donghae dan Sungmin melihatnya tak mengerti.

"Hyukjae?" Sungmin bahkan balik bertanya.

"Ne, dia tadi kemari ingin bertemu denganmu Hyung. Tapi tadi kau sedang rapat jadi aku menyuruhnya menunggu di balkon. Mungkin-"

Kalimat Sehun terpotong saat Donghae tak sengaja menabrak pundaknya saat berlari keluar ruangan. Ia dengan panik menuju balkon dekat belokan lif. Akan membuka pintu kaca kalau saja kakinya tak sengaja menendang bungkusan yang tergeletak dilantai. Membuat kotak bekal didalamnnya terpental keluar begitu saja.

Donghae perlahan mendekatinya. Tangannya terulur mengambil kotak bekal itu.

Ia tentu mengenalinya.

Donghae segera mendongak, melihat kesegala sudut namun tak ada sosok istrinya disana. Menaiki lif, ia pergi menuju ke lobi bawah namun nihil. Saat ia bertanya pada resepsionis, mereka mengatakan istrinya sudah keluar gedung sejak tadi.

Donghae semakin panik.

Kenapa Hyukjae pergi begitu saja?

Tak ada lagi waktu untuk mengambil mobil di basement, Donghae menstop taksi sembarangan. Ia bahkan meninggalkan ponselnya di meja kerjanya. Membuatnya tak bisa menghubungi Hyukjae sama sekali. Yang ia tahu ia harus segera bertemu dengan istrinya.

Kedua kaki itu tak bisa diam didalam taksi. Selama perjalanan otaknnya penuh akan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Tapi dari segala hal yang dipikirkannya, ia hanya ingin Hyukjae baik-baik saja.

Tepat saat ia berdoa, tepat saat iris cokelatnya menangkap sosok akrap dipinggir jalan.

"Berhenti!"

Donghae melempar entah berapa won ke pada sopir taksi sebelum melompat keluar. Ia berlari mendekati sosok itu. Tangannya terulur meraih lengan pucat yang begitu kecil dan rapuh itu. Hanya untuk melihat iris hitam yang kini mengabut. Hanya untuk melihat kesedihan yang kini tergambar jelas disana.

Hyukjae mundur menghindari suaminya, ia bahkan mencoba menarik lengannya yang dicengkram erat suaminya.

"Hyukjae, kau baik-baik saja?"

"Lepas."Rintihan itu terdengar begitu pelan.

"Hyuk, wajahmu sangat pucat."

Donghae menggenggam jemari istrinya, terkejut saat jemari itu terasa begitu dingin. Bahkan sekarang ia bisa mendengar deru nafas Hyukjae yang mulai tak teratur.

"Aku bilang lepas!"

Sentakan itu membuat tangan Hyukjae terlepas dari genggaman suaminya. Tubuhnya mundur mencoba menghindari sentuhan Donghae.

Ia tak mau orang ini menyentuhnya.

Ia tak mau hatinya semakin rusak lebih dari ini.

"Hyuk..." Panggilan itu terdengar saat iris cokelat itu melihat air mata mengalir di mata hitam istrinya.

Namun Hyukjae menggeleng dengan tubuh yang perlahan merosot terduduk ditrotoar. Donghae dengan panik memegangi lengannya tak peduli lagi dengan penolakan istrinya. Deru nafas istrinya yang semakin lambat membuatnya khawatir bukan main.

"...pulang."

"Hyukjae."

"Aku ingin pulang."

"Tentu kita akan pulang Hyuk."

Kepala kecil itu menggeleng lemah sebelum kembali berguman jika ia ingin pulang.

Pulang diwaktu seharusnya ia berada.

Pulang ditempat seharusnya ia berada.

Seharusnya ia tak pernah bangun. Seharusnnya ia tetap tertidur jika pada akhirnya hal yang sama kembali terulang. Hatinya yang kembali harus kesakitan dan hancur berantakan. Kembali merasakan rasa sakit yang tak pernah ia bayangkan sebelumnnya.

Darah itu mengalir perlahan dari hidung pucat Hyukjae. Donghae terbelalak, ia berteriak panik saat merasakan tubuh Hyukjae melemas sebelum kehilangan kesadarannya.

.

.

.

"... menimbulkan efek yang kurang baik untuk tubuhnya."

Suara samar-samar itu membangunkan Hyukjae. Bola matanya mengerjap perlahan membiasakan keadaan sekitarnya yang remang-remang. Butuh beberapa saat sebelum Hyukjae menyadari tubuhnya yang begitu lemas tak berdaya.

"Jadi bagaimana keadaannya sekarang?"

Suara itu membuat Hyukjae kembali menyadari sekitarnya. Ia ada dikamarnya. Kamarnya dengan Donghae diapartemen mereka. Dapat iris hitamnnya lihat pintu kamar yang tak tertutup sempurna. Membuatnya dapat melihat dua sosok yang kini sedang bicara dengan serius disana

"Dia baik-baik saja sekarang. Tubuhnya hanya merespon karena ia terlalu lelah, belum lagi ia tak meminum obatnya tepat waktu membuatnya semakin menjadi."

"Lalu kenapa hidungnnya berdarah, apa karena cidera otaknnya?"

"Tidak, darah dihidungnya karena ia kelelahan, tidak ada hubungannya dengan cidera otak yang dialami sebelumnya. Jadi tak perlu terlalu khawatir"

Suasana menjadi hening setelah itu.

"Donghae."

"Ya dokter?"

"Bukannya aku ingin ikut campur, tapi harus kuingatkan kembali bahwa tubuh Hyukjae sekarang berbeda dengan saat sebelum ia kecelakaan. Tubuhnya terlalu terbiasa dengan alat bantu selama ia koma dan hal itu membuatnya menjadi lebih lemah. Ia tidak boleh terlalu lelah."

"Aku tahu, Dokter."

"Yang aku maksud bukan hanya lelah fisik Donghae, tapi juga mental."

Kali ini Donghae tak menjawab. Seakan kata-kata Dokter itu baru saja membungkamnya. Hyukjae hanya mendengarkan semua itu dalam diam.

"Sudahlah, hanya pastikan ia beristirahat dan meminum obatnya."

Setelah itu hanya suara langkah kaki yang semakin menjauh yang dapat Hyukjae dengar. Donghae kembali kemar tak lama setelahnya. Terlihat terkejut saat mendapati Hyukjae sudah membuka matanya.

"Hyukjae, astaga syukurlah kau bangun."

Hyukjae perlahan membalikkan badannya membelakangi Donghae.

"Hyukjae, kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"

"Aku ingin pulang."

"Kita sudah dirumah, Hyuk."

"Aku ingin pulang, Donghae."

Hyukjae tahu Donghae bukanlah orang bodoh. Laki-laki itu pasti tahu apa mau Hyukjae tanpa harus Hyukjae jelaskan secara gamblang. Bahwa Hyukjae tak bisa melihatnya. Bahwa Hyukjae bahkan tak tahan satu ruangan dengannya.

Lama hanya ada kesunyian di kamar itu, sebelum Hyukjae merasakan usapan lembut di rambutnya.

"Arra, akan kuhubungi ayah dan ibu dan kusiapkan pakaianmu."

.

.

.

Ini sudah hampir dua minggu.

Hampir dua minggu ia tinggal dirumah orang tuanya. Hampir dua minggu ia meninggalkan apartement mereka. Dan hampir dua minggu ia tak melihat suaminya.

Tidak benar-benar tak melihatnya sebenarnya. Karena Donghae akan rutin mengujunginya di rumah orang tuanya, meski Hyukjae hanya akan mengurung diri di kamar. Kadang kala saat tak sengaja Hyukjae terbangun ditengah malam ia akan mendapati Donghae duduk tertidur di sebelah ranjangannya tapi akan hilang keesokan harinya. Atau saat Hyukjae masih terjaga dan berpura-pura tidur maka Donghae akan masuk kekamarnya dan mengusap kepalanya lembut.

Setiap hari ponselnya akan berbunyi untuk pesan-pesan yang rutin Donghae kirimkan padanya. Hyukjae tak tahu apa isinya. Hyukjae tak pernah mau membukanya. Tapi sepertinya itu juga tak menggentarkan pesan-pesan itu untuk terus datang tiap harinya.

Hal ini kadang membuat Hyukjae tak mengerti. Apa mau Donghae sebenarnya?

Gonggongan anjing kecil disebelahnya menyadarkan Hyukjae. Ia melihat anjing kecil berbulu cokelat terang yang tengah menjilati jemarinya. Namanya Bori, pengganti Choco anjing kesangannya yang kata ibunya meninggal dua tahun lalu. Tepat saat Bori berpindah kepangkuannya, ibunya memanggilnya.

"Ada yang mencarimu."

Hanya itu yang ibunya katakkan sebelum kembali kedapur. Hyukjae segera beranjak, tersenyum saat Bori mengikutinya sembari mengongong lucu. Namun senyum itu hilang tepat saat ia melihat siapa yang bertamu kerumahnya. Tersenyum hangat padanya yang hanya bisa mematung didepan pintu.

Lee Sungmin.

"Kudengar kalian bertengkar." Kalimat itu cukup membuat Hyukjae tersedak teh yang coba ia minum.

Mereka kini ada diteras belakang. Duduk dilantai kayu sembari meminum teh hangat buatan ibunya. Tangan pucat Hyukjae segera meletakkan cangkir tehnya kembali. Iris hitamnnya melirik wanita disebelahnya yang tersenyum hangat dengan aura kental akan keibuan. Tak heran Donghae begitu mencintai wanita ini. Hingga masalah rumah tangga sendiri ia umbar pada Sungmin, Lee Donghae pabo!

"Kau tahu bekerja dibidang seni selalu tergantung dari suasana hati. Dan jujur saja minggu-minggu ini pekerjaan Donghae buruk sekali, ia banyak melakukan kesalahan disana-sini saat mengerjakan lagu. Jelas menggambarkan suasana hatianya sangat tidak bagus."

Dahi Hyukjae mengernyit mendengarnya. Merasa tidak bertanya keadaan Donghae pada Sungmin.

"Kenapa kau mengatakan hal itu padaku?"

"Kenapa? Tentu saja karena kau istrinya. Sudah seharusnya kau peduli padanya."

Istri. Status yang Hyukjae dapatkan begitu saja saat membuka mata. Yang bahkan hingga saat ini tak Hyukjae mengerti apa artinya.

"Aku tidak bermaksud mengguruimu Hyukjae, tapi komunikasi kalian benar-benar ditahap yang mengkhawatirkan."

Wanita itu menyamankan duduknya, menghadap tepat ke arah Hyukjae yang termangu memikirkan ucapannya.

"Aku tahu mungkin keadaan sekarang masih sangat baru bagimu dan mungkin masa lalu masih jelas untukmu, tapi Hyukjae bukankah yang kau lakukan ini sedikit tak adil untuk Donghae?"

Tidak adil? Tidak adil bagaimana maksud wanita ini?

"Selama ini Donghae selalu mencoba melihat segalanya memalui sudut pandangmu, tapi kau tidak melakukan hal yang sama Hyukjae, itu kurang adil."

Sudut pandang? Sudut pandang apa? Hyukjae semakin tak mengerti.

Melihat raut wajah kebingungan didepannya wanita itu tersenyum. Perlahan tangannya meraih tangan pucat laki-laki didepannya. Menepuknya hangat.

"Aku hanya ingin agar kau berlaku adil pada suamimu. Jangan hanya melihat dari sudut pandangmu tapi juga lihat dari sudut pandangnya. Lihat juga apa yang dirasakannya."

"Buka matamu lebih luas, Hyukjae. Kalian berdua sudah kuanggap seperti adikku sendiri, dan aku ingin kalian menemukan kebahagiaan kalian."

Kata-kata itu terucap dengan tulus, dengan senyum hangat dari wanita cantik didepannya. Membuat Hyukjae teringat akan alasan Donghae mencintai wanita ini. Hatinya. Hati wanita ini yang begtu bersih.

"Oh ya, ngomong-ngomong aku kemari ingin mengatarkan undangan pernikahanku. Kuharap bisa kau datang bersama dengan suamimu."

.

.

.

Semua kata-kata Sungmin tempo hari membuat Hyukjae tak bisa tidur semalaman. Wanita itu mengatakan Hyukjae berlaku tak adil pada Donghae, tapi Hyukjae sama sekali tak mengerti. Dan apa kata wanita itu berikutnya? Menikah? Astaga ini semakin membingungkan unttuknya.

Merasa lelah berfikir Hyukjae segera berjalan menuju dapur. Membuka kulkas sebelum meneguk air dingin sebagai usaha menjernihkan pikirannya. Tepat saat ia kembali menutup pintu kulkas iris hitamnnya menangkap rangkaian bunga mawar tertata rapi diatas meja makan. Perlahan ia duduk di sana melihat bunga berkelopak putih itu mekar segar seperti baru dipetik.

Kemarin mawar merah, sekarang mawar putih. Sejak kapan ibunya itu menjadi maniak bunga? Hyukjae juga tak menemukan pohon mawar disekitar rumahnnya. Jadi dari mana bunga ini berasal?

"Cantik bukan?"Suara ibunya yang memasuki dapur mengalihkan perhatian Hyukjae.

Wanita itu tersenyum saat melihat putranya terpaku pada bunga di atas meja makan mereka.

"Donghae yang mengirimnnya tadi pagi, karena sepertinya kau tidak tertarik dengan mawar merah yang ia kirimkan kemarin maka hari ini ia mengirim yang putih."

Iris hitam Hyukjae kembali melihat bunga itu dengan diam. Merasakan gejolak aneh dalam dadanya. Ada dua sisi dalam dirinya, dimana sebagian ingin percaya dan sebagian tidak. Hal ini menimbulkan konflik batin di dalam dirinya sejak bertemu dengan Sungmin tempo hari semakin menjadi.

"Ibu."

"Ya?"

"Kenapa kau membiarkan dia menikahiku?"

Wanita itu berhenti mengupas kentang dan melihat putranya yang masih duduk di kursi meja makan. Melihat raut wajah penuh beban putranya. Mencuci tangan, wanita itu lalu ikut bergabung disana. Tersenyum lembut pada putranya.

"Tentu saja karena ia laki-laki yang baik."Itu sama sekali tak menjawab kebingungan Hyukjae.

"Ibu, kami sudah berpisah sebelum aku kecelakaan."

"Ibu tahu, Donghae sudah mengatakannya."

"Lalu kenapa ibu dan ayah mengijinkannya menikahiku!" Hyukjae gemas sendiri pada ibunya. Sama sekali tak habis pikir dengan kedua orang tuannya.

Mereka sudah berpisah. Laki-laki itu yang mengatakannya tepat didepan Hyukjae. Mereka sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Donghae jelas-jelas tak mencintainnya.

"Bagaimana kami bisa menolak jika ia berlutut pada kami untuk memberikan putra kami padanya?"

Kalimat itu membungkam Hyukjae seketika. Ia terdiam.

"Tentu bukan itu saja pertimbangan kami, Hyukkie. Selama ini dia menjagamu dengan baik, selalu disisimu tak peduli kau hanya berbaring tak merespon apapun. Jadi saat ia memintamu yang bahkan tak ada yang tahu kapan akan bangun, mana mungkin kami melarangnnya."

Donghae melakukan semua itu? mustahil.

Lalu ingatan Hyukjae kembali pada kecelakaan yang dialaminya, itu hanya berselang beberapa hari setelah mereka berpisah. Saat Hyukjae berusaha bicara pada Donghae, menemui laki-laki itu di apartemennta namun naas nasib seolah tak mengijinkannya. Membuatnya tertidur sepuluh tahun lamannya. Memikirkannya membuat Iris hitam itu perlahan meredup.

"Dia hanya merasa bersalah ibu. Dia hanya iba padaku."

Ya tidak salah lagi. Semua hal ini hanya didasari rasa bersalah. Pernikahan, perhatian, serta sikap lembut Donghae padanya hanya didasari oleh rasa bersalah. Tidak ada yang lain.

"Kau yakin?" Pertanyaan itu membuat Hyukjae kembali melihat mata ibunya. Melihat senyum hangat itu kembali terlihat di bibir ibunya.

"Apa kau pikir rasa bersalah mampu membuat seseorang rela menunggu hingga sepuluh tahun lamanya? Bahkan saat kau koma tak ada yang tahu kapan kau akan bangun Hyukkie."

Tangan hangat wanita itu perlahan meraih tangan pucat putranya. Ia mengerti kebingunan Hyukjae, ia mengerti keraguan anaknya.

"Hanya dengarkan dia, bukankah itu yang seharusnya dilakukan istri pada suaminya?"

Hyukjae menarik tangannya. Iris hitamnnya mengedar seperti orang kebingungan sebelum beranjak dari sana. Menaiki tangga dengan cepat lalu menuju kamarnya. Tiba-tiba saja nafasnya menjadi cepat sejurus dengan detak jantungannya yang berpacu melebihi sebelumnnya.

Bahkan hingga ia duduk di tepi kasur, semua yang dikatakan ibunya atau pun Sungmin terus terngiang di kepalanya. Namun Hyukjae sulit untuk mempercayai itu semua, hal itu tak mungkin Donghae lakukan untuknya. Mustahi Donghae lakukan untuknnya.

Karena lelaki itu tak mencintainnya. Bahkan Hyukjae mendengar dengan telingannya sendiri saat mereka berpisah dulu. Tepat sebelum Donghae akhirnya berbalik dan meninggalkannya.

Suara pesan terdengar nyaring dari ponselnnya yang tergeletak di meja nakas samping ranjangnnya. Membuat iris hitam itu menatapnnya lama. Melihat satu pesan dari Donghae kembali ia dapatkan.

Perlahan tangan pucat itu terulur, meraih ponsel itu digenggamannya. Melihat jelas nama laki-laki berstatus suaminya itu tertera dilayar. Jemari itu bergerak sendiri membuka pesan bahkan sebelum ia bisa berfikir apapun.

Kau suka bungannya?

Itu yang tertulis disana. Jemarinnya mengarahkan obrolan hingga yang terbawah untuk melihat semua pesan Donghae yang ia abaikan selama ini dari awal.

.

Apa tubuhmu masih sakit?

Hubungi aku jika terjadi sesuatu.

.

Apa kau sudah makan?

Jangan lupa minum obatmu juga.

.

Kenapa kau tidak menjawab pesanku?

.

Hyuk, bicara denganku.

Kumohon.

.

Ibu bilang sekarang kau sudah makan lebih banyak.

Syukurlah.

.

Hyukjae, apa kau membenciku?

.

Tangan pucat itu tanpa sadar mencengkram kuat saat membaca tiap pesan itu. dadanya terasa sesak disetiap kata yang tertulis disana.

.

Hyuk, maafkan aku.

Aku yang bersalah. Maafkan aku.

.

Hei, semalam aku memimpikanmu.

Kau tersenyum padaku untuk sekian lama.

.

Hyuk.

Aku merindukanmu.

.

Ponsel itu jatuh menghantam lantai saat Hyukjae dengan cepat keluar dari kamar itu. Ia dengan terburu-buru melewati pintu depan menghiraukan panggilan ibunya. Ia bahkan tak peduli jika ia berlari dengan bertelanjang kaki.

Yang ia tahu ia harus segera bertemu dengan Donghae.

Yang ia tahu ia harus melihat suaminya.

Bahkan jika senja sudah terlihat. Ataupun jarak apartemennya yang cukup jauh dari rumah orang tuanya, Hyukjae tak peduli. Ia hanya terus berlari dan berlari.

Langit hampir petang saat ia sampai diapartemennya. Nafas yang sesak sudah tak lagi terasa, tubuh lelahnya tak lagi ia pedulikan. Tepat saat ia masuk kedalam apartemennya dan disambut oleh kesunyian Hyukjae baru kembali keakal sehatnya.

Baru disadarkan betapa ia merasa kesepian selama ini.

Betapa ia merindukan Donghae selama ini.

Suara pintu yang terbuka serta langkah kaki seseorang membuat Hyukjae berbalik. Melihat sosok yang kini berdiri didepan pintu dan begitu terkejut melihatnya. Melihat iris cokelat dimata sendu menawan disana.

Donghae segera mengampiri istrinya.

"Hyukjae? Ya Tuhan, kau baik-baik saja? Bagaimana kau bisa sampai disini?"

Iris hitam itu menatap nyalang suaminya yang terlihat begitu mengkhawatirkannya. Melihat ketulusan yang tergambar jelas di iris cokelat itu.

Kenapa Hyukjae tak menyadari hal ini sebelumnya?

Kenapa ia buta akan semua itu sebelumnya?

"Selama ini Donghae selalu mencoba melihat segalanya memalui sudut pandangmu, tapi kau tidak melakukan hal yang sama Hyukjae, itu kurang adil."

Ya Sungmin benar, ia memang sama sekali tak adil pada lelaki ini.

"Bagaimana kami bisa menolak jika ia berlutut pada kami untuk memberikan putra kami padanya?"

Lelaki yang menikahinya.

"Tentu bukan itu saja pertimbangan kami, Hyukkie. Selama ini dia menjagamu dengan baik, selalu disisimu tak peduli kau hanya berbaring tak merespon apapun. Jadi saat ia memintamu yang bahkan tak ada yang tahu kapan akan bangun, mana mungkin kami melarangnnya."

Yang mungkin telah berkorban banyak hal untuknya tanpa Hyukjae mengetahuinya.

"Jika kau ingin pergi kemanapun hanya katakan padaku, aku akan membawamu kemanapun yang kau inginkan."

Yang rela melakukan apapun untuknya meski Hyukjae tak pernah melihatnya.

"Hanya jangan pergi dariku seperti itu lagi."

Dan yang telah memberikan hatinya sejak lama tanpa Hyukjae sendiri menyadarinya.

Air mata itu mengalir saat sesak didadanya sudah tak bisa ia tahan. Hyujae menangis tanpa ia sendiri bisa mengendalikannya. Menangis untuk kebodohannya. Menangis untuk dirinya yang begitu buta. Buta akan sesuatu yang terlihat gamblang didepannya.

Donghae yang melihatnya menjadi begitu khawatir dan kebingungan. Ia mencoba memegang istrinya namun tangis itu justru semakin tak terkendali.

"Maaf." Ucap istrinya disela isaknnya.

Tangannya pucat itu mencengkram erat kemeja Donghae saat suaminnya itu memeluknnya hangat, mencoba menenangkannya.

"Maafkan aku."

.

.

.

Suara gemericik air mendominasi kamar itu. Donghae berlutut didepan istrinya yang duduk di pinggir ranjang mereka. Tangannya dengan hati-hati membasuh kaki Hyukjae dengan handuk yang telah di basahi dengan air hangat di baskom sebelahnya.

Iris cokelatnya menatap sedih kaki pucat Hyukjae yang terluka disana-sini. Sebagian lecet sebagian bahkan tergores dan berdarah. Hal itu membuat sesuatu seakan mencengkram dadanya erat, dan kenyataan bahwa semua itu karena dirinya membuat Donghae merasa semakin sesak.

Ia tak pernah ingin Hyukjae terluka.

Tidak lagi.

"Aku tak mengatakan apa-apa selama ini karena aku tak ingin membuatmu kebingungan."Donghae berbicara tanpa melihat istrinya, hanya terus membersihkan luka ditelapak kaki Hyukjae.

"Aku tahu segalannya kini sangat asing bagimu. Segalannya terasa sangat berat untuk kau jalani. Kau butuh waktu. Aku mengerti itu."

Bangun dan mendapati waktu telah berlalu sepuluh tahun, Donghae pun tak bisa membayangkan apabila ia berada di posisi Hyukjae. Ia tak bisa membayangakan seperti apa tekanan yang akan diterima. Karena itu ia tak ingin menambah masalah untuk istrinya, ia tak ingin menambah tekanan yang sudah dipikul Hyukjae sendirian.

"Karena itu aku tak berani mendekat lebih jauh. Aku tak ingin mengejutkanmu karena egoisanku... tidak lagi."

Untuk sejenak ingatan Donghae kembali ke masa lalu. Kembali pada dirinya yang egois, dirinya yang tak tahu diri. Yang dengan begitu sombong melepas Hyukjae, namun pada akhirnya seperti orang gila mencari pegangan.

"Aku berusaha menjaga sikap karena tak ingin menyakitimu. Aku mencoba berhati-hati agar kau tak terluka. Meski pada akhirnya aku tetap menyakitimu, tetap membuatmu terluka tak peduli sekeras apa aku berusaha."

Senyum pahit itu terlihat dibibir Donghae. Tangannya mengusap luka di kaki Hyukjae dengan lembut. Mengasihani diri sendiri karena hanya selalu menjadi duri dihidup Hyukjae. Yang selalu menyakitinya dan membuatnya terluka.

Sempat terlintas dipikirannya bahwa mungkin akan ada baiknya jika ia tak pernah memasuki hidup Hyukjae. Mungkin istrinya ini akan jauh lebih bahagia tanpa dirinya. Tapi sekali lagi ia adalah lee Donghae yang egois dan tak tahu diri. Yang terus memegang tangan Hyukjae meski hanya luka yang ia berikan.

Perlahan Donghae mendongak, melihat iris hitam yang meski berada tepat dihadapannya namun masih begitu ia rindukan. Tangan hangatnya perlahan mengenggam tangan pucat Hyukjae erat.

"Aku menyadarinya begitu terlambat. Aku menyadarinya saat kau sudah terbaring koma. Aku sama sekali tak mengira bahwa aku begitu tergantung padamu. Aku sama sekali tak sadar jika segalanya berpusat padamu. Sampai saat kau tak pernah lagi menjawab parkataanku, tak pernah lagi membalas genggamanku."

Hari itu adalah hari terburuk untuk Donghae. Mimpi buruk yang selalu ingin ia lupakan. Hari dimana kecelakaan itu terjadi. Hari dimana dokter mengatakan bahwa Hyukjae mengalami koma dan tak tahu kapan akan terbangun.

Saat itu Donghae tiba-tiba saja merasa kebingungan. Saat itu ia kehilangan pegangan.

"Saat itu aku yakin kau akan bangun. Aku yakin kelak kau akan berhenti mendiamkanku. Kembali bicara padaku dan melihatku. Tapi kondisimu semakin buruk setiap tahun. Dokter mengatakan bahwa mereka tak tahu sampai kapan kau akan bertahan."

Tangan itu mencengkram tangan Hyukjae begitu erat sebagai usaha menahan sesak didadanya.

"Mereka tak tahu sampai kapan kau akan tetap bersama kami."

Donghae berusaha menelan rasa sakitnya saat mengingat segala yang harus ia lalui sepuluh tahun terakhir. Melihat kondisi Hyukjae yang semakin memburuk. Melihat tubuh Hyukjae yang semakin hari semakin kurus.

"Sejak itu setiap hari terasa menakutkan. Setiap hari aku terbangun tengah malam hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Kau bisa kapanpun meninggalkanku, bisa setiap saat pergi dariku. Jadi untuk meredakan semua itu aku memutuskan untuk menikahimu."

Iris hitam itu berkabut menatap Hyukjae. Seakan memperlihatkan hatinya yang rapuh tanpa pegangan selama ini.

"Aku ingin meski sekali, melakukan hal yang benar untukmu. Aku ingin kau tahu bahwa tak peduli selama apapun kau tertidur, aku akan selalu disisimu. Aku ingin kau tahu bahwa aku juga selalu menunggumu seperti yang selalu kau lakukan untukku."

Tak ada maksud tertentu ia menikahi Hyukjae. Tak ada unsur rasa bersalah atau iba yang mendasari segalanya. Ia hanya ingin terus menggenggam tangan dingin itu tak peduli apa. Terus berada disisi Hyukjae tak peduli apa.

Karena entah seja kapan, hanya Hyukjae satu-satunya alasan ia bertahan. Hanya Hyukjae alasan ia masih bernafas sampai sekarang.

"Aku tahu aku tak pantas meminta ini darimu. Aku tak selayaknya mangatakan ini padamu, tapi Hyukjae... tak bisakah kita memulainya dari awal lagi?"

Dapat iris hitam itu lihat air mata yang perlahan meleleh dari mata sendu itu. Bahkan tangan hangat itu bergetar saat menggenggamnya.

"Kau tak perlu melakukan apapun kali ini... aku-aku akan lakukan segalanya. Aku yang akan melakukan semuanya. Hanya tetap disisiku, Hyukjae."

Donghae memohon dengan putus asa. Ia sadar tak ada satupun ingatan baik tentang dirinya sebelum Hyukjae koma. Tak ada satupun hal yang pernah ia lakukan untuk istrinya ini dimasa lalu.

Yang ada hanya rasa sakit dan luka bertubi-tubi karena kekecewaan yang terus ia berikan.

Iris hitam itu hanya termangu melihat sosok didepannya. Tak pernah sekalipun Hyukjae melihat Donghae selemah ini. Tak pernah sekalipun ia melihat Donghae serapuh ini.

Tangan pucat itu perlahan memegang pipi Donghae yang basah. memepertemukan bola mata mereka. Membuat Hyukjae emlihat dengan jelas isi hati suaminya.

Lihat lelaki ini, yang rela merusak hatinya demi tetap menggenggam tangannya.

Rela memberikan sepulu tahun hidupnya hanya untuk tetap bersamannya.

Dadanya semakin sesak saat menyadari bahwa tak hanya dirinya yang kehilangan sepuluh tahun hidupnya, namun juga orang didepannya ini. Bagaimana kasih sayang meracuni orang ini dari dalam. Bagaimana cinta menggrogotinya hingga hampir sekarat.

"Aku mencintaimu Donghae."Itu terucap begitu saja.

"Dan hal itu tak berubah hingga kapanpun."

Iris cokelat itu melihat istrinya tak percaya. Bagaimana kata cinta yang dulu selalu ia abaikan kini mampu mengirim geleyar kehidupan pada tubuhnya. Bagaimana kata cinta itu mampu menyakinnya untuk terus hidup demi kekasihnya.

Istrinya.

Cintanya.

Hyukjae menutup matanya saat bibir itu perlahan bertemu miliknya. Membuat air matanya mengalir ditengah ciuman mereka yang begitu penuh akan segala hal yang ingin Donghae sampaikan padanya. segala hal yang sepuluh tahun ini ia tahan kini meluap begitu saja.

Lukanya, sakitnya, rasa pedulinya, kasih sayangnya dan juga cintanya.

Membuat Hyukjae kini yakin bahwa hati laki-laki ini memang miliknya.

.

.

.

Kaki kurusnya menyusuri lorong kampus dengan senyum ceria. Sesekali ia menyapa beberapa orang yang ia kenal dengan senyum ramah. Hari yang cerah untuk minggu pertamanya sebagai mahasiswa.

Namun senyum itu luntur saat Iris hitamnnya melihat sosok suaminya yang kini berdiri didepan pintu masuk gedung fakultasnnya. Dengan cemberut karena kesal ia menghampirinya.

"Sudah kubilang tak usah menjemputku!"

"Apa yang salah dengan menjemput istri sendiri? Aku hanya mengkhawatirkanmu."

"Memangnnya kau tidak kerja?"

"Kerja, tapi aku tak bisa membiarkanmu pulang sendirian."

"Kampus ini tak sampai dua kilo dari rumah kita Donghae, hanya perlu sepuluh menit naik bus! Apa yang kau khawatirkan?"

Bukannya menjawab, Donghae justru menarik tangan istrinya untuk menuju parkiran kampus. Dihiraukannya pandangan para mahasiswa pada mereka. Mungkin pemandangan yang naeh melihat dua orang dewasa berkeliaran di universitas.

Tak ada kata terlambat dalam mengenyam pendidikan. Dan itu yang sedang Hyukjae lakukan sekarang.

Hyukjae memutuskan meneruskan pendidikannya yang sempat tertunda. Kembali mencoba meraih cita-citanya tak peduli waktu yang sudah terlewat. Tak peduli jika ia menjadi yang paling tua di angkatannya. Ia kembali mengambil jurusan seni, kembali melatih tubuhnya untuk menari. Awalnya memang berat namun keberadaan Donghae disisinya selalu menguatkannya.

Meski suaminya itu masih begitu sulit ditebak. Masih tak bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan dengan benar. Namun Hyukjae sama sekali tak keberatan.

Keduanya sudah dduduk didalam mobil, saat Hyukjae menyadari Donghae yang justru diam tak segera menyalakannya.

Laki-laki itu justru berbalik melihatnya dengan begitu serius. Seakan mencoba mengatakan sesuatu yang begitu berat.

"Hyukjae."

"Ya?"

"Aku..."

Donghae menelan ludahnnya.

"Aku ..."

Butuh beberapa saat Hyukjae untuk menyadarinya. Bibirnya lekas tersenyum saat tahu apa yang coba Donghae katakan padanya.

"Aku tahu." Sahutnya tanpa menunggu suaminya menyelesaikan kalimatnya. Membuat laki-laki itu kebingungan melihatnya.

Hyukjae terkekeh pelan. Lee Donghae akan tetap menjadi Lee Donghae. Yang masih saja begitu kesulitan mengatakan isi hatinya pada Hyukjae.

Perlahan tangan pucat itu memegang dada Donghae. Tepat dimana detak jantung Donghae berada.

"Ini milikku kan?"

Senyum itu terukir dengan binar cerah diiris hitam itu. Membuat Donghae yang tadinya hanya diam terpaku perlahan ikut tersenyum. Meraih tangan yang kini berada didadanya dan menggenggamnnya erat. Sebelum berujar dengan sepenuh hatinya.

"Ya. Milikmu. Seluruhnya."

Sepuluh tahun memang membuat Hyukjae kehilangan banyak hal dalam hidupnnya. Namun disisi lain sepuluh tahun juga memberikan hal yang begitu berharga untuknnya.

Memberikan Donghae untuknnya.

Memberikan cinta dan hati laki-laki itu untuknya.

Jadi ini bukanlah sepuluh tahun yang hilang darinya. Bukan pula sepuluh tahun yang sia-sia. Namun sepuluh tahun yang begitu berharga.

.

.

.

END

Ini jadi langsung aku post, tanpa edit, tanpa dibaca lagi. Jadi kalo banyak typo tolong dimaklumi.

Maaf ingkar janji, maaf gak update tepat waktu karena aku jumat sabtu minggu sibuk sekali. Ini aku juga sedang buru2 jadi gak sempet aku edit.

Makasih semua yang sudah dukung, baca serta review ff ini, berarti sekali! Love ya muah muah!

See u next story