.

.

.

Ten Years Gone.

.

.

Pair: Haehyuk

Rate: T

Warning: BL/Romance/Three Shot

Summary: Hanya sekejap Hyukjae memejamkan mata tapi sepuluh tahun telah terlewat. Dan kenapa orang yang sama sekali tak mencintainya kini justru hidup bersamanya?

.

.

.

.

Sepuluh tahun.

Sepuluh tahun ada sekitar 120 bulan, 3650 hari. Sepuluh tahun cukup untuk menyelesaikan pendidikan tinggi hingga gelar Doktor. Sepuluh tahun cukup untuk membuat suatu negara berkembang berubah menjadi negara maju. Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat lama.

Waktu yang cukup untuk membuat segala sesuatu berubah.

Berubah total tanpa menyisakan sedikitpun kenangan.

"Sampai kapan kau akan berdiri disitu?"

Hyukjae tak menjawab ibunya. Ia masih diam didepan cermin, melihat pantulan laki-laki kurus pucat dengan rambut hitam legam. Piyama rumah sakit terlihat membungkusnya dengan tangan kirinya terhubung selang infus yang menancap kuat.

Asing.

Entah berapa kalipun Hyukjae melihat pantulan didepannya tetap terasa seperti bayangan orang lain. Seakan Hyukjae tak mengenalinya, ia tak mengenali wajahnya sendiri.

Seperti mengerti isi pikiran putranya, wanita paruh baya itu mendekati Hyukjae. Menepuk pundaknnya lembut sebelum tersenyum hangat menenangkan.

"Kau harus istirahat, tak baik jika berdiri terlalu lama."

Hyukjae hanya menurut saat ibunya menuntunnya untuk kembali berbaring diranjang rawatnya. Melihat ibunya yang menyelimutinya sembari tersenyum tenang. Melihat uban putih diantara helai rambut ibunya. Melihat keriput yang lebih ketara dari yang ia ingat.

Hal-hal itu membuatnya terasa asing.

"Ibu harus pulang sekarang. Tapi tenang saja, suamimu akan datang sebentar lagi jadi kau tak akan sendirian terlalu lama."

Hyukjae tersentak. Kalimat terakhir ibunya benar-benar mengganjal dihatinya. Dengan cemas ia melirik jari manisnya. Melihat cincin emas melingkar indah disana.

"Apa tak bisa ibu saja yang menjagaku malam ini?"Ia melihat ibunya penuh harap.

"Mana suamimu mengijinkan, ia akan memaksa ibu pulang."

"Tapi-"

"Tidak apa-apa."Potong ibunya lalu mengusap kepalanya pelan.

"Ibu tahu perasaanmu, tapi dia suamimu Hyukjae. Benar-benar suamimu. Ibu yakin kau akan terbiasa. Tak perlu canggung begitu, toh dia kekasihmu dulu."

Raut wajah cemas itu berubah datar. Iris hitamnya berubah nyalang.

Ya benar, kekasih. Mantan kekasih lebih tepatnya.

Suara pintu tergeser itu membuat Hyukjae mendongak. Namun ia segera memalingkan wajahnya saat iris cokelat itu bertemu pandang dengannya. Jantungnnya mulai berdebar keras sejurus dengan keringat dingin yang mulai terasa dikepalan tangannya.

Hyukjae tak menyukai hal ini.

"Donghae-yah, kau pulang lebih cepat?"

Laki-laki dengan mantel biru tua itu menunduk sopan setelah melirik sekilas pada Hyukjae.

"Ne, pekerjaanku selesai lebih cepat dari seharusnya. Ibu sudah ingin pulang?"Iris cokelat itu melihat ibu mertuanya yang sudah membereskan barang-barangnya.

"Iya, ayah Hyukjae sudah menunggu di bawah. Kalau begitu ibu pulang dulu, jaga istrimu baik-baik."

"Ne, hati-hati bu."

Hyukjae hanya diam melihat Donghae mengantar ibunya hingga kedepan pintu kamar rawatnya. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya lagi saat melihat Donghae kembali masuk ke kamarnya, menutup pintu rapat membuat Hyukjae menelan ludah.

Kenapa suasana selalu berubah menakutkan saat mereka ditinggal berdua saja?

Laki-laki kurus itu terkejut saat melihat Donghae yang sudah melepas mantelnya kini berjalan membawa sebaskom air hangat dan baju piyama rumah sakit yang masih bersih terlipat. Ia segera mundur saat tangan besar itu mencoba meraihnya.

"Wa-wae? Apa yang mau kau lakukan?"

Dahi Donghae mengernyit heran, seakan apa yang baru saja keluar dari mulut Hyukjae adalah hal paling absur yang pernah ia dengar.

"Membersihkanmu tentu saja. Kau harus ganti baju sebelum tidur. Ayo kemari, kubantu membuka baju."

MWO? Apa katanya tadi?!

Dengan cepat Hyukjae menyilangkan tangannya didada. Berusaha melindungi tubuh sucinya dari serangan iblis mesum yang terkutuk. Pipi pucatnya perlahan memerah.

"A-aku tidak mau!" Dengan tergagap Hyukjae menolak keras.

Seperti sudah menduga penolakan istrinya, Donghae hanya menghela nafas. Selama Hyukjae sadar ibunya lah yang membatu istrinya mandi. Tapi tadi ibunya mengirim pesan untuknya agar menggantikannya membersihkan Hyukjae, agar mereka lebih akrab katanya.

Tak ingin menyerah, Donghae kembali mendekat namun Hyukjae justru berteriak nyaring seperti akan diperkosa saja. Donghae mencoba lagi namun teriakan Hyukjae justru semakin nyaring membahana.

"Aku ini suamimu! Tak usah malu-malu seperti ini dan cepat buka baju!"

Mendengar nada tinggi itu nyali Hyukjae menciut juga. Donghae tak berubah, masih galak dan menakutkan jika marah. Dengan tangan bergetar ia seremas kancing-kancing baju piayamanya.

Sadar akan ketakutan Hyukjae, Donghae kembali menghela nafas. Ia mendekati Hyukjae, tangannya dengan pelan membuka kancing piyama Hyukjae mengejutkan istrinya itu.

"Aku tak akan macam-macam, jadi tenang saja."

Mematung sejenak, Hyukjae akhirnya tak bisa melawan lagi. Meski sesungguhnya alasan sebenarnya bukan karena ia takut Donghae berbuat macam-maca, namun ia memilih bungkap. Ia tak akan mengatakan alasan sesungguhnya.

Pasien itu hanya bisa menahan malu saat Donghae membersihkan tubuhnya. Menyeka air hangat dikulitnya menggunakan handuk hingga bersih sebelum membantunya memakai piyama bersih. Ia tetap bungkam hingga kembali berbaring diranjang rawatnya dan Donghae mematikan lampu. Ia tetap diam saat sapuan lembut bibir Donghae terasa di dahinya dan ucapan selamat malam menyapa telingannya.

Hyukjae diam. Diam karena ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Diam karena dia kebingungan.

.

.

.

Mereka bukan kekasih lagi saat itu.

Setidaknnya itulah ingatan terakhir Hyukjae sebelum kecelakaan fatal menimpanya. Kecelakaan fatal yang membuatnya terbaring koma tak berdaya. Tertidur dengan rentang waktu yang begitu lama.

Hampir sepuluh tahun.

Sepuluh tahun ia terbaring diranjang rumah sakit. Itu yang semua orang katakan, atau dari tahun kalender di meja nakas kamar rawatnya. Atau dari televisi yang sekarang begitu tipis dan datar. Atau juga dari ponsel Donghae yang sangat canggih dan tak memerlukan tombol lagi.

Segalanya begitu berbeda.

Segalanya begitu asing.

Hanya sekejap Hyukjae memejamkan mata dan sepuluh tahun telah terlewat.

Hanya sejenak ia tertidur dan segalanya telah berubah.

Tentu saat awal-awal ia sadar ia begitu panik. Ia bahkan tak mengenali ibunya sendiri. Tak mengerti apa yang terjadi disekitarnya. Ia berteriak histeris saat pertama kali melihat bayangannya dikaca. Melihat perubahan menonjol pada dirinya. Melihat betapa berbedanya dirinya dari yang bisa ia ingat. Yang bisa ia kenali.

Ia terguncang. Ia tak percaya dengan semua orang. Perlu obat penenang dan seorang psikolog untuk membuatnya tenang seperti sekarang ini. Membuatnya perlahan bisa kembali menerima keadaan sekitar.

Meski sampai sekarang di lubuk hatinya yang paling dalam Hyukjae masih berharap ini hanya minpi. Hanya bunga tidur dan ketika ia bangun segalanya kembali seperti sedia kala. Meski pada akhirnya itu hanya harapan sia-sia.

Kenyataannya, sepuluh tahun dari hidupnya telah hilang sia-sia.

Iris hitam itu melihat sosok laki-laki yang kini tertidur di sofa dekat ranjang rawatnya. Melihat fitur tampan yang semakin matang dari yang bisa ia ingat. Lebih dewasa dari yang ia ingat. Berapa umurnya sekarang? Tiga puluh tahun? Atau lebih?

Bola matanya berpindah pada cincin emas dijari manis laki-laki itu. Cincin yang sama yang melingkar di jari manis Hyukjae. Yang menjadi bukti nyata bahwa mereka sudah menikah. Seperti yang Donghae katakan. Seperti yang orang-orang katakan. Satu hal yang begitu mengejutkannya begitu ia sadar dari koma.

Ia adalah istri Donghae.

Sama sekali tak masuk akal. Bagimana bisa mereka menikah? Bagimana bisa Donghae menikahinya?

Mereka bukanlah kekasih lagi setahu Hyukjae saat itu. Donghae sendiri yang meminta mereka berpisah. Donghae sendiri yang memutus ikatan lemah diantar mereka. Lemah karena satu pihak yang mengikat. Lemah karena satu pihak yang memiliki cinta.

Tepat di malam tahun baru. Tepat dimalam sebelum kecelakaan merenggut kesadaran Hyukjae. Malam terakhir sebelum Hyukjae kembali membuka mata lagi dan sepuluh tahun telah terlewat.

Hyukjae merapatkan selimutnya saat rasa sesak itu kembali terasa. Bahkan jika sepuluh tahun telah terlewat hal ini masih sama bagi Hyukjae.

Tapi ini bukanlah salah Donghae. Sejak awal hubungan mereka adalah kesalahan. Bentuk keegoisan Hyukjae yang gelap mata. Bentuk cinta buta yang menghilangkan akal sehat. Mereka memang sudah sewajarnya berpisah. Sudah seharusnya berpisah.

Karena Donghae tak pernah mencintainnya.

Karena Donghae selalu mencintai orang lain dan itu bukan dirinya.

.

.

.

Bola mata beriris hitam itu tak berkedip saat melihat rumah besar didepannya. Ia menganga seperti orang bodoh tak menyadari Donghae sudah keluar dari mobil yang mereka tumpangi. Ia begitu terkejut saat pintu disampinnya terbuka dan uluran tangan Donghae tersaji didepannya.

Menelan ludah, Hyukjae perlahan memegang tangan hangat itu lalu keluar dari mobil. Ia hanya diam menurut saat Donghae menuntunnya memasuki rumah besar dengan arsitektur yang begitu hangat.

"Barang-barangmu sudah ada disini. Kamar kita ada dilantai dua, dapur ada di sana dan ada perpustakaan di ruang tengah."

Heh? Apa kata Donghae tadi?

"Pintu belakang ada di dekat dapur. Kamar mandi ada di setiap kamar dan satu di lantai bawah. Ada juga-"

"Tunggu-tunggu, ka-kamar kita?"

"Ya. Kamar kita ada di lantai dua."

"Bukan itu maksudku!"

"Lalu?"

Hyukjae berdiri cemas. Ia baru keluar dari rumah sakit dan tak siap dengan hal-hal seperti ini.

"Kita tidur di kamar yang sama?"Tanya dengan suara yang begitu pelan.

"Tentu saja. Ayo kuantar ke kamar, kau perlu istirahat."

Tanpa perlawanan berarti Hyukjae digiring ke kamar besar dirumah itu. Ia ingin berdebat soal pembagian kamar melihat hanya ada satu ranjang disana tapi Donghae sudah keburu menyuruhnya istirahat dan sibuk menata botol obat-obatan dimeja nakas.

"Akan kubangunkan saat makan malam siap." Ucapanya sebelum menutup pintu kamar meninggalkan Hyukjae sendirian.

Hyukjae menghela nafas sebelum mengusap wajahnya frustasi. Ia tak mengerti kenapa ia ada ditempat ini dan bukannya pulang ke rumah orang tuanya. Ia tak mengerti kenapa ia terjebak dengan matan kekasih yang bahkan tak pernah mencintainnya. Hyukjae sama sekali tak mengerti.

Dan yang lebih parahnya lagi, ia sama sekali tak bisa melawan.

Hyukjae berbalik jengkel membuatnya berbaring miring tepat saat iris hitamnnya menangakap sesuatu dimeja nakas disamping ranjang. Tangan pucatnya terulur, mengambil bingkai foto disana. Terdiam saat melihatnya.

Itu fotonya bersama Donghae.

Dengan dirinya yang tersenyum lebar dan Donghae yang merengut karena ia paksa berfoto. Satu-satunya foto mereka yang Hyukjae miliki dulu, tapi dari mana Donghae mendapatkannya?

Iris hitamnnya kembali melihat cincin dijari manisnya. Lalu pada foto mereka.

Apa yang sebenarnya ada dipikiran Donghae? Hyukjae sama sekali tak mengerti.

.

.

.

Donghae benar-benar membangunkan Hyukjae saat makan malam. Dan yang lebih mengejutkannya lagi Donghae yang memasak seluruh makanannya. Membuat Hyukjae melongo tak percaya.

Sejak kapan Donghae bisa berdamai dengan dapur? Seingatnya Donghae bahkan tak bisa membedakan garam dan gula. Dan yang paling parah adalah rasanya juga enak. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar.

Mereka makan dalam suasana yang hening kecuali Donghae yang sibuk mengambilkan ini dan itu untuk Hyukjae. Laki-laki ini bahkan duduk tepat disebelahnya bukannya diseberang meja. Begitu sibuk mengurus Hyukjae hingga lupa dengan nasi di mangkuknya sendiri.

"Donghae."

"Hm?"

Hyukjae dengan susah payah menelan nasi dimulutnya sebelum melihat Donghae yang sibuk memilah daging untuknya.

"Bagaimana kita bisa menikah?"

Kalimat itu membuat sumpit Donghae berhenti diudara. Laki-laki itu terdiam sebelum perlahan melihat Hyukjae di sampingnnya. Melihat iris hitam yang begitu kelam itu.

"Kita menikah saat kau masih koma, lima tahun lalu."

Hyukjae menganga tak percaya. Sudah selama itu? Bagaimana bisa?

"A-apa? Bagaimana bisa?!"

"Tentu saja bisa, kenapa tak bisa?"

"Aku tak sadar saat itu! Itu tidak sah!"

"Itu sah. Kita bahkan punya surat nikah."

Hyukjae semakin tak berkutik. Surat nikah?! Mustahil!

"Bohong, kau pasti bohong! Bagaimana caraku menandatanganinya?"

"Kau memang tidak menandatanganinya. Kau memberikan cap jari disana."

Cap jari? Jangan bercanda! Itu pemaksaan, ia koma dan tak sadar saat itu. Dan kenapa pula orang tuanya mengijinkannya?

"Yang jelas adalah kita menikah. Aku suamimu dan kau istriku. Titik!"

Kalimat tegas itu terucap bahkan sebelum Hyukjae sempat mengajaknya berdebat. Membuat Hyukjae bungkam tak bisa melawan. Oh kenapa Hyukjae bisa lupa sifat otoriter orang satu ini. Aura dominasinya benar-benar tak bisa dilawan.

Hyukjae menunduk lalu meneruskan makannya dengan lesu. Selera makannya hilang sudah entah tahu jika iris cokelat itu menatapnya lekat.

"Yang terpenting sekarang..."Suara itu terdengar lebih lembut dari sebelumnya, membuat Hyukjae mendongak menatap wajah menawan didepannya.

"... adalah kesehatanmu."

Ada sesuatu diris cokelat itu saat Donghae mengatakannya. Seakan-akan Hyukjae merasa bahwa Donghae memang peduli padanya.

Benar-benar memikirkan dirinya.

.

.

.

Mata itu mengerjap saat kesadarannya terkumpul. Hyukjae menggeliat mencoba mencari posisi nyaman untuk melanjutkan tidurnya. Ia perlahan berbalik, membuka matanya yang mengatuk mencari bantal.

Namun belum sempat tangan pucatnya meraih apa yang ia cari, wajah Donghae yang tertidur pulas jutru tersaji didepannya. Begitu mengejutkannya.

Sembari berteriak nyaring, Hyukjae reflek menjauh. Membuatnya terjungkal dilantai dengan bunyi gedebuk yang begitu keras. Tentu keributan itu membuat teman tidurnya terbangun.

"Hyukjae?"

Donghae terkejut saat melihat tubuh istrinya terkapar di lantai.

"Ya Tuhan, Hyukjae! Kau baik-baik saja? Aku-"

Perkataan Donghae terpotong saat tangan pucat itu menampar tangannya yang terulur mencoba membantu istrinya bangun. Ia terkejut, begitu pula dengan Hyukjae. Hyukjae bersumpah itu hanya reflek. Ia tak bermaksud menolak pertolongan Donghae.

Iris cokelat itu perlahan meredup. Donghae menjauh menciptakan jarak aman sebelum berdiri didepan istrinya.

"Ayo bangun, aku akan membantumu mandi."Kalimat itu sukses membuat Hyukjae mematung.

Tunggu dulu. Mandi? Jangan bilang...

Dengan cepat Hyukjae melindungi dirinya dan menatap Donghae dengan waspada. Ia ingat pengalamannya di rumah sakit. Tapi belum sempat ia melontarkan gertakan dan ancaman tangan hangat itu sudah meraih lengannya kuat. Menggiringnya ke kamar mandi tak peduli sekuat apa ia melawan. Donghae terlalu kuat untuknya. Suara pintu kamar mandi yang terkunci membuat Hyukjae menelan ludah.

"Tu-tunggu dulu, Dong-Donghae. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."

Ia mundur kebelakang saat Donghae coba meraih kancing piyamanya. Melihat hal itu, Donghae urung mendekat dan mulai membuka kancing piyamanya sendiri. Kontan saja mata Hyukjae terbelalak karena terkejut bukan main dengan tingkahnya.

"Apa yang kau lakukan!"

"Mandi bersama akan lebih menghemat waktu dan air."Jawabnya santai sembari mulai melepas celannya sendiri.

Hyukjae merasakan wajahnya memanas hingga ke telinga. Jantungnya mulai melakukan reaksi perlawanan saat bola matanya menangkap tubuh berotot didepannya.

Ya Tuhan, apa yang Donghae lakukan pada tubuhnya selama sepuluh tahun ini?

Terlalu terpesona oleh tubuh sexy suaminya membuat Hyukjae tak sadar jika Donghae kembali mendekatinya. Ia terkejut saat tangan hengat itu berhasil menangkap ujung piyamanya.

"Kemari, aku bantu melepas baju."

"MENJAUH KAU DASAR MESUM!"

.

.

.

"Pesta?"

"Ya. Hanya perta kecil-kecilan merayakan kesembuhanmu."

Tangan pucat itu menaruh kembali remot TV lalu melihat Donghae yang sibuk membuka kardus-kardus berisi bahan makanan yang cukup banyak. Sepertinya Donghae tak bercanda soal pesta yang ia katakan barusan.

"Kau akan mengundang keluargamu dan keluargaku?"

"Aku akan mengundang semua orang. Teman-teman kita."

Teman-teman mereka?

Benar juga. Sejak Hyukjae bengun dari koma tak satupun ia melihat temannya menjenguknya. Hanya Donghae dan keluargannya saja yang menemaninya dirumah sakit.

"Aku memang melarang mereka datang kerumah sakit."

"Heh?"

"Teman-teman kita."Jawab Donghae tahu isi pikirannya.

"Kenapa?"

"Supaya kau lebih fokus dalam pemulihan. Kesehatanmu adalah yang terpenting."

Lagi-lagi orang ini mengatakannya. Apa Donghae tak tahu jika ia tengah menebar benih di hati Hyukjae. Membuatnya berharap. Membuatnya bermimpi. Hyukjae langsung menampar dirinya sendiri dalam batin. Ia tak mencintaimu, Hyukjae. Ia tak mencintaimu!

Tapi dia suamimu.

Arrrgghh masa bodoh!

Seharian itu Donghae begitu sibuk di dapur menyiapkan ini dan itu. Ia melarang keras saat Hyukjae ingin membantunya. Justru dengan penuh intimidasi menyuruh Hyukjae meminum obatnya dan tidur di kamar. Meski cemberut tapi Hyukjae menurutinya. Dalam hati ia merasa tak berguna.

Malam harinya orang-orang benar-benar datang. Hanya teman-teman mereka karena Donghae mengatakan ia akan membuat acara khusus untuk keluarga mereka di kemudian hari.

Satu persatu wajah-wajah asing itu menampakan diri didepan Hyukjae. Kebanyakan dari mereka memeluknya akrab, beberapa hanya menyalaminya. Meski sedikit kebingungan tapi Hyukjae menyambut mereka hangat.

"Kau tidak ingat aku? Aku Kyuhyun! Aku teman satu club Donghae saat kita SMA dulu. Kita satu Universitas juga."

"Kau Kyuhyun? Kemana perginya semua jerawatmu?"

Satu geplakan segera Hyukjae dapatkan membuat semua orang tertawa kecuali Donghae yang dengan galak mengingatkan semua orang jika Hyukjae masih masa pemulihan.

"Hyukkie, kau mengenaliku?"

"Wookkie? Ini kau? Bagaimana caranya kau bisa sekurus ini?"

"Aish, jangan mengingatkanku tentang aib masa lalu!"

Suasana rumah semakin ramai saat semakin banyak tamu yang datang. Hal yang sama terus terulang dimana Hyukjae perlu waktu dan penjelasan teman-temannya untuk mengenali mereka semua. Sesekali Donghae akan membantunya menyebutkan nama-nama mereka.

Semua orang mengobrol akrab. Kebayakan dari mereka menanyakan keadaanya namun juga berbicara hal-hal lain dengannya. Ia bahkan baru sadar jika ia sekarang ada di Seoul. Tak heran ia melihat gedung-gedung tinggi saat keluar rumah sakit. Donghae juga menambahkan jika keluarganya juga sudah pindah ke Seoul saat ia koma. Jauh dari kampung halaman mereka di mokpo.

Dari obrolan mereka juga ia baru tahu jika Donghae bekerja sebagai komposer dan penulis lagu disalah satu agensi besar. Tidak heran, karena setahu Hyukjae Donghae memang memiliki bakat musik sejak dulu.

Suara bel pintu membuat Hyukjae beranjak untuk membuka pintu. Penasaran kira-kira siapa lagi yang datang. Apa ia bisa mengenalinya dalam sekali lihat sekarang? Ia bahkan bertaruh dengan Kyuhyun jika ia bisa menebaknya dengan benar kali ini.

Pintu terbuka dan Hyukjae sudah tersenyum begitu lebar menyambut siapun disana. Namun senyum itu memudar saat iris hitam itu melihat dengan jelas siapa yang ada di balik pintu.

Kali ini Hyukjae tak perlu diingatkan.

"Hyukjae?"

Ia dengan mudah mengenalinya dalam sekali lihat.

"Astaga Hyukjae, senang melihatmu lagi."

Bahkan senyumnya tak bisa keluar meski orang ini memeluknya hangat dan akrab.

"Sungmin nonna, kau datang?"

Tubuhnya berbalik melihat suaminya yang entah sejak kapan ada dibelakangnya.

"Ne, kebetulan pekerjaanku sudah selesai jadi aku bisa kemari. Aku benar-benar merindukan Hyukjae."

Bahkan binar mata Donghae terlihat berbeda saat wanita ini didepannya.

Bagaimana Donghae yang selalu melihat wanita ini dengan cara berbeda.

Dengan cara yang begitu istimewa.

Sisa malam itu Hyukjae menjadi lebih pendiam. Ia hanya bicara saat ada orang yang bertanya padanya. Iris hitamnnya tak pernah berhenti melihat suaminya yang bercengkramah akrab dengan wanita pujaannya.

Cinta pertama Donghae yang tak pernah bisa ia kalahkan.

"Hyukkie kau baik-baik saja?"

"Ne? Ne, aku baik-baik saja."Jawabnya sedikit linglung.

"Jadi Hyukjae apa rencanamu setelah sembuh?"

"Rencana?"

"Ya, aku bisa membantumu mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hukum."

"YA! Kyuhyun! Berhenti mempromosikan diri! Kau sudah cukup kaya sebagai pengacara."

"Tapi masih lebih kaya kau Kangin Hyung, atau harus kupanggil Dokter kepala?"

"Jangan mengejekku kau setan sialan!"

"Oh ya minggu besok datanglah ke cafe baruku!" Ryewook menimpali.

"Kau membuka cabang lagi? Wah kau hebat Wookkie."

"Tapi masih kalah dengan rumah makan milik Yesung Hyung. Ia memiliki 8 cabang."

"Jinja?!"

Tawa semua orang membuat Hyukjae terdiam. Ia termangu melihat teman-temannya yang kini meraih mimpi mereka masing-masing. Meniti kesuksesan mereka dan menjadi orang-orang berada. Sepuluh tahun kerja keras mereka. Sepuluh tahun perjuangan mereka.

Lalu bagimana dengan dirinya?

Hyukjae bahkan tak yakin ia bisa melanjutkan kuliyahnya yang terbengkalai selama sepuluh tahun. Mimpinya telah terkubur sepuluh tahun yang lalu. Cita-citanya telah pupus sepuluh tahun yang lalu.

Segalanya lenyap sepuluh tahun yang lalu.

Tanpa sadar Hyukjae beranjak dari sana. Melangkah menuju dapur tempat ia bisa menemukan Donghae. Bibirnya terbuka saat melihat punggung kokoh suaminya berniat memanggilnya. Namun saat iris hitamnnya menemukan sosok lain disamping suaminya, Hyukjae urung.

Ia hanya diam melihat dua sosok itu mengobrol hangat sembari membersihan piring-piring kotor bersama-sama. Melihat senyum Donghae yang begitu tulus. Senyum yang hanya akan ia tunjukan untuk wanita itu. Hanya wanita itu seorang.

Wanita yang dicintai Donghae.

Sepuluh tahun yang lalu.

Ataupun sekarang.

Hyukjae berbalik, menaiki tangga dan menuju kamar meraka. Memasuki kamar gelap itu sebelum menutup pintunya rapat membuat semua suara diluar sana teredam. Menciptakan suasana sunyi untuknya.

Tubuhnya perlahan merosot. Terduduk sembari bersandar pada pintu kayu. Samar-samar ia bisa mendengar tawa renyah teman-temannya. Orang-orang yang berada ditempat yang begitu berbeda darinya.

Keadaan ini menunjukan bagaimana Hyukjae sekarang. Semua orang diluar sana telah memiliki sepuluh tahun mereka. Berjalan jauh meninggalkan Hyukjae sendirian. Meninggalkannya jauh di belakang. Meninggalkannya diwaktu sepuluh tahun sebelumnya.

Sepuluh tahun yang dirampas darinya.

Sepuluh tahun yang sia-sia.

.

.

.

Malam itu Hyukjae tak bisa tidur. Ia termenung diatas ranjang memeluk lututnya. Suara detik jam seirama dengan nafasnya yang teratur. Iris hitamnnya bergeser melihat Donghae yang terlelap didebelahnya. Tertidur dengan begitu damai.

Bola matanya melihat cincin yang melingkar dikedua jari manis mereka. Perlahan Hyukjae berbaring, menghadap Donghae di sebelahnya. Hyukjae sudah putuskan.

Ia akan melakukannya. Tak peduli apapun resikonya.

.

.

.

"Ingat nomor ponselku ada di kertas sebelah telepon rumah, hubungi aku jika terjadi apa-apa. Aku akan membelikanmu ponsel nanti jadi sementara ini gunakan telepon rumah dulu."

"Hm."

"Ibu akan datang sedikit terlambat, jadi setelah ini minum obatmu dan istirahat. Tak usah melakukan apapun hingga ibu datang."

"Hm."

Dahi Donghae mengernyit melihat istrinya yang memberinya jawaban super singkat dan anggukan tanpa mengalihkan perhatiannya dari sarapannya. Istrinya sangat aneh hari ini. Hyukjae sangat pendiam sejak ia bangun, dan jujur ini membuat Donghae khawatir.

"Hyukjae."

"Ya?"

"Kau baik-baik saja?"

"Hm"

Lagi-lagi jawaban singkat dan anggukan yang Donghae dapatkan. Laki-laki itu berdecak tau ada sesuatu yang disembunyikan istrinya, namun ia segera disadarkan oleh waktu. Ia harus berangkat bekerja sekarang jika tak ingin terlambat.

Donghae perlahan mendekati Hyukjae. Perasaannya tidak enak, tapi ia harus berangkat bekerja.

Hyukjae terkejut saat merasakan bibir hangat Donghae di keningnnya. Ia mendongak membuat iris hitamnnya bertemu dengan iris cokelat sendu suaminya.

"Baik-baiklah dirumah dan jangan membuatku khawatir, mengerti?"

Tangan hangat itu mengusap rambut Hyukjae lembut. Membuatnya tanpa sadar mengangguk patuh. Membuat Donghae bisa bernafas lega sebelum beranjak keluar dari sana setelah sekali lagi berpamitan pada istrinya.

Hyukjae diam fokus mendengarkan deru mobil Donghae. Tepat saat suara mobil itu sudah menjauh ia dengan cepat berlari menuju kamar, membiarkan sarapannya terbengkalai begitu saja. Dengan cekatan mencari tas ransel milik Donghae lalu memasukan beberapa pakaian kedalamnya berserta obat-obatannya. Ia kemudian mengambil seluruh uang tunai di atas meja nakas. Donghae selalu meninggalkan beberapa lembar uang tunai dirumah untuk keadaan darurat. Tidak banyak memang, tapi cukup untuknya.

Kembali menuruni tangga, Hyukjae mengemas beberapa barang yang ia butuhkan dari dapur. Setelah siap ia segera menuju pintu depan. Memakai sepatu, menyambar matel lalu keluar dari rumah.

Hyukjae sudah siap sekarang.

Dengan yakin keluar pagar rumah sembari mengencangkan tali ranselnya. Ia berhenti sejenak, melihat rumah besar dibelakangnya. Hyukjae tahu ia seharusnya tak melakukan ini. Ia tahu Donghae akan marah besar padanya. Tapi Hyukjae perlu memastikan sesuatu. Ia harus menemukan jawaban yang ia cari. Dan ia yakin ia akan menemukannya ditempat sepuluh tahun yang lalu.

Tempat ia hidup sepuluh tahun yang lalu.

Tempat ia menemukan mimpi dan cintanya sepuluh tahun yang lalu.

Ya, Hyukjae hanya ingin kembali sepuluh tahun yang lalu.

.

.

.

TBC.

Apa ya... ini 3shot dan semoga suka, gitu aja.