Inaho memandangi sketsa lukisan di depannya, menusukkan kuasnya dan mewarnai tak beraturan; abstrak, tapi sepertinya bukan itu yang sedang coba ia buat.
"Butuh bantuan, Kaizuka-san?"
Suara itu sangat mengganggunya. Di arah empat puluh lima derajat sebelah kanannya, teman sekelasnya, Slaine Troyard sedang tersenyum meremehkan ke arahnya.
"Tidak, terimakasih." Inaho gengsi.
"Jangan menolak bantuan orang, dong." Slaine makin menjadi. Sementara Inaho hanya mengumpat kesal dalam hati, berharap Slaine segera enyah dari pandangannya.
"Ayolah, bukankah itu tugas untuk besok?" Slaine tidak tahan dengan harga diri Inaho. Ia cuma berniat membantu dengan ikhlas.
"Aku bisa menyelesaikannya sendiri."
"Ini sudah hampir jam lima sore, kau takkan sempat."
Slaine menggeser Inaho secara paksa, mengambil alih palet dan lukisan Inaho.
"Sketsamu bagus tapi selera mewarnaimu buruk." Slaine lalu membubuhi warna-warna pada bagian lain dan membuat kesalahan Inaho menjadi tidak kentara dengan kelihaian tangannya.
Jarum jam dinding berlalu entah untuk berapa lama hingga malam menjemput awan dan cahaya matahari. Inaho terpukau dengan hasil jadi lukisannya sendiri.
"Yah, kau suka bunga?" Slaine meletakkan peralatan melukisnya di bawah. "Cukup mengesankan."
"Kau menyindirku? Terima kasih." Inaho ganti menggeser Slaine. Sementara pihak satunya mengernyit.
"Inikah balasanmu atas kebaikanku?"
"Aku tidak memintamu. Kau yang memaksaku."
Kaizuka Inaho dan Slaine Troyard hanya sekedar teman sekelas. Tak banyak bicara, saling bersaing nilai dalam setiap mata pelajaran. Inaho pada dasarnya tak begitu menyukai Slaine karena membuatnya harus belajar tiga kali lebih keras dari jaman sekolah menengah pertamanya. Tidak ada alasan khusus, Inaho hanya tak suka mempunyai saingan yang nilainya hanya selisih nol koma darinya. Inaho tidak sudi kalah dari segi apapun, apalagi tindakan Slaine kali ini bisa dibilang sebagai bendera perang yang dikibarkan oleh Slaine padanya.
"Kau ingin apa? Tidak mungkin kau melakukan sesuatu secara cuma-cuma demi diriku."
"Well, aku hanya membantumu." Slaine beranjak, mengambil tasnya dan bersiap pergi.
"Kenapa kau tahu aku ada di ruang seni?"
Slaine terdiam sejenak. "Aku hanya menebaknya." katanya kemudian. Ia melambaikan tangan, melempar senyum sebelum mengucapkan salam perpisahan.
"Aku duluan."
Menyisakan Inaho dan lukisannya. Tak mereka lihat ada sesuatu bersinar yang melintasi langit kala itu.
.
.
.
Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.
Inaho x Slaine
BL alias Boys Love, shounen-ai , hvmv dsj
AU. OOC. Typo(s). Kebanyakan dialog.
Don't Like Don't Read. I've warned you!
Inspiration : some doujin and kimi no na wa (movie) and a song from — voice
.
.
.
.
Slaine membuka sepasang matanya ketika seberkas sinar mentari menyambangi wajahnya. Ia mengerjap perlahan, mengumpulkan kesadarannya. Ditatapnya langit-langit yang berwarna putih, tampak samar pada awalnya dan makin lama terlihat makin jelas.
Ia segera mengambil posisi duduk dan merenggangkan tubuhnya. Ia ingat harus mengumpulkan tugas melukis, berarti ia harus berangkat ke sekolah. Ia bergegas turun, merasa asing dengan ruangan ini. Seingatnya kamarnya lebih luas dari ini. Apakah ia tertidur di ruangan lain? Ruangan mana?
Ia tak ingin memikirkannya dan memutuskan untuk segera mandi. Sebelum tepat sampai ke sana, ia melewati sebuah cermin besar dan mundur setelahnya. Ia melotot, menatap pantulan dirinya sendiri dari atas sampai bawah sampai tiga kali.
"HAH?!"
"Nao-kun, cepatlah sedikit! Kakak akan terlambat!" suara seorang perempuan dari luar memanggil. Slaine tersentak, menyadari bahwa ini bukan rumahnya.
"Tidak...tidak mungkin..."
.
.
.
.
Inaho terbangun di tempat lain, dan ia sadar ini bukanlah rumahnya. Sejak kapan kamarnya jadi semewah ini? Apakah dia sedang bermimpi?
"Slaine-sama, sarapan anda sudah siap." seorang lelaki jangkung berambut hitam masuk. Inaho sedikit terjengit. Itu kan Harklight, supirnya Slaine. Inaho pernah beberapa kali melihatnya secara tak sengaja.
Tunggu, apakah tadi ia baru saja dipanggil dengan nama Slaine?
.
.
.
.
Slaine di sepanjang perjalanan hanya diam. Sibuk memikirkan apa yang terjadi, apakah ini hanya mimpi atau—
"Ayo diriku cepat bangunlah." Slaine mencubit pipinya sendiri. Sakit. Dan tidak ada yang berubah. Seorang perempuan berambut hitam panjang yang mengaku sebagai kakaknya menurunkannya di depan sebuah institusi pendidikan bertuliskan Vers High School pada bagian depan dengan keramik.
"Kakak akan pulang malam, kau pulang sendiri ya nanti. Hati-hati." perempuan itu melambai sebelum melajukan mobilnya kembali.
Slaine mematung di sana.
"Sebenarnya apa yang terjadi?!" ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Tidak bisa dipercaya, bagaimana bisa ia berada di tubuh—
"Slaine? Itukah kau?"
Slaine menoleh. Melihat dirinya sendiri menyapanya. Entah mengapa terasa absurd sekali.
"I-Inaho?"
Mereka saling berpandangan selama beberapa detik. Lalu Slaine merasakan tubuhnya sendiri menyeretnya menuju halaman belakang. Waktu itu masih sepi, belum ada seorang pun yang datang sehingga mereka bisa leluasa.
"Jelaskan apa yang terjadi, Slaine Troyard. Kau tahu, aku hampir gila di pagi hari karena pelayanmu!"
Slaine swt. Melihat dirinya sendiri marah dengan paras datar membuatnya gemas.
"Hal yang sama berlaku padaku. Kenapa aku bangun di tubuhmu?!"
Inaho juga merasa aneh melihat dirinya sendiri bisa berekspresi karena Slaine sedang ada di dalamnya.
"Yang penting jangan lupakan tugas melukis. Kau bawa?"
Jiwa Slaine yang berada di dalam tubuh Inaho menunjukkan sebuah benda yang ia tenteng sejak tadi, dibungkus dengan kresek hitam.
"Tenang saja. Kau bawa punyaku juga tidak?"
"Sial, aku meninggalkannya karena lari dari rumahmu."
Slaine mencekik Inaho yang sedang menghuni tubuhnya. "Apa maksudmu, Kaizuka Inaho?! Itu tugas hari ini!"
Inaho tersenyum licik. "Menjatuhkanmu, mungkin?"
"Aku ingin memukulmu, tapi aku tidak mau melukai diriku sendiri." Slaine pusing , lalu segera melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Inaho.
"Aku robek saja lukisanmu kalau begitu."
Slaine merasakan sesuatu yang berat menimpa dirinya dan itu ternyata adalah tubuhnya sendiri.
"Aku ingin menghajarmu."
"Telepon Harklight atau siapapun itu. Kau bawa ponselku, kan?"
"—tidak."
Slaine membalik posisi, sedikit miris mengingat ia menindih raganya sendiri yang sedang berisi jiwa Inaho sekarang.
"Dengar ya, aku tidak mau tahu atau akan kupermalukan kau."
"Dengan?"
"Mungkin besok aku beli majalah porno dan kutunjukkan pada kakakmu?"
Inaho (di tubuh Slaine) menyipitkan mata.
"Jangan macam-macam kau, dasar penjilat."
"Perlu kubawakan kaca untukmu, tuan Kaizuka?!"
"Slaine, ini takkan berakhir. Kita cari solusi saja bagaimana caranya agar kita kembali ke tubuh masing-masing. Coba ingat apa yang kau lakukan semalam?"
Slaine merasa pening. "Yang kuingat aku pulang ke rumah seperti biasa dengan supirku—"
"Pasti ada sesuatu yang membuat kita begini." Inaho turut berpikir. "Bukankah kita terakhir bertemu saat di ruang seni? Apakah ada semacam kutukan di sana?"
"Setahuku bukankah itu rumor ruangan perlengkapan?"
"Oh, ayolah." Inaho yang berada di tubuh Slaine merotasi netra. "Ini benar-benar gawat, kita harus menemukan akar permasalahan ini."
"Setidaknya berpura-puralah jadi diriku." Slaine mundur, dan membiarkan Inaho duduk. "Aku tak mau terjebak tubuh kurusmu ini selamanya."
"Kurus, katamu?" Inaho tidak terima.
"Itu fakta. Meski punyamu tidak, sih."
"Kau ingin kutusuk jika kita kembali?"
"Aku tak tahu kau ternyata memendam perasaan padaku, Kaizuka." Slaine tertawa pelan, membuat Inaho berkedut kesal.
"Oh, sial. Aku akan kembali ke rumahmu kalau begitu. Pelajaran masih satu jam lagi."
"Awas kalau sampai kau terlambat, Kaizuka."
"Tidak akan. Ayo kita buat ini sebagai perjanjian sementara."
"Boleh saja. Awas kalau kau pegang-pegang tubuhku."
"Kita sesama lelaki, tak perlu cemas." ia berusaha diyakinkan dengan kalimat itu.
"Entah mengapa aku khawatir jika tahu itu kau. Aku akan ke kelas duluan." Slaine berdiri.
"Slaine, tolong kontrol ekspresimu. Aku jijik sendiri melihat wajahku."
"Bisa diatur. Aku menunggumu."
.
.
.
Pelajaran hari itu dilalui oleh mereka dengan sukses. Inaho yang biasanya semedi di kursi pojok, kini harus menghadapi berbagai cobaan dari orang-orang yang selalu lengket dengan Slaine. Sekarang sedang jam kosong, murid-murid belajar sendiri.
"Slaine-san, aku membawakan bekal untukmu." Lemrina mengambil kursi kosong untuk diseret ke meja Slaine—yang berisi jiwa Inaho.
"Slaine, aku juga buat, loh." Asseylum ikut duduk bersama Slaine (Inaho) dan Lemrina.
Lemrina menatapnya tajam.
Asseylum tersenyum mencurigakan.
Ah, merepotkan, batin Inaho. Ia tidak tahu bagaimana cara menangani ini. Sementara jiwa Slaine yang berada di dalam tubuh aslinya, tampak tenang sambil membaca buku.
Tunggu.
Inaho melihat seringai kecil di sana.
Sialan kau, Slaine Troyard!
.
.
.
.
.
.
Inaho dan Slaine bertemu di halaman belakang saat jam istirahat pertama. Mereka bergegas keluar kelas begitu mendengar bel berbunyi tanpa bicara satu sama lain.
Ikatan batin? Haha.
HELL NO.
Inaho membuka percakapan, "Slaine, aku tidak tahu cara mengatasi serangga yang biasanya di sekitarmu—"
Slaine yang memakai tubuh Inaho, mencengkeram kerah seragamnya sendiri.
"Serangga katamu? Mereka teman-temanku, manusia busuk." hujatnya.
"Kau tahu, aku tak terbiasa dengan ini." Inaho melepaskan diri. Lalu membenahi dasinya kembali. Inaho memang sulit bergaul dengan orang lain, tak terkecuali teman-teman sekelasnya sendiri.
"Ini aneh, aku harap ini hanya mimpi. Tunggu, Kaizuka. Hari ini ayahku pulang dari Arab, pokoknya jangan bertingkah aneh-aneh, ya!" pesan Slaine.
"Yang penting sopan, kan?" Inaho balik bertanya.
"Entahlah, kira-kira begitu. Pokoknya jangan membantahnya sekalipun permintaannya aneh-aneh."
"Emang beliau sering minta apa?"
Slaine menggaruk pipi, manis sekali—jika bukan karena jiwanya yang berada di tubuh Inaho, si bungsu Kaizuka pasti sudah ngiler pangkat sembilan.
"Y-yah...itu agak..."
"Slaine, aku mau muntah, —hoeekkkk." tau-tau udah brojol aja. Tanpa peringatan pula. Inaho jijik melihat wajahnya hari ini sangat ekspresif.
"Bersihkan muntahanmu itu, Kaizuka! Jangan sampai aku terlihat kotor!" jerit Slaine histeris. Ia lalu memboyong tubuhnya sendiri yang berisikan jiwa Inaho kembali ke dalam gedung untuk menuju UKS. Ah, mengapa ia keberatan mengangkat tubuhnya sendiri?
Siswa-siswi yang melihat mereka berjalan berdua di koridor menatap heran. Rahasia umum bahwa Inaho dan Slaine itu tidak pernah akur, dan sekarang mereka saling merangkul?
Oh, astaga. Kiamat sudah dekat.
"Bertahanlah, Kaizuka..." lirih Slaine. Inaho sekuat tenaga menahan mualnya, dan Slaine dapat melihat wajahnya sendiri yang memucat mengerikan. Slaine yang panik, lalu mengangkat tubuhnya sendiri, menggendong ala pengantin dengan tujuan ruang kesehatan.
"Tahan dulu, Kai—Slaine!" Slaine mengoreksi teriakannya karena masih banyak siswa-siswi yang menatap mereka.
"Astaga, ini memalukan..." gumam Inaho pelan.
Mereka akhirnya sampai ke ruang kesehatan, dan ternyata ada Nina, salah satu teman mereka dari kelas sebelah di sana.
"Kaizuka-san? Troyard-san?" Nina memandang heran. "kalian ngapain?"
Otomatis Slaine melepas Inaho.
Gedebuk!
"Aduh...Slaine..." keluh Inaho pelan, beruntung Nina tidak mendengarnya. Karena detik ini juga, sebuah rekor terpecahkan di depan matanya.
Slaine yang berada di dalam tubuh Inaho tersenyum tulus sambil membungkuk. "Maafkan kami, Nina-san."
Nina menjerit histeris sebelum mengambil ponselnya secara kilat dan memotret instan wajah Inaho yang tersenyum. Tangannya tremor, kemudian ia lari tunggang langgang keluar ruangan.
"Entah kenapa firasatku buruk soal ini." Slaine swt.
"Sialan, katamu kau tak tega menyakiti tubuhmu sendiri." Inaho susah payah berdiri. Mualnya sudah hilang entah kemana, ia menyengkeram kerah Slaine—dirinya.
"Aku kaget, muka panci."
"Apa maksudmu senyum-senyum menggunakan wajahku?"
Slaine mendapat ide cemerlang. Dengan sengaja ia tersenyum lebar.
"Bagaimana, ya? Rasanya nyaman bila tersenyum, bukankah begitu?"
"Kampret."
.
.
.
.
.
Istirahat kedua, mereka berdua mengunjungi atap. Tanpa perbincangan atau isyarat sebelumnya, mereka langsung melesat begitu bel berbunyi. Dan mereka saling menukar kotak bekal di atap.
"Bekalmu penuh sama obat-obatan, dasar penyakitan."
"Bekalmu telur semua, muka panci."
"Kakakku yang membuatnya, jangan protes."
Mereka duduk agak ke pinggir dekat pagar kawat teralis. Duduk bersisian, dan hening beberapa saat.
"Sana cari tempat lain, Inaho."
"Aku maunya di sini."
Merasa tak akan ada gunanya berdebat kembali, keduanya lalu memakan bekal dengan khidmat. Tidak apalah sesekali, pikir mereka. Inaho yang sedang berada di dalam tubuh Slaine tanpa sengaja mematahkan sumpit yang ia gunakan. Demikian Slaine, yang membengkokkan sendoknya.
"Kita harus kembali, muka panci! Aku harus menggantikan ayahku untuk pertemuan makan malam dengan kolega malam ini!"
"Aku juga harus berbelanja dan masak malam ini, sialan. Memangnya kau bisa masak dengan selera kak Yuki?"
Hening.
Sia-sia saja pertengkaran ini. Mereka tidak tahu apa penyebab kejadian tak masuk akal ini, apalagi bagaimana cara untuk kembali. Ritual voodoo? Ritual apalah apalah? Bagaimana jika perlu tumbal dan mungkin hanya salah satu yang bisa selamat?
Keduanya menghela nafas.
Biarlah.
.
.
.
.
.
Inaho tampak canggung duduk di jamuan makan malam kelas elit begini. Berkali-kali Harklight meliriknya, memberinya kode agar duduk dengan benar. Inaho tidak terbiasa. Bagaimana bisa Slaine betah dengan hal semacam ini?
"Jadi, Slaine-san, kami meminta pendapat anda untuk saran dan masukan penjualan saham, serta kurs pemasaran."
Syukurlah, setidaknya Inaho memahami materi ekonomi.
(Tolong doanya, kawan-kawan.)
.
.
.
.
.
"Nao-kun, kau baik-baik saja?" Yuki nampak khawatir melihat hasil masakan adiknya. Mereka memang bergantian memasak untuk pagi serta malam, dan sekarang adalah jadwal Inaho.
Kali ini ada yang berbeda. Terlalu berbeda. Bukan sekadar variasi telur seperti biasa. Inaho juga menghidangkan dessert yang enak-enak menggunakan macam-macam kue, bahkan membeli ayam. Ada pula berbagai macam sayuran dan potongan buah sebagai penutup. Semangkuk pasta dengan saus bronze yang baru saja diletakkannya di meja menambah keheranan Yuki.
"Tenang saja, kak. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru." kilahnya.
Yuki takut adiknya telah kerasukan sesuatu saat perjalanan pulang dari sekolah tadi.
Dan hari-hari mereka masih akan berlanjut.
.
.
.
.
.
Hari 1 selesai
.
.
.
.
A/N: halo para penghuni fandom mAZo. Kenal aq ga /GA. ini panda hiqs, yg akun Panda Dayo gabisa dibuka lagi maafkeun, jadi mulai sekarang aku bakal aktif di akun ini. Cerita ini akan dibuat berkala semaunya saya /DIKEPLAK.
Buat semua mc kayanya gabakal kulanjutin— #digibeng. Kalo sempet bakal kupindah sini, kalau enggak ya—maaf.
Thanks for read
siluman panda