Osaka
"Himawari, sudah berapa kali Kakek katakan padamu, jaga penampilan dan sikapmu. Berlakulah seperti seorang Hyuga! Cih, darah Uzumaki memang terlalu kental mengalir dalam tubuhmu, dasar sampah." Gadis berumur tiga belas tahun itu hanya diam menerima cacian yang dilemparkan oleh kakeknya.
Tak apa, hal itu sudah biasa baginya. Lahir tanpa mengenal sosok keluarganya, Himawari dibesarkan oleh sang kakek yang tak lain adalah seorang yang masih memiliki keturunan darah seorang bangsawa sehingga dirinya di didik begitu keras sampai - sampai tak mempunyai ruang untuk bernafas.
Meski mempunyai seorang Ibu, namun Himawari tetap tak pernah merasakan yang namanya kasih sayang. Hal itu disebabkan karena Ibunya, Hyuga Hinata terbaring koma setahun setelah dirinya dilahirkan. Dan sang kakek terus menerus menyebut nama Uzumaki lah yang menjadi awal dari semua kejadian ini.
"Darah Uzumaki, huh? Bahkan kalau aku mampu aku tak sudi mempunyai darah Hyuga dalam tubuhku." gumam Himawari lirih.
Gadis muda itu kemudian memakai hoddie-nya guna menutupi surai indigo yang sengaja Ia potong pendek seperti seorang bocah laki - laki dan memakai sneakers-nya. Ia sudah muak berperilaku sebagai seorang putri, bertindak munafik di hadapan para tetua yang menuntut sikapnya agar menjadi seorang yang sempurna.
Himawari melangkahkan kakinya pada sebuah kamar yang berada di ujung lorong, membuka pintu besar bernuansa kuno itu dan mendekati seorang wanita cantik yang sama sekali tak menua sedang terbaring lemah pada sebuah ranjang raksasa dengan seluruh peralatan penyambung hidup memenuhi tubuhnya.
"Ibu, aku pergi dulu. Aku akan pergi mencari Ayah dan menuntut semua pertanggungjawaban atas apa yang sudah Ia lakukan padaku dan Ibu. Aku akan membawa Ayah untuk mengeluarkan kita berdua dari penjara ini Bu. Aku berjanji, tunggulah aku." ujar Himawari lalu mencium kening sang Ibu sebelum gadis itu berjalan keluar, mengambil sebuah tas ransel yang Ia sembunyikan dalam kamar Ibunya.
Tas berisi seluruh persiapan, uang serta petunjuk di mana Ia akan mencari Ayah kandungnya. Himawari bukanlah gadis yang bodoh. Alasan Ia bertahan dan tunduk pada sang kakek hanyalah agar gadis itu dapat mengorek informasi yang jauh lebih banyak. Sebelum akhirnya Ia memutuskan untuk kabur dan mencari keberadaan Ayahnya.
"Selamat tinggal Bu, aku akan segera kembali." Himawari telah mengambil sebuah keputusan nekat yang mungkin akan mengubah seluruh hidupnya.
•••
"Sekarang ke mana aku harus pergi?" Himawari membuka sebuah surat yang telah lama disimpan dalam sebuah kotak milik Ibunya.
Tak mudah mendapatkan petunjuk berharga tempat Ayahnya berada itu karena Ibunya menguncinya dengan kode - kode rumit yang bahkan membutuhkan waktu sampai tiga tahun bagi Himawari untuk membukanya.
Well, tentu saja hal itu tak lepas dari otak jenius yang diwariskan oleh sang Ibu padanya.
"Pertemuan pertama, 27 Desember 20xx, pada tengah musim dingin saat ulang tahun Ibu di Ueno park, Tokyo. Musisi jalanan bermain saxophone spesial untuk hari ulang tahun Ibu. Bersurai pirang dengan warna mata sebiru samudra yang tak terselami."
"Hm," Himawari memegang dagunya, memutar otak jeniusnya.
Jadi selama ini identitas Ayahnya hanyalah seorang musisi jalanan? Bagaimana caranya pria itu dapat mendekati Ibunya yang notabene adalah seorang yang berbeda kalangan dengan Ayahnya?
"Tak heran Kakek selalu mengataiku dengan julukan sampah. Seburuk itukah darah seorang Uzumaki yang mengalir dalam tubuhku?" Himawari meremas kertas yang berada dalam genggamannya hingga kusut.
Petunjuk pertama telah Ia dapatkan. Meski sudah lebih dari belasan tahun semenjak pertemuan pertama Ayah dan Ibunya namun Himawari yakin masih tersisa sedikit jejak yang dapat Ia telusuri di tempat itu.
Berharap saja bahwa ada yang mengenali sosok sang Ayah atau gadis itu akan membutuhkan petunjuk lain untuk dapat menemukan keberadaan Ayahnya.
•••
"Himawari! Di mana bocah sialan itu?! Kou, apa kau sudah menemukannya?!" Teriak Hiashi murka. Sekarang sudah waktunya bagi sang cucu perempuan untuk berlatih seni opera dan Ia sudah mempermalukan Hiashi sebagai kakek dari cucu yang tidak disiplin.
"Maafkan saya Hiashi sama. Saya tidak dapat menemukan nona Himawari di mana pun."
"Apa?! Ke mana perginya bocah itu?! Apa para penjaga tak ada satupun yang tahu ke mana dia?! Apa saja yang kalian kerjakan, huh?! Menemukan satu bocah ingusan di rumah sebesar ini saja kalian tak sanggup?! Cepat temukan dia!" Bentak Hiashi kasar.
Tak ada satu hari pun bagi pria tua itu untuk tak mengucapkan kata - kata makian. Bahkan putri serta cucunya pun tak luput dari kekejaman seorang Hyuga Hiashi.
"..." Para penjaga hanya sanggup diam tak berkutik. Mereka tidak tahu ke mana perginya cucu sematawayang dari Hiashi tersebut.
Himawari begitu cerdas dan licik sehingga gadis itu tak meninggalkan sisa dan bukti apapun. Hal itu tentu sudah masuk ke dalam perhitungannya. Jaga - jaga jika sang kakek mencari keberadaannya yang menghilang.
Apalagi dengan pikiran kolot sang kakek yang enggan untuk memasang cctv di dalam rumah sehingga memudahkan Himawari untuk bergerak leluasa dan kabur dari sangkar emasnya.
"Temukan dia atau kalian semua akan kupecat!" Ancaman mutlak dari Hiashi membuat para penjaga mau tak mau segera bergegas, mencari di setiap sudut rumah sampai kota. Namun tentu mereka tahu bahwa gadis berusia sepuluh tahun itu tidak bodoh.
Himawari sudah mengantisipasi bahwa kakeknya pasti akan menyuruh penjaga untuk mencari dirinya sehingga Ia sudah menutupi semua ciri khas yang ada dalam dirinya dengan peralatan make up yang Ia pinjam dari kamar Ibunya.
•••
"Sempurna." gumam Himawari saat melihat pantulan wajahnya di cermin. Berbekal kosmetik milik Ibunya, gadis itu mampu menutupi tanda lahir pada wajahnya.
Sebenarnya akan lebih baik jika Himawari memakai wig guna menutupi surai indigonya serta softlens untuk menutupi mata birunya. Namun untuk sementara, hal ini sudah cukup baginya.
Gadis muda itu memandang satu tiket yang telah Ia beli, tiketnya menuju tempat di mana Ayah dan Ibunya pertama kali bertemu.
"Aku akan segera menemukanmu, Ayah." ucap Himawari sambil berjalan menuju platform tempat Ia akan menaiki kereta yang membawanya pada tujuan selanjutnya.
•••
Tokyo
"Sudah berapa kali kukatakan, jangan mempermalukan aku dengan menjemputku di depan gerbang sekolah! Apa Ayah masih juga tak mengerti?" Seorang bocah laki - laki berambut pirang membentak seorang pria paruh baya di hadapan teman - temannya.
"Tapi tuan muda, ini perintah dari - "
"Bilang kepada Ayahku, aku tidak butuh siapapun untuk menjemputku. Jika memang Ia khawatir suruhlah Ia sendiri yang datang menjemputku, bukan mengirim bodyguard mengerikan yang menakuti teman - temanku! Apa kau mengerti?!" Bocah itu berlari cepat, menuju mobil salah satu temannya dan kabur meninggalkan pria itu sendirian.
"Tuan muda Boruto, tunggu - " Pria bernama Kakashi itu hanya mampu pasrah melihat tingkah tuan mudanya yang kian hari semakin membandel.
Tentu saja hal itu tak lepas dari perlakuan Ayah Boruto yang sama sekali tak mempunyai perhatian pada putranya sendiri dan lebih berfokus pada pekerjaannya sehingga membuat Boruto merasa kesepian dan memberontak demi mendapat perhatian.
•••
"Hei Boruto, apa sikapmu tadi tidak keterlaluan?" tanya Shikadai.
"Tidak." jawab Boruto singkat.
"Aku tahu kau sedang marah kepada Ayahmu, tapi bisakah kau tidak merepotkanku?" tanya Shikadai lagi. Sahabat masa kecil Boruto itu tahu bahwa sahabat pirangnya itu sedang dalam kondisi labil.
Namun Ia merasa sedikit kerepotan dengan sikap Boruto yang keras kepala dan selalu menumpang makan dan tidur di rumahnya yang kecil. Padahal Boruto sendiri mempunyai rumah raksasa yang bahkan cukup menampung seekor gajah.
"Tidak bisakah kau pulang ke rumahmu sendiri, huh? Mendokusai." keluh Shikadai.
"Ayolah Shikadai, apa kau tega membiarkanku menggembel di tengah jalan?"
"Terserah kau saja, yang jelas Ibuku sudah marah melihat kelakuanmu. Jadi sebaiknya kau pulang sebelum jam lima sore." ucap Shikadai tegas. Kali ini, Ia tak akan termakan bujuk rayu Boruto.
Ada kalanya bersikap tegas pada seseorang yang keras kepala agar orang itu tak lagi menginjakmu.
"Cih, menyebalkan. Baik, aku akan tidur di taman Ueno saja! Biar aku mati kedinginan, lagipula tak ada lagi yang peduli padaku!"
Shikadai menghela nafasnya panjang; "Kapan kau akan bersikap dewasa Boruto?"
Boruto tak menjawab. Bocah pirang itu beranjak dari tempatnya dan keluar dengan membanting pintu rumah Shikadai.
•••
"Bahkan Shikadai pun sudah tak peduli padaku. Sekarang aku harus bagaimana? Jika saja Ayah lebih memperhatikanku, maka aku tak mungkin akan menjadi seperti ini." Boruto bergumam sendiri.
Entah mengapa hatinya terasa begitu nyeri. Rasa kesepian yang dialaminya telah membesarkan bocah itu seperti sekarang ini. Ia haus akan perhatian, selalu mencari perhatian dengan berbagai macam cara.
Merusak barang - barang di toko, mencuri, merusak properti sekolah, namun semua hal itu dapat diselesaikan dengan tuntas tanpa masalah oleh uang Ayahnya.
Sehingga Boruto tak pernah mendapat masalah yang serius seperti berurusan dengan pihak keamanan. Ia juga tak pernah mendapat hukuman dari Ayahnya.
Di mata Ayahnya, uang telah menggantikan posisi Boruto sebagai anaknya.
"Apa aku benar - benar akan bermalam di taman ini?" Kaki Boruto terhenti saat sampai di taman yang entah kenapa membangkitkan kenangan tersendiri baginya.
Bocah itu berjalan kemudian duduk di sebuah bangku taman, menatapi danau yang berkilau akibat cahaya matahari sore itu dengan tatapan hampa. Perasaan hangat ini membangkitkan ingatan samar akan dirinya bersama sosok seorang wanita berparas cantik yang menggendongnya.
"Ibu?" lirihnya tanpa sadar.
Namun bocah itu cepat menggelengkan kepalanya dan memejamkan kedua matanya; "Aku tidak mempunyai Ibu."
•••
"Di sini?" Himawari melihat peta yang baru Ia ambil dari stasiun Tokyo. Peta yang membawanya berdiri sebuah taman yang luas. Jika sebesar ini, bagaimana cara Ia akan menemukan keberadaan Ayahnya?
Gadis muda itu memutuskan untuk berjalan menyusuri taman. Lagipula Ia tak berharap banyak karena pertemuan pertama kedua orang tuanya telah lewat belasan tahun yang lalu. Namun paling tidak, Ia dapat mencari satu atau dua orang yang sempat mengenal Ayahnya yang mantan seorang saxophonist tersebut.
Satu orang, gadis itu mencoba bertanya namun hasilnya nihil. Himawari tak menyerah, Ia terus mencoba namun jawaban yang diberikan selalu sama.
"Maaf, aku orang baru di sini."
"Musisi? Saxophonist? Aku tak pernah melihatnya."
"Uzumaki? Seorang pemain saxophone? Hm, maaf aku tidak tahu."
"Ck, tak ada yang mengenal Ayah. Lantas apa aku harus pergi bertanya ke polisi?" keluh Himawari kala tak menemukan jawaban yang Ia cari.
Sudah dua jam lebih gadis itu mencari dan hari sudah mulai gelap. Tampaknya tak ada jalan lain selain duduk dan beristirahat sejenak sebelum gadis itu memulai pencariannya lagi.
"Ah, aku lelah sekali." gumam Himawari sambil duduk di salah satu bangku taman. Maniknya tak sengaja bertatapan dengan seorang pemuda yang duduk tepat di sampingnya.
"..." Untuk sesaat mereka berdua terdiam. Himawari menatap intens mulai dari surai pirang sampai manik biru milik Boruto, tatapannya kemudian turun pada dua buah tanda lahir yang terletak di pipi Boruto. Rasanya tak asing, karena tanda itu sama seperti miliknya.
'Mungkinkah dia?' Himawari mulai berspekulasi dalam hatinya. Mungkinkah orang ini saudaranya atau bahkan mungkin ada kaitannya dengan sang Ayah. Surai pirang, manik biru serta tanda itu mengingatkannya akan ciri - ciri Ayahnya.
"Um, apa aku pernah bertemu denganmu?" tanya Boruto canggung, membuyarkan konsentrasi Hima yang sibuk memperhatikan wajahnya.
"Kurasa tidak." jawab Himawari singkat.
"Siapa namamu?" tanya Boruto, kali ini pemuda itu mengulurkan tangannya.
"Himawari, dan kau?" Himawari menyambut uluran tangan itu hangat. Ia sengaja tak menyebutkan marganya, menyembunyikan identitas aslinya. Jantung gadis itu berdegup kencang, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut pemuda itu.
"Boruto, Namikaze Boruto, senang berkenalan denganmu." ujar Boruto melemparkan cengiran khasnya.
Seketika raut wajah kegembiraan pada Himawari sirna kala mendengar marga Boruto. 'Bukan dia.' Batinnya pilu.
"Senang berkenalan denganmu, Boruto." Himawari melepaskan cengkramannya pada Boruto.
Gadis itu kemudian menatap kosong ke arah danau dan terdiam. Sementara Boruto memperhatikan wajah Himawari dengan seksama, jantung pemuda itu berdegup kencang merasakan suatu ikatan batin dengan gadis yang berada di sampingnya.
'Apakah ini cinta?' Batinnya.
Ia teringat akan ucapan sang Ayah bahwa Tuhan telah mengikat suatu benang merah yang kasat mata di sekitar jari kelingking seseorang yang akan ditakdirkan untuk hidup menjadi pasangan kita suatu hari nanti.
Boruto sempat bertanya pada sang Ayah bagaimana cara mengetahui sosok yang terikat benang merah bersama kita itu?
Ayahnya tersenyum dan hanya menjawab; "Entahlah, kau tidak akan pernah tahu yang pasti, kau hanya akan tahu." Ucapan sang Ayah menimbulkan suatu pertanyaan besar pada diri bocah tersebut.
Namun sekarang Boruto mengetahui bahwa Himawari lah gadis yang ditakdirkan hanya untuknya. Benar, benang merah itu akhirnya menemukan titik ujungnya namun tidak sebagai pasangan. Melainkan sesuatu yang lebih besar daripada itu.
Yaitu, ikatan utuh sebuah keluarga.
•••
つづく
Author's Note :
Ini fict selingan sambil menunggu Sunshine dan Our Story tamat. Tenang saja, fict ini singkat kok. Fict ini murni NaruHina dan BoruHima sebagai peran penting dari hubungan mereka. No incest ya.