Go Home

Naruto Shippuden dan seluruh karakternya adalah milik Masashi Kishimoto

...

Go Home

Chapter 1

Author : QiyuBee

Rate : M

Enjoy reading

~XOXOXOXOXOXOXOXO~

Buugghhh.

"Apa yang kau lakukan padanya, brengsek?"

"Gaara-kun?"

"Jangan berani mendekatinya lagi!"

Bugh.

"Jangan pernah kau mencoba menyentuhnya lagi!"

"Apakah kau masih mau berhubungan dengan pria sekasar ini, Hinata?"

"Diamlah, brengsek!"

Bugh. Bugh. Bugh.

Hinata menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat. Gaara tampak tak menghentikan aksi tonjoknya.

"Gaara-kun, hentikan!" Teriakan Hinata akhrinya mampu membuat Gaara menghentikan aksinya.

"Kau membelanya?"

"Aku tidak membela siapa-siapa, Gaara-kun. Tapi akuu.."

"Cih." Gaara sudah pergi meninggalkan Hinata sebelum dia berhasil menyelesaikan ucapannya.

"Gaara-kun?" Ucap Hinata lirih sambil menatap ke arah punggung Gaara yang perlahan mulai hilang dari pandangannya.

"Hinata?"

Ah, Hinata telah melupakan sosok yang terkapar di dekatnya. Sosok itu terlihat kepayahan ketika berdiri menghampirinya. Sangat jelas kalau Hinata sama sekali tak berminat untuk membantunya.

"Terimakasih telah membantu menolongku dari aksi brutal monster itu, Hinata."

Hinata menatap rendah ke arah pria di sampingnya. Dia sempat mendecih saat mendengar kata 'monster' yang diucapkan oleh cowok berambut perak tersebut. "Jangan terlalu percaya diri, Toneri!" Tanpa mau mempedulikannya lagi, Hinata berniat bergegas pergi menyusul Gaara.

"Biarkan saja dia, Hinata!"

Hinata menepis kasar tangan yang berusaha menyentuhnya. "Jangan berani kau menyentuhku lagi! Kau sudah keterlaluan, Toneri."

"Aku? Keterlaluan?" Toneri menaikkan satu oktaf suaranya pertanda dia tak terima. "Dia yang telah memukulku terlebih dahulu, Hinata."

Hinata memicingkan lavendernya ke arah Toneri. "Jangan kau pikir aku tak tahu kalau kau telah memancing amarahnya, Toneri. Gaara bukanlah orang yang akan memukul orang lain tanpa alasan yang jelas."

Toneri mendecih mendengar perkataan Hinata. "Dia adalah orang yang kasar Hinata. Dia selalu bertindak seenaknya. Kau hanya belum mengenalnya."

"Gaara memang bersikap dingin kepada orang lain tapi dia bukanlah orang yang suka bertindak seenaknya. Kau yang tak mengenalnya." Toneri tertegun saat Hinata berteriak kepadanya. Nafas Hinata memburu dengan wajah yang memerah karena menahan emosi.

"Lihatlah!" Toneri menampilkan wajah shock yang berlebihan. "Bahkan Sabaku itu telah merubah sifatmu yang pendiam menjadi seperti ini." Toneri mencibir kembali.

"Benar. Sabaku itulah yang merubahku. Sabaku itulah yang selalu ada di sampingku. Dan Sabaku itu jugalah yang aku inginkan. Jadi berhentilah mendekatiku!" Hinata melemparkan pandangan sengit ke arah Toneri kemudian meninggalkannya begitu saja. Dia tidak mempedulikan teriakan Toneri yang berusaha memanggil namanya. Masa bodoh dengan Toneri, saat ini bagi Hinata yang terpenting adalah mengetahui kondisi Gaara.

Hinata melangkahkan kaki mungilnya dengan tergesa-gesa menuju ke arah atap. Tangannya yang sedang membawa kotak obat bergetar karena khawatir.

Saat Hinata berhasil membuka pintu atap, dia tidak dapat menyembunyikan nafas leganya ketika melihat pria berambut merah sedang duduk di sebuah bangku sambil memejamkan mata dengan sebuah earphone menutupi telinganya.

Hinata berjalan pelan menghampiri Gaara. Dia duduk tepat di samping kanannya tanpa menimbulkan suara.

Hinata menghembuskan nafasnya perlahan saat pandangannya mengamati keadaan Gaara saat ini. Ini memang bukanlah kali pertama Hinata melihat Gaara terluka, bahkan dulu Gaara pernah mendapat luka yang jauh lebih banyak daripada ini, tapi entah mengapa hal tersebut bukanlah sesuatu yang ingin Hinata maklumi, Hinata tetap ingin melihat Gaara baik-baik saja dan melihat Gaara yang tengah terluka bukanlah sesuatu yang baik untuk kerja jantungnya.

Perlahan Hinata mengambil tangan kanan Gaara dengan perlahan dan meletakkannya di atas paha yang berbalut skinny jeans miliknya. Hinata meringis melihat luka di tangan Gaara. 'Pasti sakit.' Hinata kembali menghembuskan nafasnya dengan berat sambil memandang sendu ke arah pria tampan bertato 'Ai' itu.

Ada luka gores di pelipisnya juga. Tapi sepertinya Hinata lebih memilih untuk mengobati tangan Gaara lebih dulu. Setidaknya saat ini Hinata merasa bahwa dia perlu menghindari kontak mata dengan Gaara.

Hinata terlebih dahulu membersihkan luka di tangan Gaara dengan alkohol kemudian memberikan obat pada semua luka dan lebam di sana. Hinata melakukan semua itu dengan hati-hati, berharap bahwa Gaara tidak terlalu merasakan perih akibat ulahnya.

Hinata tahu kalau sejak tadi Gaara tidak sedang tertidur, bahkan dia telah membuka matanya dan saat ini sedang memperhatikannya. Tapi Hinata enggan mendongak, setidaknya dia harus merawat luka Gaara terlebih dahulu sebelum menjelaskan peristiwa tadi kepada Gaara. Atau mungkin Hinata memang berpikir untuk mencoba mencari pengalihan perhatian atas ketidaksiapannya menghadapi Gaara.

Selesai Hinata membalut luka Gaara dengan perban, dia menguatkan hati untuk berhadapan dengan jade yang saat ini masih memperhatikannya. Selama apa pun Hinata berusaha mengulur waktu, nyatanya masih tidak akan cukup untuk membuat Gaara melupakan kejadian tadi.

Setelah menghembuskan nafasnya, Hinata mendongak. Dan walaupun Hinata telah mempersiapkan diri sebelumnya, tetap saja hatinya teremas saat mendapati jade itu menatapnya dengan pandangan datar yang sebelumnya tidak pernah sekalipun ditujukan kepadanya.

Hinata menggigit bibirnya berusaha mengalihkan rasa sakit yang diakibatkan oleh tatapan dingin itu. Tidak! Sebenarnya bukan hanya tatapan itu saja yang membuatnya sedih, tapi juga karena Gaara yang lagi-lagi melukai tubuhnya sendiri hanya demi dirinya. Hinata masih belum bisa menerima hal itu jika mengingat kondisi emosional Gaara yang lebih terkontrol semenjak kedekatan mereka yang lebih intens beberapa tahun ini.

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Gaara-kun." Hinata lagi-lagi menggigit bibir bawahnya saat dia tidak mendapat respon apa pun dari Gaara.

"Tadi aku tidak sengaja bertemu dengannya saat aku sedang berusaha mencarimu." Hinata menghembuskan nafasnya perlahan, Toneri memang salah satu topik yang sensitif untuk Gaara.

"Toneri memang memintaku untuk kembali padanya." Hinata melirik ke arah Gaara yang saat ini sedang mengeraskan rahangnya. "Semua yang kau lihat tidak seperti apa yang kau pikirkan. Tadi.. Tadi Toneri memang berusaha untuk.. Untuk memelukku."

Hinata menggenggam tangan kanan Gaara yang saat ini sedang terkepal. Mencoba merenggangkan kepalan itu agar luka yang tadi belum kering tidak akan menganga semakin lebar.

"Seharusnya tadi aku mematahkan lehernya."

"Ku mohon Gaara-kun. Jangan berbuat hal seperti itu!"

Gaara mengubah ekspresinya menjadi datar kembali. Meskipun begitu dia tidak berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Hinata. "Kau membelanya."

Hinata manatap Gaara dengan pandangan tak percaya.

"Apakah kau tidak rela bila kekasih pertamamu itu aku buat babak belur? Ataukah kau memang ingin kembali kepadanya?" Ucap Gaara dengan dingin.

Mata Hinata berkaca-kaca mendengar segala tuduhan Gaara. Sungguh, tidak sedikitpun Hinata berpikir untuk membela Toneri. Dia hanya tidak ingin Gaara terlibat dalam masalah karena dirinya. Dan yang terpenting dari itu semua adalah Hinata tidak ingin melihat Gaara terluka. Hinata menghembuskan nafasnya perlahan, berusaha untuk tidak membalas ucapan pria di hadapannya dengan nada yang sama sengitnya.

"Kenapa diam? Apakah yang aku ucapkan benar?"

'Salah! Tentu saja salah.' Tapi Hinata tidak berani bersuara, karena dia tahu, sekali dia membuka mulutnya tidak hanya ucapannya saja yang akan keluar tapi segala tetes air matanya juga.

Menjalani hidupnya selama beberapa minggu ini dengan dirundung berbagai macam pertengkaran dengan Gaara, memang sudah membuat segala emosi Hinata terkuras. Tidak tahukah Gaara bahwa bukan hanya dia yang bisa marah? Tidak tahukah Gaara bahwa kesabaran Hinata juga ada batasnya?

"Kau tahu kalau apa yang kau ucapkan itu tidak benar, Gaara-kun." Hinata berusaha keras menahan suaranya agar tidak bergetar, dia menatap lemah ke arah Gaara.

Gaara sempat tertegun sekejab melihat sorot lelah pada lavender milik gadis cantik di hadapannya. Tapi seketika dia merubah kembali ekspresinya menjadi datar ketika mengingat bagaimana Toneri mencoba memeluk Hinata.

"Aku tak tahu dan aku tak pernah tahu apa yang kau maksud. Yang aku lihat kau hanya diam. Lantas apa sekarang yang kau harapkan? Kau ingin aku memakluminya? Kau ingin aku menganggapnya tidak pernah terjadi? Apa kau juga ingin kalau aku berhenti menganggapmu sebagai kekasih?"

Sungguh, Gaara sebenarnya bukanlah orang yang mau berbicara panjang lebar seperti itu. Dia juga tidak pernah tega melihat sorot sedih dan kecewa yang ditampilkan oleh wajah gadis yang dicintainya. Tapi saat ini, emosi telah memenuhi seluruh hati dan pikiran Gaara. Menjadi seorang Sabaku berarti menjadi seorang yang selalu menjaga miliknya, meskipun hal itu terkadang lebih menyerupai sifat posesif.

Hinata menatap Gaara dengan sorot terluka. "Jadi seperti itukah yang kau pikirkan tentangku, Gaara?"

Gaara tahu ketika Hinata mulai memanggil namanya tanpa tambahan 'kun', artinya dia telah berada pada batasnya. Entah mengapa, Gaara yang biasanya akan langsung mengalah ketika melihat 'tanda' yang diberikan Hinata, saat ini seolah pura-pura tidak tahu dan membiarkan ego memimpin sikap serta ucapannya.

"Aku sudah mengatakan berkali-kali bahwa aku tidak pernah memiliki niat sedikit pun untuk kembali bersama Toneri. Kau hanya salah paham." Hinata memejamkan matanya berusaha menghalau air mata yang telah tergenang di ujung pelupuk matanya.

Dia merasakan sakit ketika melihat seseorang yang begitu berarti baginya justru tidak mempercayai segala ucapannya. Sungguh, kenapa begitu sulit untuk membuat Gaara mengerti bahwa semua ini hanyalah salah paham?

"Aku mencintaimu. Aku hanya mencintaimu." Hinata membuka maniknya, membuat setetes air mata turun membasahi pipi tembamnya.

Gaara tertegun. Selama tiga tahun mereka menjalin hubungan, jarang diantara mereka yang mengucapkan kalimat sakral itu. Baik Hinata atau Gaara, keduanya sama-sama berprinsip bahwa perasaan cinta akan lebih bermakna bila diungkapkan melalui sikap dan perbuatan.

Gaara membuang mukanya, menolak untuk melunak. Berusaha tetap membiarkan logika serta pikirannya mengambil alih, daripada perasaannya. Dan sikap Gaara ini jelas telah membuat Hinata semakin terluka.

Hinata menggigit bibirnya berusaha menekan rasa sakit yang menyebar di seluruh dadanya. "Apakah kau pikir hanya kau yang marah? Hanya kau yang terluka?" Gaara kembali memalingkan wajahnya saat dia mendengar nada Hinata yang tidak biasa. Dapat dia lihat, di mata bulan milik gadis itu tersirat berbagai macam emosi.

'Ada apa dengannya?'

Hinata menolak membalas tatapan Gaara. Dia menengadahkan kepalanya ke atas melihat gumpalan-gumpalan awan yang selalu menjadi pemandangan menarik untuknya.

"Kau pikir aku tidak terluka saat melihatmu dikelilingi oleh gadis-gadis itu? Kau pikir aku sesabar apa saat melihat pria yang aku cintai selalu duduk dikerumuni oleh banyak gadis tanpa melihatnya berusaha mengusir atau menolaknya?"

Gaara terdiam. Dia mencermati setiap perkataan Hinata. Selama ini dia berpikir bahwa Hinata tidak pernah merasa keberatan ketika melihatnya bersama banyak gadis yang notabene memang selalu berada di sekelilingnya. Sejak sebelum bersama Hinata, Gaara terbiasa selalu dikelilingi banyak fans girl. Dan meskipun mereka sudah mengetahui bahwa Gaara telah memiliki kekasih, mereka tidak sekalipun berniat untuk mundur dan menjauh.

"Kau memang sangat adil kan, Gaara?" Hinata melihat Gaara dengan senyum yang terlihat jelas sedang dia paksakan. "Kau tidak pernah suka melihatku berdekatan dengan laki-laki, tapi kau dengan mudahnya selalu dikelilingi oleh para gadis."

Hinata terdiam, berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin. "Kalau kau bisa seemosi tadi hanya karena ada satu orang laki-laki yang berada di dekatku, lalu bagaimana denganku yang selalu melihatmu dikerumuni oleh banyak gadis cantik dan genit?"

Deg.

Gaara tahu kalau dia egois, dia berpikir selama Hinata tidak pernah mengatakannya itu berarti Hinata tidak pernah mempermasalahkannya.

Gaara tahu kalau dia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Hinata diam bukan karena dia tidak keberatan, dia diam karena dia menunggu sikap tegasnya. Menunggunya untuk belajar memahami dia, sama halnya seperti Hinata yang mencoba memahami dan memaklumi segala sikapnya.

Dan Gaara juga tahu, bahwa saat ini gadis cantik bermata lavender itu telah berada di ambang batasnya.

Sekarang Gaara yakin bahwa dia adalah lelaki brengsek yang telah menyakiti gadis sesabar dan sebaik Hinata.

"Dan kau tahu apa yang semakin membuatku terlihat bodoh?" Seolah belum cukup, Hinata kemudian menunjukkan sebuah foto yang tersimpan di layar ponsel pintarnya.

Mata Gaara melebar saat melihat gambar yang ada di hadapannya.

"Bukankah kau berkata padaku kalau kau sedang ada acara keluarga?" Nada bicara Hinata terdengar lirih, membuat Gaara semakin merasa bersalah.

"Aku menunggu hingga kau sendiri yang mau menjelaskan dan mengatakan semua ini tanpa perlu aku bertanya terlebih dahulu. Tapi kau tidak pernah menjelaskannya." Hinata menunduk menyembunyikan air matanya yang telah mengalir semakin deras.

"Hinata, akuu.."

"Aku datang hari ini ke kampus karena aku ingin menanyakan hal ini secara langsung kepadamu."

Gaara menatap Hinata yang saat ini sedang menunduk. Rasa sesal menyelimuti hatinya karena telah menjadi penyebab kesedihan Hinata.

Gaara menundukkan kepalanya dalam. "Aku tidak pernah berniat melakukan hal itu, Hinata. Sebelumnya aku memang memiliki acara keluarga, tapi acaranya selesai lebih cepat dan beberapa sepupuku memaksaku untuk pergi ke club. Saat itulah aku tidak sengaja bertemu dengan Shion."

Hinata memejamkan matanya berusaha meredakan rasa sakit yang menghantam hatinya dengan begitu kuat dan tanpa ampun.

"Shion tiba-tiba ikut bergabung dengan kami. Aku.. Aku tidak tahu kalau saat itu ada orang yang sengaja memotret dan mengirimkan foto itu kepadamu."

Hinata menggigit bibirnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa kecewa di hatinya dengan rasa perih lain yang dia sengaja.

"Kau tidak menolaknya? Kau tidak mengusirnya? Kau membiarkannya semalaman duduk di sampingmu sambil terus bergelayut di lenganmu?"

Saat Gaara hanya diam tak bergeming, Hinata sudah mendapat jawaban dari segala pertanyaannya.

Hinata berdiri dari duduknya. Membuat telapak tangan keduanya yang sejak tadi bertaut kini terpisah dengan tiba-tiba. Gaara menatap tangannya, saat ini tidak hanya bagian itu saja yang kosong, tapi hatinya juga merasakan kekosongan yang jauh lebih menakutkan.

Gaara mendongak menatap Hinata dengan cemas, takut bahwa apa yang dia pikirkan benar-benar akan diucapkan oleh Hinata.

"Gaara-kun." Hinata terdiam setelah memanggil Gaara dengan lirih. "Aku rasa sudah waktunya aku pulang."

Gaara tahu bahwa kata 'pulang' yang diucapkan Hinata bukanlah berarti ingin kembali ke rumah.

"Hinata." Gaara berdiri menyentuh tangan Hinata tanpa berusaha membalik tubuhnya. Dia merasa tidak sanggup melihat raut terluka dan kecewa di wajah cantik gadisnya.

Gadisnya? Masih pantaskah Gaara menyebutnya begitu?

"Jangan, Hinata!"

"Aku rasa kita butuh waktu untuk memikirkannya."

Gaara menggeleng mencoba menghentikan Hinata melanjutkan ucapannya. "Hinata, maafkan aku?"

Hinata menggeleng menjawab permintaan maaf Gaara. "Gaara-kun tidak salah. Akulah yang tidak mampu memahami keinginan Gaara-kun."

Gaara memeluk Hinata dari belakang. Menumpukan kepalanya di bahu kecil gadisnya yang saat ini sedang bergetar hebat.

"Kita tahu kalau kita sama-sama memerlukan waktu. Menjalani hubungan selama tiga tahun tidak menjamin bahwa kita telah mengerti dan memahami perasaan satu sama lain. Pertengkaran dan perang dingin kita selama beberapa minggu inilah buktinya." Ucap Hinata sambil mengelus punggung tangan berlapis perban yang saat ini melilit perutnya. "Aku mohon, kau jangan pernah menyakiti tubuhmu lagi! Kau harus menjalani kuliahmu dengan serius!"

Gaara menggelengkan kepalanya, dia sungguh merasa tidak sanggup mendengar perkataan Hinata. Hinata seolah-olah sedang memberikan pesan terakhir kepadanya sebelum dia pergi jauh.

Hinata melepaskan tangan Gaara dengan perlahan kemudian berbalik menatapnya. Hinata menyentuh pipi kiri Gaara dengan lembut. Isak tangis Hinata semakin keras saat melihat Gaara yang menatapnya dengan raut sedih.

"Aku mencintaimu."

Hinata berjinjit menyatukan bibirnya dengan milik Gaara. Seolah kehilangan udara di sekitarnya, Gaara terkesiap merasakan bibir lembut Hinata yang tengah menyentuh miliknya.

Gaara masih termangu dengan keadaan, pasalnya selama ini Hinata tidak pernah memulainya terlebih dahulu, Gaaralah yang selalu mengambil tindakan. Meskipun Hinata hanya diam, hanya sebatas menempelkan bibir mereka, hal itu justru mampu membuat tubuh Gaara bergetar.

Pertemuan bibir keduanya tidak hanya menyalurkan rasa hangat, tapi juga seluruh perasaan cinta yang bahkan tidak akan sanggup keduanya jabarkan melalui berbagai rangkaian kata-kata terindah sekalipun.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang meragukan perasaan cinta Gaara kepada Hinata, begitu pula sebaliknya. Tapi, akankah perasaan cinta saja cukup untuk tetap menyatukan keduanya?

Saat Hinata akan melepaskan tautan bibir di antara mereka, Gaara sudah terlebih dahulu menahan tubuh mungil Hinata menggunakan tangannya. Gaara meletakkan tangan kirinya ke pinggang ramping Hinata dan membawa tangan kanannya ke arah tengkuk gadis Hyuga itu.

Awalnya Gaara hanya memberi Hinata sebuah kecupan, kecupan ringan yang berubah menjadi bertubi-tubi. Tapi kemudian Gaara mulai menggerakkan bibirnya, dia melumat bibir manis gadis yang dicintainya ini. Bibir manis yang digilainya karena memberi sensasi luar biasa setiap Gaara menyentuhnya. Gaara mengecap bibir bawah dan bibir atas Hinata secara bergantian.

Hinata melenguh merasakan bibirnya yang diinvasi oleh Gaara. Ini memang bukanlah ciuman pertama mereka, tapi ini adalah ciuman yang sarat dengan berbagai emosi. Tidak hanya berisi perasaan cinta saja, tapi juga perasaan sedih, kecewa, khawatir, marah dan juga perasaan takut. Hinata dapat merasakan tangan Gaara yang ada di pinggangnya tengah gemetar.

Gaara mengigit pelan bibir bawah Hinata, gerakan sederhana yang mampu membuat Hinata mendesah dan reflek membuka mulutnya. Gaara tidak menyia-nyiakan hal tersebut, dengan segera dia melesakkan lidahnya masuk ke dalamnya untuk kemudian membelit lidah Hinata.

Hinata semakin melenguh saat lidah Gaara bermain-main di dalam mulutnya dan memaksanya untuk ikut menari bersama. Dekapan Gaara membuat tubuh mereka tidak berjarak sedikit pun.

Ketika keduanya telah kehabisan nafas, mereka melepaskan ciuman dengan perasaan tidak rela. Tapi seolah memiliki daya tarik yang sama kuatnya, keduanya dengan cepat menyatukan bibirnya lagi, lagi dan lagi.

Keduanya seolah tidak pernah merasa puas dengan satu sama lain. Saling mencecap, saling melumat, saling menghisap, saling berlomba untuk merasakan rasa masing-masing.

Hinata melilitkan kedua tangannya di leher Gaara ketika dia merasakan kakinya yang lemas hingga tidak memiliki kuasa untuk tetap berdiri. Hinata dengan rakus menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa saat Gaara melepaskan bibir bengkaknya sejenak.

"Aaah." Hinata tidak dapat menahan erangannya saat bibir Gaara mulai bergerak turun menjelajahi garis lehernya. Gaara memberikan kecupan basah di setiap jengkal yang dilewatinya.

"Gaa.. Aaahhh.. Raaaa." Hinata menjambak pelan rambut merah di genggamannya saat Gaara mulai menggigit kecil area di sekitar leher jenjangnya.

Gaara yang mendengar desahan Hinata seolah mendapat suntikan semangat. Hinata begitu harum, tidak akan pernah sedikitpun Gaara merasa bosan untuk mencium aromanya. Gaara mengeratkan pelukannya di pinggang Hinata yang begitu ramping, membawa tubuh gadis itu semakin erat dengannya hingga membuat dada lembut dan padat milik Hinata menekan kuat dada kokohnya. Gaara ingin Hinata tahu, betapa dia memuja dan menginginkan gadis itu.

Hinata semakin mendesah saat tangan Gaara mulai berjalan memasuki bagian belakang kemejanya. "Aaaaah." Desahan Hinata terhenti saat Gaara membungkam bibir Hinata dengan bibir tipis miliknya.

Sentuhan Gaara terasa begitu lembut di kulit Hinata, dan seolah sudah hafal, Gaara tahu dengan jelas di mana letak titik-titik sensitif yang mampu membuat Hinata semakin mengerang tak terkendali. Kecupan, gigitan, dan selalu diakhiri dengan jilatan yang selalu Gaara lakukan telah berhasil membuat Hinata terbang.

Gaara merasakan kulit punggung Hinata yang halus dengan tangannya sambil bibirnya yang kembali tetap terus melakukan 'perjalanan' ke arah pangkal leher Hinata di sisi lainnya. Setelah memberikan gigitan yang menimbulkan beberapa ruam merah di sana, bibir Gaara turun untuk memberikan kecupan-kecupan kecil di sekitar tulang selangka kemudian bergerak lagi ke area belahan dada gadis itu. Gaara memberinya jejak-jejak basah yang membuat Hinata semakin tidak dapat menahan erangannya.

Saat Hinata merasa bahwa dia harus menghentikannya sebelum semua tidak dapat dia tolak. Hinata membawa tangannya ke arah dada Gaara, menghentikannya untuk merangsek semakin maju dan kembali memberikan kecupan yang membuat akalnya hilang dari kepalanya.

Gaara menegakkan kepalanya, dia memberikan Hinata sebuah pandangan penuh cinta. Lavender Hinata membalasnya dengan menatap dalam dan intens ke arah jade di hadapannya. Mereka seolah berinteraksi melalui tatapan mata. Hinata dapat merasakan melalui tangannya, betapa jantung Gaara berdetak dengan sangat cepat, sama halnya seperti dirinya.

Setelah beberapa lama hanya beradu pandang dan menyelami manik satu sama lain, tanpa berusaha melepaskan pandangannya, Hinata kemudian menampilkan senyum manisnya kepada Gaara. Senyuman Hinata yang begitu indah dan tulus justru membuat Gaara kembali merasakan firasat buruk.

"Ini bukan yang terakhir, Gaara-kun." Hinata berjinjit memberikan kecupan panjang di pelipis Gaara yang tergores akibat pukulan Toneri tadi, membuat Gaara baru menyadari bahwa ada sedikit rasa perih di area bekas kecupan Hinata.

Dengan sangat lembut dan perlahan Hinata mulai melepaskan belitan tangan Gaara yang masih setia berada di pinggangnya. Gaara merasakan kosong saat kedua tangannya telah berada di masing-masing sisi tubuhnya. Gaara merasa tidak siap, dia tidak ingin jika tubuh mungil Hinata hilang dari dekapannya.

Jiwa Gaara seolah terenggut tiba-tiba saat dia melihat Hinata yang bergerak mundur memberikan jarak satu langkah di antara mereka. Dengan perlahan Hinata memasukkan tangan kanannya ke saku kemudian mengambil sesuatu dari sana. Dia mengangkat tangan kiri Gaara kemudian meletakkan sesuatu yang sebelumnya dia ambil ke dalam genggaman tangan yang kini terasa begitu dingin seolah bongkahan es yang telah lama membeku.

"Sampai jumpa, Gaara-kun." Hinata berusaha tersenyum manis di antara lelehan air mata yang entah sejak kapan kembali membasahi kedua pipinya. Dengan kepala tertunduk, Hinata mulai melangkahkan kakinya yang terasa begitu berat untuk berjalan menuju ke arah pintu.

Hinata berjalan pelan meninggalkan Gaara seolah berusaha meyakinkan diri bahwa ini benar-benar adalah jalan yang tepat untuknya. Dia mencengkeram erat dadanya yang terasa begitu sakit meskipun di sana tidak berdarah. Hinata yakin kalau dia begitu mencintai Gaara dan dia merasa inilah saat yang tepat untuk memberikan kebahagiaan dalam bentuk yang lain kepada pria itu.

Gaara tertegun saat merasakan kosong yang sebelumnya dia rasakan terasa semakin menganga lebar menjadi sebuah rasa sakit dan perih di saat yang bersamaan. Seluruh tempat hatinya yang selama ini diisi oleh Hinata, kini kembali sepi dan tak berpenghuni.

Gaara ingin berlari mengejar Hinata, dia ingin mencegah langkah Hinata kemudian mengucapkan ribuan kata cinta dan maaf untuknya, tapi sungguh saat ini kaki Gaara seolah terpaku dengan lantai yang sedang dipijaknya. Jangankan untuk beranjak, sekedar untuk bergerak pun Gaara merasa tak memiliki kuasa.

Lelaki berambut merah itu seketika luruh di lantai saat dia membuka kepalan tangan kirinya. Di sana, Hinata memberikan Gaara sebuah plester luka berwarna lavender dengan motif hati berwarna merah.

Gaara ingat, Hinata memang selalu membawa plester di mana pun dia berada mengingat gadis itu sering terluka akibat kecerobohannya sendiri, entah itu karena terjatuh, tergores, atau terbentur. Meskipun sekarang Gaara selalu menjaga dan tidak pernah membiarkan Hinata terluka sekecil apa pun, ternyata gadis itu tidak pernah melupakan kebiasaannya membawa plester.

Gaara menatap plester di telapak tangannya dengan nanar. Betapa baiknya gadis itu. Di saat seperti ini pun Hinata masih mempedulikan luka di pelipisnya yang bahkan sebelumnya sama sekali tidak Gaara rasakan.

Gaara tidak dapat menahan dirinya lagi, untuk pertama kali setelah kematian ibunya beberapa tahun silam akhirnya Gaara kembali terisak. Dia menangis. Dia meluapkan berbagai gejolak emosi yang memenuhi segala penjuru hatinya. Gaara merasa menjadi orang yang paling brengsek di dunia ini. Bagaimana mungkin dia bisa melukai perasaan gadis yang sangat dicintainya itu?

Gaara merasa rendah, kecewa, marah, benci, dan yang paling menyedihkan dari semua perasaan itu adalah karena saat ini Gaara merasa sepi, dia merasa kosong. Bagian hatinya kini tercipta sebuah lubang yang sangat besar, lubang yang begitu gelap seolah tidak mengijinkan kebahagiaan untuk sekedar menyapanya. Membuat Gaara merasakan kehampaan yang terasa begitu menyedihkan.

"Hinata?"

End?

or

TBC?

Kyaa..

Ini fict pertama aku dengan rate-M.

Agak deg-degan juga sih nulisnya.

Review Please, Please, Please..