"Baiklah. Malam ini kau boleh tidur disini, tapi jaga– Yak!"

Hyungseob memekik ketika sepasang lengan tiba-tiba memeluk pinggangnya. Otomatis kakinya bergerak, menendang kesana-kemari berusaha membebaskan diri.

"Aish! Diam sedikit– Akh! Ekorku!"

Malam itu suara teriakan juga makian terdengar dari dalam kamar bernuansa putih itu. Sampai akhirnya mereka berhenti dan tertidur pulas karena lelah.

Dengan posisi saling memeluk satu sama lain.

.

.

.

Lost and Found

Chapter 5

.

.

Produce 101/Wanna One Fanfiction

Romance, Humor, Fantasy, Catboy!AU, Yaoi

Main!Jinseob couple

Park Woojin 23 y.o

Ahn Hyungseob 21 y.o

Joo Haknyeon 22 y.o

Rating: T to M

.

.

Happy Reading! –Buttermints-

.

.

.

Lelaki bersurai gelap tampak menggeliatkan tubuhnya ketika bias-bias cahaya matahari mulai menyusup lewat celah-celah tirai, sedikit menyilaukan matanya yang masih tertutup. Matanya kemudian membuka dan mulai mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya yang baru saja menyambutnya.

"Uhm... jam berapa sekarang–"

Tangannya berusaha meraih jam weker yang terletak di nightstand, tapi gagal karena tubuhnya terasa sulit bergerak, seperti ada sesuatu yang menahan pergerakannya.

"Ngg."

Terdengar sebuah suara erangan dari belakang tubuhnya, diikuti dengan lilitan tangan yang semakin mengerat pada perutnya. Tubuh kecilnya merinding ketika helaian rambut terasa menggesek bagian tengkuknya yang sensitif.

What the–

Seketika ia menoleh ke belakang dan mendapati wajah damai seseorang yang tengah terlelap, telinga kucingnya tampak terkulai lemas diantara helai rambut kemerahannya yang sedikit berantakan. Tak sadar netra gelapnya bergerak menelusuri lekuk wajah orang itu, sejenak mengagumi figur yang entah kenapa terlihat tampan.

"Hmm."

Suara geraman rendah itu sontak menyadarkan Hyungseob dari kegiatan–mari mengagumi wajah Woojin–. Ia buru-buru memalingkan wajahnya, kembali pada posisi awalnya yang menghadap ke arah nightstand.

'Aku benar-benar sudah gila.' Kepalanya tampak menggeleng-geleng cepat dengan dua telapak tangan yang menutupi wajah. 'Lebih baik aku segera bangun.'

Tubuhnya tampak menggeliat-geliat pelan, mencoba melepaskan diri dari dekapan erat Woojin. Tapi semakin tubuhnya bergerak, semakin erat pula pelukan pada perutnya, seakan tak rela jika hangat tubuh Hyungseob itu meninggalkannya.

'Aish, kucing sialan!'

Lelaki manis itu tampak mengerucutkan bibirnya kesal. Tak mau menyerah, ia semakin gencar menggerakkan tubuhnya, ingin segera terbebas dari tangan kekar yang memeluknya itu.

SRET–

"Ngh."

Sebuah desahan lolos dari bibir Woojin ketika belahan pantat Hyungseob tak sengaja menggesek morning erectionnya. Tubuh Hyungseob mematung, seketika rona merah merambat naik ke wajahnya, ia bisa merasakan gundukan keras itu tepat di–.

"Kau membuatnya semakin keras."

Kepalanya sontak menoleh dan menemukan sebuah cengiran khas yang tercetak jelas di wajah Woojin. Belum sempat ia membalas kalimat itu, tubuhnya tiba-tiba sudah berada di bawah Woojin dengan posisi wajah menghadap bantal.

"Y– Ya!"

"Kau sengaja melakukannya eh? Menggodaku saat tidur?" Dengan sigap tangan kekarnya menahan pergelangan tangan Hyungseob di sisi kanan dan kiri kepalanya.

"L– Lepaskan aku! Dasar mesum!" Tubuhnya berusaha meronta dari kungkungan lelaki bersurai cokelat kemerahan itu.

"Tidak mau~" Sebuah seringai kemenangan terbentuk di wajah Woojin, hidungnya mulai bergerak mengendusi tengkuk Hyungseob yang terekspos di depannya.

Tubuh Hyungseob kembali merinding ketika hembusan napas hangat menerpa tengkuknya. "Yak! Jangan macam-macam!"

Dia mulai panik, matanya melirik ke sana kemari, mencari sesuatu yang bisa membuatnya bebas dari laki-laki mesum ini. Seketika Hyungseob mendapatkan ide ketika netra gelapnya menangkap lengan Woojin yang berada tidak jauh dari wajahnya. Tanpa berpikir panjang, ia menggigit lengan kanan Woojin kuat-kuat.

"Akk!"

Seketika pegangan itu terlepas diiringi oleh pekik kesakitan Woojin. Hyungseob segera mendorong tubuh besar itu dari atasnya hingga terlempar ke lantai. Ia segera bangun dari ranjang dan memandang nyalang lelaki yang tengah sibuk mengusap-ngusap pantatnya,

"Pantatkuu!"

"Rasakan itu! Dasar kucing mesum!" Hyungseob segera beranjak menuju kamar mandi meninggalkan Woojin yang masih terduduk di lantai dengan wajah kesakitannya.

"Ugh, untung saja dia tidak menendang little Woojin lagi, jika sampai terkena, kurasa aku tidak akan bisa berdiri selamanya." Sungutnya seraya memandangi adik kecilnya yang masih terbungkus rapi dalam celana.

.

.

~Buttermints~

.

.

Woojin memandangi mangkok berisi sereal rasa coklat di depannya tidak semangat. Telinga berbulunya nampak terkulai dengan bibir yang sengaja dibuat merengut. Sesekali mata tajamnya beralih menatap Hyungseob yang tengah asik menyantap sepiring nasi dengan omelet tuna di atasnya.

"Ya! Kenapa kau bisa makan omelet tuna sedangkan aku hanya dapat sereal? Tidak adil!" Protesnya kesal.

"Itu hukuman karena kau sudah berbuat tidak senonoh padaku." Jawab Hyungseob santai seraya menyuapkan omelet tuna ke mulutnya sendiri.

"Tapi kau dulu yang memulainya tadi!"

"Makan atau tidak sama sekali."

"Kalau begitu aku tidak mau."

Hyungseob mendesah malas. Mulai lagi, pikirnya. Entah kenapa orang yang menyatakan dirinya seme tulen ini suka sekali merajuk seperti anak kecil, benar-benar tidak pas dengan ukuran tubuhnya yang besar dan sedikit kekar itu. Sebenarnya ia bisa saja mengusir lelaki menyebalkan itu dari rumahnya, tapi seperti ada sesuatu yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Seperti perasaan kasihan? Entahlah, dia juga tidak tahu.

"Cepat makan, kita pergi sebentarlagi."

Lelaki bersurai cokelat kemerahan itu tak bergeming dari posisinya yang membelakangi meja, namun bisa dilihat jika telinga berbulunya tiba-tiba menegak ketika mendengar kata 'kita pergi sebentarlagi'. Tingkah lucu Woojin itu berhasil membuat bibir Hyungseob melengkungkan senyum.

"Sepertinya kau tidak mau pergi, ya sudah kalau–"

"Baik! Baik! Aku akan makan."

"Bagus." Senyum kemenangan tercetak di wajah Hyungseob. Ternyata mudah juga membujuk kucing ini, pikirnya. "Kau tadi sudah mandi kan?"

Woojin mengangguk dengan mulut yang penuh dengan sereal. "Baiklah, kau tunggu disini. Aku akan ambil tasku dan kita berangkat." Hyungseob segera bangkit dari duduknya dan beranjak menuju kamarnya di lantai dua.

Netra gelap Woojin bergerak mengikuti pergerakan Hyungseob, sampai lelaki itu menghilang di tangga. Tangannya kembali menyuap sereal di mangkuknya, kemudian menghabiskan susu yang tersisa dengan cara mengangkat mangkuk lalu meminumnya.

"Tidak buruk." Ucapnya seraya meletakkan mangkok ke atas meja. "Tapi tetap lebih enak omelet tuna." Lelaki itu kembali menggerutu, ekornya terlihat bergerak-gerak pelan di belakang tubuhnya, namun gerutuan itu segera menghilang ketika matanya menangkap seorang lelaki bersurai hitam yang tengah menuruni tangga.

"Sudah selesai?"

"Sudah. Kita berangkat sekarang?"

"Kubereskan meja dulu, setelah itu berangkat."

Hyungseob segera membereskan meja makan, membawanya ke tempat cuci piring kemudian mencucinya. "Ah, lebih baik kau masukkan dulu ekormu ke dalam celana, kemudian selipkan pada salah satu kakimu."

"Tidak mau. Ekorku akan sakit karena tertekuk."

"Kalau begitu aku akan pergi sendiri."

"Tidak bisa! Kau kan sudah janji akan mengajakku."

"Ya sudah, cepat lakukan."

Sebuah gerutuan kembali meluncur dari bibir Woojin. Ia segera berdiri dengan sebelah tangan bertumpu pada meja, kemudian sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk menyelipkan ekornya ke dalam celana. Dahinya mengernyit, merasa tidak nyaman karena pergerakan ekornya terhambat.

"Duduk sebentar."

Entah sejak kapan Hyungseob sudah berada di hadapannya dengan membawa sebuah beanie hat berwarna hitam. Woojin hanya duduk diam ketika lelaki bersurai gelap itu memasangkan beanie hat di kepalanya. Hyungseob tampak merapikan sedikit helai kemerahan Woojin, sebelum akhirnya sebuah senyuman puas muncul di wajahnya.

"Manis."

"Hum?" Hyungseob mengernyitkan dahinya. "Kau bilang apa?"

"Kau manis hehe." Sebuah cengiran muncul di wajah tampan Woojin.

Lelaki yang masih berdiri itu mengerjapkan kedua matanya sebelum akhirnya memalingkan wajah, berusaha menutupi rona merah yang mendadak muncul di pipinya dengan kurang ajar.

"K– Kita berangkat sekarang." Ucapnya terbata, tangannya segera meraih tas di atas meja, kemudian melangkahkan kakinya mendului Woojin yang masih duduk manis di kursinya.

"Ya! Tunggu aku! Aish!"

Woojin bergegas mengambil tongkat kruknya, kemudian menyusul Hyungseob yang sudah berada jauh di depannya. Langkahnya seketika terhenti ketika dirinya sudah berada di pintu depan. Matanya memandangi Hyungseob yang tengah berdiri di ambang pintu, menunggunya untuk menyusul.

"Aku pakai apa?"

"Aku sudah menyiapkan sepasang sandal di sana."

"Sandal?" Matanya beralih menatap sepasang sandal berwarna hitam yang ada di depannya. "Aku tidak mau pakai ini!"

"Ya tuhan Park Woojin, hanya itu satu-satunya yang muat di kaki gajahmu!"

"Siapa yang kau sebut kaki gajah?!" Sahut Woojin tidak terima.

"Cepat pakai! Aish!"

"Tidak mau. Kecuali kau memanggilku dengan sebutan hyung."

Kepala Hyungseob berdenyut. "Cepat! Ini hari Minggu, mall akan ramai jika kita berangkat terlalu siang."

"Tidak mau."

Pada akhirnya lelaki bersurai gelap itu memilih mengalah dan menuruti permintaan Woojin. Bukan apa-apa, dia hanya tidak mau kehilangan waktu istirahatnya yang berharga akibat terjebak keramaian di mall.

"Baiklah, Woojin-hyung. Cepat pakai sandalmu, lalu kita berangkat."

"Begitu lebih baik." Woojin kembali menunjukkan cengirannya, ia segera memakai sandal hitam itu kemudian menyusul Hyungseob yang sudah menunggunya di luar. "Jadi, kita naik apa? Bus?"

"Tidak. kita akan naik mobil."

Woojin melemparkan pandangan tidak percayanya pada lelaki yang sedang mengunci pintu rumah. "Kau punya mobil?"

"Tentu saja." Jawabnya seraya memasukkan kunci rumah ke dalam tas lalu mengeluarkan sebuah kunci mobil dari kantongnya. "Tolong bukakan gerbangnya, aku akan mengeluarkan mobil dari garasi."

"Oke!"

.

.

~Buttermints~

.

.

Sejak berangkat dari rumah, lelaki bersurai cokelat kemerahan itu tak bosan menatap ke luar jendela mobil. Sesekali gumaman kagum terlontar dari bibirnya, seakan-akan pemandangan yang berupa deretan pertokoan dan gedung itu adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat.

"Kau seperti tidak pernah melihat bangunan tinggi saja."

"Memang tidak. Sejak kecil aku tinggal di desa yang sangat jauh dari sini, saat jadi kucing pun mataku tak bisa melihat dengan bebas seperti sekarang."

"Hmmm..."

"Sebenarnya aku masih penasaran dengan perubahanku ini." Woojin menolehkan kepalanya ke arah Hyungseob. "Malam itu aku benar-benar tidak melakukan apapun padamu, hanya tidur di sebelahmu, lalu aku sudah menjadi manusia saat bangun."

"Kau bertanya padaku pun percuma, aku tidak tahu menahu tentang itu, aish."

"Apa kau tidak penasaran?"

Lelaki yang tengah menyetir itu tak bergeming. Jujur saja ia penasaran kenapa Woojin bisa berubah menjadi manusia dalam waktu kurang dari 24jam, padahal ia tak melakukan apapun padanya. Saat itu Woojin bilang bahwa dia adalah matenya, apa faktor itu yang merubahnya menjadi manusia? Kalaupun iya, kenapa dia tidak sepenuhnya berubah menjadi manusia? Lalu apa benar jika lelaki menyebalkan bernama Park Woojin ini matenya?

"Hei, kau tak apa?" Suara berat Woojin berhasil menyadarkan Hyungseob yang saat itu tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"A– Aku tak apa." Jawabnya seraya menghembuskan napasnya pelan, berusaha mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai memenuhi otaknya.

Woojin tampak memperhatikan Hyungseob sebentar sebelum akhirnya kembali menaruh atensinya pada objek yang berada di luar jendela.

"Woahh... sudah sampai!" Lelaki bersurai terang memekik senang ketika mobil yang ia tumpangi mulai memasuki area mall. Mobil hitam itu tampak meluncur memasuki tempat parkir yang ada di basement. Kondisi parkiran yang lengang membuat Hyungseob lebih leluasa untuk memilih spot parkir yang dekat dengan pintu keluar agar tidak perlu lama-lama mengantri saat pulang nanti.

Hyungseob membuka sabuk pengamannya setelah memastikan bahwa mobilnya sudah terparkir dengan sempurna. Tak lupa ia memakai ranselnya sebelum akhirnya turun dari mobil, disusul oleh Woojin setelahnya. Pemilik surai gelap itu kemudian melangkahkan kakinya dengan santai menuju lift, meninggalkan Woojin yang tengah sibuk membenarkan celananya di belakang.

"Sepertinya hari ini banyak sekali yang harus dibeli." Hyungseob mendengus. "Pengeluaranku jadi membengkak karena– he? Kemana dia?" Ujarnya bingung ketika tidak mendapati sosok Woojin di sebelahnya.

"Ya! Tak bisakah kau berjalan lebih pelan?!"

Kepalanya menoleh ke arah suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Netranya menangkap wajah masam Woojin yang kini tengah berjalan menghampirinya.

"Cepatlah sedikit eoh! Kau bisa hilang jika tertinggal."

"Kau pikir mudah berjalan dengan tongkat?!"

Hyungseob memutar matanya malas. "Ya ya aku minta maaf."

"Menyebalkan."

"Ayo masuk, nanti kau tertinggal lagi."

Woojin melangkah masuk ke dalam lift menyusul Hyungseob yang sudah masuk lebih dulu. Saat itu hanya ada mereka berdua di dalam lift, Hyungseob tampak sibuk memainkan ponselnya, mengabaikan Woojin yang sejak tadi hanya diam memperhatikan gerak-gerik lelaki manis itu. Seandainya saja telinganya tidak terhalang oleh beanie hat, kita bisa melihat sepasang telinga berbulu yang kini terkulai di kepalanya, Woojin sangat tidak suka diabaikan.

.

.

~Buttermints~

.

.

"Semuanya 35000 won." Ucap seorang wanita seraya menyodorkan paperbag kepada lelaki bersurai gelap di depannya. Lelaki itu tampak memberikan beberapa lembar uang yang langsung diterima oleh si wanita. "Terimakasih sudah berbelanja di tempat kami." Wanita itu tampak memberikan uang kembalian dan juga sebuah kotak persegi berukuran sedang. Kerutan-kerutan tipis seketika menghiasi dahi lelaki manis itu, matanya tampak memperhatikan kotak persegi berwarna hitam di depannya.

"Maaf, tapi ini apa?"

"Hari ini toko kami sedang mengadakan couple event. Jadi setiap pasangan yang datang akan mendapat sepasang gelang gratis dari kami."

"Pasangan? Tapi aku–" Ucapannya seketika terhenti ketika ia merasakan sebuah lengan yang tiba- tiba melingkari pinggangnya, disusul dengan suara yang sangat familiar.

"Sudah selesai? Aku lapar Seobie~."

Hell.

Sekarang dia tahu siapa yang tadi disebut sebagai 'pasangannya' oleh si penjaga kasir yang kini tengah menatapnya sambil senyum-senyum. Hyungseob segera mengambil kotak hitam itu kemudian menggeret Woojin keluar dari toko, tidak peduli dengan pekikan kaget Woojin serta tatapan gemas yang dilemparkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Oh ayolah, ada alasan kenapa Hyungseob memutuskan untuk menggandeng Woojin sejak ia menginjakkan kaki di mall ini. Beberapa jam yang lalu Woojin mendadak hilang ketika Hyungseob sibuk memilih sepatu di sebuah counter, terang saja hal itu membuatnya panik setengah mati dan langsung pergi mencarinya di seluruh sudut mall. Ia baru bisa bernapas lega ketika iris hitamnya menemukan lelaki bersurai terang itu di area kidzone, tengah asik memperhatikan anak kecil bermain. Setelah itu ia memutuskan untuk tidak melepaskan gandengannya kecuali saat memilih barang dan memastikan bahwa Woojin ada di sebelahnya, namun sekarang dia baru sadar jika orang-orang akan menyalah artikan maksud baiknya itu–

–dengan menganggap mereka sebagai sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

Tak pernah sekalipun ia bermimpi memiliki kekasih narsis dan mesum macam Park Woojin, yah meski sebenarnya Woojin memiliki wajah yang lumayan, tapi tetap saja ia tidak mau. Ia masih sayang tubuh dan tentu saja hole

'Aish, apa yang kupikirkan.' Kepalanya tampak menggeleng-geleng cepat dengan tangan yang masih menggeret Woojin.

"Perutku memang lapar tapi bisakah kau tidak menyeretku seperti ini?!"

Hyungseob tidak merespon protesan kesal yang dilontarkan oleh Woojin. Lelaki itu melangkahkan kakinya memasuki food court dan segera menghampiri meja kosong yang tertangkap oleh matanya. Woojin mengeluarkan napas lega ketika langkah kaki Hyungseob mulai melambat. Sungguh, kakinya terasa sakit akibat dipaksa untuk menyamakan langkah dengan Hyungseob.

"Jangan melakukannya lagi, kakiku sakit." Gerutunya seraya mendudukkan pantatnya di kursi kemudian meluruskan kakinya.

"Maaf, aku tadi sebal dengan wanita penjaga kasir itu."

"Tapi jangan melampiaskannya padaku, ck!"

"Aku kan sudah minta maaf!" Hyungseob mendelikkan matanya kesal.

"Kakiku seperti mati rasa tahu! Ish!"

Sial, Hyungseob baru ingat jika lelaki di depannya ini berjalan menggunakan tongkat, sedikit demi sedikit perasaan bersalah mulai menyelimuti hatinya. Ia memandangi kaki jenjang Woojin di bawah meja, kemudian kembali memandang wajah masam lelaki bersurai terang itu.

"Kau boleh beli makanan apa saja yang kau mau."

Sebuah cengiran lebar seketika terbit di wajah tampan itu. "Benarkah?"

"Uhum. Katakan saja kau ingin apa, aku akan membelikannya untukmu."

"Kalau begitu aku mau fish burger!" Jarinya menunjuk salah satu counter makanan.

"Baiklah, ada lagi?"

"Itu saja, yang ukuran besar."

Hyungseob mengangkat sebelah alisnya heran. "Itu saja? Minum?"

"Minum? Sama denganmu."

"Oke. Kau tunggu disini, jangan kemana-mana sampai aku kembali." Woojin tampak menganggukkan kepalanya antusias. Lelaki bersurai gelap itu segera beranjak dari kursinya setelah memastikan dompetnya aman di dalam kantong.

Woojin mengedarkan pandangannya, memperhatikan sekelilingnya yang entah sejak kapan berubah menjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ia merasa senang karena akhirnya bisa pergi berdua dengan Hyungseob dalam wujud manusianya, meskipun tadi sempat dibuat kesal karena tingkah menyebalkan lelaki manis itu. Ah, sepertinya ia sudah benar-benar jatuh dalam pesona matenya itu.

Senyum di wajahnya semakin mengembang ketika netranya menemukan makhluk manis bertubuh montok yang sedang mengantri di salah satu counter. Woojin tidak bisa berhenti mengagumi sosok itu sejak pertama kali ia melihatnya, wajah manisnya, tubuh montoknya, juga pantat gendut yang seakan minta diremas itu, lelaki tampan itu mendadak cekikikan di kursinya. Sudah dapat dipastikan otak mesumnya mulai memunculkan bayangan yang aneh-aneh.

"Tawamu terdengar menakutkan."

Suara bernada sindirian itu sontak membuyarkan imajinasi liar Woojin, kepalanya mendongak dan mendapati Hyungseob yang sudah duduk di depannya lengkap dengan beberapa bungkus makanan serta 2 cup minuman.

"Ini milikmu." Hyungseob menyodorkan sebungkus fish burger ukuran besar dan 1 cup cola.

"Woah! Terimakasih!" Mata Woojin terlihat berbinar melihat makanan di depannya, tanpa menunggu lagi ia segera memakan burger miliknya. Sebuah desahan puas terlontar dari bibirnya ketika rasa gurih ikan menyapa indera perasanya.

Bibir plushy milik Hyungseob membentuk sebuah senyuman di sela-sela kunyahannya. Iris gelapnya tak lepas memandangi lelaki yang tengah menikmati fish burgernya dengan antusias. Terlihat tampan dan menggemaskan di saat yang bersamaan. Tunggu, kenapa dia jadi memuji-muji kucing mesum ini. Ia buru-buru menghabiskan chicken burgernya, berusaha menghilangkan perasaan-perasaan aneh yang muncul di dadanya.

"Hyungseob?"

Dua orang lelaki yang tengah menikmati makanannya itu kompak mendongakkan kepalanya. Sosok yang tengah di tatap itu tampak melemparkan senyumnya ke arah Hyungseob. Lelaki bersurai gelap tampak mengamati sosok yang baru saja menyapanya, ia merasa pernah melihat orang itu di suatu tempat, tapi ia tidak mengenalnya.

"Sepertinya kau lupa padaku." Tawa kecil meluncur dari bibirnya. "Aku Joo Haknyeon, pria yang di cafe waktu itu."

"Joo Haknyeon? Ah kau yang menelponku semalam?"

Haknyeon menganggukkan kepalanya. "Tak kusangka kita bertemu disini. Boleh aku–"

"Tidak. Duduklah di tempat lain."

Ucapan bernada sarkas itu membuat Haknyeon menolehkan kepalanya ke arah lelaki besurai terang yang tengah menatapnya tajam. Seakan tidak mau kalah, Haknyeon balas menatap Woojin dengan tatapan yang tak kalah sinis. Hyungseob hanya bisa diam sambil memperhatikan dua lelaki yang sedang melakukan 'perang tatap' itu, ia bisa melihat percikan api di tengah-tengah tatapan mereka. Demi daster doraemon milik Daehwi, ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

"E– Ekhm."

Tatapan itu seketika terputus dan sekarang atensi keduanya mengarah pada Hyungseob yang sedang berusaha meredakan rasa gugupnya. Aura gelap yang dikeluarkan oleh Haknyeon dan Woojin sejak tadi sukses membuat nyalinya menciut hingga membuatnya tak berani menatap salah satu diantara mereka.

"Tak apa, kau boleh duduk disini."

Senyum kemenangan seketika terbit di wajah Haknyeon, ia segera mendudukkan dirinya tepat di sebelah Hyungseob.

"Terimakasih."

Hyungseob menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kecil, kemudian kembali melanjutkan makannya dengan kepala menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan iris gelap Woojin yang kini tengah menatapnya tajam.

Berbanding terbalik dengan Haknyeon yang tersenyum sumringah sambil mengajak Hyungseob mengobrol, Woojin tampak mengerutkan setiap sisi wajahnya. Tangannya tampak mengepal erat di atas meja, berusaha menahan hasrat untuk melemparkan lelaki genit berambut caramel itu ke lantai dasar. Jika emosinya divisualisasikan, kita akan melihat api yang berkobar-kobar tepat di kepalanya. Keadaan Woojin saat ini mirip seperti salah satu peribahasa terkenal, sudah jatuh tertimpa tangga, sudah cemburu diabaikan pula.

"Aa... Jadi kau tidak bekerja di hari Minggu." Haknyeon tampak mengangguk-nganggukkan kepalanya. "Lalu siapa pemuda yang bersamamu ini?" Bisiknya.

"Ah... Um... Namanya Park Woojin, dia tinggal denganku."

"Tinggal denganmu?"

"Uhum."

Lelaki itu tampak mengernyitkan dahinya. "Tapi temanmu bilang kau tinggal sendirian."

"Awalnya aku memang tinggal sendirian, lalu Woojin datang dan akhirnya tinggal denganku."

"Jadi... apa kalian sepasang kekasih?"

"Mmm... Bukan."

Akhirnya Haknyeon bisa bernapas lega setelah mengetahui jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya sejak semalam. Ia sampai tidak bisa tidur ketika lelaki bersurai terang di depannya itu mengaku-ngaku sebagai kekasih Hyungseob semalam, tapi setelah ini tidurnya akan kembali nyenyak dengan Hyungseob yang mampir di mimpinya, seperti pada malam-malam sebelumnya.

"Seobie kita pulang sekarang, kakiku sudah pegal."

"A– Ah, kalau begitu aku akan cuci tangan dulu. Tanganku lengket."

"Jangan lama-lama."

Hyungseob tampak menganggukkan kepalanya kemudian beranjak menuju wastafel yang terletak tidak jauh dari tempat mereka. Sepeninggal Hyungseob, suasana diantara dua lelaki tampan itu nampak hening.

"Ternyata kau bukan kekasihnya." Haknyeon memecah keheningan itu.

Woojin tampak mengangkat sebelah alisnya, apa bocah ini sedang menantangnya?

Lelaki bersurai caramel itu tersenyum, tatapannya kini mengarah pada Woojin. "Harusnya aku tidak perlu khawatir semalam."

"Dengarkan aku tuan Joo Haknyeon." Woojin melipat kedua tangannya di dada. "Ahn Hyungseob adalah matekuyang berarti dia hanya akan menjadi milikku seorang. Jadi, sebelum kau kecewa karena hasil yang tidak sesuai harapan, lebih baik kau jauhi dia, mulai sekarang."

"Dia bukan milik siapa-siapa, tak ada yang bisa melarangku dekat dengannya kecuali tuhan dan orangtua Hyungseob."

"Keras kepala."

"Kita pulang sekarang?"

Woojin menolehkan kepalanya. "Kau sudah selesai?"

Lelaki manis itu menganggukkan kepalanya. "Haknyeon-ssi kami pulang dulu."

"Hati-hati di jalan." Haknyeon melemparkan senyumnya.

"Kau jug– Yah!"

Hyungseob memekik ketika tangannya ditarik tiba-tiba oleh Woojin yang entah sejak kapan sudah berjalan di depannya.

"Woojin pelan-pelan, aish." Kakinya masih berusaha untuk menyamakan langkah dengan Woojin.

"Jika setelah ini mataku kembali menemukanmu bicara dengannya, aku bersumpah akan menghajarnya sampai dia mati kehabisan darah."

"A– Apa maksudmu."

Langkah Woojin tiba-tiba berhenti, tubuhnya seketika berbalik, menatap Hyungseob tepat pada kedua matanya. Sekali lagi, Hyungseob merasa tubuhnya membeku ketika iris hitamnya bertemu dengan milik Woojin.

"Kuingatkan sekali lagi bahwa kita adalah mateaku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu, termasuk lelaki genit bernama Haknyeon itu." Lelaki itu menatap lekat manik hitam Hyungseob. "Aku mencintaimu dan kau milikku. Jelas?"

Belum sempat Hyungseob merespon pernyataan itu, tangannya sudah kembali ditarik oleh Woojin, ia kembali sibuk menyamakan langkah kakinya dengan Woojin agar tidak terseret di belakangnya.

'Aish! Kenapa jantungku jadi berdebar begini!'

.

.

TBC

Update update~.

Terimakasih buat yang masih setia menunggu updatetan ff ini, semoga readernim sekalian nggak kecewa dengan chapter ini huhuhu..

Jujur aku sedikit nggak fokus pas bikin ini karena kemarin sibuk rebutan jadwal kuliah di website kampus XD.

Untuk chapter selanjutnya, aku bakalan berusaha bikin plot yang lebih bagus dari ini.

Terimakasih buat readernim yang udah follow, favorite, dan yang masih setia ngereview, terimakasih banyakk!

Kutunggu review-review selanjutnya~

See you in next chapter!

NB: Bagi Guanho shipper yang lagi kangen sama anak-anak ayam, monggo, bisa ditengok ff buttermints satu lagi yang judulnya Rumor. #maafpromosilagi

Love

~Buttermints~