Deburan pasir terbang dalam sebuah kawanan besar, bagaikan kabut tebal yang menghalangi jarak pandang. Seorang pria bertopi, bermasker hitam rapat nampak sedang berdiam seorang diri di puncak gedung yang keropos luarnya. Pria itu duduk bersandar di bingkai jendela yang tak lagi utuh.
Kedua telapak bersarung tangan kulit, sama hitamnya dengan masker ketat yang ia gunakan. Dalam sekali gerakan, kedua tangan itu saling memanggul senapan laras panjang dan memposisikan senjata itu dalam posisi yang tepat.
Netra jelaganya mulai memindai lensa bidik, memasang target yang terletak tak begitu jauh dalam jangkauannya, seorang gadis belia dalam sebuah rumah bergaya timur tengah di jantung kota yang sudah mati. Gadis itu menghalangi jalan pelurunya.
Seumur-umur ia menjalani pekerjaan jahanam ini tak pernah sedikitpun ia merasa ragu; ia selalu sukses pada setiap misinya. Sekalipun harus membuang satu-dua nyawa itu tak masalah baginya. Apapun ia akan lakukan selama ia dapat menyelesaikan misi ini tanpa cacat sedikitpun,.
Ia tidak ragu sama sekali. Seharusnya. Tapi, untuk yang satu ini, kenapa ia merasa sangat kesal ketika melihat gadis itu masih berada di titik fokus lensa bidiknya?
Ia tidak mengerti. Sama sekali.
"Cih," pria itu mendecih kesal lalu mengumpat keras; sebuah panggilan masuk ke earphone-nya. Dengan kasar dan sangat tidak ikhlas, ia menekan tombol di kepala earphone untuk menjawab panggilan yang sangat menyebalkan itu.
"Habisi dia sekarang, Hatter!"
Sebelum kau menyuruhku sudah kuhabisi dari tadi keparat! Ia hanya berani membatin, tidak cukup tenaga untuk mengungkapkan kekesalannya karena sudah diganggu.
Bukan berarti ia tidak berani pada pria yang menelponnya sekarang ini. Tidak, tidak sama sekali. Bahkan sebaliknya, ia bisa saja menghabisi pria itu dalam sekali usaha saat ini juga. Sayangnya, ia tidak ingin membuang tenaganya sia-sia untuk hal yang pada akhirnya hanya merepotkan dirinya sendiri.
Yang benar saja, ia hanya dibayar saja untuk melakukan perbuatan kejam ini, bukan? Jadi, tidak ada salahnya ia menurut dan mendengar perintah menyebalkannya.
Walaupun ia sejatinya tidak suka. Tidak suka menuruti pria bossy itu.
"Tapi jangan bunuh pelacur itu!" Pria itu menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar permintaan di luar misi awalnya. Netra jelaganya bergulir kembali ke lensa bidiknya yang masih mengarah pada satu-satunya wanita yang ada di rumah itu, seorang perempuan berambut indigo panjang sepunggung—pelacur sewaan targetnya—itu.
"Kenapa?" tanya pria itu sembari mengubah arah bidikannya.
"Bukan urusanmu! Kau hanya seorang pembunuh bayaran tak kurang, tak lebih! Akulah yang membayarmu, jadi laksanakan saja dengan cepat atau perjanjian kita batal!"
Pria itu malah terkekeh mendengar cercaan kliennya. Tempramen sekali pak tua yang satu ini. "As your wish, Mister," ucapnya dengan aksen British yang kental.
Panggilan dimatikan sepihak oleh si pembuat panggilan, dan pria itu kembali fokus pada pekerjaannya sekarang: menghabisi targetnya dengan usaha seminimal mungkin. Mata elangnya kembali ke lensa, menangkap bidikannya masih terfokuskan pada wanita—pelacur itu—walaupun ia sudah mengubah posisi senapannya.
Pria itu bergumam tak jelas, hanya memperhatikan wanita itu lewat lensanya, dan sempat-sempatnya memuji lekuk tubuh yang dimiliki pelacur itu. Jika dia tidak salah menebak (tebakannya selalu tepat sasaran), pelacur itu umurnya sekitar awal dua puluh tahunan. Belasan tahun lebih muda dibandingkan dirinya.
Bukan apa-apa sebenarnya, tapi pria itu paham kenapa kliennya tidak menginginkan pegawai-nya mati. Bagaimana tidak? Kulit putih seputih susunya, wajah oriental asli, ekspresi polos namun menggoda, dan jangan lupakan seperti apa lekuk tubuhnya itu … benar-benar selalu laku di pasaran.
Pria itu seketika terhenyak dari pikirannya. Ia telah kehilangan hampir satu menit waktunya hanya untuk memikirkan hal yang tidak penting. Bola matanya kembali bergulir memeriksa lensa bidiknya; pelacur itu masih dalam bidikan, dan itu sangat membuat pria itu kesal.
Berpindah tempat hanya membuang waktu, membuat kemungkinannya untuk berhasil dalam misi ini berkurang banyak. Ia telah menerima misi ini kurang lebih seminggu yang lalu, dan ia tidak menyia-nyiakan waktu seminggu yang dia miliki.
Dia ini tipikal orang yang memperhitungkan segalanya, ia telah menganalisa setiap titik yang memungkinkan untuk melangsungkan tembakan jarak jauh. Jadi, sudah jelas jika ia sangat tahu, hanyalah tempat inilah yang peluang kegagalannya paling rendah; keberhasilannya paling tinggi, lebih dari setengah persen.
Tapi, persetan! Pelacur itu masih tetap dalam jangkauan lenssa bidiknya. Ia mulai kesal dan tidak peduli dengan permintaan kliennya lagipula pria bajingan itu hanya berkata, "jangan bunuh" bukan berarti "jangan lukai" 'kan? Kalau pun seandainya, gadis itu hanya terkena peluru—tidak sampai mati—misinya akan tetap selesai dan ia bisa mengambil bayarannya, bukankah begitu perjanjiannya?
Ia pun menarik pelatuknya, mengabaikan semua resiko yang bakal terjadi pada penghasilan, karir, bahkan nyawanya. Bunyi ledakan kecil serta bau mesiu mulai menguar ke udara sesaat setelah pelatuknya benar-benar sudah ia tarik. Timah panas itu melesat memotong angin hingga menyasak udara gurun yang kering menuju seorang perempuan yang bakal menjadi targetnya.
Netra jelaganya terpaku menatap lesatan peluru yang sudah jauh di sana. Terbesit perasaan kecewa dan hampa di hati pria itu.
Perasaan kecewa yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
Ia pun mulai bersiap untuk melakukan tembakan kedua yang akan ia lakukan beberapa detik lagi—setelah peluru itu menancap di tubuh pelacur—tapi suatu kejadian tidak terduga terjadi dan membuat dirinya mematung tak percaya.
Pelacur itu selamat, tanpa luka sedikitpun. Justru targetnyalah yang terkena tembakan pelurunya.
Pria itu bersiul tidak percaya. Pelacur itu di detik-detik terakhir malah menukar posisinya dengan target, membuat pria yang sedang menggaulinyalah yang terkena tembakan dari pada dirinya.
Tapi pria itu lebih terkejut lagi ketika kepala gadis itu menoleh tepat ke arah lensa bidik yang masih mengarah ke dirinya. Wajahnya yang sedikit terpercik darah itu sembab, pipinya memerah hampir sewarna dengan cairan kental merah yang menghiasi sebagian mukanya, bibirnya bengkak tanda entah berapa banyak kecupan yang ia terima tadi, sorot matanya kosong yang kosong itu menatap lurus, seakan-akan mencari-cari sesosok manusia yang entah berapa ratus meter ada di sana.
.
.
.
Catastrophs
|Rate M| Romance, drama|
©Kana2017 ©MasashiKishimoto
.
.
.
[Warning. Because of sexual content, mature, and profanity]
[Take your own risk]
.
.
.
I have already warned you. Please, be considered!
.
.
.
[1]
"Selamat datang Tuan Madara," mucikari itu tersenyum ramah menatap pria tua dengan rambut panjang tak beraturan itu, "Pesananmu sudah datang," lanjutnya tanpa meninggalkan senyum.
Sayangnya orang yang dipanggil Tuan Madara itu tak bergeming; ia memilih bungkam sesaat sambil memandang jijik mucikari yang berada di hadapannya sekarang, "Kuharap ia seperti di foto."
"Tentu saja Tuan Madara," ucap mucikari dengan semangatnya, "Ia didatangkan langsung dari Jepang, ibunya asli Eropa—Ukraina—tapi ayahnya orang Jepang asli, kulitnya lebih pucat dibanding orang Asia kebanyakan karena faktor gen ibunya … tapi wajahnya tetap menunjukkan keorientalan khas orang Asia."
Madara mengangkat sebelah alisnya; ia mulai tertarik, "Perawan?"
"Jelas," mucikari itu tidak ragu, "Kami sudah memeriksanya. Mulai dari fisiknya sampai latar belakang keluarganya. Keluarganya orang baik-baik; sifatnya sangat santun."
"Ia seorang yatim piatu, hak asuh ada pada keluarga pihak ayahnya, tapi sayang, keluarganya bangkrut lalu mereka menjualnya ke pasar perdagangan manusia."
"Dia sekarang seratus persen barang dagangan, keluarganya sudah membuat surat wafat untuknya. Tuan bisa membawanya pulang jika berkesan," ia menjedah sebentar sambil menyeringai tipis, "Dengan uang tambahan, tentunya."
Penjilat. Madara terkekeh dalam hati, "tunjukkan jalannya" titahnya tanpa mengubah intonasi suara.
Mucikari itu tersenyum puas, perasaan senang memenuhi relung hatinya selayaknya ia baru saja memenangkan lotre. Sepertinya hari ini ia akan menang banyak.
Ia mengambil langkah terpanjangnya, mulai memimpin jalan. Tuan Madara beserta antek-anteknya berjalan mengikuti mucikari tinggi itu pergi. Mereka semua berjalan dengan diam. Tak satupun diantara mereka yang berani bersua.
Mengingat jabatan yang dimiliki Tuan Madara, tentunya membuat Si Mucikari mati kutu duluan. Bayangkan saja, seorang politikus sedang membeli barang di tokonya. Terlebih seorang politikus ternama di sebuah negara yang terkenal keadidayaannya. Sebuah kehormatan, bukan?
Maka dari itu, ia seberusaha mungkin untuk tidak berbicara jika bukan hal yang penting saja. Ia terlalu takut jika klien mahalnya ini akan membatalkan kontrak dan berakibat dengan rugi yang berkali-lipat.
Dia hanya tak mau rugi.
Mucikari itu masih melangkahkan kakinya, melewati gang-gang sempit kota yang sudah sangat bobrok dan tidak layak pakai. Jalanan becek oleh cairan keruh yang kental memenuhi penjuru jalan gang, menimbulkan bunyi cipratan ketika kaki tak sengaja menapaki genangan itu.
"Kuharap gadis itu seperti ekspektasiku, Danzo."
Danzo—mucikari itu—hanya meringis sekilas, "Tenang saja, Tuan Madara," ia menjedah ketika jalan mengalami belokan sempit, "Saya tidak akan mengecewakan Anda."
"Kuharap begitu."
Danzo pun berhenti ketika kakinya menapaki jalan setapak mulus. Terdapat rumah-rumah bergaya timur tengah dengan tenda di tiap beranda rumah. Satu rumah ke rumah yang lain berselang sekitar beberapa meter. Selang setiap rumah tumbuh pohon palem yang tinggi menjulang.
"Ke arah ini, Tuan Madara," Danzou berjalan menuju salah satu rumah terdekat, "Tempat ini memang terpencil dan sulit dijangkau dengan kendaraan, akses satu-satunya memang harus berjalan kaki," ia menjedah menatap lawan bicaranya.
Madara hanya memicing ketika mendapati kontak mata itu, menagih penjelasan selanjutnya.
"Demi kerahasiaan tempat ini tentunya," jelas Danzou dengan sedikit tercekat. Picingan itu sempat menakuti dirinya. Ia pun dengan terburu-buru mengambil kunci yang ada di saku celananya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar kunci itu.
"Seluruh rumah ini bebas Anda gunakan, Tuan Madara, karena rumah ini memang digunakan untuk satu klien," Danzou membukakan pintu untuk Madara. Pria tua itu hanya mangut-mangut tanda paham lalu melangkahkan kakinya ke dalam rumah.
Untuk ukuran sebuah rumah di tengah gurun, rumah ini cukup mewah. Dindingnya terlihat kokoh walaupun cat luarnya sudah kusam. Rumah ini lebih mirip apartemen kecil. Sebuah meja duduk dengan karpet Persia dan bantal rumbai sebagai alasnya. Kasur ukuran king size dengan kelambu sutra menjuntai sampai lantai. Ruangan yang tak begitu luas namun benar-benar terasa ekslusif.
Jujur, Madara merasa terkesan dengan fasilitas rumah yang tersaji, tapi ada satu hal yang ia harus pastikan. Ia pun berhenti mengagumi rumah ini, lalu mengetuk keras tembok rumah.
"Rumah ini jelas kedap suara," sahut Danzou seakan mengerti maksud dari kliennya itu, "Dan ah—Hinata!" teriak Danzou.
Seorang gadis berpakaian ala timur tengah—tunik putih pendek yang hanya menutupi gumpalan dadanya, rok panjang hingga menyapu lantai, dan sebuah kerudung dan cadar tipis transparan menghiasi kepalanya—keluar dari balik kelambu kasur. Bunyi gesekan fabrik pakaiannya terdengar halus ketika kakinya melangkah. Jalannya perlahan dan terkesan anggun dan berwibawa, menghipnotis mata Madara sejenak.
"Namanya Hinata. Persis bukan?" ucapnya sambil memperkenalkan seorang gadis berambut panjang dengan cadar yang menutupi setengah rupanya.
Mata jelaga Madara menatap lurus gadis yang berdiri di depannya. Ia masih kehilangan dunianya walaupun kesadarannya sendiri masih berdiri dengan utuh. Ia benci untuk mengakui kalau gadis yang ada di hadapannya ini benar-benar sesuai ekspektasinya.
Tapi sayang, ego lebih mendominasi hatinya. Ia tidak mau memuji kecantikan gadis itu secara gamblang, jelas, dan frontal. Baginya, melakukan hal itu sama saja mengakui kehebatan mucikari berengsek nan licik itu.
"Ada apa dengan mukanya?"
Danzou terbahak keras. Suaranya melengking ke seisi rumah. "Itu rahasia Tuan Madara," ia berdeham singkat, menelan ludah yang sedikit mengganggu jalan bicaranya. "Sama halnya seperti barang, kau hanya bisa melihat tampilan luarnya, bukan dalamnya, kecuali …" ia menjedah, menyipitkan matanya sekilas, "kau melepas segelnya setelah membayar."
Tuan Madara mendecih, "dasar licik," ia mengangkat sebelah tangan membuat gesture yang ditujukan ke antek-anteknya. Tak perlu menunggu lama, antek-anteknya memberikan koper yang penuh dengan uang dolar.
Danzou sedikit terbelalak dengan isi koper tersebut yang tidak seperti bayangannya. Bahkan jauh di atas bayangannya. Tapi selayaknya seorang licik ia pastinya menginginkan yang lebih. Lebih dari sekedar permukaannya.
Ia mendecak pelan, "maaf tuan, ini … belum cukup," ucapnya dengan tatapan sendu yang dibuat-buat. Drama sekali.
"Kau bercanda? Aku memberi hanya ini karena aku tak percaya padamu sebelum aku membuka cadarnya!"
"Tuan Madara … sudah berapa lama Anda memakai jasa saya? Apakah sampai sekarang Anda masih belum mempercayai saya setelah sekian tahun ini?"
Tuan Madara diam tak menjawab jawaban retoris itu. Ia memilih menatap tajam mucikari licik itu dibandingkan harus berdebat membuang tenaganya.
"Saya tidak berani menipu anda …" ia menjedah memutar bola matanya, "Anda pelanggan saya nomor satu."
Madara sedikit sangsi untuk langsung percaya kepada orang tua itu. Selain karena kelicikan dan kepicikan yang ia katakan tadi, orang ini adalah seorang mucikari—pekerjaan yang tidak bisa dikatakan benar—jadi, sudah jelas dia bukan orang baik-baik dalam bekerja. Apalagi dalam berjanji.
Orang ini benar-benar meragukan.
"Anda masih tidak percaya pada saya?" Danzou tersenyum miring, "saya hanya ingin memberikan kejutan pada Anda," ia terkekeh seakan ini lelucon.
"Anggaplah ini sebuah kado, Anda tidak akan tahu sebelum anda membuka bungkusnya, bukan?"
"Lagi pula, gadis ini sangat langka, Tuan," memelas? "Anda beruntung mendapatkannya," memuji?
"Saat ini sulit sekali mendapatkan gadis belasan yang masih perawan, terutama yang oriental," benar-benar usaha yang keras. "Mereka kebanyakan terseret arus globalisasi seks bebas yang sedang maraknya di barat," argumen yang bagus.
Madara masih tak mau angkat bicara. Ia tak bergeming, membiarkan kata-kata itu seperti angin lalu yang tak ia gagas sama sekali. Ia masih merasakan dilema yang kuat di hatinya. Di sisi lain ia ingin mengambil gadis ini karena ia sangat mirip dengan mendiang istrinya dulu. Di sisi lain ia tak mau ambil resiko jika Danzou termasuk bajingan yang hanya membuatnya merugi.
"Baiklah Tuan, jika Anda tak mempercayai saya," akhirnya Danzou mengalah, ia pun mendesahkan napas beratnya. Dengan raut kecewanya ia pun berbalik menarik pergelangan gadis itu berusaha mengajaknya untuk pergi dari rumah ini.
Gadis itu sedikit mengelak, ia berjengit ketika tangan Danzou mencengkram pergelangan tangannya. Sekali tarikan membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Tubuh kecilnya bergerak mengikuti arah kemana Danzou membawanya pergi dan tanpa sengaja, kedua bola peraknya bertemu dengan onyx milik Madara.
Sebuah sengatan mendadak menjalari sekujur tubuh Madara. Detakan jantungnya mulai berpacu seakan adrenalinnya mulai memanas.
"Saya undur diri Tu—"
"—Tidak, akan kubeli gadis itu."
Sebelah mata yang tak berpenutup itu melebar. Segaris senyuman sontak terpatri di bibirnya, "Anda berubah pikiran?"
"Apa harus kuulangi?"
"Tidak perlu," Danzou berbalik menatap kliennya kemudian tertawa singkat, "cukup kembali ke perjanjian awal, bukan?"
"Kau benar-benar—" Madara mendesis kesal, ia mengeram menatap nyalang mucikari berengsek itu, "—kuharap kau benar-benar jujur kali ini."
Madara mengangkat tangannya dan membuat gestur yang sama seperti tadi dan tak perlu menunggu lama, lima koper yang terisi penuh uang dolar amerika sudah ada tepat di depan mata.
"Ambil itu, dan wanitanya jadi milikku, bukan?"
"Tentu saja, Tuan Madara," ia menjedah mengambil segepok uang, mendekatkan lembaran kertas bernilai itu dan mengendusnya, "kuharap ini tidak palsu," bisiknya lirih.
"Kau meragukanku?"
"Tentu saja …" Madara melotot menatap Danzou, jawaban itu benar-benar menyinggung perasaan politisi ini. Seakan sebuah permainan, sedetik kemudian ia menyunggingkan seulas senyuman miring, "tentu saja, tidak …" Danzou terbahak.
Ia mengambil semua kopernya hanya dengan kedua tangannya, "selamat malam dan …" ia menjedah melirik Madara sebentar, "selamat bersenang-senang," dan blam, pintu rumah itu terkunci.
Madara menghela napas. Ia tidak peduli jika uangnya itu raib dibawa lari oleh mucikari itu. Toh, ia bisa mengambil yang lain nanti. Yang jelas, masalahnya di sini bukanlah uang ataupun hal-hal kantor yang tak pernah ia urusi itu. Masalahnya disini adalah gadis itu apa bisa memuaskan birahinya ini.
Kematian istrinya dua bulan lalu benar-benar membuatnya gila sampai harus mencari pelampiasan. Jika ia boleh berkata jujur, sejatinya ia tidak ingin membuang uangnya lagi ke tempat hina seperti ini. Cukuplah ia melihat istrinya yang mati dengan raut muka sakit hati karena tahu ia sering bermain kesini. Cukuplah. Ia tidak ingin mengingat hal itu lagi.
Tapi, nafsunya ini bukanlah sesuatu yang bisa ia padamkan sendiri dengan mudah. Terlebih untuk ukuran pria dewasa seperti Madara, tipikal pria buas yang tak puas hanya sekali atau dua kali babak permainan.
Madara kembali menatap gadis itu, gadis yang masih diam—mematung—tepat di ambang pintu. Jika Madara tidak salah menebak, gadis ini, lebih cocok sebagai anaknya ketimbang menjadi pengganti istrinya. Dia terlalu muda untuk menyandang predikat ibu pejabat.
Masa bodoh. Ya. Masa bodoh. Lagi pula ia hanya selingan.
"Kau gugup?"
Gadis itu diam. Ia menggigit bibir bawahnya dibalik cadar yang menutupi setengah rupanya.
"Ini yang pertama bagimu?"
Madara melangkahkan kakinya mendekati gadis itu. Sadar akan jarak yang makin lama makin menipis, gadis itu mundur teratur, menghindari gencatan Madara.
"Jangan bilang kau takut padaku?
Pria tua itu bergerak cepat mendesak gadis itu secepat mungkin. Oh, ayolah, dia bukanlah tipe penyabar untuk bermain kucing-kucingan seperti ini. Maka dengan cepat ia menghimpit tubuh gadis itu ke pintu rumah.
Madara menatap lekat-lekat kedua bola mata itu. Kedua bola mata yang balas menatapnya dengan tatapan ketakutan namun sarat akan kebencian yang kental.
"Kau benar-benar takut …" ucap Madara lirih lalu menyeringai penuh gairah.
Ia pun mengangkat tangannya, bermaksud untuk membuka cadar yang menutupi setengah wajah gadisnya—ralat—pemuas nafsu birahinya; dengan perlahan ia menarik cadar itu, melepaskan kain tipis yang menutupi wajah gadis di hadapannya. Seketika geraknya terhenti ketika wajah yang ia nanti-nanti itu sudah tak lagi terbungkus oleh cadar.
Benar saja, mucikari bajingan itu sama sekali tidak berbohong, apalagi menipunya.
Seorang gadis belia yang hampir setengah abad lebih muda dibandingnya ini benar-benar mirip mendiang istrinya. Seperti halnya sebuah cetakan, jika mereka berdua disandingkan pasti orang akan mengira gadis ini adalah anak atau versi muda mendiang istrinya.
Melihat replika istri tercintanya ada di hadapannya sekarang membuat Madara lepas kendali. Di matanya, gadis ini adalah istrinya; sebeda apapun sejatinya antara istrinya dan gadis ini, kedua bola matanya ini selalu menampilkan bayang-bayang semu istrinya.
Madara tidak dapat menahan dirinya lebih lama lagi. Ia menarik dagu gadis itu dengan cepat, membawa bibir merah dan lembabnya ke miliknya sendiri.
Sensasi kejutan listrik menjalari tubuhnya dengan cepat. Panas mulai mengalir dan membakar bara nafsu liarnya yang selama ini ia redam. Madara tidak tahan lagi, ia memaksa masuk lidahnya walaupun gadis itu memberontak minta dilepaskan pagutannya.
Bibirnya tertutup rapat. Berlainan hal dengan bibir Madara yang terbuka dan menjulur-julurkan lidahnya membelai daging kenyal atapun berusaha menyusup ke celah rapat itu. Madara merasa kesal; ia benci ditolak dalam sebuah permainan panas seperti ini. Tak tanggung-tanggung pun ia merobek paksa tunik putih yang membalut ketat buah dada gadis itu.
Kain tipis itu pun sobek, mengekspos sepasang bulatan penuh dada yang puncaknya mengacung tegang. Tangan kekar Madara menangkup bulatan yang berada di kanan, meremasnya dengan gaya tekanan penuh, menambah rangsangan pada benda menggiurkan itu.
Gadis itu mengeram, tapi ia masih tidak mau membuka mulutnya. Ia bersikukuh tetap pada pendiriannya, menolak mentah-mentah rangsangan panas yang Madara berikan padanya.
"Anak nakal …" desis Madara. Ia pun menjepit puncak buah dada itu dengan keras, menambah tegang puncak kemerahan itu. Ia menarik narik puncaknya, menjepit, lalu meremas kembali bulatan penuh dada itu.
Gadis itu tidak tahan; ia menggertakkan kedua rahangnya, menahan semua desahan yang minta dilepaskan saat itu juga. Ia berjuang mati-matian untuk tidak takluk kepada pria bangsat seperti Madara ini.
"Hey … aku tahu itu menyiksa," desah Madara pelan di telinga gadis itu, "aku tahu kau juga menikmati sentuhan ini …" sebelah tangan Madara yang bebas membelai pelan garis pinggul gadis itu.
"Aku memberimu dua pilihan …" tangan itu semakin naik dan mulai menangkup buah dada lain milik gadis itu, "bergabung denganku atau kusiksa sampai kau tidak bisa berjalan?"
Gadis itu diam. Ia menatap nyalang pria bau tanah itu dengan mata keperakannya. Ia mendesis, seakan menantang Madara dengan tatapan kucingnya itu.
"Kau ingin kusiksa? Kau tipe masokis, hm?" sarkatis. Ibu jari Madara membelai puncak dada kirinya yang tegang, menarik-narik kembali puncak kemerahan itu sepertihalnya sebuah mainan. Sedangkan telapak kanannya meremas dada yang lain dengan tempo progresif.
"Kita lihat sekuat apa dirimu …" Madara mendekatkan bibirnya ke leher jenjang gadis itu. ia menghisap kuat meninggalkan bercak merah yang pastinya tidak akan hilang selama seminggu. Ia menjulurkan lidahnya lagi, menjilat tiap sisi kulit putih seputih susu itu.
Gadis itu menjauhkan lehernya dari lidah kotor Madara. Ia menolehkan kepalanya ke kiri serta menggeser tubuhnya ke arah yang sama dalam sekali tarikan kuat. Akibat perbuatannya itu, Madara yang hanya bertumpu pada badan kecilnya limbung menatap tembok di depannya. Wajahnya yang selalu menampakkan raut stoik itu mengantam kaca jendela yang tertanam di sana. Sejurus kemudian, gadis itu mampu membalikkan keadaan, mengurung Madara dalam kungkungan kedua lengan kurusnya.
PRANG!
Tepat ketika wajah Madara menyentuh permukaan kaca, sebuah peluru melesat ke hidungnya. Madara terpekik, tubuhnya jatuh menubruk tubuh gadis itu yang tepat berada di depannya.
"GAAAAHHHKKK!" Madara berteriak merintih kesakitan. Timah panas itu melesak ke dalam rongga hidungnya itu, menyumpal jalan masuk udaranya, dan meremukkan semua tulang rawan yang menyusun indera itu.
Darah merah kental mengucur dari kedua lubang hidung Madara yang sudah tak berbentuk. Tubuh besar berototnya sontak kehilangan keseimbangan lalu jatuh bersandar pada tubuh gadis yang baru saja ia cumbui beberapa detik yang lalu.
Pandangannya mengabur dipenuhi kabut air matanya sendiri; kucuran darah yang keluar dari lubang hidungnya masih belum berhenti. Pening mulai menjalari kepala Madara, ia merasakan anemia yang mendadak mendera seluruh organ tubuhnya.
Gadis itu terpaku sesaat. Seluruh sistem syaraf yang ada di otaknya memberitahu bahwa inilah saat yang tepat untuk menghabisi pria berengsek yang jatuh tepat di depannya itu. Tak ingin kehilangan kesempatan emas ini, ia meraih pisau lipat yang ia simpan lipatan roknya lalu ia menusukkan ujung pisau itu ke perut Madara.
Naas, pisau itu meleset dan hanya menyayat baju Madara yang berlapis itu. Bahkan sayatan itu sangat tipis dan tidak berarti apa-apa untuk menumbangkan pria besar seperti Madara.
Tubuh besar Madara mundur beberapa langkah. Ia sedikit terhenyak ketika menyadari titik mana yang menjadi sasaran pisau lipat itu.
Sayatan itu mungkin saja tidak berarti apa-apa. Sekarang. Tapi jika ia terlambat sedetik saja, nyawanya sudah melayang sekarang kealam baka sana; pisau itu pasti sedang menancap di daerah vitalnya, tepat di jantungnya.
"K—KAU!" seru Madara keras lalu membanting tubuh gadis itu ke dinding rumah, menghimpit tubuh kurus itu dengan tubuhnya.
Kedua tangannya melingkar erat di leher jenjang gadis itu, mencekik tenggorokannya dalam sekali tekanan kuat. "Siapa yang membayarmu sekarang?! Pak Tua Danzou itu, HA?!"
Gadis itu menggertakkan giginya. Urat syaraf di pelipisnya mengencang, mukanya yang seharusnya putih pucat itu sudah memerah karena kekurangan pasokan oksigen.
"K—Kkkhh—le—pas …" kedua tangannya mencakar-cakar telapak tangan Madara, berusaha keras untuk menyingkirkan ikatan kuat yang mencekik lehernya itu.
Sayangnya Madara tidak mungkin melepaskan seekor kelinci yang cantik sekalipun jika kelinci itu berpotensi untuk membahayakan nyawanya. Sudah pasti insting Madara memilih menghabisi kelinci itu hidup-hidup saat ini juga.
Madara menambah tekanan pada cengkraman tangannya pada leher gadis itu, tidak peduli jika gadis itu malah mati sebelum ia bisa bersenang-senang memuaskan nafsu gilanya.
"Apa? Melepasmu?" desis Madara pelan, ia mengendurkan tangannya yang mencekik leher gadis itu. Tapi sedetik kemudian, Madara membanting lagi tubuh gadis itu ke tembok dalam sekali sentakan kuat.
BRAKK!
"Kau pikir aku bodoh, HAA?!"
BRAKKK!
"Kau ingin kulepaskan, HA?!"
BRAKKK!
"Seperti ini?!"
BRAKKK!
BRAKKKKKK!
Madara berteriak sejadi-jadinya; ia membanting tubuh kecil kurus gadis itu berkali-kali, melampiaskan seluruh amarahnya yang sudah tidak bisa ia bendung lagi. Mukanya memerah, dan urat-urat di wajahnya menegang menampilkan semua ekspresinya. Amarah telah membakar sumbunya yang pendek, sadar akan fakta Danzou telah menjebaknya, membuat Madara frustasi setengah mati.
Hei, bukannya kau memang mau mati, Madara?
"Le … le … pas …." Gadis itu mengerang pelan. Tubuhnya mati rasa, ia bahkan tidak bisa merasakan kedua tangannya sendiri.
Seakan tidak peduli akan rasa sakit yang gadis itu rasakan, Madara malah semakin menekan tubuh gadis itu ke dinding dengan semua tenaga yang ia punya. Tak peduli bahwa darah mengucur dari luka yang menganga di batang hidungnya; tak peduli sepening apapun ia, yang hanya Madara lakukan sekarang ialah melampiaskan amarahnya pada gadis yang sama sekali tidak bersalah.
Atau mungkin sangat bersalah. Di matanya.
Madara menjepit kedua pipi gadis itu dengan kelima jemarinya. Ia mencengkram pipi itu lalu mengangkat wajah yang memandangnya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan takut?" desahnya pelan dengan penuh tekanan.
Gadis itu diam sejenak dan dengan seenaknya, ia melempar ludahnya ke wajah stoic Madara yang sudah memerah darah itu.
"… bereng … sekkhh …" ucapnya lirih.
Rahang bawah Madara mengeras. Sebuah penghinaan ketika seorang manusia rendahan seperti pelacur melempar ludah ke wajahnya.
"DASAR JALANG!—"
BRAAKKKKK
Pintu kayu rumah itu yang seharusnya kuat dan kokoh mendadak hancur seketika. Madara sontak mematung, kedua matanya menatap lekat-lekat sosok yang menjebol pintu rumahnya secara paksa. Seorang pria tinggi jangkung bertopi dan bermasker hitam ketat masuk dengan seenaknya tanpa permisi.
"Siapa kau?!" Madara membentak dengan keras. Amarahnya kembali tersulut ketika seorang pengganggu datang mengusik aktivitas seksualnya.
"Aku? Malaikat pencabut nyawamu, mungkin?"
"Apa katamu? Malaikat pencabut nyawaku? Berani-beraninya—"
DOR!
Bunyi tembakan terdengar dari pistol yang pria itu simpan dibalik tubuhnya. Timah panasnya melesat cepat, membelah udara yang memenuhi ruang, sampai pada akhirnya menyasar tepat ke jantung Madara.
Darah termuntahkan dari mulut Madara. Warnanya merah gelap dan sangat kental karena bercampur dengan lendir liurnya. "K—Kau—"
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Beruntun. Pria itu terus menembaki Madara pada titik yang sama dengan cepat, tak peduli berapa banyak darah yang ia muntahkan, sehancur apa daging serta seputus apa serat otot yang membungkus thorax-nya, ia menghabiskan hampir separuh peluru dalam selongsong pistol hanya untuk membunuh pria jahanam itu.
Tubuh besar Madara jatuh menghantam kerasnya lantai batu rumah, pancuran darah mengucur dari dada bidangnya itu menciptakan genangan kental di lantai rumah. Tubuh besar itu mengejang beberapa kali, sampai akhirnya benar-benar mati tak bernyawa.
Wangi mesiu yang bercampur dengan bau anyir darah merebak memenuhi rumah. Hening akhirnya menyelimuti lagi. Pria itu diam sejenak mengatur napasnya yang agak tersengga. Setelah itu, ia melangkahkan kakinya mendekati tempat gadis itu berdiam sekarang.
Gadis itu terpaku menatap pria yang telah menolongnya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Pria berengsek yang disebut Madara itu telah meregang nyawa oleh seseorang yang sama sekali tidak ia sangka-sangka.
Pria itu seperti akan berbicara. Namun kata-katanya malah tertelan kembali. Segaris senyuman tipis gadis itu layangkan sebagai balas jasa karena telah menolongnya.
"Terima … kasih …" ucapnya sebelum ia kehilangan kesadarannya.
.
.
.
.
.
Senin, 13 Maret 2017, written by KanaLKentangky