Teen Wolf (SVT version!)

.

©JEFF DAVIS

©PLEDIS


Mingyu adalah remaja naif yang baru saja mengalami kecelakaan dan tak sengaja menjadi werewolf. Ia sedang mengalami cinta pertama dan beberapa masalah remaja pada umumnya. Selain masalah remajanya ia juga menghadapi masalah innernya sebagai werewolf. Oh, serigala alpha berusaha membunuhnya jadi dia harus mengkhawatirkan itu juga!

All of SEVENTEEN member, a bit of other member group nor actor.

M for the strong languages and issues.

Drama, fantasy, mystery, romance


Chapter 1: Moon Wolf (Part 1)

.

Mobil-mobil hitam bersirine baru saja menjangkau daerah hutan Beacon Hills. Lusinan anjing pelacak dikerahkan dan beberapa unit divisi bertugas menyahuti misi malam ini.

Sementara itu di sebuah rumah semi-modern seorang remaja berusia enam belas tahun duduk damai di atas ranjangnya dengan ulet menyelesaikan tongkat jaring lacrossenya.

Setelah menekuni tenunan dan simpul jaring tersebut, mencoba beberapa kali meninju serta melempar bola dengan tenaga memastikan bahwa jaring tenunannya berhasil dengan apik ia buat.

Ia melempar tongkat tersebut ke atas kasur kemudian berjalan menuju kamar mandi. Melompat meraih besi di atas pintu, menahan beban badannya dengan kedua tangan lalu melakukan olahraga ringan sekadar menaik-turunkan pegangannya.

Memamerkan bisepnya yang terbentuk nyaris sempurna, otot punggung yang dibiarkan merenggang kala ia menumpu tubuh.

Tetapi aktivitasnya terhenti ketika ia mendengar suara yang berasal bukan dari dalam rumahnya. Ia hapal benar Taeyeon pulang pukul sebelas dan kini masih pukul sepuluh, ibunya adalah seorang perawat jadi ia tidak mungkin pulang lebih cepat karena cara kerja shift di rumah sakit tidak sesederhana itu.

Pemuda itu mengambil pemukul baseball, memasang kuda-kuda dan berjalan berjingkat menuju asal suara. Sesampainya di lantai satu(kamarnya di lantai dua ngomong-ngomong), ia membuka pintu dan menuju teras. Karena yakin suara yang ia dengar berasal dari sana, cengkramannya pada tongkat ia eratkan dan pertahanan ia tingkatkan.

Ia menuju tempat asalnya suara itu, pemuda tinggi itu memasang kuda-kudanya lebih yakin lagi. Ia menuju samping teras, ujung lantai demi memantapkan telinganya memperjelas suara tadi. Saat hampir menyentuh ujung teras, telinganya ia dekatkan pada genting yang tak jauh dari ubun-ubunnya.

Pertahanannya goyah ketika bayangan yang ia asumsikan sebagai hantu tiba-tiba saja jatuh dari atas genting, hampir menabrak wajahnya. Ia menjerit feminin dan bayangan itu ikut menjerit seperti dirinya. Ia mendadak lupa bagaimana cara mengontrol tubuhnya, emosi ketakutan menguasai dirinya dan ia hampir pingsan karena kaget. Bayangan itu bergantungan di depan matanya, nyaris hanya berjarak lima sentimeter dan ia yakin sebentar lagi akan mencium hantu itu.

Dalam waktu 0,5 detik ia berusaha untuk tenang. "Seokmin, sialan! apa yang kau lakukan?" Jeritnya lagi.

Bayangan yang ternyata adalah remaja bernama Seokmin itu melambaikan tangannya heboh. Kini ia sedang dalam keadaan menggantung terbalik. Kakinya terkait pada tanaman menjalar di atas genting. "Kau tidak menjawab telfonmu. Kenapa kau memegang pemukul baseball?" Ia balas bertanya.

"Aku pikir tidak wajar mendengar suara gesekan di luar rumahmu saat kau sedang sendiri, aku kira kau penjahat!"

"Pen... Uhuk!" Ia terbatuk tidak memercayai hipotesis temannya, "Begini, aku tahu ini sudah larut, tapi kau harus mendengarkanku. Kulihat ayahku pergi dua puluh menit yang lalu, markas memanggilnya. Markas memanggil semua polisi Beacon bahkan kepolisian bagian negara." Terangnya kemudian.

Pemuda tinggi itu mengernyitkan alis. "Kenapa?"

Seokmin menjawab. "Dua pelari menemukan jasad di hutan." Seokmin menekuk tubuhnya naik memutus tanaman merambat pada kakinya kemudian melompat turun.

"Jasad manusia?" Tanyanya lagi.

"Bukan, jasad binatang. Ya, dumbass! Jasad manusia!" Ia meraih pagar untuk memanjat, kemudian berusaha melangkahkan kakinya untuk masuk menginjak koridor teras.

"Korban pembunuhan?" Ia terlihat tidak nyaman, mengingat jarak hutan cukup dekat dengan rumahnya bahkan meraih pemukul baseballnya kembali setelah ia senderkan di dinding saat membantu Seokmin memanjat tadi.

"Belum ada yang tahu," Seokmin bersidekap. "Intinya seorang gadis remaja." Katanya lalu membentuk gestur satu tangan di samping pinggangnya.

"Tunggu dulu, jika jasadnya sudah ditemukan lalu apa yang mereka cari?"

Seokmin menarik napas. "Itu bagian terbaiknya." Ia mengangguk beberapa kali. "Jasadnya hanya setengah, kita akan pergi."

.

.

BEACON HILLS PRESERVE. NO ENTRY AFTER DARK!

Jeep biru rongsokan milik Seokmin dihentikan begitu saja di depan palang rambu peringatan untuk tidak memasuki hutan. Hanya Seokmin saja yang semangat melompat turun dan membanting pintu mobil bagian mengemudi untuk memulai acaranya menjelajahnya.

"Kau serius kita akan melakukan ini? Mencari mayat?" Sementara temannya itu tampak tidak yakin. Ia turun dari jeep Seokmin terantuk-antuk, selama perjalanan uring-uringan. Ia mengeratkan jaket yang ia pakai.

"Kau yang selalu mengeluh tidak pernah ada kejadian yang menarik di kota ini." Terang Seokmin.

"Aku hanya ingin tidur yang nyenyak sebelum latihan besok."

Mereka memasuki hutan. Seokmin memimpin di depan karena terlampau semangat bahkan lekas turun dari jeep ia berjalan lebih dahulu. Tepat setelah mendengar berita itu ia langsung mengajak sahabatnya untuk mencari mayat tersebut.

"Benar! Untuk menjadi pemain cadangan membutuhkan usaha yang besar, bukan badan yang besar. Kau harus mengasah skillmu dulu di samping memamerkan tubuhmu itu." Ia mengisi ulang senter di tangannya dengan baterai yang baru ia beli.

"Bukan, karena aku akan bermain tahun ini. Aku berhasil menjadi pemain utama." Ucapnya malu-malu.

"Wow, hebat juga kau. Setiap orang memang harus punya impian, meskipun itu tidak masuk akal." Seokmin mengangkat senter dan mengarahkan pada permukaan.

"Omong-omong aku penasaran, bagian tubuh mana yang kita cari?" Tanyanya lepas.

Seokmin terhenti sebentar dan menatap ke arah belakang, pada sahabatnya itu. "Benar juga! Aku tidak memikirkannya." Jawabnya seraya terkekeh.

"Lalu, bagaimana jika pembunuhnya masih berkeliaran di sini?" Ia menepis jarak dengan mengikuti Seokmin yang terus lalu.

"Aku, juga tidak memikirkan itu." Jawabnya lagi.

Pemuda itu mendengus dan mengundang Seokmin untuk menggodanya.

"Oh ayolah bocah besar, mayatnya ditemukan sore ini jadi pembunuhnya pasti sedang sibuk melarikan diri sekarang."

Sebuah tanjakan muncul di hadapan mereka sehingga memaksa keduanya untuk memanjat.

"Aku senang kau sudah mempersiapkan semuanya secara terperinci seperti biasanya," ia memuji Seokmin.

"Aku tahu." Seokmin menggeram ketika mencapai puncak.

Tidak seperti sahabatnya yang bersender dahulu di bawah batang pohon untuk beristirahat, Seokmin memilih untuk melanjutkan perjalanannya.

"Setidaknya, lebih baik kalau pengidap asma kronislah yang memegang senternya bukan?" Ucapnya seraya menyemprotkan isi inhaler ke dalam mulutnya kemudian mengocoknya dengan lekas. Ia bernapas dengan susah payah, asmanya kambuh di saat yang tidak tepat.

Ia beranjak dan berjalan mengikuti Seokmin lagi.

Seokmin terlihat terburu-buru. Ia berjalan cepat, kemudian melompat dan jatuhan depan. Di balik ranting Seokmin bersembunyi dan temannya mengikuti lagat Seokmin dengan menjatuhkan dirinya di samping sahabatnya itu.

Di depan sana mereka menemukan belasan nyala senter di arahkan pada mereka. Seokmin mematikan daya senternya lalu menyimpan senter tersebut.

"Ayo!" Seokmin melompat dan berlari, mengindikasikan pemuda di sebelahnya untuk mengikutinya juga.

"Seokmin, tunggu!" Sebelum beranjak ia menghirup inhaler itu lagi, mengingat ia kesulitan bernapas dan asmanya baru saja kambuh.

Ia tertatih-tatih mengikuti Seokmin. Ia memiliki asma kronis dan tubuh besar yang tidak seringan Seokmin. Jadi Seokmin harus melambatkan lajunya agar sahabatnya itu dapat melangkah beringingan dengannya.

"Tidak, Seokmin tunggu aku!"

Seokmin berlari dengan sahabatnya di belakangnya. Tetapi ia tidak dapat menyusul Seokmin. Seokmin terlalu cepat dan beban tubuhnya tidak dapat berkerja sama dengannya sekarang.

Mereka berlari secepat mungkin agar polisi-polisi tidak menangkap keberadaan mereka di tengah hutan malam itu. Puluhan, mungkin ratusan pohon yang berbeda sudah mereka lalui. Itu artinya mereka tetap berjalan lurus.

Senter-senter itu terlihat mendekat meski sejatinya tidak dapat menangkap keberadaan mereka. Seokmin melambatkan lajunya namun ia terkejut kala seekor anjing menyalak padanya.

"Tetap di sana!" Seorang pria berteriak, Seokmin terjatuh dan sebuah senter di arahkan pada wajahnya.

Mendapati kawannya yang tertangkap, pemuda tinggi itu bersembunyi di balik pohon berusaha tidak menimbulkan bunyi apapun.

"Tunggu dulu! Tunggu! Anak nakal ini urusanku." Atasannya yang merupakan seorang sherif dengan nametag bertuliskan Lee Sungmin di seragamnya mencegat bawahannya yang hampir menarik Seokmin.

Seokmin berdiri sambil membersihkan tanah di wajahnya. "Ayah, apa kabar?" Tanyanya sekedar berbasa-basi.

"Jadi, kau mendengarkan semua panggilanku?" Nada suaranya terdengar kecewa.

"Tidak." Sergahnya mantap. "Hanya bagian yang seru-serunya saja." Kemudian memamerkan senyum jenakanya.

"So, where is your partner in crime?" Katanya seraya memancarkan senter yang ia pegang ke seluruh arah.

"Mingyu? Dia di rumah. Katanya dia mau tidur yang nyenyak agar bertenaga untuk masuk sekolah di hari pertama besok." Dustanya saat ayahnya itu melontarkan tatapan rasa jengkel padanya.

"Hanya aku. Di hutan. Sendirian." Dustanya lagi, patah-patah dan kaku.

Namun Sungmin tidak percaya begitu saja. "Mingyu kau di sana?" Ia berteriak kepada hutan. Sekali lagi senternya ia arahkan ke segala arah, kali ini ke belakang Seokmin yang hanya terpaut beberapa meter dari tempat persembunyian Mingyu.

Mingyu merapatkan tubuhnya di balik pohon. Dapat ia ketahui senter yang diarahkan oleh ayahnya Seokmin telah mati dan ia mulai memercayai Seokmin bahwa ia datang sendirian ke hutan malam ini.

Sungmin menghela napas. "Baiklah, kau ikut aku ke mobil dan kita bicarakan beberapa hal tentang pelanggaran privasi." Ujarnya dengan menarik kerah Seokmin menuju pelataran parkir yang ternyata sangat dekat dengan awal tempat mereka memasuki hutan tadi.

Oh shit! Mingyu bermonolog. Ia ditinggal sendirian di dalam hutan. Di tengah malam. Dan besok adalah hari pertama ia bersekolah di SMA pada semester baru. Sebenarnya ia sudah menduga sedari awal kalau ide mencari setengah mayat di hutan saat tengah malam seperti ini adalah ide buruk.

Tetapi Mingyu dan Seokmin adalah remaja yang mudah sekali terpacu adrenalinnya. Meski mereka tahu hal konyol dan bodoh yang mereka lakukan dapat berujung pedih pada nasib mereka nanti, tetapi kedua remaja bodoh itu tetap saja menyukai sensasi menegangkan yang ditimbulkan tiap-tiap proses ide menyebalkan yang diajukan Seokmin untuk mereka laksanakan.

Kini Mingyu sendirian di dalam hutan, ditemani gulita dan temaram cahaya bulan. Dalam beberapa detik cahaya itu akan dihalangi oleh pohon-pohon yang menjulang sehingga ia akan kehilangan jangkauan penglihatannya.

Semakin jauh ia berjalan, bukannya menemukan jalan keluar ia malah masuk lebih jauh ke dalam hutan. Karena merasa awas Mingyu mengenakan kepala hoodie merahnya. Ia terus berjalan merapali tapak dan mencari jalan keluar. Menatap ke arah langit dan mengingat-ingat wajah pepohonan, siapa tahu tadi ia sudah melewati jalan tersebut.

Dalam hatinya ia merutuki dirinya sendiri karena telah menuruti ide bodoh Seokmin. Ia tahu kalau temannya itu agak kurang waras dan ide-ide gilanya kadang menyenangkan, tetapi malam ini ia tidak sependapat.

Mingyu tidak tahu dirinya mulai gila atau apa. Tetapi ia dengar dengan jelas barusan, bahwa pohon di atasnya berbunyi. Ia mendongak dan tidak menemukan apapun. Malam sangat dingin jadi Mingyu memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung jaket. Ia melanjutkan langkah dan terhenti sejenak untuk memandang sekitar.

Ia merasakan getaran meskipun tidak yakin. Antara dirinya sudah tertular tidak warasnya Seokmin atau memang efek samping dari asmanya, ia mengeluarkan inhalernya kembali lalu mengocoknya kuat-kuat.

Mingyu berusaha fokus dan merasakan getaran tadi terasa lebih kuat. Ia menyipitkan matanya memandang pada sebuah cela pohon.

Duak!

Lusinan rusa berlarian menghantam Mingyu, inhalernya terlepas dari genggamannya dan ia terjatuh. Melindungi kepalanya dengan kedua tangan saat rusa-rusa itu melompati dirinya. Setelah aman Mingyu mengangkat kedua tangannya dari wajahnya, ia menyadari bahwa inhalernya terpental.

"Inhalerku." Ringisnya kemudian beranjak.

Ia menyalakan ponselnya untuk penerangan, berharap kejadian serupa tidak terulang lagi.

Ia mengarahkan cahaya layar ponselnya pada permukaan, mengusak-usak tanah untuk mendapatkan inhalernya kembali. Sudah puluhan menit ia membungkuk tetapi nihil, inhalernya tetap tidak dapat ia temukan. Ia mencoba mencari lagi dan lagi. Dan suatu kejanggalan terjadi. Misinya berhasil dan Mingyu hanya dapat tercekat. Pasalnya setengah badan wanita berada di hadapannya. Kaku dan pucat. Dari kepala hingga ke pinggang berdarah-darah. Mingyu berteriak dan melompat, terlalu shock menemukan setengah badan mayat di hadapannya. Ia terperanjat dan panik, tersandung sebuah benda sehingga membuatnya jungkir balik dan terjatuh di sebuah tebing curam. Punggungnya membentur batang pohon. Mingyu terjatuh menggelinding beberapa kaki ke bawah lagi.

Ia tidak dapat bergerak untuk beberapa saat. Tubuhnya terlampau sakit, sendi-sendinya nyeri dan punggungnya dapat ia rasakan perih sampai ia terbatuk-batuk.

Kemudian ia memaksakan kakinya untuk berdiri. Mingyu mengedarkan obsidiannya pada sekitar, menangkap sepasang cahaya berwarna merah di kegelapan. Dan setelah yakin bahwa itu adalah sepasang mata, mata dari hewan predator yang memandang lapar padanya Mingyu lebih histeris lagi. Jasad tidak dapat melukainya, tetapi setidaknya serigala bisa.

Belum sempat ia menghindar serigala besar itu menerkamnya. Mingyu terbanting berpegangan pada akar namun nihil, ia terseret merasakan badannya ditindih lalu sebuah sengatan menusuk pinggulnya. Mingyu meronta dan berteriak. Ia terjatuh dari dasar yang cukup curam. Ia beberapa kali terbentur batu dan serigala itu menyerangnya tanpa ampun. Ia tidak pernah mengira umurnya hanya sepanjang ini. Mingyu yakin sekali bahwa besok ia akan bersekolah lagi.

Dan dia akan!

Mingyu berusaha kabur dan berlari sejauh mungkin. Sangat jauh sampai ia tidak dapat melihat lagi tempat itu. Ia berlari tanpa menengok ke belakang. Persetan dengan inhaler! Mingyu akan segera keluar dari hutan sial ini.

Tiiin!

Ia tidak sengaja berdiri di tengah-tengah jalan raya dan sebuah mobil hampir menabraknya. Mobil itu melengkung dan melaju jauh.

Sementara Mingyu shock akan kenyataan ia baru saja menemukan mayat dan diserang oleh binatang buas. Ia merasakan perih di pinggul kemudian menyibak hoodie yang ia kenakan.

Dapat ia lihat sebuah gigitan tercetak di sana. Mingyu memandangi jalan raya, setidaknya ia selamat dan besok akan bersekolah.

.

.

.

Mingyu menghentikan laju sepedanya dan berhenti di tempat parkir. Setelah yakin menggembok rantai dan kunci stang(di Amerika orang-orang memakai sepeda tanpa peduli siapa pemiliknya) ia memosisikan sepedanya dengan masuk akal agar mudah saat dibawa keluar nanti.

Saat Mingyu akan mundur tetiba saja hantaman keras mampir dari sisi belakangnya. Pintu mobil sebuah Porsche abu-abu menghantam punggung Mingyu sehingga membuatnya berjingkat beberapa langkah.

Seorang pria dengan kulit putih, memiliki mata sipit keluar dari kursi bagian mengemudi menatap mata Mingyu tajam. "Awas, catnya!" Katanya memeringati.

Mingyu tersentak beberapa saat.

"Soonyoung, ayo!" Laki-laki yang baru saja keluar dari Porsche barusan menilik Mingyu lalu bergegas menghampiri asal suara.

Mingyu memutar mata malas. Apa seseorang yang mengendarai Porsche ke sekolah dapat memperlakukan orang lain—yang hanya mengendarai sepeda—dengan semena-mena? Mingyu tidak habis pikir.

"Kawan, bagaimana lukamu?" Itu Seokmin, menyapa Mingyu ketika mendapati sahabatnya itu di tempat parkir.

Tadi malam, saat pulang ke rumah Mingyu langsung mengirimkan pesan teks pada Seokmin. Merengek pada sahabatnya karena telah meninggalkan Mingyu seorang diri di hutan saat malam hari, mengeluh betapa lelah badannya dan luka yang ia dera.

Mingyu menyibak kaus di balik jaket yang ia kenakan. Memperlihatkan bagian pinggul yang sudah ditempeli tiga lapis kapas untuk lukanya.

"Astaga itu luka yang besar." Komentar Seokmin saat akan menyentuh luka itu namun tangannya lebih dulu Mingyu tepis.

Mingyu bergegas menutup lukanya. Ia mengambil tas sekolah dan tongkat lacrossenya dari sepeda.

"Cukup gelap tapi aku yakin yang menyerangku itu serigala." Adu Mingyu sambil berjalan lalu. Menyusuri koridor untuk memasuki gedung kampus menuju kelas mereka.

Seokmin mengikuti langkah Mingyu, kemudian mereka melangkah beringingan. "Kau digigit serigala? Tidak mungkin."

Mingyu membela diri. "Aku mendengar lolongannya."

"No you didn't."

"Seokmin aku tahu benar apa yang aku alami, kau tidak ada di sana jadi kau tidak tahu sama sekali."

Seokmin berjalan mendahului Mingyu dan berhenti tepat di depannya untuk menatap lawan bicaranya yang keras kepala itu. "Dengar, aku tahu kau menganggapku tidak waras. Tapi, hell no! Tidak ada serigala di California selama 60 tahun terakhir, kecuali kau tidak sengaja terhisap ke semacam distorsi waktu dan berhasil pulang dengan selamat."

Mingyu mengerutkan alisnya. "Tidak ada?"

"Tidak ada serigala di California." Seokmin memperjelas kalimatnya.

Mingyu ikut berhenti lalu berpikir sejenak. "Ya baiklah kalau kau tidak percaya."

"Ya aku tidak percaya."

"Tapi kau pasti akan histeris karena aku telah menemukan jasadnya." Ucap Mingyu santai.

"Apa kau bercanda?" Seokmin berteriak heboh, menangkup wajah kawannya. Tasnya ia biarkan menjuntai di tangannya yang lain.

Mingyu menghela napas. "Aku tidak bercanda, sepertinya aku akan mimpi buruk selama sebulan ini."

Seokmin berdecak kagum atas keberhasilan misi mereka yang telah dipecahkan oleh kawannya.

"Wow itu sangat keren. Aku bangga padamu kawan. Ini pencapaian kita yang paling menakjubkan di kota ini sejak, Lee Jihoon lahir—eyyy, hai Jihooonie!" Sergahnya tepat ketika Jihoon melewati mereka.

"Kau tampak, mengabaikanku.." Seokmin menggigit pipi bagian dalamnya.

Seokmin diabaikan seperti biasa oleh Jihoon tentu saja.

Jihoon segera memasuki gedung dan tidak menghiraukan sapaan barusan yang ia anggap sebagai angin lalu.

Seokmin memutar matanya dan berakhir dengan tatapan menghakimi yang ditujukan pada kawannya. "Kau penyebab semua ini asal kau tahu! Kau mengajakku ke dalam gua kutu bukumu sehingga aku berakhir di dalam sana. Aku kutu buku karena pergaulan."

"Kau membuatku menjadi kutu buku."

Mingyu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Membiarkan Seokmin menyalahkan dirinya atas nasib sial yang menimpanya. Mereka sudah bersama sejak tiga setengah tahun silam. Sejak kelas satu SMP. Walau sebenarnya Seokmin telah diabaikan oleh Jihoon sejak lama bahkan sebelum ia mengenal Mingyu.

.

.

Di dalam kelas, guru mereka sedang menerangkan. Menuliskan beberapa kalimat di papan tulis kapur lalu membahas kejadian semalam yang tidak diduga murid-murid sama sekali.

Setelah menyelesaikan satu kalimat terakhir ia berkata. "Seperti yang kalian tahu, ada jasad yang ditemukan kemarin malam di hutan. Aku yakin otak penasaran kalian sudah membayangkan beragam kejadian mengerikan seperti pembantaian atau adegan tembak-menembak." Meskipun sebagian besar dari murid-murid itu lebih memilih tenggelam dalam urusan mereka.

Beberapa siswi memoles bibir mereka dengan lipstik, beberapa siswa sibuk bermain game di smartphone dan sisanya membaringkan kepala mereka di atas meja. "Tapi aku disini untuk mengatakan bahwa polisi telah menangkap seorang tersangka jadi, artinya kalian bisa benar-benar berfokus pada silabus di meja kalian yang akan menjelaskan semester kali ini." Katanya seraya meletakkan tumpukkan kertas di atas meja kerjanya.

Siswa-siswa mengeluh sementara Seokmin hanya menjilat bibirnya kemudian menyiapkan alat tulis, lalu Mingyu yang berjarak di samping kanan satu meja di depan Seokmin mendecak malas. Seokmin dari awal sudah rajin, Mingyu hanya ia jadikan sebagai kambing hitam. Tidak mungkin seorang pemalas bisa membuat orang lain menjadi kutu buku.

Mingyu tersentak kaget karena suara dering ponsel menusuk pendengarannya. Padahal peraturan ketika jam pelajaran seluruh murid dilarang mengaktifkan ponsel. Atau paling tidak ponsel diatur agar menjadi sunyi sedemikian rupa.

Mingyu mengarahkan obsidiannya ke seluruh penjuru kelas. Murid-murid lain tidak ada yang merasa terganggu seperti dirinya. Mereka disibukkan oleh tugas silabus yang diberikan guru mereka. Mingyu mencari asal suara tetapi matanya malah menuju pemuda di halaman sekolahnya dari balik jendela.

"Bu, tiga panggilan di hari pertama aku pindah itu berlebihan." Kata pemuda tersebut.

Padahal jaraknya dari kelas Mingyu terpaut jauh tetapi entah kenapa Mingyu dapat mendengar percakapan pemuda itu dan ponselnya. Mingyu hanya menanyakan kerasionalan dirinya di samping ia juga mencerna kalimat pemuda tersebut. Pemuda itu sedang duduk di bangku halaman dan merogoh isi tasnya.

"Semuanya kecuali pulpen, oh jangan bilang aku tidak bawa pulpen." Kata pemuda itu lagi.

Mingyu menajamkan pendengaran dan penglihatannya, pemuda itu terlihat risau dan khawatir.

"Ah sudah dulu bu, aku harus pergi." Katanya terakhir kali. Ia terlihat memasukkan ponselnya ke dalam kantung jeans-nya.

Lalu seorang guru menghampiri pemuda itu. "Maaf membuatmu menunggu lama." Ia memandu pemuda tadi untuk menyusuri koridor dan memasuki gedung.

Mereka berjalan diiringi beberapa percakapan. Bahwa pemuda tersebut pernah tinggal di San Francisco selama setahun dan tidak dibesarkan di sana. Mingyu tidak dapat melihat mereka lagi karena terhalangi bangunan, tapi ia dapat merasakan bahwa suara itu terus mendekat. Lalu guru tadi melontarkan kalimat-kalimat harapan agar pemuda itu dapat betah di Beacon Hills sebagai tempat persinggahannya.

Pintu terbuka dan guru itu masuk lebih dahulu sementara pemuda tadi berjalan mengikuti di belakangnya. Mereka berhenti di depan kelas. "Murid-murid kita mendapat siswa baru, Jeon Wonwoo. Tolong lakukan yang terbaik untuk membuatnya betah."

Mingyu berpikir kalau pemuda itu adalah laki-laki termanis kedua setelah Jihoon. Jika Seokmin menyukai Jihoon karena perawakannya yang imut, maka Mingyu menganggap Wonwoo adalah laki-laki tinggi dengan manis menyerupai Jihoon. Jika Mingyu tidak berdelusi parah akibat luka yang ia dera atau asmanya yang kambuh kemarin, Mingyu menyatakan kalau ia tertarik kepada Jeon Wonwoo pada pandangan pertama. Segala keintiman submissive ada pada pemuda itu. Kulit putih dan tubuh ramping yang tinggi, dan sejak kapan seorang pria memiliki lekuk di pinggangnya? Ia tidak begitu yakin efek apa yang akan ditimbulkan gelap jika sosok pertama yang ia lihat adalah seseorang seperti Wonwoo.

Kemudian Wonwoo berjalan di samping Mingyu menuju bangku kosong di belakangnya. Mingyu tidak menimbang-nimbang barang persekonpun untuk menawarkan satu-satunya pulpen yang ia punya kepada Wonwoo dengan wajah ramah yang menyenangkan. Wonwoo menerimanya kemudian tersenyum lepas.

Wonwoo memamerkan hidung bangirnya yang mengkerut kala ia tersenyum. "Terima kasih." Itu adalah suara berat paling manis yang pernah Mingyu dengar.

Setelahnya Mingyu memutar badannya kembali untuk menghadap ke depan, melewatkan ekspresi heran Wonwoo yang dilayangkan padanya.

Mingyu senang, ia tidak memilih kelas yang salah.

.

.

Bel berbunyi tanda jam selesainya kelas tiba. Mingyu berjalan menuju lokernya menemukan Wonwoo tidak jauh di belakangnya. Ia menatap Wonwoo beberapa meter di seberang lokernya sedang melakukan hal yang sama. Wonwoo menyadari perilaku Mingyu yang menatap ke arah dirinya. Ia tersenyum pada Mingyu yang masih berusaha mencerna ekspresi Wonwoo yang ditujukan padanya.

"Jaketmu keren, beli di mana?" Tiba-tiba saja Jihoon menghampiri Wonwoo, menyapanya sambil bersidekap.

Wonwoo terlihat mengernyitkan dahi menatap heran pada Jihoon. Sejak kapan seorang pria mempedulikan fashion? Yha kecuali jika pria itu, umm, agak belok. "Ibuku membelikannya di suatu butik saat di San Fransisco dulu."

Jihoon kedapatan terpana kemudian tersenyum lebar. "Kalau begitu kau adalah sahabatku yang baru. Selamat datang di organisasi LGBT sekolah kita."

Tiba-tiba saja Soonyoung datang dan memeluk pinggang Jihoon. Wonwoo tersentak agak mundur dan hampir terbatuk.

"A-Apa aku terlihat gay? Karena aku tidak..."

Jihoon tidak memedulikan racauan Wonwoo ia malah menerima pelukan pacarnya. "Hai Soonyoung." Kemudian mereka berpelukan dan berciuman di hadapan Wonwoo.

Mingyu agak kecewa sebenarnya mendengar pernyataan Wonwoo. Ia bersender pada lokernya tanpa memerhatikan sekitar. Ia hanya terfokus pada percakapan Wonwoo dan Jihoon, serta Soonyoung jika ia memang ikut berbicara.

"Murid baru itu baru 5 menit di sini dan sudah bergaul bersama geng populernya Jihoon?" Kata Yuju di samping Mingyu.

Mingyu menggendikkan bahunya cuek. "Cause his hot."

Seokmin kedapatan Mingyu yang terlihat melamun memerhatikan tiga sosok yang sedang ia anggap sebagai pusat perhatian saat ini. Yang membuatnya terheran adalah sejak kapan Mingyu menganggap seseorang—yang bergender pria(atau sama dengannya)—dengan sebutan seksi? Mingyu sudah tidak waras atau dia ikut-ikutan belok seperti Seokmin dan organisasi populer di kampusnya itu?

"Yah orang-orang menarik biasanya selalu berkumpul. Bahkan aku yang sudah terdaftar di organisasinya saja tidak pernah dapat bicara dengan Jihoon." Gerutu Seokmin yang entah sejak kapan sudah berada di samping Mingyu.

"Yuju menyapamu lagi, nasib baik menghampirimu jika kau melupakan Jihoon."

"Kau salah."

"Sepasang sahabat berbeda gender tidak mungkin salah satunya tidak menyimpan perasaan lebih." Ucap Mingyu asal. Sementara Yuju yang berjarak dua loker dari mereka tidak mendengar percakapan barusan.

"Itu hanya pemikiran sempit beberapa orang bung." Kata Seokmin berusaha menyanggah pendapat Mingyu.

Contohnya Seokmin. Seokmin bersahabat dengan Yuju tetapi karena perbedaan orientasi Seokmin tidak tertarik dengannya, dan tidak ada faktor tepat yang mendukung bahwa Yuju tertarik pada Seokmin.

Yuju Ikut terheran kenapa Wonwoo bisa akrab secepat itu menembus dinding tebal bernuansa glamour di sekeliling Jihoon. Jihoon memiliki banyak teman pria. Dia juga cukup ramah pada perempuan. Semua wanita menyukainya karena ia manis dan lembut, bahkan banyak yang berlomba-lomba untuk menarik perhatian pemuda bersurai pink cotton candy tersebut. Tetapi Jihoon memiliki auranya sendiri. Mengingat ia adalah ketua organisasi LGBT di kampus serta banyak sekali orang-orang yang menggilainya, jadi jangan heran jika sulit sekali agar dapat melangkah beringingan dengannya. Yuju dan Seokmin berdebat mengenai perspektif mereka akan Jihoon, sementara Mingyu kembali memfokuskan dirinya pada Wonwoo.

"Jadi, pekan ini akan ada pesta dan kau harus join." Ajak Jihoon antusias, berharap banyak bahwa sahabat barunya dapat meluangkan waktu bersama untuk mengenal lebih baik.

"Ya, bergabunglah! Jum'at malam." Tambah Soonyoung.

"Pesta? Ah aku tidak yakin. Aku tidak sebelok yang kau kira." Jawab Wonwoo sedikit meringis. Mengingat pesta ini diadakan oleh Jihoon dan organisasinya tanpa mengetahui dalam rangka apa—pesta tersebut diadakan—di baliknya.

Jihoon tersenyum kembali membujuk Wonwoo. "Tidak ada yang peduli, semua orang datang tenang saja. Ini bukan pesta lgbt besar-besaran pasangan normal pasti banyak yang ikut."

Tawarannya terdengar meyakinkan. Wonwoo cukup tergiur tentu saja. Siapa yang tidak suka pesta? Lagipula Jihoonlah yang mengajaknya pertama kali. Semua orang suka Jihoon di samping sikap tempramennya.

Sejak kepindahannya pagi tadi Wonwoo beberapa kali bersinggungan dengan Jihoon. Ia satu kelas di pelajaran amerika latin dan beberapa kelas lainnya. Beberapa kali satu kelompok menghadapi bermacam-macam project.

Wonwoo menganggap Jihoon adalah remaja yang baik dan ramah kepadanya.

"Firasatku mengatakan kalau aku tidak bisa ikut, masih banyak urusan di rumah karena kepindahan kami. Lagipula akhir pekan adalah waktu untuk berkumpul keluarga. Terima kasih sudah mengundangku." Sanggah Wonwoo.

Jihoon mengeluarkan suara yang teramat imut. "Aw, kau manis sekali."

Mingyu tersenyum mengetahui interaksi kecil itu. Menyadari sikap Wonwoo yang peduli terhadap keluarganya dan menyempatkan waktu di akhir pekan untuk berkumpul. Ia juga bertanggung jawab mengenai urusan rumah.

Soonyoung buka suara mendengar sanggahan Wonwoo barusan. "Semuanya pasti datang karena ini adalah pesta setelah pertandingan."

"Maksudmu baseball?"

Soonyoung spontan cekikikan akibat kalimat Wonwoo. Jihoon mengerling tidak suka memukul dada Soonyoung.

"Baseball hanyalah lelucon di Beacon Hills. Di sini kami memainkan lacrosse. Menang tiga kali berturut-turut kejuaraan nasional." Soonyoung berkata seraya memamerkan pencapaian klubnya tersebut.

"Berkat sang kapten tentu saja." Sela Jihoon di tengah-tengah percakapan mereka. Mendelik ke arah Soonyoung lalu mereka tertawa bersama. Soonyounglah kapten tim lacrosse.

"Kami akan latihan beberapa menit lagi, jika kau tidak keberatan menonton?" Tawar Soonyoung.

Jihoon memeluk Soonyoung menatap penuh harap pada Wonwoo supaya ia menemani Jihoon menonton latihan tersebut.

"Kau harus ikut." Kata Jihoon.

Wonwoo harus memerangi batinnya untuk menolak permintaan Jihoon. Jihoon terlalu baik untuk ditolak permintaannya. Dan wajah manisnya mendukung segala hasrat yang dimiliki Jihoon agar dapat dipenuhi saat itu juga.

"Sebenarnya, aku mau sekali ikut..."

"Sempurna, kau ikut." Lalu Jihoon menarik tangan Wonwoo menuju lapangan.

Sebelum pergi meninggalkan ruangan itu Wonwoo melirik sekilas pada Mingyu.

.

.

"Aku tidak percaya kau mengkhianati sahabatmu sendiri Kim Mingyu. Lee Seokmin yang bertahun-tahun ini setia duduk di bangku cadangan bersamamu kau tinggalkan begitu saja?" Bukannya terharu biru berkat pencapaian Mingyu Seokmin justru menentangnya habis-habisan.

Seokmin juga bergabung bersama tim lacrosse. Mingyu dan Seokmin sudah seperti saudara tidak terpisahkan sejak empat tahun lalu—atau saat kelas satu SMP—mereka berdua sudah menekuni klub yang sama yaitu lacrosse.

Seokmin mungkin bisa berlari cepat dan Mingyu memiliki tubuh yang bagus. Tetapi keduanya kurang secara passion dan skill menjalani olahraga tersebut.

"Kalau kau terjun ke pertandingan, bermain berquarter-quarter lamanya dengan siapa nanti aku mengobrol di bangku cadangan?" Isaknya lagi. "Apa kau yakin akan melakukan ini kepada sahabatmu?"

Mingyu menangkis Seokmin dengan napas memburu. "Aku tidak bisa selama hidupku menjadi cadangan saja, selama bersamamu aku sangat payah. Lihat Soonyoung! Sejak smp dia sudah menjadi pemain inti dan ia sudah bertahun-tahun menjadi kapten. Tim ini butuh regenerasi."

Soonyoung sangat jago bermain lacrosse tentu saja. Ia memiliki tubuh yang lebih ringan dibandingkan Seokmin meski tinggi mereka sama. Mungkin paha tebal milik Seokmin bagus(paha Soonyoung bagus dan tebal juga ngomong-ngomong), tetapi bisep di tangan Soonyoung lebih dibutuhkan saat memainkan tongkat lacrosse untuk mencetak gol nanti.

"I'm gonna make the first line." Ucap Mingyu mantap.

Sementara Seokmin menuju bangku cadangan Mingyu mematung tidak sengaja menatap ke arah bangku penonton dan melihat Wonwoo beserta Jihoon yang baru saja datang. Jihoon memandu Wonwoo untuk mengikutinya ke arah bangku nomor dua lalu mereka duduk bersama. Wonwoo tersenyum memandang Mingyu memamerkan rahangnya yang tegas. Mingyu agak tersekat dan ia mengusahakan bibirnya tersenyum semampu yang ia bisa. Wonwoo tersenyum untuknya.

"Mingyu!" Mingyu tersentak saat Choi Siwon, pelatih tim lacrosse berteriak padanya. "Kau yang menjaga gawang." Katanya seraya melemparkan tongkat jaring yang lebih lebar—berfungsi untuk menangkap bola—padanya.

"Tapi aku belum pernah bermain sebagai penjaga gawang." Kata Mingyu.

"Aku tahu, mencetak gol akan meningkatkan kepercayaan diri pemain." —atau lebih tepatnya, kau payah dalam bermain Kim Mingyu! "Semacam tradisi pada awal masuk sekolah. Semangati mereka! Buat anggota-anggota baru kita bergairah!" Siwon berkata meletus-letus.

Kalau ia harus memotivasi para pemain, lalu siapa yang akan memotivasi Mingyu? Bahkan ia tidak bermain dan hanya dibiarkan menjaga gawang. "Lalu bagaimana denganku?"

"Jangan biarkan wajahmu terkena bola." Siwon menepuk pipi Mingyu lalu menghampiri para pemain. "Ayo! Kita mulai latihannya!"

Mingyu mengenakan helm lalu berjalan menuju gawang. Ia melakukan pemanasan ringan pada bahu—bagian yang paling ia banggakan—untuk melemaskan otot-ototnya.

"Siapa itu?" Tanya Wonwoo pada Jihoon.

Jihoon melirik arah pandang Wonwoo dan melihat si penjaga gawang. "Dia? Entahlah."

Mingyu mendengarnya. Ia mengalihkan pandangannya pada asal suara tadi. Berasal dari tempat Wonwoo dan Jihoon. Mingyu memiringkan kepalanya menangkap suara yang terdengar samar-samar itu.

"Kenapa?" Tanya Jihoon.

Wonwoo menggedikkan bahunya. "Tidak apa-apa. Aku sekelas dengannya di pelajaran bahasa Inggris." Jawab Wonwoo menggeleng diiringi dengan senyuman.

Suara peluit mengembara menaungi udara. Mingyu sedang fokus mendengar percakapan di seberang menyebabkan nyaring nada peluit menusuk pendengarannya. Suara itu berdengung-dengung nyaring mengalun sehingga Mingyu tidak dapat fokus dan itu menyakiti kepalanya sehingga membuatnya pusing. Kedua tangannya ia tangkupkan Mingyu tidak dapat mengontrol dirinya karena kesakitan.

Dug!

Sebuah bola menghantam wajahnya—yang untungnya masih ada helm full wajah di sana—sehingga ia terjatuh. Mingyu terjungkal dan syukurlah jaring gawang menahan tubuhnya.

"Kim Mingyu, kau pandai menghindari bola." Kata seorang pemain.

Siwon tertawa di samping para anggota tidak menyangka permainan Mingyu lebih buruk dari yang ia kira.

Mingyu menatap pada sekitar dan berakhir pada Seokmin yang menontonnya dari bangku cadangan. Seokmin terlihat lebih kesakitan daripada Mingyu—ia lebih merasakan bagaimana Mingyu dipermalukan di tengah lapangan sana—dan memutar kepalanya cemas. Mingyu tersenyum merasakan ide menghampiri manis kepalanya. Tubuhnya lebih fit pagi ini. Kenapa ia tidak bisa hanya menangkap bola padahal menangkap suara Wonwoo dari seberang saja ia bisa?

Mingyu berdiri menantang menghadap para pemain yang sudah berbaris rapi mengantri tuk memasukkan bola ke gawang.

Hup!

Bola kedua berhasil ia tangkap dengan mulus. Bahkan Mingyu tidak perlu menggerakkan tongkatnya—atau bola itu memang sengaja diarahkan pada jaringnya?—maupun mempersiapkan kuda-kuda yang bagus.

Seokmin tercekat melihat aksi itu. "Yeah!" Teriaknya sambil mengangkat kedua tangannya. Sementara Siwon kebingungan dengan apa yang terjadi atas perubahan Mingyu saat ini.

Bola ketiga, keempat dan kelima berhasil Mingyu tangkap. Ia merasa hanya perlu menggerakkan tongkatnya dengan tenaga minimalis yang dialirkan bahu pada tangannya.

Seokmin tiada hentinya menyoraki Mingyu dari bangku cadangan.

"Wow dia pandai bermain." Puji Wonwoo.

"Ya, dia sangat pandai." Jihoon meneruskan, ikut tertarik dengan permainan Mingyu.

Mingyu melompat-lompat kegirangan menikmati permainan dan bola-bola yang berhasil ia tangkap.

Soonyoung dari barisan belakang maju ke depan untuk memasukkan bola. Merasa direndahkan akibat permainan anggotanya tidak dapat menembus gawang yang dijaga Mingyu.

Mingyu agak gentar ketika kapten tim lacrosse itu memandang culas akan dirinya. Ia bersiap mati saja daripada berhadapan dengan anggota inti organisasi populer di kampusnya itu.

"Astaga." Mingyu mengeluh.

Soonyoung berlari dan melemparkan bola dari tongkat jaringnya dengan sekuat tenaga, sebelum bola terpental semuanya terjadi seperti slow motion. Mingyu masih dapat memahami keadaan sekitar. Siwon terpanah menatap aksi anggota kebanggaannya yang sudah menjabat sebagai kapten selama tiga tahun berturut-turut itu. Wonwoo di bangku penonton juga tidak sabar melihat aksi Soonyoung juga Mingyu. Lalu Seokmin terfokus pada bola yang akan dilemparkan oleh Soonyoung, takut bilamana usaha Mingyu sedari tadi dapat dihancurkan oleh satu gol saja.

Tap! Mingyu berhasil menangkap bola yang dilemparkan Soonyoung. Seokmin terbangun dari bangku cadangan dan bersorak histeris bangga akan konklusi keberhasilan Mingyu menjatuhkan nama baik kapten tim mereka. "Itu Mingyu! Dia temanku! Dia sahabat terbaikku!"

Mingyu menatap jaringnya tidak percaya. Ia mendapatkan bola Soonyoung. Anggota bernomor punggung 4 pemain nomor satu di tim laccrose sekolahnya.

Tepuk tangan riuh dari bangku penonton ditujukan untuknya. Wonwoo tersenyum menepuk tangannya bahkan Jihoon sampai bangkit dari tempat duduknya membuat Soonyoung menatapnya tidak percaya.

Mingyu menghadap belakang ke arah jaring gawang lalu berakrobat kecil melemparkan bola dari tongkat jaring kepada wasit melalui punggungnya.

Mingyu melemparkan senyum penuh kemenangan menatap bangku penonton dan memenjarakan Wonwoo dalam kontak visinya. Terkekeh kecil saat melihat reaksi Wonwoo yang menggulirkan senyum hangat tersentak akan Mingyu karena pada akhirnya, Mingyu membalas senyum Wonwoo.

.

.

.

"Semuanya berjalan dengan sangat mulus dan rasanya seperti slow motion." Papar Mingyu mengenai latihan lacrosse siang tadi.

Mereka berdua menuju hutan kembali setelah kegagalan mereka malam tadi. Hanya Mingyu saja yang menemukan mayat artinya misi mereka belum acih.

"Aku juga dapat mendengar suara dari kejauhan dan aku dapat mencium aroma-aroma tertentu." Lanjutnya lagi.

"Aroma? Seperti apa?" Delik Seokmin tak percaya akan kenyataan bahwa sahabatnya telah menjadi manusia super dalam semalam saja.

Mingyu tampak mendesah, berpikir sejenak. "Seperti, permen karet mint mojitto di saku jaketmu." Jawab Mingyu lugas.

Seokmin mengerutkan alisnya keheranan. "Aku tidak menyimpan permen karet mint mojitto di sa,ku-ku..." Ucapannya terhenti saat tangannya yang merogoh saku jaketnya ternyata mendapatkan satu buah permen karet mint mojitto masih dalam keadaan terbungkus rapi.

Mingyu beberapa meter di hadapannya menggedikkan bahu dan membentangkan tangannya lebar-lebar tanda tidak tahu.

Seokmin memasukkan permen karet itu lagi dan menyusul Mingyu.

"Karena semua ini berawal dari gigitan." Koreksi Seokmin.

"Mungkin saja aku mengalami infeksi, adrenalin mengalir ke seluruh tubuhku sebelum aku kejang-kejang. Bagaimana?"

"Aku sudah pernah dengar ini semacam jenis infeksi." Kata Seokmin serius.

Mingyu terkesiap mendengarkan dan menatapnya awas. "Kau serius?"

Seokmin menyanggah kedua kepalannya di pinggang. "Ya, namanya lycanthropy."

"Apa itu bahaya?"

"Sebulan sekali saat purnama."

Mingyu terdiam untuk berpikir.

Dia mendorong Seokmin keras-keras sehingga menyebabkan sahabatnya terjingkat-jingkat karena terkejut.

Mungkin Seokmin saja di sini yang merasa leluconnya lucu. Ia menyamakan Mingyu dengan sikap natural werewolf di film-film.

"Kaulah yang pertama menyinggung tentang serigala dan lolongan." Seokmin menginjak akar dan berjalan mengikuti Mingyu di belakang. Membentangkan kedua tangannya menjaga keseimbangan.

"Bisakah kau berpikir serius?" Mingyu gusar akan konklusi tersebut dan terlihat panik.

"Aku tahu itu, kau adalah werewolf. Argghhhhhh!" Candanya lagi.

Mingyu hanya menatap jengkel kawannya memilih membungkuk dan mengabaikan. "Kemarin mayatnya ada di sini. Rusa-rusa itu datang dari sana kemudian aku menjatuhkan inhalerku."

Seokmin kembali menyanggah kedua kepalannya pada masing-masing pinggangnya. "Mungkin pembunuhnya sudah memindahkan jasad itu." Simpulnya atas analisis dadakannya barusan. Tidak dapat disebut hipotesis karena menjijikan, tidak ilmiah sama sekali dan berdasarkan asumsi.

"Aku harap dia tidak mengambil inhalerku. Harganya $80." Kata Mingyu berargumentatif dengan dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja Seokmin memukul punggungnya memaksa Mingyu menghentikan aktivitas menggali tanah dan menyuruhnya berdiri.

Mingyu melirik ke belakang dan menemukan seorang pria dengan hidung mancung dan kulit sawo matang—wajahnya mirip sekali dengan selebriti—mengenakan jaket kulit hitam menatap tidak suka pada mereka. Pria itu berjalan menghampiri Mingyu dan Seokmin dengan terburu-buru.

Mingyu dan Seokmin seketika menegang. Walau bagaimanapun, meski tubuh Mingyu besar tetapi ia mudah dicecar.

"Apa yang kalian lakukan di sini? Ini lahan pribadi." Kata pria itu sesampainya di hadapan mereka.

"Maaf kami tidak tahu." Kata Seokmin cemas.

"Kami hanya sedang mencari sesuatu, tetapi sekarang, aku tidak..." Mingyu menggaruk tengkuknya risau. Ia tidak bisa kehilangan inhaler itu. Ibunya akan marah karena asma Mingyu sering kali kambuh. "Lupakan saja." Sergahnya.

Pria itu melemparkan sebuah benda dan Mingyu menangkapnya dengan benar. Sebuah inhaler.

Pria itu berbalik dan lekas meninggalkan mereka berdua.

"Baiklah ayo kita kembali, aku harus bekerja." Kata Mingyu setelah mendapatkan kembali inhalernya.

Seokmin memandang Mingyu heboh. "Kau tidak tahu siapa dia? Itu Wen Junhue! Kau ingat dia bukan? Dia hanya setahun lebih tua dari kita namun tiba-tiba saja dia berhenti sekolah."

"Ingat apa?"

"Keluarga besarnya imigrasi dari cina ke sini, lalu semuanya habis dilalap api menyisakan ia seorang diri." Seokmin kedapatan panik dan terlihat berduka. Menghentikan sejenak kalimatnya lalu membuat tanda salib.

"Untuk apa dia di sini?" Tanya Mingyu.

Seokmin hanya menghela napas. "Ayo kita kembali."

.

.

.

Mingyu baru saja memasang tanda tutup di pintu klinik hewan tempatnya magang. Ia mengambil cairan antiseptik, alkohol dan kapas untuk membersihkan lukanya kemarin.

Sesampai di westafel Mingyu meletakkan benda-benda tadi di atas meja di sebelahnya lalu menyibakkan bajunya memperlihatkan pinggulnya di cermin. Ia melepas kapas-kapas itu dan keheranan setelahnya.

Lukanya, hilang? Bahkan tidak meninggalkan bekas. Mingyu menatap cermin dan pinggulnya bergantian. Baik pinggulnya maupun refleksi dari pinggul itu sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia pernah terluka di sana sama sekali.

Saat akan memindahkan karung ke bangsal kucing Mingyu terheran akibat kucing-kucing yang ribut setelah ia masuk. Kucing-kucing itu menggeram seakan tidak suka dan terganggu atas kehadiran Mingyu.

Mingyu segera meletakkan karung berisi makanan kucing itu dengan asal lalu beranjak keluar. Tepat setelah keluar dari ruangan itu ia tahu kucing-kucing menjadi tenang kembali. Apa yang salah dengannya?

Suara ketukan kacau berasal dari pintu masuk klinik membuat Mingyu waspada. Pasalnya sekarang sedang hujan dan sudah malam hari. Terdengar dari irama tidak teratur dan suara degup jantung yang kencang serta napas yang memburu, Mingyu asumsikan seseorang itu sedang panik dan butuh bantuannya.

.

.

Mingyu membuka pintu kliniknya dan seorang pemuda, murid baru di kelas bahasa inggrisnya atau Jeon Wonwoo terlihat panik memandang ke arahnya menggantungkan banyak harapan.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi itu sangat cepat dan aku hanya sedang mengganti lagu di ipodku selama dua detik lalu anjing itu datang entah dari mana dan melompat.." Isaknya tiada henti. "Kau harus memanggil polisi bagian atau anjing itu bertindak lebih jauh jika ia melukaiku..." Wonwoo terlihat basah kuyup di balik sweater kuning yang ia kenakan, kacamata bulat besarnya berembun sepertinya ia terlalu panik untuk memedulikan itu. Tangannya sibuk digunakan untuk mengusak poni di dahinya, dan sejak kapan dahi bisa terlihat begitu menawan?

"Tenang saja, tenang saja, tenang saja. Kau ingat tempat kejadiannya?" Ucap Mingyu menenangkan Wonwoo dengan meraih tangannya—karena jika ia terus menampakkan dahinya itu Mingyu bersumpah ia bisa gila.

"Y-Ya dia masuk ke dalam mobilku sekarang dia ada di bagasi." Wonwoo menarik lengan Mingyu heboh Mingyu hanya menerimanya pasrah.

Sebuah mobil diparkirkan tidak jauh dari kliniknya. Mingyu dapat ketahui mesinnya masih menyala dan Wonwoo terlihat terlalu takut untuk mendekat. Tetapi akhirnya Wonwoo memberanikan diri untuk membuka bagasi.

"Nguak!" Seekor anjing menyalak berkali-kali.

"UWAHHH!" Wonwoo ketakutan sampai melompat.

Mingyu dengan lekas menangkapnya. Sebelum ia terpleset karena aspalnya baru belum lagi sekarang sedang hujan yang menjadikan faktor jalanan di sana lebih licin lagi.

Mingyu menatap mata Wonwoo dan tersenyum menenangkan. Wonwoo berdiri tegak dan mundur beberapa langkah menjauh dari anjing tersebut.

"Tenang saja, dia hanya sedang ketakutan." Kata Mingyu menjelaskan.

"Aku ketakutan." Sela Wonwoo saat Mingyu akan mendekati anjing itu.

Mingyu tersenyum lagi kemudian menepuk bahu Wonwoo. "Ada aku di sini." Ucapnya menenangkan.

.

.

"Sepertinya kakinya patah. Aku beberapa kali melihat dokter di sini membebatkan kayu dan perban, aku bisa melakukannya." Kata Mingyu menerangkan. Anjing besar itu sudah dibaringkan di atas meja dan ia terlihat lebih nyaman.

Wonwoo di belakangnya terlihat tidak fokus. Ia terus memeluk tubuhnya yang kedinginan, serta sweater yang basah menjadi beban tersendiri untuk tubuhnya.

"Aku ada kaus di tas jika kau mau." Mingyu menawarkan.

Wonwoo terperanjat dan merasa tidak enak. "Tidak usah, aku tidak ingin merepotkanmu."

Mingyu memutar kursinya dan meraih kaus di tas. "Aku memaksa!" Lalu menyodorkannya tepat pada Wonwoo.

Wonwoo menerimanya mau tidak mau.

Yang tidak Mingyu sangka-sangka adalah Wonwoo begitu saja membuka sweater kuning itu di hadapannya. Ia memeras sweater itu tepat di depan Mingyu. Mingyu tidak salah sudah menduga bahwa Wonwoo adalah pria tinggi paling manis kedua setelah Jihoon yang pernah ia lihat semasa hidupnya.

Daya tarik masa muda dan kehasratan duniawi berada pada satu sosok yang mengembani segala ketertarikan semua orang pria. Mingyu juga benar menduga di balik jaket yang ia kenakan di sekolah tadi Wonwoo memiliki lekuk pinggang yang indah layaknya seorang perempuan.

Kulit pasi dan tubuh ramping tidak terlalu berisi adalah kesalahan mengapa seorang pria diciptakan begitu menawan sehingga Mingyu melupakan caranya berpikir lurus. Yang menjadi tangga dari akal rasionalnya menuju keinginan primitif dalam dirinya adalah perspektif Mingyu mengenai apa yang ada di balik celana jeans yang dikenakan Wonwoo.

"Terimakasih banyak. Aku payah sekali tadi menjerit ketakutan seperti seorang wanita." Kata Wonwoo kini di sebelah Mingyu.

"Kau memang seorang wanita." Tuding Mingyu.

Wonwoo mengerling tidak suka.. "Aku bukan wanita."

"Menurut pandanganku."

Bibir Wonwoo terangkat setengah tidak memercayai perkataan Mingyu. Mata tajamnya menghakimi bagaimana Mingyu menganggap dirinya.

"Apa aku terlihat sereguler itu? Maksudku, aku tahu kau pria kekar di lapangan dengan tubuh tinggi-menjulang dan otot punggung perkasa—oh lihat kausmu jauh kebesaran di tubuhku—juga menarik perhatian semua orang bahkan sebelum bermain." Menarik napas. "Tetapi bukan berarti aku kalah dominan darimu." Katanya membela diri.

"Setidaknya aku tidak takut pada anjing." Kini Mingyu yang menghakimi Wonwoo.

Wajah Wonwoo memerah dan ia menerima kekalahannya.

"Tetapi kalau aku jadi kau aku juga akan panik sedang mengendarai mobil dan anjing gila mendatangiku menyalak padaku. Aku mungkin akan menangis, aku bukan pria maco yang dipikirkan orang-orang (bukan berarti aku tercengeng di dunia), aku adalah pria yang lemah lembut." Terang Mingyu panjang lebar.

"Berarti aku sudah bukan wanita di matamu?"

"Semacam, lelaki manis yang sebenarnya kuat. Hanya saja ada yang menutupi semua itu."

"Kau pasti berpikir, aku neko begitu?"

"Apa itu? Neko?"

"Ada maksud erotis di baliknya. Orang Jepang biasanya menggunakan kata itu untuk pria di bawah."

Mingyu tersedak hampir menyemburkan ludahnya. Mereka baru saja berlomba-lomba saling merebutkan posisi dominan dan kini Wonwoo mengakui dirinya—pria di bawah?

Wonwoo terbahak menepuk-nepuk bahu Mingyu. "Wow keras." Sedikit terperanjat karena tidak sengaja menyentuh otot Mingyu di balik kausnya.

"Aku hanya berpikir, kau sangat putih berbanding terbalik denganku." Kata Mingyu memecah keheningan.

Wonwoo mengangguk beberapa kali merasa malu dengan topik seksual. Ia tidak menyangka Mingyu sesensitif itu membahas tentang posisi—yang lebih terdengar mereka seperti sedang berdiskusi.

"Kau boleh membelai anjingnya jika mau." Kata Mingyu menawarkan.

"Tidak, aku tidak mau." Wonwoo menggeleng menjauh dari meja.

"Ayolah dia baik-baik saja kok, anjing jenis ini ramah, tadi dia hanya kesakitan." Mingyu tidak menyerah dan membujuk Wonwoo.

Wonwoo akhirnya pasrah dan membelai badan anjing tersebut secara perlahan. Bulunya halus dan lembut secara bersamaan. Wonwoo merasa hangat dan nyaman bersama Mingyu berdua di ruangan itu.

Melihat Wonwoo penuh kasih seperti itu bukanlah harapan Mingyu, tetapi ia bersyukur malam ini dilimpahkan berkah pemandangan pemuda itu yang menilik anjing tadi dengan rasa sayang. Mingyu tidak pernah meyangka akan melihat Wonwoo dari jarak sedekat ini.

Mingyu meminjamkan kaus panjangnya yang kebesaran di tubuh kurus Wonwoo. Kerahnya terlalu lebar sehingga menampakkan leher jenjang dan tulang selangkanya. Wonwoo yang tinggi dan maskulin terlihat manis secara bersamaan dengan tangan yang tenggelam dalam pergelangan kaus tersebut. Rambutnya masih basah sehingga air beberapa kali menetes membuat kaus mencetak jelas bagian bahu dan dadanya.

"Ada bulu mata di pipimu."

"Sepertinya bekas menangis tadi." Wonwoo segera mengusap wajahnya dengan kaus bagian lengan yang kepanjangan di tangannya.

Mingyu gemas karena Wonwoo tidak menyadari bulu mata itu masih tersangkut di pipinya. Ia berinisiatif mengambilkan bulu mata itu lalu memandang wajah Wonwoo lebih jelas lagi.

.

.

Mingyu menimbang-nimbang untuk membicarakan keputusan ini. Di samping mereka baru berkenalan sehari, Wonwoo yang homophobic (dari percakapannya dengan Jihoon sore ini)meskipun mereka sudah membicarakan beberapa hal erotis tadi, dan mereka sudah menyinggung beberapa hal tentang posisi itu cukup memalukan.

"Hey aku cukup penasaran." Kata Mingyu sedikit lebih kencang agar Wonwoo mendengarkan.

Wonwoo memelankan lajunya membuka pintu mobil lalu berhenti.

"Soal Jum'at malam keluarga itu?"

"Oh, aku hanya mengarangnya. Sangat jarang untuk murid baru mendatangi pesta. Awkward karena tidak ada pasangan, kecuali kau memang membawa teman yang bersedia menggandengmu saat kau muntah."

"Hahaha. —Ya aku bersedia." Ucapnya pelan sekali.

"Apa? Aku tidak dengar."

"Ah tidak, maksudku, kau mau pergi ke pesta denganku?"

"Sebagaaai?"

Mingyu menenggak salivanya kasar. Jantanlah Kim Mingyu! "Um, pasangan."—apa yang kau lakukan bodoh? Dia tidak gay, dia mengatakannya dengan jelas saat bersama Jihoon tadi.

"Baiklah."

"A-Apa?"

"Kita ke pesta, sebagai pasangan. Sebaiknya jangan ada yang mempermalukan diri sendiri dengan mabuk sebelum pesta dimulai." Wonwoo mengedipkan satu matanya terkekeh halus mengindikasikan ia paham benar dengan seseorang seperti Mingyu.

"Oh aku tidak akan mabuk sebelum kau mabuk."

"Aku penoleransi laktosa yang baik."

Hening menyapa saat mingyu kehabisan topik untuk bicara. Dia bukan pelajar yang baik. Pria dengan bentuk badan simetris dan memiliki minimal lemak dalam tubuhnya itu sedang memandang lekat jauh ke dalam mata Mingyu.

Yang bermain dalam perutnya kini adalah semut-semut tentara berbagi jutaan vektor. Jika penawaran Mingyu ditolak padahal ia memiliki fisik yang bagus sudah berarti kegagalan itu sudah jelas berdiri sendiri. Tetapi ini Jeon Wonwoo. Pria pertama yang menolak dan menyanggah Jihoon atas diikutsertakannya ia ke dalam organisasi populer di sekolah.

Berdasarkan tesis yang ia buat, premis-premis rumit nan indah bersatu dalam diri Jeon Wonwoo artinya pemuda di hadapannya memang tertarik pada Mingyu sejak awal.

"Aku pikir, konyol saat kau bukan gay tetapi menerima ajakanku." Isak Mingyu. Menyusun sekelebat memori mengenai kesimpulan tentang Wonwoo yang berhasil ia amati di sekolah.

Wonwoo menyanggahnya. "Aku belajar banyak semenjak bergaul di sini."

"Kau baru sehari di sini." Kemudian keduanya tertawa lepas.

"Jadi, kau tergabung dalam organisasi itu?"

"Ah? Jihoon? Tidak. Sebelum ini aku straight." Kekehnya tertahan. Kemudian tersentak karena penuturannya terdengar gila ia baru saja menyalahkan Wonwoo yang telah merubah orientasinya dalam hitungan jam.

Wonwoo terpatung memandang Mingyu. Aktifitasnya membuka pintu mobil tertahan atas pengakuan tanpa analisis dan berdasarkan keinginan hasrat. Wonwoo akan menganggap Mingyu pria paling tidak sopan abad ini.

"Bicara secara psikologis, kau adalah sosiopat yang kasar."

"M-Maaf, bukan maksudku berkata begitu. Kau begitu indah, bukan berarti ada kecanggungan setelah melihat tubuh setengah telanjangmu dalam manisnya koitus uhuk..." Apa Mingyu terkena serangan panik atau kelainan obsesif berlebihan?

"Kau, menggapku spesial begitu?"

Glek. Mingyu mendadak vertigo. Pertanyaan Wonwoo barusan berhasil menghancurkan medan gravitasi lokal sehingga membuat sinus Mingyu kambuh. Ia tidak yakin dapat membungkuk lagi untuk mendapatkan inhalernya kembali.

"Y-ya?"

Wonwoo saja yang bodoh atau dia tidak menyadari kalau mingyu baru saja melecehkannya. Mereka berdua memutuskan untuk menyelesaikan perbincangan.

"Jum'at malam?" Teriak Wonwoo.

"Ya, Jum'at malam." Mingyu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi taringnya yang dapat Wonwoo lihat dengan jelas dan indah. Wonwoo baru sadar senyum menawan Mingyu terdiri atas gigi-gigi yang entah sejak kapan bisa terlihat begitu menarik.

Final.

Wonwoo masuk ke dalam mobilnya, melambai sekilas lalu pergi.

Mingyu masih tidak percaya. Semalaman ini ia akan tidur nyenyak. Dari jendela kamarnya ia dapat melihat tiga perempat bulan menampakkan dirinya. Mingyu membaringkan badannya nyaman berbunga-bunga akibat nuansa intim yang diberikan Wonwoo. Ia baru saja akan berguling ke kanan namun tiba-tiba selimut seprai lembutnya berubah menjadi dedaunan kering.

Dedaunan

Kering

Karena Mingyu berada di hutan di samping sungai. Bukankah semalam ia berada di ranjangnya yang nyaman? Membayangkan kencan istimewa yang akan ia dan Wonwoo habiskan?

Mingyu menegakkan tubuhnya dan melihat sepasang cahaya merah itu lagi. Serigala yang kemarin menerkamnya berada di hadapannya diselimuti kabut. Mingyu berusaha untuk lari, berharap agar serigala itu tidak menghampiri dirinya.

Nihil.

Serigala itu kini mengejar Mingyu. Mingyu melajukan kecepatan berlarinya menembus hingar ranting. Sampai sebuah pagar kayu berada di depannya Mingyu melompat dan tercebur ke sebuah kolam.

"Selamat pagi, pak." Ucapnya saat seorang pria setengah baya memandang kebingungan padanya.

Continuer

.


Review? Please!

Dibutuhkan motivasi untuk me-remake serial ini! See u guys!